Oleh Franz Magnis-Suseno, SJ
APAKAH tempat letak kebajikan: tubuh atau pikiran? Menurut mazhab Yhu Xi, salah satu mazhab dalam tradisi Kong hucu, kebajikan ditemukan dalam pikiran. Karena bagi Konghucu, sama dengan tradisi Yunani Kuno, pikiran menyatakan bagian manusia yang ”sama kapan saja dan di mana saja”. Tetapi Ito Jinsai, seorang tokoh pemikiran Konghucu abad ke-17 di Jepang, berpendapat lain. Menurut dia, pikiran asal pikiran hanya tinggal pada dirinya sendiri saja. Sebaliknya, yang menjadi titik persentuhan dengan dunia, dengan orang lain, adalah tubuh, padahal hubungan dengan orang lain adalah tempat di mana kebajikan bisa lahir. ”Roh” itu ”sempurna” karena tertutup. Sedangkan ”jasmani tak bisa direncanakan penuh. Ada selamanya yang tak terduga”.
Masalah yang diangkat oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir jilid 5 ini di Barat pun panas dibicarakan. Selama 350 tahun terakhir, sejak Descartes menempatkan hakikat manusia pada pikirannya, pandangan Zhu Xi yang berkuasa di Barat. Tetapi sekarang banyak yang berpendapat bahwa mereduksikan manusia pada pikiran menjadi kesalahan filosofis maha hebat di zaman modernitas, antara lain menjadi sebab munculnya pemikiran ideologis yang demi kebenaran ideologi tega membunuh manusia yang nyata. Jadi, mana yang benar, Zhu Xi atau Ito Jinsai? Kalau mau menghormati keutuhan manusia, yang harus dihormati yang mana: pikirannya atau tubuhnya? Dan apa yang mau kita dahulukan: Kesempurnaan manusia dalam ketertutupan dan kemandiriannya, atau ketersentuhan oleh saudara-saudarinya yang memerlukan solidaritas, suatu rentangan hati dan tangan yang tak pernah selesai? Goenawan Mohamad tidak menjawab, ia membuat kita berpikir sendiri.
Pertanyaan tentang tubuh adalah salah satu dari sekian banyak pokok yang diangkat Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir jilid 5. Adalah seni Goenawan Mohamad bahwa ia dapat membuat pertanyaan seabstrak pertanyaan tentang relevansi tubuh menjadi rangsangan pemikiran kita. Dan ia memang tak pernah menyediakan, atau menawarkan, apalagi mendesakkan sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya. Ia akan meninggalkan kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan, bak anjing diberi tulang besar untuk dikerjakan berharihari lamanya.
Itulah ciri khas pemikiran Goenawan Mohamad—yang karena itu memang sangat cocok dicetuskan dalam bentuk aforisme, catatan pendek-pendek: Ia membikin memang terus menerus mengoreksi kita. Tetapi bukan dengan menunjukkan bahwa kita keliru. Melainkan dengan membuat kita menjadi sadar bahwa cakrawala kita, wawasan kita tidak memadai. Bahwa untuk mencari sikap terhadap apa yang kita hadapi dalam hidup, wawasan hitam-putih tidak cukup. Bahwa masih ada dimensi atau sudut pandang lain yang harus diperhatikan. Bahwa kesalahan kita bukan sebuah kekeliruan, melainkan kepicikan. Bahwa kita dibelenggu oleh apriori-apriori yang mempersempit persepsi kita.
Hal apa pun yang disentuh Goenawan Mohamad menjadi masalah, menjadi dorongan yang membuat orang terentak sebentar, lalu ia terpaksa berpikir: Betulkah? Logiskah? Benarkah? Orang merasa cakrawalanya meluas sehingga segi-segi, unsurunsur, warna-warna yang sebenarnya ada tetapi dulu tidak diperhatikan disadari. Dengan demikian, bisa saja kemapanan intelektual dan emosional kita tergoncang.
Ambil yang ini: Goenawan Mohamad menunjuk pada rentetan ini: Bung Karno dan Bung Hatta, Bung Karno sendirian, Pak Harto sendirian. Bung Karno dan Pak Harto memimpin sendirian kelihatan masuk akal: Untuk maju bangsa perlu menuruti ”satu komandan”. Tetapi mengapa semula Bung Karno dan Bung Hatta dipasang bersamaan padahal sejak semula mereka tidak cocok: tidak cocok temperamennya, tidak cocok dalam pandangan dasar politik masing-masing. Mana yang lebih menguntungkan? Orang bisa bertanya: Apakah kelancaran pemberian komando menjamin kelancaran kemajuan (apa pun artinya)? Jadi apa yang sebenamya efektif dalam sebuah bangsa yang teramat plural, yang hanya akan survive apabila belajar mengakomodasi pluralitas? Hal itu diangkat jauh sebelum Indonesia dikomandoi oleh pasangan Megawati-Hamzah Haz!
