Oleh S i n d h u n a t a
NATAL adalah peristiwa Tuhan datang menyapa umatnya. Namun, hampir seumur hidupnya, Natal hanya lewat begitu saja bagi Mbok Tukinem, wanita yang malang dan buta.
Bertahun-tahun Mbok Tukinem tetap menderita. Ia seakan tak diizinkan menerima kasih sayang-Nya. Padahal kepercayaannya mengatakan Bayi yang terbaring di palungan itu adalah janji bahwa Tuhan sungguh telah mendatangi umat-Nya yang miskin, yang buta, menderita dan malang seperti Mbok Tukinem.
Sunggukah Tuhan menyayangi Mbok Tukinem bila Ia seakan membiarkan Mbok Tukinem menderita? Natal ke Natal telah berlalu, dan orang boleh merasa janji yang menghiburkan itu hanyalah palsu.
Akan tetapi, tidaklah pada Natal ini. Pada Natal tahun 1982, Tuhan benar-benar menyapa Mbok Tukinem. Malahan, pada saat inilah Tuhan menguakkan tabir penderitannya: dalam penderitaannya betapa ia merasa telah menerima cinta kasih dan kasih sayang sesamanya dengan berlimpah-limpah.
***
SEPERTI diberitakan Kompas, 18 November 1982, wanita itu seakan sudah dicoba melebehi kemampuannya. Pada waktu umur sebelas tahun ia tiba-tiba terserang kebutaan.
Dengan mata buta, semasa gadisnya Mbok Tukinem membantu ibunya yang miskin untuk mencari nafkah. Dari rumahnya di Desa Bantulan, Yogyakarta ia menggendong gerabah sampai ke Semarang.
Mbok Tukinem kawin dengan Suwitoutomo, seorang lelaki buta. Anaknya lima. Sehat walafiat dan normal semuanya. Namun, satu per satu mereka dipanggil Tuhan pada usia muda. Padahal pada merekalah Mbok Tukinem menaruh harapannya.
“Saya pernah bermimpi kelima anak saya datang. Namun, mereka kok hanya omong-omong sendiri saja. Tidak tanya-tanya sama orang tuanya. Mungkin karena mereka itu memang masih kecil. Namun, kelak mereka akan menyambut saya, toh mereka juga kecil. Apakah kelak mereka juga masih ingat pada saya, ya?” tanyanya.
Mbok Tukinem juga seorang yang jujur. Pernah di Desa Blondo ia utang tujuh belas ketip. Uang itu dipergunakan membeli sarung untuk menggendong anaknya. Tiba-tiba ia harus pulang ke Yogya. Sepur segera akan berangkat, tetapi Mbok Tukinem berusaha untuk tetap mengembalikan utangnya. Ununglah ada seorang guru yang mau meminjaminya.
Waktu masih kuat Mbok Tukinem membantu suaminya mencari nafkah dengan membuat tikar. Seberapa bisa, mereka berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Tak pernah ia membayangkan betapa bahagia menjadi orang yang tidak buta. “Hanya pernah saya bermimpi tiba-tiba mata saya terang benderang, saya bertanya-tanya apakah saya ini tidak buta lagi ya? Namun ketika saya bangun, mata saya tetap gelap seperti biasa, “tuturnya.
Penderitaan tidak berhenti menimpa Mbok Tukinem. Mendadak suaminya terserang kanker ganas di bahunya. Mbok Tukinem tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mendengarkan suaminya yang terkapar mengerang-ngerang kesakitan. Kalau suaminya merintih lukanya peri dan panas, dengan terbata-bata Mbok Tukinem meneteskan air dari botol ke lukanya.
Di tengah keadaan demikian pun Mbok Tukinem tidak pernah mengeluh. Ia menerima nasibnya denga tabah. Ditimpa penderitaan yang tanpa belas kasihan itu, ia tetap percaya bahwa Tuhan senantiasa menyayanginya.
Hanya satu kesdihannya. Selama suaminya sakit, ia tidak bisa ke gereja, karena harus menemaninya. “Saya khawatir akan sukma saya. Dari mana ia mendapat makanan kalau bukan dari Gusti (Tuhan)?” katanya.
Biasanya Mbok Tukinem memang sering ke gereja. Sejak kecil ia memang sudah dibaptis dan menjadi seorang Katolik yang taat. Suaminya yang sakit itu tetap diajaknya bersembahyang.
