Oleh Dr. Cicilia Damayanti, Pengajar Universitas Indraprasta PGRI – Jakarta
Pendahuluan
Perempuan terkenal dengan kepekaan dan kepeduliannya. Kelembutan mereka menjadi sifat alami yang dikaitkan dengan wilayah domestik. Budaya patriarki menyebabkan perempuan ditempatkan di ranah privat yang bertugas untuk mengurus keluarga. Itulah sebabnya, kesetaraan perempuan masih menjadi perjuangan bersama sampai saat ini. Bahkan di saat pergerakan emansipasi sudah mulai menampakkan hasilnya, perempuan masih dikaitkan dengan pekerjaan domestik. Pada saat dunia memasuki masa teknologi digital 4.0, peran perempuan dalam dunia karier mulai terlihat semakin menggeliat. Apakah ini pertanda positif? Saat bekerja di luar rumah, para perempuan yang menjadi istri dan ibu juga membutuhkan bantuan asisten rumah tangga (ART) untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Sayangnya, ketiadaan regulasi di Indonesia menyebabkan para asisten rumah tangga ini tidak memiliki standar usia kerja, upah, waktu kerja, dan perlakukan yang layak bahkan ada potensi kehilangan kesempatan pendidikan serta kekerasan. Ini menimbulkan pertanyaan baru, apakah emansipasi dalam bentuk kesetaraan sesama perempuan sudah tercapai?
Imajinasi Naratif
Berbicara tentang kesetaraan tentunya tidak terlepas dari proses untuk dapat menghargai martabat kemanusiaan orang lain. Martha Nussbaum (1947- ), seorang Profesor Hukum dan Etika Ernst Freund dari University of Chicago Amerika, mengenalkan imajinasi naratif dalam bukunya Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (1997). Mengapa harus imajinasi naratif? Apa peran imajinasi naratif dalam mewujudkan kesetaraan manusia khususnya perempuan?
Menurut Nussbaum imajinasi naratif adalah kemampuan membayangkan bagaimana rasanya berada dalam posisi orang lain, yang dapat melahirkan empati. Kemampuan ini membantu seseorang untuk memahami emosi, harapan, dan hasrat orang lain. Imajinasi membantu seseorang untuk memahami keadaan orang lain. Bagi Nussbaum, imajinasi dapat dikembangkan melalui seni. Segala bentuk seni seperti musik, tarian, lukisan, pahatan, dan arsitektur berperan penting untuk membentuk pemahaman kita tentang orang lain yang melahirkan empati. Tetapi imajinasi naratif memiliki peran yang sangat kuat dalam membentuk kepedulian dan kepekaan seseorang. Sebab narasi lebih detail dan jelas dalam menggambarkan situasi dan masalah manusia yang beragam. Kisah ini menjadi sumber yang menginspirasi untuk memahami bagaimana rasanya berada dalam posisi orang lain. Narasi membuat seseorang menyadari bahwa kisah tersebut bisa menjadi nyata dalam hidup sehari-hari. Narasi (narratio) membawa seseorang masuk ke dalam pengalaman hidup orang lain. Orang tua terkadang menggunakan kata ganti orang ketiga untuk menceritakan (narrare) kisahnya kepada anaknya. Sehingga pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik. Narasi membantu seseorang untuk meluaskan perhatian pada persoalan dan peristiwa penting yang terjadi, mengembangkan imajinasi, dan mewujudkan pengakuan akan kesetaraan martabat manusia yang seringkali diabaikan oleh para kaum terpandang (elite).
Narasi yang dituturkan seperti drama atau yang dibaca dalam sastra membuat seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain. Narasi membantu mereka membangun kemampuan untuk membuat persepsi dan penilaian atas hidup orang lain. Pemahaman tentang emosi dapat diajarkan dengan baik melalui narasi. Sebab struktur narasi membantu seseorang untuk memahami dinamisme emosi yang dirasakan manusia, untuk memandang dunia dari sudut pandang orang lain. Imajinasi membangkitkan kesadaran bahwa sekuat dan semampu apa pun mereka tetap membutuhkan orang lain. Bela rasa (compassion) membuat imajinasi semakin hidup dengan membuat seseorang berpikir bahwa penderitaan orang lain dapat saja menimpa dirinya. Melalui Narasi, imajinasi seseorang dapat berkembang untuk menghargai dan menghormati martabat manusia. Hal ini membantunya untuk menerima keragaman yang dibutuhkan dalam hidup berdemokrasi.
