Oleh Dr. Cicilia Damayanti, Konsultan Pendidikan
Pendahuluan
Sejak menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, para pendiri bangsa Indonesia menyadari pentingnya pendidikan bagi kemajuan hidup masyarakatnya. Dalam pembukaan UUD termaktub kalimat “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, makna kalimat ini jelas bahwa Indonesia ingin menjadi bangsa yang merdeka dan mampu berdikari, dan hal itu dilakukan dengan cara menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Menjelang usia 77 tahun kemerdekaannya, di mana akses pendidikan kian terbuka, sangat disayangkan bahwa hasil dari tujuan pendidikan nasional belum tampak baik. Terutama saat melihat bagaimana mutu pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata sukses.
Sarana Dan Prasana Pendidikan yang Kurang Merata.
Pendidikan yang bermutu membutuhkan sarana dan prasana yang memadai agar proses kegiatan belajar mengajar (KMB) dapat berjalan dengan baik. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kendala dalam memberikan layanan pendidikan di daerah 3T (terpencil, terluar, tertinggal). Menurut data dari Kompas.id, banyak siswa SMA di daerah 3T yang tidak lancer membaca dan berhitung. Tajuk ini hendak menunjukkan lemahnya kontrol pemerintah terhadap para bawahannya yang mendapat tugas mengajar di daerah 3T. Kita semua tahu guru berperan penting dalam memajukan pendidikan di sekolah. Namun ironisnya para guru yang bertugas di daerah 3T, yang kebanyakan merupakan aparatur sipil negara (ASN), sering lalai dalam menjalankan tanggung jawab mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka dilansir sering meninggalkan tugas, lebih memilih tinggal di kota, dan hanya sesekali menengok anak didiknya. Bahkan ada beberapa guru yang tidak pernah bertugas sejak penempatan oleh pihak dinas.
Peran pemerintah yang kendor ini menyebabkan anak-anak didik di daerah 3T tidak mendapatkan kesempatan untuk terdidik dengan baik. Bagaimana guru bisa tahu perkembangan para anak didiknya bila tidak pernah mengetahui situasi dan kondisi yang dihadapi oleh mereka. Hal ini yang menjadikan pendidikan dasar mereka tidak pernah terpenuhi, sehingga tidak mengherankan meskipun sudah menempuh jenjang menengah kemampuan membaca dan menghitung mereka masih kurang lancar. Kemudian akan muncul pertanyaan, mengapa bisa naik kelas bila tidak mampu mengikuti pelajaran? Absennya para guru ini membuat mereka takut bila berhadapan dengan para orang tua murid. Alih-alih memperbaiki pendidikan dengan membantu anak-anak mereka mengulang pelajaran, para guru yang notabene tidak pernah hadir ini memilih untuk meluluskan anak-anak untuk menghindari komplain para orang tua murid. Klaim tentang kekurangan guru ini masih menjadi kendala di daerah 3T selain minimnya infrastruktur umum, fasilitas sekolah, dan rendahnya kesadaran akan pendidikan. Banyak para guru dari luar daerah yang ditugaskan di daerah 3T mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitar yang penuh tantangan, seperti medan wilayah yang cukup berat dan masih banyaknya binatang buas di sana.
Bagaimana dengan kondisi di daerah selain 3T? Melalui laporan BBC, diketahui banyak bangunan sekolah yang kurang memadai dan itu berada di daerah Gunung Sindur, Bogor. Kemendikbudristek mengakui ada penambahan 26% atau 250 ribu unit ruang kelas yang rusak di sekolah negeri di seluruh Indonesia dari 2019 ke 2020. Pada tahun 2018/2019 total ruang kelas yang rusak di sekolah negeri mencapai 969.817 kelas, dan bertambah menjadi 1.222.064 di tahun 2019/2020. Hal ini dialami SD Negeri Jampang 02 di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, yang berada 20 km dari pusat kota. Akses menuju ke sekolah harus melalui jalan semen yang menurun tajam. Langit-langit kelas dengan kayu-kayu yang mulai menggelantung, dan dikhawatirkna dapat menimpa anak-anak yang sedang belajar. Ruang kelas tanpa plafon, dengan kayu-kayu penyangga genting yang sudah mulai keropos karena rayap atau terkikis air saat hujan. Ruang kelas yang tidak layak menjadi pilihan satu-satunya bagi mereka belajar, apalagi mereka masih kekurangan kelas. Selain ruang kelas, ruang perpustakaan juga mengalami masalah dengan rayap, dan dikhawatirkan juga dapat merusak buku-buku yang ada. Maka bisa dibayangkan bagaimana kondisi toilet di sana, yang jauh dari kesan bersih dan layak pakai. Syarat administrasi yang rumit menjadi kendala dalam upaya untuk memperbaiki sekolah. Pihak sekolah mengakui sudah berkali-kali mengajukan proposal ke pemerintah untuk perbaikan bangunan, tetapi birokrasi yang rumit menyebabkan perbaikan terkendala oleh waktu.