***
“GUSTI itu adil. Kalau Dia tidak adil yang diciptakan-Nya hanya satu, yaitu orang baik-baik saja. Namun, karena Dia adil, Dia menciptakan bermacam-macam. Ada yang pincang, ada yang buta, ada yang menderita. Mereka-mereka ini buat “pepak-pepak” jagat, di samping yang baik dan bahagia, “kata Mbok Tukinem.
Kata-kata Mbo Tukinem ini kedengarannya janggal. Di manakah keadilan Tuhan, bila Dia menciptakan orang-orang yang menderita? Namun, di balik kata-katanya yang sederhana dan polos itu justru teraba imannya yang sejati, yakni bahwa Tuhan juga mencintai orang menderita dan buta seperti dia.
Sejauh orang bisa meraba, Mbok Tukinem seakan mau mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil kalau Ia hanya mencintai yang baik dan bahagia. Keadilan-Nya bukan karena Ia menciptakan yang baik dan menderita, tetapi karena Ia menyayangi baik orang yang baik dan bahagia, maupun orang yang malang dan menderita. Kesederhanaan Mbok Tukinem tentu menyulitkan dia untuk merumuskan keyakinannya. Maka dikatakannyaTuhan itu adil karena ia juga menciptakan yang malang dan menderita untuk “pepak-pepak” jagat ini.
Menjelang Natal tahun 1982, kata-kata Mbok Tukinem sungguh-sungguh terjadi. Ketika membaca berita tentang dirinya, banyak orang yang bersimpati pada penderitaannya. Hal yang sama sekali tidak terduga, terutama oleh Mbok Tukinem sendiri.
Beberapa pembaca Kompas langsung memberikan sumbangan, tanda rasa keprihatinannya. Seorang bapak datang ke redaksi Kompas, menitipkan uang yang terbilang banyak. Bapak itu tidak mau disebut namanya sama sekali, bahkan menerima tanda terima pun ia tak mau. Hanya karena prosedur administrasi akhirnya ia mau menerima tanda terima itu.
Sekelompok mahasiswa di Yogya mempunyai cara lain membantu Mbok Tukinem. Di papan pengemuman kampusnya dipasang gambar dan kisah Mbok Tukinem. Mahasiswa yang tergerak hatinya mencemplungkan uang entah Rp 50 atau Rp 100 ke dalam kotak bola badminton. Kotak akhirnya berisi Rp 15.495 dan kotak inilah yang diberikan kepada Mbok Tukinem lewat redaksi.
Sekelompok mahasiswa dari Bandung kebetulan ikut kongres di Yogya. Kelompok itu berusaha mempengaruhi peserta lainnya. Dan dihadiakanlah Rp 51.00 buat Mbok Tukinem. Ada pula amplop berisi sumbangan, tetapi amplop itu tak bertuliskan apa-apa, kecuali kata-kata: “untuk Mbok Tukinem”.
Sumbangan yang terkumpul mencapai jumlah Rp 1.155.000. Lalu Yayasan Kanker Kucala Yogya memberikan bantuan Rp 75.000. Dan Rumah Sakit Panti Rapih Yogya dengan segenap hati menolong suami Mbok Tukinem. Kini suami Mbok Tukinem itu di rawat di sana.
![](https://www.berandanegeri.com/wp-content/uploads/2020/12/sindhunata.jpg)
MBOK Tukinem pasti tidak mengira akan mendapat bantuan sebesar itu. Pagi itu ia masih bilang, kalau perlu akan menjual salah satu dari tiga ayamnya, untuk memberi oleh-oleh kue sagon buat suaminya. Selama di rumah sakit, Mbok Tukinem baru mengunjunginya dua kali. “Suami saya pesan, kalau saya punya uang, ia minta dibelikan sagon. Ia juga bilang, kalau saya ada sangu, saya disuruh mengunjunginya. Kalau tidak punya, saya juga tidak boleh sedih, karena dia tak apa-apa, hanya minta didoakan saja, “ kata Mbok Tukinem. Entah kenapa, tiba-tiba Mbok Tukinem lalu menyeka air matanya.
“Kenapa menangis, Mbok?”
“Tidak apa-apa. Saya hanya rerungonen (mendengar sayup-sayup) suami saya yang sambat. Namun, saya berterima kasih pada Gusti, sekarang saya bisa ke gereja. Dan suami saya di rumah sakit bisa menyambut komuni untuk sukmanya, “kata Mbok Tukinem.