Dalam lingkup sastra Indonesia, wayang menjadi seni naratif yang dapat mengembangkan imajinasi. Dalam tulisan ini akan difokuskan pada tokoh pewayangan perempuan. Meskipun dunia wayang sering dikaitkan dengan laki-laki, tanpa peran perempuan kisah tersebut akan menjadi tidak lebih bermakna.
Tokoh-tokoh Perempuan dalam Pewayangan
Sri Mulyono Djojosupadmo (1930-1980) menulis karakter perempuan dalam dunia wayang melalui buku Wayang dan Karakter Wanita (1978). Ada beberapa tokoh perempuan tangguh yang ditulisnya untuk menunjukkan bahwa gerakan emansipasi sudah digaungkan sejak dulu. Melalui para tokoh ini diharapkan perempuan semakin menyadari kekuatan terbesar dalam hidupnya. Bahwa kelembutan justru menjadi senjata mereka dalam melawan kekacauan dunia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa tokoh wayang perempuan.
Dewi Sawitri, seorang anak raja Aswapati dari Kerajaan Madra, digambarkan sebagai perempuan cantik yang memiliki tekad yang kuat dan setia pada suaminya. Dia memilih menikah dengan Setiawan, seorang putra Brahmana yang bernama Jumatsena, yang terkenal berbudi luhur dan lurus. Suaminya ini hidupnya tidak lama lagi. Dia hanya diberikan waktu setahun untuk hidup bersamanya. Kebulatan tekadnya membuatnya setia mendampingi suami hingga ajal datang. Tetapi para dewata yang melihat kesetiaan dan mati raga yang dijalaninya, tergugah untuk mengabulkan permintaannya asalkan tidak untuk menghidupkan kembali suaminya. Selain setia, Dewi Sawitri juga cerdik. Dia memiliki kemampuan bernegosiasi yang mampu mempengaruhi keputusan para dewata. Sehingga akhirnya suaminya diberi kesempatan hidup dan berbahagia bersamanya.
Berbicara tentang kesetiaan perempuan, ada dua tokoh yang memiliki kesetiaan mutlak pada suaminya. Kisah Dewi Damayanti dan Raja Nala tertulis dalam buku Wanaparwa, bagian dari kisah Mahabarata. Damayanti adalah istri Raja Nala dari Kerajaan Nishada. Nala yang kalah dari permainan dadu harus rela dibuang ke hutan. Karena kesetiaannya, Damayanti mengikuti Nala ke tempat pembuangannya. Perjalanan cinta mereka mengalami pergolakan saat Nala terkena kutukan roh Batari Kali yang menyebabkan wujudnya berubah. Hal ini membuat Damayanti dipulangkan kembali ke orang tuanya karena suaminya dianggap sudah tiada. Tetapi Damayanti tidak mempercayai kabar tersebut. Dia tetap berusaha mencari suaminya. Pencarian tersebut menemukan hasil saat dia bertemu orang Katai yang bernama Bahuka. Hati Damayanti merasa yakin bahwa orang itu suaminya. Dia kemudian membuat masakan yang sangat disukai Nala. Bahuka terangsang dengan bau masakan itu, berubah wujudnya menjadi Nala. Damayanti dan Nala dapat bersatu kemballi.
Dalam kisah Ramayana Dewi Sinta, istri Rama, dikisahkan sebagai istri yang menjaga kesetiaan dan kesuciannya. Berbeda nasib dari dua tokoh sebelumnya, kisah cinta Sinta Rama tidak berakhir bahagia. Kesetiaan Sinta yang mengikuti Rama teruji dalam pembuangan di hutan saat dia tergoda pada kijang kencana yang menyebabkannya diculik Rahwana. Berkat bantuan dari adiknya Lesmana dan teman-temannya, Rama berhasil membebaskan Sinta. Tetapi dengan kembalinya Sinta tidak membuat Rama percaya akan kesucian Sinta. Dia meminta Sinta membuktikan kesuciannya dengan menceburkan diri ke dalam api. Dengan kebulatan hati, Sinta melakukan permintaan Rama untuk membuktikan kesuciannya.