Peristiwa ini menambah daftar panjang tentang abainya negara dalam memperhatikan pendidikan. Prioritas rehabilitasi sering tidak merata, sekolah yang dekat pemerintahan akan cenderung lebih diperhatikan dibandingkan yang berada di pelosok. Di samping itu tidak adanya peta jalan perbaikan sekolah menjadi kendala tersendiri dalam melakukan renovasi secara parsial. Masalah yang terbesar adalah korupsi anggaran dalam upaya perbaikan sekolah. Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menemukan dalam lima tahun terakhir spesifikasi bangunan sekolah di sebagian wilayah Bogor tidak sesuai dengan perjajian kontrak. Kopel Indonesia dalam penyelidikannya menemukan pengurangan tinggi 20cm dari tinggi bangunan, ada beberapa retak yang belum diperbaiki, dan ada bangunan sekolah yang baru dua tahun direnovasi sudah roboh.
Kualitas Guru
Pendidikan di Indonesia, menurut survey dari Politic and Economic Risk Consultant (PERC) berada di posisi ke-12 dari 12 negara di Asia. Rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari hasil Programme for International Student Assessment (PISA), yang merupakan tes membaca, matematika, dan sains. Tahun 2018 Indonesia berada di peringkat 10 terendah dari 78 negara dengan angka 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk sains. Dikutip dari kastara.id, salah satu indikator penilaian kualitas pendidikan adalah kualitas para guru. Hasil dari Uji Kompetensi Guru (UKG) dari tahun 2012 – 2015, sekitar 81% guru di Indonesia tidak dapat mencapai nilai minimum. UKG merupakan salah satu evaluasi untuk mengukur kompetensi guru dengan penilaiannya melalui penguasaan kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kemampuan guru dalam menyiapkan strategi belajar untuk siswa dan mengelola kelas, pemahaman atas mata pelajaran yang diampu, serta kemampuan guru dalam mengevaluasi pembelajaran.
Kurang maksimalnya manajemen sumber daya manusia (SDM) dalam perekrutan guru disinyalir sebagai penyebab rendahnya kualitas guru. Dalam studi kualitatif yang dilakukan Reseach on Improving Systems of Education (RISE), ditunjukkan bahwa fokus perekrutan guru adalah untuk memenuhi kebutuhan menjadi ASN, bukan berdasarkan profesionalitas guru. Lebih dari 50% guru di Indonesia adalah ASN dan 90% tumpuan belajar berada di pundak mereka, di mana kualitas mereka tidak dapat menjamin pendidikan akan dapat berjalan dengan baik. Manajemen SDM yang kurang baik dalam perekrutan ASN sebagai tenaga pendidik menyebabkan sulitnya membedakan mana guru yang benar-benar ingin mendidik atau sekedar ingin memperoleh jabatan sebagai ASN. Penyaringan guru untuk menghasilkan guru yang benar-benar professional mengajar tidak berjalan dengan baik, sebab perekrutan ASN tidak memperhatikan kemampuan guru dalam mendidik.