Mbo Tukinem tidak kaget ketika diberitahu ia akan mendapat uang sebesar satu juta lebih itu. Maklum membayangkan jumlah uang sebesar itu, ia tidak bisa. Dikiranya itu jumlah yang sedikit saja. Baru setelah diberitahu, uang itu kira-kira bisa dibelikan empat ekor lembu atau 30 ekor kambing, ia tampak kaget dan tak percaya.
Kula mboten saged malas napa-napa. Mugi Gusti ingkang paring bagas waras. Mugi Gusti ingkang males. Sageda sadaya wau gadah lintu, gancar nyambut damelipan. Matur nuwun sanget, kula matur nuwun (Saya tidak dapat membalas apa-apa. Semoga Tuhan memberi mereka kesehatan. Semoga Tuhan yang membalas. Semoga mereka mendapat ganti dan kebaikan mereka, lalu lancarlah pekerjaan mereka. Terima kasih sekali, saya sungguh berterima kasih).
***
SELASA tanggal 21 Desember 1982, Mbok Tukinem mengunjungi suaminya. Ia membawa oleh-oleh berupa buah sawo, agar-agar dan sagon pesanan suaminya.
Suaminya sudah kurang pendengaran. Dengan suara keras Mbok Tukinem memberi tahu banyak orang yang baik hati bagi mereka, dan memberi sumbangan, yang banyak jumlahnya. Suaminya hanya bisa bilang, “oh-oh”sambil tak henti-hentinya berpesan supaya istrinya menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang baik itu.
Mbok Tukinem bertanya, akan digunakan untuk apa uang itu? Suaminya bilang kalau nanti sembuh, uang itu akan digunakan untuk beli lembu. Mbok Tukinem sendiri memang lebih suka lembu daripada kambing. “Apalagi kalau lembu itu sepasang, nanti kan bisa beranak, “katanya.
Atas saran dan pertimbangan Pastor Subiyatno dari Paroki Medari dan mengingat Mbok Tukinem juga buta, Selasa pagi di Rumah Sakit Panti Rapih Kompas menyerahkan sumbangan pembaca kepada M. Martono, Ketua Stasi Seyegan, sebagai wakil Mbok Tukinem.
Pengelolaan uang akan dikonsultasikan dengan pastor Paroki Medari. Yang jelas sebagian uang akan dipergunakan untuk perawatan suami Mbok Tukinem. Sampai Februari tahun 1983, Suwitoutomo masih harus berada di Panti Rapih. Setelah itu akan di bawa ke RS Sardjito untuk menerima penyinaran pada lukanya.
Menurut keterangan RS Panti Rapih, ia tidak bisa dioperasi kankernya terlalu ganas dan sudah menjalar. Maka peneyembuhan hanya bisa dilakukan dengan penyinaran. Keadaannya kini memang sudah mendingan tetapi tidak bisa dipastikan ia akan sembuh total.
Siang itu Mbok Tukinem meniggalkan Panti Rapih. Ketua stasinya bertanya berapakah uang yang dibutuhkan sekarang? Mbok Tukinem asal sebut saja, Rp 30.000. Katanya, uang itu akan digunakan untuk membeli kain dan kebaya, serta untuk mengunjungi suaminya.
****
PEMBACA Kompas memang memberi uang sebagai sumbangan. Namun, kiranya ada yang lebih di balik uang itu, yakni keprihatinan dan kasih sayang pada penderitaan Mbok Tukinem. Hal ini tampak dengan jelas, hampir semua dari mereka tidak mau disebut namanya atau tidak mempedulikan apakah orang lain tahu atau tidak tentang pemberiannya.
Cinta kasih sesamanya adalah hadiah Natal buat Mbok Tukinem. Pada hari Natal ini kiranya Mbok Tukinem akan merasa bahwa penderitannya, banyak sesamanya yang mencintainya, dan justru dalam penderitannya Tuhan datang menyapa Mbok Tukinem lewat cinta kasih sesamanya. Dari penderitaan Mbok Tukinem seakan dikuatkan rahasia Natal: bahwa ternyata c i n t a k a s i h masih betakhta di antara kita.
Sumber Tulisan dari buku Segelas Beras untuk Berdua, Sindhunata, Kompas, 2006
![](https://www.berandanegeri.com/wp-content/uploads/2020/12/segelas-beras-untuk-berdua.jpg)