Oleh Benjamin Tukan
Sebagian orang masih berpendapat demikian : Covid 19 atau virus korona masih rumor dan korban pun masih belum banyak; media hanya menebar kepanikan; pemerintah dinilai berlebihan.
Masih dalam pandangan semacam ini, orang pun mengatakan: buktinya kami masih aman-aman saja; korona terjadi hanya di kota besar dan tidak mungkin sampai di kampung yang jauh dari keramaian. Di kampung nun jauh dari kota, orang masih bisa mengenal satu dengan yang lain, mengetahu riwayat mereka dan siapa saja yang datang dan pergi dalam beberapa waktu belakangan ini.
Negara Italia barangkali contoh negara dan masyarakat yang menganggap enteng dengan penyebaran virus ini. Awalnya masyarakat di negara itu menanggapi korona dengan biasa-biasa saja, enteng-enteng saja. Tapi apa yang terjadi, Italia menjadi Negara dengan jumlah kematian tertinggi. Hingga Jumat (20/3) malam sudah 3.405 orang yang meninggal. (Kompas, 21/3/2020).
Berbeda dengan Italia, Presiden Jokowi selalu menunjukkan keseriusan dalam menanggapi penyebaran corona ini. Beberapa waktu lalu, Senin (16/3/2020) Presiden kembali menegaskan untuk mengurangi mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain, menjaga jarak dan mengurangi kerumunan orang yang membawa risiko lebih besar pada penyebaran Covid-19. Kebjiakan Jokowi diikuti seluruh pemerintahan daerah.
Bagaimana dengan perayaan Semana Santa (Pekan Suci jelang Paskah) di Larantuka? Wajar bila orang bertanya demikian lantaran perayaan ini sudah menjadi tradisi berabad silam dan mengundang perhatian orang datang ke Larantuka setiap tahun.
Perayaan Semana Santa pun yang dijalankan masyarakat selalu dibingkai dalam upaya melindungi diri dari segala penyakit dan marah bahaya. Lanjutan pertanyaannya, akankah semana santa dilanjutkan, ditunda atau dibuat sederhana dalam situasi semacam ini?
***
Semana santa berhubungan dengan patung-patung yang dianggap keramat berhubungan pula dengan prosesi Jumat Agung yang selalu diikuti ribuan umat.
Bukan berlebihan orang meyakini bahwa semana santa adalah ritus yang dilakukan umat untuk mendekatkan diri pada sang khalik dalam menyampaikan permohonan agar terbebas dari segala marah bahaya dan penderitaan yang selalu mendera.
Saat orang Portugis meninggalkan Malaka dan Makasar, ketika jatuhnya benteng Portugis di Malaka, sekelompok umat katolik panik dan tak tahu mau kemana. Dalam kepanikan itu, hanya satu-satunya yang membuat mereka memiliki harapan adalah kembali ke patung-patung yang dibawa dari negeri asalnya dan melalui sarana itu mereka berdoa.
Ketika mereka harus pergi meninggalkan Malaka dan Makasar, sebagaimana mereka pernah mengarungi lautan dari negeri asalnya Portugis, di lautan lepas serba tidak pasti mereka hanya memiliki kepastian bahwa melalui patung-patung yang dibawanya itu mereka akan tiba ke suatu tempat yang lebih baik.
Saat tiba di Larantuka, pengalaman itu kembali diceritakan termasuk kepada penduduk lokal. Ceritra itu kemudian dipercaya dan mulai diwariskan. Di jaman Belanda, Jepang dengan segala pertikaian dan kepanikan, mereka hanya tahu bahwa mereka memiliki patung-patung dan melalui sarana itu mereka bisa kembali berlindung dan meminta belas kasih dari yang kudus.
Begitu banyak soal, dari bencana alam yang memporakporandakan negeri, kasus-kasus kelaparan hingga konflik dalam keluarga, kesusahan yang dialami anak di perantauan, sakit yang tak sembuh, semuanya selalu membawa mereka datang ke kapel-kapel tempat patung-patung itu diletakan termasuk mengikuti prosesi-prosesi yang sudah menjadi tradisi.
