Oleh Na’im Matur Rofiqoh*
Ia bukan selebritas. Lacakan sembarangan di majalah-majalah masa 1970-an sampai 1990-an tak bercerita banyak tentang dirinya. Ia luput dari sorotan pokok dan tokoh yang penting untuk dicuplik hidupnya dan dikabarkan pada pembaca.
BUKU Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (Grafiti Pers, 1981) yang menulis ‘profil nama-nama yang sering disebut dalam media massa,’ tak menampilkan namanya. Ia tetap dianggap tak penting meski di halaman pengantar, majalah Tempo yang menyusun buku ini menjelaskan, syarat pemasukan nama-nama di buku tak cuma soal dia terkenal secara nasional, tapi juga ‘meskipun tak sangat luas terkenal, sangat penting dalam lingkungan profesi dan kaumnya.’ Di buku Apa dan Siapa Orang Indonesia 1985-1986, pembaca juga tak menemu nama Gorys Keraf di antara ketebalan 1287 halaman. Mata malah bertemu Anton Moedardo Moeliono yang tak termaktub di buku Apa dan Siapa jilid sebelumnya. Tapi di kalangan pelajar dan mahasiswa pada masa 1970-an sampai 1980-an namanya sangat tenar. Buku-buku garapannya, terutama Tata Bahasa Indonesia dan Komposisi bak kitab suci yang bakal mengantarkan mereka pada ketangkasan berbahasa Indonesia.
J.J. Rizal, sejarahwan dan bos penerbit Komunitas Bambu, saat dolan ke Solo dan mewaktu sejenak bersama teman-teman di Bilik Literasi pun mengakui ketokohan Gorys Keraf pada masa lalu. Beberapa sastrawan kondang, katanya, mengaku berguru pada buku-buku Gorys Keraf demi kecakapan dan kegenitan berbahasa Indonesia. Gorys Keraf turut memberi andil. “Oh, iya, semua pasti menggunakan bukunya Pak Gorys Keraf buat belajar bahasa, terutama Komposisi itu,”kata J. J. Rizal, 4 Maret 2008, di Whatsapp saat saya memastikan ingatan tentang malam itu. Dia pun mengaku berguru bahasa pada buku-buku Gorys Keraf.
Sapardi Djoko Damono, melalui pesan Whatshapp, 3 Maret 2018, menyebut Gorys Keraf, yang sempat menjadi rekan mengajar di Universitas Indonesia, sebagai pekerja keras, pengajar yang baik dan rajin, pembimbing skripsi yang sabar, sosok yang ‘selalu tampak sibuk.’ Dia pun mengakui Gorys Keraf itu tokoh bahasa yang penting masa 1970-an sampai 1980-an, “sebagai penulis buku laris.” Selain J.S. Badudu, menurut Sapardi, Gorys Keraf-lah yang serius menulis buku-buku untuk bahan ajar. Obrolan yang terjadi antara Sapardi dan Gorys lebih sering bertaut pada perkara penulisan buku ajar dan buku karangan Gorys “yang waktu itu banyak dipakai mahasiswa.”
Nun di Lampung, sekitar tahun 1999-2002, Rahma Purwahida mengenal Gorys Keraf melalui ibunya yang saat itu kuliah lanjut di Lampung sambil mengajar. Melalui pesan Whatshapp, 1 Maret 2018, Rahma berkisah buku Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia dan Komposisi, yang menjadi bacaan ibunya sebagai persiapan mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Rahma yang memiliki rasa penasaran tidak berjeda pun bersua kata dengan Gorys Keraf. Saat dia kuliah di Universitas Negeri Yogyakarat (UNY) tahun 2005, buku-buku Gorys Keraf pun menjadi bacaan mahasiswa meski ‘lebih tenar buku-buku Suparno dan buku-buku Abdul Chaer.’ Nyatanya, sampai sekarang, Rahma yang menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Jakarta masih menganggap buku Komposisi penting.
Di Jawa Tengah, Tri Winarno, salah satu guru SMK Negeri 2 Klaten, kadang masih menggunakan buku-buku karangan Gorys Keraf untuk bahan ajar. Sekarang buku-buku Gorys Keraf tergeser karena bersaing dengan buku-buku pelajaran dari pemerintah. Saat kuliah di Universitas Muhamadiyah di Surakarta (UMS) tahun 2000, Tri pun diminta dosen untuk membaca buku Komposisi. Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Solo, sampai sekarang juga masih dianjurkan dosen untuk membaca buku yang kini menjadi klasik itu, pada semester awal perkulihan. Di toko-toko buku bekas seperti di belakang Sriwedari dan Gladag, Solo, buku asli dan banyak sekali bajakan Komposisi masih bisa ditemui.