Mahabarata mengisahkan Dewi Kunti yang dikenal sebagai ibu para Pandawa. Dia memiliki suami yang bernama raja Pandu yang memiliki dua istri. Istri keduanya bernama Dewi Madrim. Karena kelengahan Pandu, dia dikutuk akan mati bila berhubungan badan dengan para istrinya. Cerita semakin menarik karena di sini terjadi versi yang berbeda antara kisah Mahabharata versi India dan wayang Indonesia. Dalam versi India, Dewi Kunti diceritakan diberi mantra oleh Resi Druwasa. Sebab Kunti sudah melayani keperluannya selama menginap di rumah orang tua Kunti, Raja Kuntiboja. Mantra ini untuk dapat memiliki anak yang bersifat mulia seperti para Dewa. Sebelum menikah, dia sudah mencoba mantra tersebut dengan memanggil Dewa Surya. Melalui dewa Surya lahirnya Karna. Dia diberi nama Karna karena lahir dari telinga. Sebab Kunti saat itu belum memiliki suami. Setelah menikah dengan Pandu, dan karena mendapat kutukan, Kunti menggunakan mantra itu kembali untuk melahirkan Yudistira yang berayah Dewa Dharma. Bima yang berayah dewa Bayu. Dan Arjuna yang berayah Dewa Indra. Setelah memiliki tiga putra, mantra tersebut dia pinjamkan kepada Madrim, yang kemudian melahirkan dua putra kembar. Nakula dan Sadewa adalah anak Madrim yang berayah Dewa Aswin. Pada versi wayang Jawa, yang budayanya kurang bisa menerima cerita di luar nalar, sebab agama Islam mulai masuk, para dalang akan mengubah sedikit kisah ini dengan menjadikan Pandu sudah memiliki anak sebelum mendapatkan kutukan. Sementara dalam versi India, Dewi Kunti digambarkan sebagai orang yang sakti, yang memiliki mantra ajaib tersebut. Sehingga Pandu dikisahkan sudah dikutuk sebelum memiliki anak.
Berbicara tentang hutan, ada tokoh wayang perempuan yang digambarkan hidup secara poliandri. Namun budaya patriarki di Indonesia menyebabkan tokoh ini diceritakan hidup monogami. Drupadi yang adalah seorang perempuan cantik putri Raja Drupada dari Kerajaan Panchala. Sesungguhnya Dewi Drupadi menikah dengan Pandawa, yang berarti dia memiliki lima (5) suami. Drupadi adalah istri yang setia kepada para suaminya. Bahkan saat mereka kalah judi dan dibuang di hutan, Drupadi tetap setia mendampingi para Pandawa. Tokoh Drupadi menjadi tokoh perempuan yang memiliki kuasa tetapi tetap setia pada kodrat kewanitaannya. Melalui dua perempuan ini terlihat bagaimana budaya patriarki sulit menerima pandangan bahwa para perempuan sesungguhnya juga memiliki wilayah yang lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Kontra narasi menjadi penting di sini untuk melihat bahwa suatu kisah narasi tidak dapat dipandang secara hitam putih belaka. Narasi akan semakin kaya dan bermakna bila kita bisa melihat bahwa hidup ini tidak merupakan posisi biner. Karakter manusia dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialaminya. Suatu perubahan perlu diterima sebagai kemutlakan. Sebab tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Kontra narasi membantu kita untuk melihat bahwa di dunia ini sebaiknya perlu diciptakan keseimbangan agar terjalin keharmonisan. Kerja sama perempuan dan laki-laki adalah lebih baik dibandingkan bila salah satu ingin lebih dominan. Kisah Kunti dan Drupadi menggambarkan bagaimana kaum perempuan dapat menjadi penolong, dan dapat diandalkan di saat kesulitan melanda.