Sekarang ada Korona. Korona itu menakutkan dan membawa kegelisahan dan rasa panik dunia. Namun, di Larantuka, belum terdengar sirene ambulans yang membawa jenazah yang mati akibat korona. Lonceng gereja tanda ada umat yang meninggal memang selalu saja berbunyi, tapi belum ada yang mengatakan “yang meninggal”itu karena korona.
Sulit menyakini bahaya korona kalau sirene ambulans dan lonceng gereja belum berbunyi. Tapi satu yang pasti dan tak bisa bisa dihindarkan adalah ajakan untuk berjaga-jaga. Berjaga-jagalah,karena korona sudah dekat.
Dalam serba tanda tanya dan keraguan ajakan untuk menjaga diri agar tetap sehat bisa dapat diterima, tetapi ajakan untuk tidak berkumpul kembali pada sang kudus merupakan suatu yang masih perlu direnungkan. Jika melarang mereka berjumpa dengan yang kudus, bukankah ketika sirene ambulans pembawa pasien covid 19 berbunyi, yang disalahkan adalah mereka yang melarang untuk berkunjung secara bersama-sama kepada patung-patung yang menjadi sarana menuju kekudusan itu?
***
Corona terus menyebar. Salah satu upaya membatasi virus korona ini adalah menghindari diri dari acara kumpul-kumpul. Kebijakan di sejumlah negara menutup wilayahnya bahkan membatasi dan mengawasi arus perpindahan orang. Tapi ini pun belum menjelaskan secara baik hubungan manusia dengan Tuhan dalam perayaan keagamaan. “Di pintu Mu, aku mengetuk, aku tak mungkin berpaling,” demikian Charil Anwar dalam puisinya.
Tanpa harus menjelaskan aspek teologis, Vatikan dan negara Arab Saudi, pusat –pusat keagamaan dunia menjadi contoh yang baik untuk memudahkan orang menerima penjelasan soal-soal ini. Arab Saudi menutup perbatasan, hingga memenjarakan mereka yang nekat berkumpul sekalipun dengan alasan shalat jemaah di masjid.
Vatikan pun melakukan pembatasan dan dalam hubungan Ibadah “Pekan Suci” dan Paskah yang dipimpin oleh Paus Fransiskus dilakukan tanpa kehadiran jemaat demi mencegah penyebaran jenis baru virus corona.
Di Jakarta dan beberapa tempat lain di Indonesia, shalat jemaah di masjid mulai dibatasi, demikian di beberapa gereja sudah membatasi umat untuk datang ke gereja mengadakan misa mingguan.
***
Kembali ke Semana Santa. Perayaan yang tinggal beberapa minggu ini selalu dikuatirkan tetap berjalan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Surat Bupati Flores Timur yang dikeluarkan 17 Maret 2020 tidak menyebutkan secara jelas apakah perayaan semana santa ditunda atau tidak. Bupati tegas menyampaikan prosedur pembatasan penyebaran korona, namun terkait Semana Santa, Bupati hanya menyebutkan : membatasi orang yang datang ke semana santa.
Surat itu kalau dibaca bisa juga berhubungan dengan semana santa, bisa juga tidak. Bupati sepertinya tidak mengurusi detail semana santa karena dari perayaan semana santa sebelumnya, pemerintah memang dibatasi untuk mengurusi Semana Santa. Raja Larantuka, Gereja lokal adalah pihak-pihak yang secara langsung terlibat mengatur semana santa.
Di hari dan tanggal yang sama Selasa, 17 Maret 2020 dengan surat edaran Bupati Flores Timur, Raja Larantuka Don Tinus melalui media EkoraNTT mengatakan semana santa tetap dilakukan. Kutipan pernyataan : “Berkaitan dengan Semana Santa, kami suku pemilik Semana Santa dan pihak Gereja mau supaya Devosi Semana Santa ini tetap dilakukan. Tanpa umat peziarah dari luar daerah pun tetap, kami lakukan sebab dari dulu tradisi ini tetap kami laksanakan,” jelas Don Tinus.