Catatan Pinggir bukan untuk dibaca dalam satu tarikan napas panjang, melainkan sebaiknya per topik, dan tak usah mulai pada permulaan. Terjun secara acak malah bagus. Begitu banyak pokok terangkat. Banyak dari bidang politik, dan hampir semua dengan nuansa politik. Namun Catatan-Catatan Pinggir tidak menjemukan dengan terus berpolitik seperti hal talkshow-talkshow (yang tentu tidak semua menjemukan). Maksud Goenawan Mohamad bukan politik dalam arti, mau memenangkan pikiran-pikiran tertentu. Melainkan ia mau membuat kita berpikir, mencair dalam kemapanan pendapat, sikap, pengandaian, ya, prasangka yang barangkali sudah lama kita bawa. Ia mau kita menjadi mampu kembali untuk berefleksi, berefleksi atas segala macam masalah yang kita hadapi, tetapi dalam hal ini juga berefleksi atas diri kita sendiri.
Buku ini kaya nuansanya. Bicara tentang Haji Princen—yang pernah ditahan oleh Sukarno maupun Soeharto—Goenawan Mohamad dibuat bertanya ”kenapa ia, yang pernah dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin” Bung Karno, kini ambil risiko untuk membantu pembebasan orang-orang yang dulu ikut mendukung ”Demokrasi Terpimpin” dan membenarkan represi atas dirinya?” Pertanyaan itu dalam kaitan Princen 1968 membela Pramoedya Ananta Toer. Dalam mengenang Romo Mangun, Goenawan Mohamad menanyakan mengapa Romo Mangun yang dekat dengan orang-orang pinggiran begitu mengagumi Sutan Sjahrir yang ”enak bergerak di antara nona dan tuan muda” Belanda? Karena Sjahrir adalah rokoh yang kalah? Karena kekalahan historis Sjahrir (terhadap Bung Karno) masih harus dipertanyakan apakah memang merupakan kekalahan?
Dalam satu teks Goenawan Mohamad berefleksi tentang ”dari mana datangnya kekejaman?” Manusia kok bisa kejam luar biasa. Haruskah kecenderungan itu dilemparkan kepada pengaruh setan? Adakah suatu dualisme asali mendasari dunia yang merebak dalam pengkutuban baik-jahat? Atau manusia itu sendiri sumber kejahatan (dan kebaikannya)? Tanpa memberi jawaban, Goenawan Mohamad mengutip ucapan mengharukan Anne Frank—anak Yahudi yang waktu itu sudah harus bersembunyi dari pengejaran Nazi yang akhirnya akan menangkapnya juga dan menghabisinya di Auschwitz—bahwa ”manusia pada dasarnya baik”. Reaksi saya: munafik, atau bodoh, besar orang yang mengatakan hal itu (misalnya Jean-Jacques Rousseau yang atas nama ajarannya 30 tahun kemudian kepala-kepala bergulir di bawah kapak guillotine) kecuali kalau yang mengatakannya adalah seorang Anne Frank. Adakah kebenaran tentang manusia kecuali dari mulut korban yang tidak sampai membenci?
Pada umumnya korban, korban penindasan, korban ketidakadilan, justru benci kembali, justru mau membalas. Goenawan Mohamad mengangkat Mahabharata. Mahabharata adalah kisah yang tidak mengenal pengampunan. Tak ada tindak jahat yang tidak memperoleh balasan. Segala kejahatan kaum Kurawa akan dibalas oleh para Pandawa. Bukankah korban lalu menjadi pelaku juga? Ketika korban menuntut balas dan jadi algojo, yang ada memang seakan-akan penyamaan: Gogon jadi sama dengan Gigin dalam mengalami kezaliman…. Ada musala yang pecah kacanya, ada kabar angin bahwa masjid telah dibakar. Maka sejumlah gereja pun dihancurkan. Ada gereja dihancurkan, maka ribuan kilometer jauhnya dari sana, sejumlah masjid pun ganti dibasmi…. Jadi apa itu adil? Siapa pihak yang baik? Dan apa nilai sebuah kemenangan? Judul renungan itu adalah ”Simetri”.
Kitab-kitab suci pun menjadi alasan renungan. Banyak pertanyaan muncul apabila kita berani membacanya dengan terbuka, dengan memberi hak pada reaksi hati kita. Goenawan membicarakan komentar Simon Maimonides, filosof besar Yahudi abad ke-13, dan Prof Alan M. Dershowitz atas sebuah kejadian (lih. Genesis bab 34) di mana Simeon dan Levi, dua anak nabi Yakub, membunuh semua laki-laki sebuah kota karena adik mereka diperkosa, padahal sudah tercapai damai. Maimonides membenarkan tindakan itu. Namun menurut Dershowitz, kisah itu menimbulkan pertanyaan tentang Tuhan, mengingat yang terlibat adalah anak-anak nabi Yakub, orang pilihanNya: ”Hukum-hukumNya tumbuh dari pengalaman manusia dan Tuhan sendiri, bukan sekadar sebagai kata akhir.” Keadilan bukan sebagai barang jadi, melainkan sebagai proses belajar, proses belajar Tuhan bersama manusia?