Tokoh Srikandi terkenal sebagai pahlawan perang. Melalui berbagai sumber, banyak versi tentang tokoh ini. Sesungguhnya Srikandi adalah inkarnasi dari Dewi Amba yang terlahir kembali menjadi Putri Raja Drupada dari Panchala. Dewi Amba sakit hati pada Bisma karena kekuatannya telah mengalahkan Salwa, lelaki yang dicintai Amba. Bisma sendiri telah berjanji hidup selibat, sehingga tidak bisa menikahi Amba. Sementara pria yang dicintai Amba tidak mau mempersuntinnya karena malu sudah dikalahkan Bisma. Kejadian ini menyebabkannya pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa. Doanya didengar Dewa Syiwa yang merestuinya untuk berinkarnasi agar dapat membalas dendam kepada Bisma. Sebelum berinkarnasi Amba diberi kalung bunga teratai (puspamala). Ajaibnya setelah dia berinkarnasi kalung itu dapat ditemukannya kembali. Putri Raja Drupada itu kemudian mengalungkan kalung bunga teratai, yang menyebabkannya berubah menjadi laki-laki, dan dikenal sebagai Srikandi. Dialah pahlawan perang yang membantu Pandawa melawan Kurawa, dan membalaskan dendamnya dengan membunuh Bisma. Dalam versi wayang Jawa tokoh Srikandi digambarkan tetap sebagai perempuan. Ceritanya hampir sama bahwa dia adalah titisan Dewi Amba. Namun untuk dapat mengalahkan Bisma, dia menjadi istri Arjuna. Perbedaan kisah ini hampir sama dengan kisah Drupadi yang juga memiliki versi antara poliandri atau monogami. Kemungkinan besar di Indonesia Srikandi digambarkan sebagai perempuan karena budayanya yang tegas pada posisi biner antara perempuan dan laki-laki.
Para perempuan bangsawan ini mengajarkan kepada kita tentang arti kesetiaan dan kelembutan. Berbicara tentang hal ini, ada tokoh punakawan perempuan yang menjadi gambaran tepat tentang arti pengabdian. Cangik dan Limbuk adalah dua orang punakawan yang menjadi kepercayaan dari para ratu dan putri-putrinya.
Cangik dan Limbuk
Selain para Putri Raja, ada penokohan wayang asli Indonesia. Melalui tokoh Cangik dan Limbuk akan dikenalkan tentang kesetaraan martabat manusia, khususnya perempuan. Disarikan dari berbagai sumber, tokoh Cangik dan Limbuk dikenal sebagai punakawan perempuan atau dayang. Kemunculan keduanya biasanya dijadikan sebagai penghangat suasana dalam kisah wayang. Cangik dan Limbuk adalah ibu dan anak yang mengabdikan hidupnya pada Putri Raja. Cangik digambarkan sebagai perempuan bertubuh kurus dan tinggi. Sedangkan Limbuk bertubuh tambun dan pendek. Sebagai orang muda, Limbuk adalah murid kehidupan yang memberinya kebebasan gerak. Bicaranya terkesan apa adanya dan kurang tanggap terhadap persoalan hidup. Dia masih suka ceplas-ceplos namun menyenangkan karena berani menjadi diri sendiri. Sikap polosnya ini membuatnya ngangeni atau dirindukan. Fisik Limbuk ini menyimbolkan proses penataan diri yang masih bebas dengan memuja hal duniawi. Dia masih bebas makan dan tidur. Boleh berdandan menor yang sering keluar dari aturan, yang menjadi proses pencarian jati diri. Limbuk menjadi sosok yang kontras dengan sang ibu: Cangik. Cangik berbadan semampai, lebih sabar, dan setia dalam pengabdian.
Cangik dan Limbuk adalah abdi dalam kepercayaan para Ratu dan Putri. Meskipun dari golongan rendah, keduanya mendapat dididikan agar memiliki budi dan pekerti yang luhur. Mereka dapat dipercaya, menjadi pendengar yang baik, mampu menyaring informasi, menyimpan rahasia, dan bila dibutuhkan mampu memberi saran yang sesuai dengan pemahamannya. Tugas mereka membantu mengurangi kegundahan junjungannya, dan menjadi penghangat suasana. Menjadi abdi dalam sering menjadikan mereka dianggap sebagai asisten yang tugasnya adalah membantu. Padahal pemahaman seperti ini mengandung kekeliruan, sebab Cangik dan Limbuk sesungguhnya adalah punakawan yang artinya sahabat. Bahasa Jawa dengan sangat tepat menyebut mereka “rewang” yang artinya penolong. Mereka berdua berada di wilayah terpenting di istana karena berurusan dengan para ratu dan putri. Keduanya diberi kepercayaan untuk menyimpan rahasia, bahkan yang paling intim. Sehingga tugas mereka sesungguhnya lebih penting bila dibandingkan dengan menteri atau mahapatih. Ketika disebut sebagai penolong, dalam hal ini mereka memiliki tugas penting untuk mendengar keluh kesah, memberi saran, menenangkan, menyenangkan hati, membela, dan membantu mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi junjungannya.