Beberapa hari kemudian, diselenggarakan rapat di paroki katedral. Beberapa info hasil dari rapat itu segera menyebar. Rapat mempertegas Surat Edaran Bupati dan penyelenggaraan semana santa hanya untuk umat paroki katedral Larantuka. Ini artinya perayaan semana santa dibuat sederhana dan melarang semua keluarga menerima tamu siapa saja yang datang dri luar larantuka. Sementara untuk ritus cium Tuan Ma dan Tuan Ana akan dibagi per lingkungan dan akan diatur jarak 1 meter per orang dan tidak masuk kapela tapi hanya menunduk dan menghormati di depan pintu
***
Jelas semana santa tidak ditunda, tapi penyelenggaran disesuaikan dengan kondisi, terutama dalam upaya membatasi penyebaran virus corona. Penundaan itu tidak mungkin. Semana santa tidak bisa digeser ke bulan lain juga ke tahun depan,karena bulan lain dan tahun depan punya agenda perayaannya sendiri. Perayaan semana santa tahun depan adalah agenda tahun depan, bukan agenda tahun ini yang dilaksanakan tahun depan.
Pilihannya hanya ditiadakan atau dilakukan sesederhana mungkin. Sampai di sini, tidak ada yang mesti diperdebatkan apalagi bersikukuh untuk tetap menyelenggarakan semana santa seperti dalam kondisi normal, atau meminta untuk tidak mengubah dengan alasan sudah mentradisi.
Perubahan penyelenggaraan semana santa merupakan hal yang biasa-biasa saja. Bahkan meniadakan semana santa untuk tahun ini juga hal yang biasa saja asal dengan pertimbangan yang bisa diterima dan diputuskan oleh otoritas seperti Gereja dan kerajaan. Jangankan dalam babakan sejarah semana santa telah mengalami perubahan yang radikal, setiap tahun saja selalu terjadi perubahan. Siapa pun tahu tentang semana santa tahu bahwa ritus ini terus berkembang menyesuaikan dengan perubahan zaman. Umat tahu mana yang utama dan mana yang sekedar tambahan.
Hal yang tidak berubah adalah umat tetap kembali kepada yang kudus melalui patung-patung dan perayaaan keagamaan dalam keadaan apapun apalagi dalam saat mengalami kekalutan hidup. “Tiap hari tetap berdoa, dalam tori dalam kapela,” demikian hidup yang dilalui umat katolik setempat.
Masyarakat Larantuka, umat keuskupan Larantuka yang meliputi Flores Timur daratan, Adonara, Solor dan Lembata bukanlah masyarakat tertutup, yang menutup telinga dari perkembangan di sekitarnya. Apalagi dunia kini sudah menuju pada masyarakat baru yang mengubah secara radikal watak individu ekonomi (ingat diri) manusia menjadi mahkluk sosial yang berbagi (ingat orang lain).
Dari masyarakat berbagi semacam ini, orang mulai sadar penderitaan yang terjadi di belahan wilayah lain adalah juga menjadi penderitaan orang-orang di wilayah sini. Begitupun manusia semakin dihargai,karena itu tidak penting berapa banyak jumlah kematian, tapi kematian itu sendiri adalah suatu permasalahan bersama. Inilah sebabnya mengapa orang perlu menjaga dirinya untuk tidak mengorbankan orang lain.
Di tengah korona yang membatasi pertemuan dan keramaian, semana santa dan kehidupan iman umat diajak untuk kembali ke asali. Seperti yang terjadi dengan berbagai persoalan yang sering melilit masyarakat, orang kembali pada yang kudus , meletakan kembali patung-patung itu di rumah masing-masing, datang sendiri ke kapel dan tetap berdoa termasuk dalam masa semana santa.
Inilah solidaritas yang dibutuhkan dari umat lokal untuk tetap berdoa tapi mematuhi arahan yang telah diberikan untuk tetap membatasi penyebaran corona dan menyadari akan ancaman korona. Tak perlu beramai-ramai kalau sekedar pertunjukan . Hanya kembali pada patung di rumah, kontas di tangan, orang Larantuka dapat tetap meyakini “torang mati di kaki Tuhan” atau “sampai mati tetap bersama Tuhan”.