Siapa pun yang merasa tahu semuanya dengan pasti, bagi Goenawan Mohamad meragukan. Termasuk mereka yang merasa tahu persis apa yang mau disampaikan Tuhan melalui KitabkitabNya. Tetapi apa pesan otentik sebuah Kitab Suci? Adalah Mohammed Arkoun yang mengangkat pertanyaan itu. Menurut Arkoun—dan mengikuti apa yang dipastikan oleh hermeneutik tak ada arti sebuah teks tanpa adanya tafsiran. Apabila sebuah teks lalu dikodifikasi, jadi dibakukan salah satu tafsirannya sehingga perbedaan tafsiran dihentikan, tafsiran yang ditetapkan sebagai monopoli pengartian menjadi instansi kontrol terhadap tafsiran-tafsiran lain. Tetapi dari mana ”kekuasaan dan otoritas” lembaga yang membuat kodifikasi itu datang? Bukankah Sabda Ilahi diselewengkan kalau ada manusia menyatakan bahwa hanya pahamnya sendiri yang benar? Kemapanan segala skripturalisme kandas di sini. Timbul pertanyaan: Dengan cara apakah manusia sebenarnya setia pada Sabda Tuhan, taat pada KitabNya?
Salah satu konsep yang nampaknya mapan adalah ”bangsa”. Tetapi apa makna sebuah bangsa? Apakah benar ”bangsa” dipahami sebagai ”sebuah kastil raksasa, dengan tembok yang tebal, menara pengintai, dan meriam-meriam yang siap?” ”Singkat kata, kini kita memerlukan sebuah angan yang lain tentang ”Indonesia”. Bukan sebuah geografi yang luas. Bukan sebuah benteng yang kedap. Tapi sebuah usaha sejarah yang belum selesai….” Angan yang bagaimana, usaha yang seperti apa? Bukan Goenawan Mohamad kalau ia memberikan jawabannya.
Di mana pun kita masuk ke dalam buku kumpulan catatan itu, tak pernah kita akan kering. Apa pun yang muncul tidak pernah rutin. Masalah rutin menjadi hal baru, dan hal baru menjadi masalah. Apakah buku ini dapat disebut sebuah kritik? Tentu, catatan-catatan itu sebuah kritik, semuanya kritis, tak ada sesuatu apa pun yang dibiarkan, diafirmasikan begitu saja. Tetapi unsur kritik bukan yang pertama. Seorang pengkritik sering sudah bertolak dari pandangan tertentu, lalu memberikan penilaian atas dasar pandangannya. Goenawan Mohamad tak pernah begitu saja memberi penilaian. Kritiknya berbentuk lain. Kritiknya terarah pada pandangan kita yang sudah mapan, yang menjadi tolok ukur kritik kita, baik pandangan yang ”kritis” maupun yang afirmatif. Ia memperlihatkan bahwa ada segi lain juga yang harus diperhatikan. Perspektif kita sendiri mengalami perubahan. Penilaian akhir selalu dibiarkan terbuka. Lawan sebenarnya Goenawan Mohamad adalah pemikiran mono-dimensional. Pemikiran itu yang memalsukan, yang membuat keras, picik, fanatik, tidak nyata, tertutup, dan negatif. Di situ wawasan Goenawan Mohamad masuk. Dengan pengetahuannya yang luas dari sejarah Timur, Barat, dan nasional, dan dari keakrabannya dengan sastra besar dunia dan pemikiran para filosof dan tokoh intelektual umat manusia, ia mempunyai latar belakang dan modal intelektual luas untuk membuka multidimensionalitas segala macam pengalaman manusia, baik manusia Indonesia maupun manusia umum. Tak pernah ia menguraikan ide-ide besar, prinsip-prinsip kesayangan para filosof. Obyek perhatiannya selalu sesuatu yang konkret, yang lebih mikro daripada makro. Tetapi dalam memutar-mutar obyek itu, dimensi universalnya justru terangkat. Dengan akibat bahwa kita, para pembaca, menjadi heran, berpikir-pikir, bermenung-menung, akhirnya merasa terkembang dalam wawasan.
Bagi mereka pun yang sudah membaca empat jilid Catatan Pinggir yang sebelumnya, jilid ini—yang memuat catatan-catatan pinggir dalam majalah Suara Independen, D&R, Tempo dan Tempo Interaktif dari tanggal 10 Desember 1994 sampai 23 Juli 2001—tetap akan memberikan inspirasi baru.
——————————————————————————-
* Tulisan ini adalah Pengantar buku Catatan Pimggir 5, Pustaka Utama Grafiti , 2001