Di daerah asalnya, Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur, Gorys Keraf pun dikenal sebagai tokoh yang turut memberi arti besar bagi bahasa Indonesia. Frater Erich Langobelen, calon imam projo keuskupan Larantuka, asal Lembata, membagi ingatan, di pesan suara Whatshapp, 5 Maret 2018, “Mungkin tidak semua orang juga tahu tentang kiprahnya di dunia itu. Orang hanya tahu bahwa Gorys Keraf itu punya sumbangsih besar di bahasa Indonesia. Hanya namanya saja yang orang tahu tapi pemikirannya tidak semua yang tahu. “Perkenalan Erich dengan Gorys Keraf bermula saat kelas dua SMP, 2007. Dia diminta guru bahasa Indonesianya, yang keponakan Gorys Keraf, membaca bukunya. Tapi, Erich benar-benar membaca buku Gorys Keraf, terutama Komposisi, saat dia meneruskan pendidikan di seminari ‘Sando Minggo’, Hokeng, tempat yang sama Gorys Keraf menghabiskan SMP-nya. Di seminari, menurut Erich, nama Gorys Keraf pun masih dikenal meski koleksi buku-bukunya di perpustakaan tidak begitu lengkap.
Cuilan-cuilan ingatan tentang Gorys Keraf memberi kepastian pada ketokohannya di tema bahasa. Biografinya, sejauh ini, tak tercatat di mana-mana kecuali di sampul belakang buku-buku yang ia tulis, atau pada akhiran buku di halaman berjudul ‘Tentang Penulis.’ Disana pembaca tahu secuplik kehidupan akademis putra Lembata itu, bersama sebuah potret yang menampilkan wajah dengan bahasa tak beda: tembam berkulit gelap dengan bibir lebar yang tipis. Kedua mata selalu mengenakan kaca mata gelap meski tubuh bisa memakai setelan jas atau kemeja berlengan pendek.
Lahir 17 November 1936 di Lamalera, Gregorius Prawin Keraf merampungkan SMP di seminari ‘San Dominggo’, Hokeng, 1954. Usai lulus dari SMA Suryadikara, Ende, 1958, ia merantau ke Jakarta dan memeroleh gelar sarjana jurusan Bahasa Indonesia Kejuruan Linguistik tahun 1964 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia juga mengajar di SMA Suryadikara di Ende, SMA Seminari ‘San Dominggo’, di Hokeng, juga beberapa SMA di Jakarta: SMA Buddhaya II (1962-1965), SMA St. Ursula, dan SMA St. Theresia (1964). Tahun 1964, ia bekerja sebagai registar di Unika Atma Jaya Jakarta dan dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pendidikan Unika Atma Jaya. Ia juga memberi kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta, dan dosen di Jakarta Academy of Languanges.
Rupa-rupa pengalaman mengajar dan barangkali ketiadaan buku pengajaran tata bahasa Indonesia yang memberi bobot pada pendidikan bahasa Indonesia itulah yang mungkin menggerakan Gorys Keraf menulis Tatabahasa Indonesia (1969). Pada 1970, buku yang ditulis untuk pelajar sekolah menengah tingkat atas itu diterbitkan oleh Nusa Indah, Ende, Flores. Pada 1984, Tatabahasa Indonesia telah mengalami cetak ulang yang kesepuluh.
Pembaca menyimak tuturan Gorys Keraf pada kata pengantar edisi perdana yang masih disertakan di cetakan tahun 1984: “Peningkatan taraf pendidikan tersebut tidak mungkin berjalan baik kalau pengetahuan dan penguasaan bahasa Indonesia belum cukup. Kekurangan ini akan di atasi bila taraf pengetahuan para pendidik juga ditingkatkan, serta buku=buku pegangan yang kurang sesuai mengalami penyempurnaan (……). Karena insyaf akan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan buku-buku Tatabahasa Indonesia hingga saat ini, maka kami mencoba menyusun Tatabahasa ini dengan mempergunakan prinsip-prinsip Ilmu Bahasa Modern, memakai penafsiran-penafsiran baru dan analisa-analisa yang lebih sesuai dengan taraf kemajuan Ilmu Bahasa sekarang. Tidak pada tempatnya bila kita tahu adanya kekurangan-kekurangan tersebut, tetapi tetap mempergunakan bahan-bahan yang sama. Karena itu perlu ada perombakan.” Sedikit cuplikan mencandrakan niat sungguh-sungguh Gorys Keraf demi kemajuan pendidikan bahasa di Indonesia. Tak ada pilihan lain agar tujuan itu mewujud kecuali ‘memaksa’ orang-orang mempertangkas cara pikir lewat persembahan buku-buku bermutu.