Dalam menjalan tugas biasanya Cangik dan Limbuk akan tinggal bersama junjungan, bahkan mereka juga bisa tidur dan menjaga di ruang pribadi junjungan mereka. Cangik dan Limbuk juga merawat dan membesarkan anak-anak junjungannya. Mereka mendapat keistimewaan dalam hal menu makanan. Karena makanan yang mereka makan sama dengan yang dimakan junjungannya. Dalam kehidupan nyata, tugas seperti Cangik dan Limbuk diberi kepercayaan untuk menjaga harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Mereka sesungguhnya adalah “orang dalam” yang menjadi perpanjangan tangan junjungannya.
Keberadaan Cangik dan Limbuk dalam lakon wayang sebagai asisten pribadi masih tetap ada hingga saat ini. Apalagi di era emansipasi perempuan yang menyebabkan mereka juga memiliki akses untuk bekerja di ranah publik. Bagaimana nasib kaum Cangik dan Limbuk di era 4.0 ini?
Asisten atau Pengabdian Tanpa Batas?
Pada saat ini banyak perempuan terutama dari kelas sosial menengah yang bekerja di luar rumah. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan orang lain untuk membantu mengerjakan urusan di rumah saat bekerja. Kebutuhan akan Asisten Pembantu Rumah Tangga (ART) menjadi cukup besar dan tersegmentasi, baik untuk memasak, mengurus bayi dan anak hingga merawat orang tua. Para ART ini ada yang bekerja pulang pergi, namuan banyak di antara mereka yang tinggal bersama orang yang mempekerjakan. Jarak bisa menjadi semakin jauh dari tempat asal jika para ART adalah bukan lagi pekerja suburban melainkan migran antar daerah di Indonesia. Apakah nasib para asisten ini jauh lebih baik dari pada Cangik dan Limbuk?
Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Hal ini sudah di atur dalam UUD 1945, yakni pasal 27 ayat 1 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 D ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ayat 2 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Menurut sumber dari kapalperempuan.org dan ILO (2020), faktanya, asisten rumah tangga (ART) merupakan salah satu pekerjaan tertua dan terbesar jumlahnya di dunia maupun di Indonesia. Di dunia jumlahnya mencapai 87 juta jiwa. Di kawasan Asia dan Pasifik sebagian besar dilakukan oleh perempuan (78,4 persen). Di Indonesia jumlahnya lebih dari 4 juta orang. Mayoritas para pekerja dalam sektor ini di Indonesia adalah perempuan, yang merupakan tulang punggung keluarga. Bahkan sekitar 30 persennya adalah anak perempuan. Para asisten di wilayah Jabodetabek, misalnya. Mereka tidak bisa mengakses bantuan sosial. Sebab sekitar 85,6 persen statusnya sebagai urban atau pendatang, yang hidupnya hanya mengontrak rumah (90 persen). Ketika berhadapan dengan masalah, ART tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Padahal tiap tahun terdapat sekitar 400 kasus ART yang diantaranya tidak mendapatkan bayaran upah atau upah dipotong karena sakit, dan tidak mendapat tunjangan hari raya. Pada masa pandemi covid-19, mereka paling rentan terkena virus ini. Sebab pada saat bekerja mereka tidak dibekali alat pelindung yang memadai. Kemungkinan besar dapat tertular dari majikan. Apabila ada majikan yang waspada terhadap virus ini mereka dapat diberhentikan seketika. Para ART yang sudah tidak bekerja dan memutuskan pulang kampung tidak diberikan sarana untuk tes covid-19. Para asisten ini sangat beresiko terkena virus ini karena tidak bisa bekerja hanya dari rumah. Mereka adalah garda depan yang sewaktu-waktu dapat disuruh pergi menggantikan majikannya, pergi ke pasar misalnya.
