Di negeri ini kerusuhan massa terus menerus terjadi, pertikaian berdarah di banyak tempat, konflik negara dan kelompok bersenjata, kekerasan seksual berulang kali terjadi. Muncul pertanyaan mengapa keberadaan manusia demikian lekat dengan kekerasan?, bagaimana dengan kondisi trauma korban kekerasan (terutama kekerasan karena pemerkosaan). Persoalan-persoalan ini yang menjadi pelatuk bagi Kristina Samah untuk menulis buku Duka dari Nduga.
Bertempat di Aula St. Antonius, Gereja Hati Kudus Kramat, Senin 18 November 2019, berlangsung diskusi buku Duka dari Nduga dengan pembicara Rm. Stefanus Suprobo, OFM, Kristin Samah, dan Maman Suherman sebagai moderator. Diskusi buku ini digagasi oleh Sie HAAK dan Komsos Gereja Hati Kudus Kramat.
Buku ini mengisahkan kekerasan seksual yang terjadi di Nduga. Penulis buku ini, Kristin Samah mencoba mengisahkan siklus kekerasan di Nduga dengan meramu ingata-ingatan penduduk setempat dan dari cerita-cerita anak muda di sana terutama sekitar tragedi Mapenduma bertahun silam dan dampaknya hari ini.
Buku Duka dari Nduga juga mengajak kita melihat peristiwa Nduga dengan kaca mata hati, bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dengan terjadinya perkosaan terhadap seorang guru perempuan. Penulis membawa kita pada sebuah refleksi bahwa di wilayah yang jauh dari keramaian dan minimnya fasilitas hidup yang memadai masih ada perempuan yang mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak bangsa namun tidak mendapatkan perlindungan dan perhatian utuh dari negara ketika dirinya mengalami kekerasan seksual.
Seorang korban kekerasan karena pemerkosaan akan mengalami trauma, dan dalam dirinya akan mengalami mimpi buruk secara berulang-ulang. Dia bukannya tak mampu memaafkan pelaku. melainkan tak mampu keluar dari jerat-jerat prasangka yang menimpanya setiap saat. Ada kegaduhan dalam kesadarannya – gaduh dalam arti ribut seperti seseorang yang terperangkap di tengah-tegah massa yang mengepungnya. Dalam kegaduhan kesadarannya itu, kediriannya, ego-nya, person-nya seolah lenyap. Dia telah dianggap tiada oleh pelaku dan lebih suka menganggap dirinya sendiri tiada ditenggelamkan kebisingan kesadarannya. Memaafkan adalah bertindak yang menurut Hannah Arendt “memulai sesuatu yang baru”, lahir lagi, yakni merelakan yang lewat. Tetapi, trauma telah membuat korban tak mampu bertindak, maka ia tak mampu memaafkan. Membalas dendam adalah reaksi naluriah atas kebekuan itu, tetapi dendam adalah ketidakmampuan untuk memulai sesuatu yang baru. Alternatif yang tersedia adalah membiarkan diri matang oleh waktu, yaitu lewat bercerita entah kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain. Bercerita tentang pengalaman negatif adalah usaha memahami yang tak terpahami. Dalam jarak naratif itulah luka-luka masa lalu terintegrasi ke dalam identitasnya. Bercerita dapat menjadi perjalanan menuju merelakan yang lewat ( F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas).
Memandang Papua, menurut Kristin, bukan hanya soal jarak tempat dari pusat kekuasaan, tetapi juga jarak kesenjangan yang sangat jauh. Ketika daerah lain sudah berpikir soal revolusi industry 4.0, pelosok-pelosok terpencil Papua masih berkutat dengan persoalan minimnya pendidikan, minimnya prasarana kesehatan dan juga persoalan gizi buruk.
Buku ini didedikasikan untuk orang-orang yang bekerja demi memuliakan kemanusiaan. Penghormatan pada para pekerja kemanusiaan yang oleh sebab konflik, terpaksa menjadi korban kekerasan brutal. “Benar bahwa mengangkat senjata untuk merampas hak hidup orang lain adalah kejahatan sadis. Namun, penjahat sesungguhnya adalah orang-orang yang menjual ketidakmampuan orang lain untuk meraih keuntungan diri sendiri atau kelompok”, tegas Kristin pada akhir diskusi bukunya.
Paskalis Bataona