Upaya Pemerintah untuk Mengatasi Masalah Pendidikan
Dalam upaya untuk memperbaiki fasilitas bangunan yang rusak, dikutip dari BBC.com, tahun 2021 pemerintah sudah menyediakan dana alokasi khusus (DAK) fisik untuk 31.695 satuan pendidikan sebesar Rp. 17.7 triliun. Anggaran tersebut masing-masing diberikan kepada PAUD Rp. 398.3 miliar, SD Rp. 7 Triliun, SMP Rp. 657,8 miliar, SKB Rp 110.1 miliar, SMA Rp. 2,43 triliun, SLB Rp. 125.3 miliar, dan SMK Rp. 3 triliun. Nadiem Makarin sebagai Menteri pendidikan juga menyodorkan strategi baru untuk menyelesaikan masalah bangunan sekolah yang rusak tersebut. Pertama, renovasi akan dilakukan secara tuntas di satu sekolah, tidak seperti sebelumya yang hanya memberi jatah perbaikan per kelas yang rusak per sekolah, pemugaran sekolah akan dibuat lebih menyeluruh. Kedua, rehabilitasi sekolah tidak lagi diurus oleh kepala sekolah tetapi dengan menggunakan jasa kontraktor. Ketiga, Kemendikbud-ristek akan melibatkan dinas pekerjaan umum pemerintah daerah untuk melakukan “assessment kerusakan, dan meningkatkan validitas di atas sarana dan prasarana sekolah. Nadiem mengklaim akan ada tim professional yang melakukan penilaian, peninjauan, dan monitoring pekerjaan yang dilaksanakan.
Untuk mengatasi permasalahan kualitas guru yang rendah, melalui laman kemendikbud.go.id pemerintah mengajukan program organisasi penggerak. Tujuan dari program ini adalah pemberdayaan masyarakat secara massif melalui dukungan pemerintah untuk peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Pada tahun 2020-2022 program ini akan meningkatkan kompetensi 50 ribu guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di 5 ribu PAUD, SD, dan SMP, juga akan menyasar satuan pendidikan khusus/luar biasa. Ada hal lain yang dapat pemerintah lakukan untuk mengatasi hal ini, seperti dikutip dari kastara.id, hal pertama yakni khusus ASN sebagai guru sebaiknya dipisahkan dari perekrutan pada umumnya, sebab perekrutan tersebut seringkali hanya sebagai formalitas. Perlu dilakukan tes menjadi pengajar sebelum direkrut sebagai ASN agar guru yang diterima adalah seorang professional dan terbaik. Seleksi perekrutan guru untuk menjamin kualitasnya sudah dilakukan di beberapa negara seperti Irlandia dan Australia. Kedua, standar kompetensi guru yang ditetapkan pemerintah sebaiknya berfokus pada kualitas pembelajaran peserta didik. Pemerintah hendaknya berperan aktif untuk mengubah standar dan tidak ada permainan politik dalam prosesnya. Ketiga, profesi sebagai guru diberikan tanggung jawab terhadap kinerja profesinya. UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebutkan bahwa guru dan dosen diharapkan memiliki kompetensi dan latar pendidikan yang professional sesuai bidangnya, untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Perbaikan dalam manajemen SDM sangat berpengaruh untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.
Kondisi Perguruan Tinggi
Pendidikan perguruan tinggi di Indonesia saat ini juga mengalami penurunan kualitas, terutama dalam hal soft skill yang dimiliki mahasiswa terkait rendahnya minat membaca. Jumlah perguruan tinggi swasta (PTS) tidak diimbangi dengan kualitasnya, dikutip dari Republika.co.id, Indonesia tercatat memiliki 4.500 PTS yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan 57% terakreditasi C. Sedangkan di China, dengan penduduk yang mencapai 1.3 miliar hanya memiliki PTS sekitar 2.500. Data ini hendak menunjukkan bahwa Indonesia kelebihan PTS. Terutama dengan banyaknya PTS dengan standar kualitas yang rendah dan merupakan instasi kecil. Melalui data ini diharapkan pemerintah melakukan peleburan atau merger pada PTS yang sulit berkembang. Di samping itu pemerintah dapat memberdayakan PTS agar mandiri, sehingga akan lebih baik berjumlah sedikit tetapi memiliki kualitas yang baik, agar pendanaan lebih efektif.
Masalah lain dalam perguruan tinggi berkaitan dengan dosen dan mutu lulusan universitas. Apa yang yang membedakan guru dengan dosen? Dalam UU No. 14 tahun 2005, pemerintah memisahkan pengertian dan fungsi antara guru dan dosen. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dosen adalah pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, yang sering disebut Tri Dharma. Melalui perbedaan fungsi ini, dosen memiliki beban sedikit lebih tinggi dibandingkan guru karena berperan penting untuk menciptakan calon masyarakat.