Bambang Kaswati Purwo, dosen Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, sempat menulis makalah berjudul “Menguak Alisjahbana dan Keraf: Pengajaran Bahasa Indonesia” di majalah kebudayaan BASIS, no 12 Desember 1987. Di makalah itu, Bambang melakukan penelusuran pada dua buku yang ‘pengaruhnya begitu dalam memasuki relung-relung pengajaran bahasa Indonesia’: dua jilid tata bahasa garapan Sutan Takdir Alisjhbana (1949) dan Tatabahasa Indonesia Gorys keraf. Penyelidikan pada struktur bahasa dan teori di kedua buku tata bahasa yang paling digdaya melawan waktu itu, sampai pada suatu simpulan yang penting. Buku Sutan Takdir Alisjahbana dan Goris Keraf telah ketinggalan zaman dan selayaknya diadakan buku tatabahasa yang lebih menyambut zaman bahasa, yang ‘sejalan dengan kemajuan pandangan manusia mengenai bahasa.’
Barangkali, negara serius mempertimbangkan ajuan Bambang. Lewat Balai Pustaka, negara menerbitkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia pada 1988. Buku lebih tebal dari garapan Gorys Keraf. Tim penyusun yang di ketuai oleh Anton M. Moeliono, waktu itu juga menjabat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tidak melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana dan Gorys Keraf, dua orang yang mendahului penulisan tata bahasa Indonesia. Lagi pula, ada bagian penting yang termuat di Tatabahasa Indonesia Gorys Keraf dan tak sehuruf pun terbahas di Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia versi negara: “Sejarah dan Kedudukan Bahasa Indonesia.” Orang-orang mungkin sempat meragu, apakah negara menginginkan orang Indonesia bertutur dalam bahasa yang tak mereka ketahui asal-usulnya.
Usai Tatabahasa Indonesia, tahun 1971, Gorys Keraf menerbitkan buku kedua, Komposisi dengan keterangan kecil, Sebuah Pengantar Kepada Kemahiran Bahasa. Penerbit buku masih sama, Nusa Indah. Secuplik cerita penulisan buku itu ada di kata pengantar. Mulanya, Komposisi ditulis demi bahan ajar sebuah mata kuliah yang belum pernah ada di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mata kuliah itu berjudul Kemahiran Bahasa Indonesia. Kuliah kemahiran bahasa dirasa perlu sebab tercandra dari tulisan-tulisan ilmiah mereka, mahasiswa belum memiliki kecakapan bahasa memadai demi kelayakan sebagai sarjana. Desakan kemahiran berbahasa Indonesai di perguruan tinggi juga disebabkan kegagalan pendidikan di sekolah lanjutan untuk ‘menamatkan pelajar-pelajar dengan bekal kemampuan bahasa yang membanggakan.’ Komposisi berhasil disusun setelah bertahun-tahun pengalaman Gorys Keraf memberi kuliah di kelas.
Komposisi, kata Gorys Keraf, “Dimaksudkan terutama untuk meletakkan dasar-dasar karang-mengarang bagi mahsiswa atau siapa saja, yang ingin menggarap karangan secara baik dan teratur” (Diksi dan Gaya Bahasa, 2004). Di pengantar edisi kedua, 1973, pembaca menemu buku Komposisi segera tak bersisa dilahap penikmat bahasa. “Dalam waktu singkat, cetakan pertama dari buku Komposisi ini sudah habis terjual, “tulis Gorys Keraf. Permintaan-permintaan segera cetak ulang berdatangan. Pada 1978, Komposisi sudah dicetak lima kali.
Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan sempat menjadi mahasiswa Gorys Keraf pada 1973 sampai 1974 memberi kesaksian lewat surel, 4 Maret 2018. Melani mengingat sosok Gorys Keraf yang tinggi besar, senantiasa berjalan mondar-mandir di hadapan kelas, dan mampu menjangkau seluruh kelas, sekitar 50 mahasiswa lebih, dengan suaranya. Menurut Melani, Gorys mengajar dengan sangat sistematis, jelas, dan komunikatif. Ia sering membikin contoh-contoh lucu untuk ‘menunjukan penalaran yang keliru’ dan menggagalkan mahasiswa tidur di kelas.
Dari sejumlah dosen Universitas Indonesia waktu itu, bagi, Melani, Gorys Keraf termasuk yang ‘menggunakan bahasa Indonesia dengan sempurna.’ Ia tak sekedar menjiwai tapi juga meraga di bahasa Indonesia. Melani Budianta memberi narasi panjang tentang laku bahasa Gorys Keraf.