UUD 1945 dengan tegas menghargai kedudukan warga negara adalah sama di depan hukum, akan tetapi hingga saat ini tidak ada regulasi turunan dalam bentuk undang-undang yang mengatur pekerjaan para asisten rumah tangga. Selama hampir tujuh belas tahun, Rancangan Undang Undangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga mangkrak atau jalan di tempat. Tidak ada pembahasan yang lebih serius bahkan untuk membuat RUU tersebut dalam turunan ayat dan pasal. Hal ini tentu saja semakin memperburuk kondisi pekerjaan dan status asisten rumah tangga dari masa ke masa. Pertama, oleh karena argumen pekerjaan domestik dan tinggal di dalam rumah maka asisten rumah tangga memiliki jam kerja yang sangat panjang, tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, harus siap kapan saja dibutuhkan. Selain itu upah yang dibayar juga terbilang rendah dengan tidak ada kompensasi atau jaminan lain. Alasan yang umum adalah kebutuhan lain sudah ditanggung oleh para tuan dan nyonya pengguna jasa mereka seperti makan di tempat atau ikut berpergian. Kedua, usia para asisten rumah tangga adalah relatif sangat muda karena pekerjaan ini dianggap tidak membutuhkan keahlian dasar, melainkan hanya keinginan sukarela untuk mengikat diri dalam perjanjian kerja secara verbal. Akibatnya, dengan usia sangat muda tersebut maka banyak perempuan asisten rumah tangga tidak memiliki akses ketrampilan dan pendidikan formal. Setiap kesalahan yang dilakukan berpotensi untuk mengundang kekerasan dan pelecehan. Ketiga, posisi sebagai asisten rumah tangga dianggap bukan penolong, melainkan orang yang berbeda kelas di dalam sebuah rumah. Artinya, perlakuan terhadap mereka juga bersifat diskriminatif dalam segala hal baik kebutuhan sandang dan papan.
Penutup
Bagi Nussbaum imajinasi naratif merupakan sarana yang tepat untuk meluaskan lingkaran perhatian seseorang. Melalui kemampuan ini, kita diharapkan memiliki kepekaan dan kepedulian kepada semua orang, termasuk juga para asisten rumah tangga. Penokohan wayang Cangik dan Limbuk dapat menjadi kisah yang mengasah kepekaan untuk orang yang bekerja pada kita. Di masa lampau, mereka bekerja untuk mengabdi dalam konteks strata sosial dan lingkup feodal. Pada masa teknologi digital 4.0 dimana hak azasi manusia menjadi sebuah tuntutan dasar, idealnya nasib para asisten rumah tangga bisa jauh lebih baik dan dihargai. Posisi mereka dibutuhkan karena nilai-nilai yang tumbuh di masa lampau masih belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan situasi saat ini. Modernisasi tidak serta merta membuat perilaku feodal dan patriarki menghilang, malah terkesan ada upaya untuk bisa mengokohkan posisi asisten rumah tangga sebagai warga kelas dua dengan profesi yang dipandang rendah.
Hal yang menjadikannya lebih ironis adalah para pengguna jasa asisten rumah tangga ini adalah notabene kebanyakan kaum perempuan juga yang lebih terdidik, memiliki status sosial cukup baik dan mampu membayar atau mempekerjakan orang lain. Banyak yang sadar akan peran, posisi dan kesetaraan perempuan namun kritik yang harus diperhatikan adalah seberapa besar alih peran, posisi dan kesadaran itu dilakukan terhadap dan oleh sesama perempuan. Itu menjadi penting sebab pada hakekatnya pembebasan dan pencerahan harus bisa dinikmati oleh siapapun tanpa memandang gender, kelas sosial, usia dan batasan apapun. Penokohan Cangik dan Limbuk membuka pikiran bahwa ada mispersepsi soal bagaimana relasi kerja domestik yang menjadi penolong, berubah menjadi pesuruh yang harus siap kapanpun juga. Selain itu, negara sendiri abai dalam melindungi para penolong ini dalam soal pengaturan hak-haknya.
Imajinasi naratif hendaknya dapat menyadarkan posisi perempuan, untuk tidak saja berfokus pada soal pendidikan dan pembebasan yang bertumpu pada diri sendiri. Tetapi juga mampu melihat dan terpusat pada orang lain. Saat ini banyak orang yang sudah mengenyam pendidikan tinggi, dan diharapkan mampu berpikir kritis. Kekritisan dalam berpikir ini diharapkan dapat membebaskan diri mereka juga sehingga di era digital ini mereka sudah tercerahkan. Pada kenyataannya, status dan pendidikan perempuan juga tidak serta merta membuat mereka terbebas dari konsep modern slavery, yakni menggunakan jasa asisten rumah tangga yang berupah rendah, jam kerja panjang, siap kapapun juga, minim akses keahlian dan pendidikan, serta membangun dependensi antara para pekerja dengan anak-anak atau keluarga mereka dengan argumen kemurahan mati dan belas kasihan. Nasib mereka pada saat ini, jauh lebih buruk dari apa yang bisa dibayangkan dengan penokohan Cangik dan Limbuk.
**************************************************************