“Bahasa Indonesia yang mengalir dari mereka-secara lisan maupun tertulis-adalah bahasa intelektual yang mengolah pikiran secara logis, runtun dan utuh. Dengan demikian, Gorys keraf bukan sosok dosen yang mengajarkan teori belaka. Ia sendiri, dengan tutur bahasanya, adalah contoh yang terbaik dari apa yang diajarkannya. Kuliah komposisi yang diberikannya kepada mahasiswa semester awal, adalah kuliah yang menata bukan saja kaidah berbahasa, tetapi terutama penalaran ilmiah. Kuliah ini merupakan landasn yang penting bagi calon sarjana. Saya sangat beruntung mendapatkan ilmu dari Gorys Keraf. Latihan untuk membuat karangan (out line), menyusun argument yang absah dalam satu paragraf yang padu, adalah langkah pertama untuk setiap calon sarjana. Gorys Keraf-dengan kuliah yang mencerahkan dan penjelasannya yang terstruktur dan rinci, yang dituangkan dalam buku Komposisi, buku teks klasik itu-telah memberikan bekal tak ternilai bagi calon intelektual.”
Gorys Keraf menambah kerja menulis tiga buku lanjutan, Ekposisi dan Deskripsi (1981), Argumentasi dan Narasi (1982), dan Diksi dan Gaya Bahasa (1984), diterbitkan oleh Gramedia Pustaka, Jakarta. Peralihan ke penerbit mayor mencandrakan anggapan kemonceran Gorys Keraf pada perkara kebahasaan. Di pengantar Diksi dan Gaya Bahasa (cetakan ke-14, 2004), bertanggal 13 Juli 1980, Gorys Keraf memberi penjelasan, “Bersama Diksi dan Gaya Bahasa, kedua buku yang disebut terakhir (Eksposisi dan Deskripsi dan Argumentasi dan Narasi) merupakan trivium komposisi lanjutan, atau bersama-sama merupakan suatu seri retorika.” Gorys Keraf menginginkan pembaca tak sekedar tahu cara menulis karangan bagus. Ia ingin mereka lesap ke dalam lekuk liku batin bahasa Indonesia dan sanggup menulis karangan yang memukau.
Tempo, 1 Desember 1984, mengabarkan buku-buku yang akan membantu pembaca ‘pandai menyampaikan pemikiran, mempengaruhi sikap dan perasaan orang lain melalui pidato atau tulisan.’ Iklan menganjurkan pembaca agar memakai ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar.’ Diantara buku-buku di daftar, pembaca bertemu tiga buku karangan Gorys keraf: Argumentasi dan Narasi, Diksi dan Gaya Bahasa, dan Linguistik Bandingan Historis. Penerbit memberi godaan panjang agar buku-buku itu meyakinkan. Iklan pun memberi penjelasan singkat mengapa buku-buk wajib termiliki.
Tempo, 6 Juli 1985, memuat iklan buku sastra terbaru Gramedia, Anak Tanah Air garapan Ajip Rosidi. Iklan tak cuma menginginkan pembaca memiliki buku Ajip. Godaan lanjut ikaln: “Lengkapilah buku ini dengan terbitan kami yang lain di bidang kesusastraan Indonesia.” Iklan menampilkan daftar 25 buku bahasa dan sastra yang mesti dimiliki pembaca. Enam sampul buku pun tersaji di hadapan mata (calon) pembaca. Di antara sampul buku itu, ada Diksi dan Gaya Bahasa yang ditulis Gorys Keraf. Dari 25 uku di daftar, ada dua buku Gorys Keraf, termasuk Linguistik Bandingan Historis (1984) bersama buku Santun Bahasa garapan Anton Moeliono, dan Inilah Bahasa Indonesia yang Benar garapan J.S. Badudu. Seperti godaan iklan, orang-orang tahu buku-buku garapan Gorys Keraf penting untuk bekal untuk kecakapan berbahasa Indonesia dalam perkara karang-mengarang dan berbincang.
Menahbiskan raga dan jiwa demi mengajar di Universitas Indonesia, 30 Agustu 1997, Gorys Keraf berpamit dari jagad bahasa Indonesia. Ia memberi warisan kata di buku-buku Linguistik Bandingan Historis (1984), Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia (1995), Cakap Berbahasa Indonesia (1996). Tapi siapa saja yang rindu, pergi ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tak bakal membayar lunas. Perpustakaan Negara itu punya tiga buku Gorys Keraf saja: Komposisi, Diksi dan Gaya Bahasa, dan Kamus Terampil Berbahasa. Negara dimaklumkan selalu abai dan melupa, tapi kita memuliakan diri sedikit mengingat masa lalu bahasa Indonesia di sosok G o r y s K e r a f.
***
*Na’imatur Rofiqoh, Redaktur Sebaran Bahasa Katebelece
*Sumber Tulisan: Majalah BASIS, Nomor 03-04, Tahun Ke-67, 2018.