Beban kerja dosen (BKD), seperti dijelaskan laman kemendikbud.go.id, merupakan gambaran beban SKS dosen melaksanakan Tri Dharma pendidikan dalam satu semester ke depan. BKD ini perlu dilaporkan secara periodik untuk mengetahui gambaran kerja nyata dosen melaksanakan Tri Dharma pendidikan dalam hitungan SKS satu semester terakhir yang sudah dijalani. Tugas dosen terkait Tri Dharma (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat) sekarang mengalami peningkatan, yakni beban kerja mengurus administratif yang menguras tenaga. Birokrasi administrasi itu antara lain mengisi borang, fomulir administrasi, setiap ada perubahan kebijakan pemerintah berarti setiap dosen harus merevisi dan mengisi kembali formulir administrasinya. Program pemerintah terkait perguruan tinggi seperti Sipeg, Simlibtamas, Arjuna, Sinta, Sister, dan sekarang mendapat tambabahan mySAP.bkn.go.id. Beban kerja administrasi yang mengganda ini sangat menghambat kegiatan akademik, apalagi setiap ada kebijakan baru dari pemerintah berarti akan ada administrasi baru yang harus diisi kembali (voi.id)
Pengumpulan BKD bagi para dosen lebih ditujukan untuk mendapatkan insentif pemerintah, sehingga bila tidak mengumpulkan BKD insentif tidak akan cair. Letak permasalahan yang muncul adalah terkait penulisan jurnal baik nasional maupun internasional. Selain penelitian, dosen diharapkan membuat tulisan yang harus dipublikasikan di jurnal ilmiah. Di sini masalah muncul. Dengan rendahnya minat membaca di Indonesia, bagaimana seorang dosen dapat membuat tulisan yang berkualitas sehingga dapat menerbitkan artikelnya di jurnal nomor satu. Belum lagi kendala bahasa, jurnal internasional menuntut penggunaan bahasa asing yang dipahami secara global, yakni bahasa Inggris. Sementara para dosen di Indonesia kurang memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik, khususnya dalam menulis dengan menggunakan pola pikir para native. Jurnal yang terbit di Indonesia sangat sedikit memiliki pembaca, sehingga membuat para dosen terkesan abai dalam menulis artikel. Selama syarat terpenuhi dan insentif cair, urusan menulis hanya salin tempel tidak akan menjadi masalah, toh tidak akan ada juga yang membaca apalagi mengutip.
Ditambah lagi dengan permasalahan dosen tidak tetap atau kerap disebut dosen luar biasa. Idealnya dosen tidak tetap berasal dari profesional agar dapat memberikan masukan kepada para mahasiswa terkait pekerjaan yang harus mereka hadapi saat lulus kelak. Ironisnya, proses perekrutan dosen luar biasa ini tidak berbeda jauh dengan perekrutan guru ASN di sekolah. Banyak dosen luar biasa yang memilih menjadi dosen agar memiliki status bekerja di masyarakat dan memiliki penghasilan. Di samping itu proses perekrutannya lebih banyak dikarenakan unsur pertemanan dengan pejabat struktural kampus tersebut, sehingga banyak kualitas dosen luar biasa yang dipertanyakan, karena mereka cenderung mengajar teori yang bisa dilakukan dosen tetap dibandingkan membagi pengalaman sebagai tenaga profesional.
Berkaitan dengan mahasiswa, dengan BKD yang kian menuntut dosen, hal ini membuat mereka kesulitan meluangkan waktu untuk membimbing mahasiswa, khususnya yang sudah tingkat akhir. Di era 1970an, manajemen perguruan tinggi di Indonesia masih sederhana tetapi cukup mumpuni. Mahasiswa dapat menghubungi dosen untuk berdiskusi maupun bimbingan, hubungan yang terjalin cukup dekat dan tidak kaku. Dosen cenderung menginspirasi mahasiswa dalam proses bimbingan tugas akhir. Saat ini dengan kemajuan teknologi yang pesat ternyata tidak dapat membuat urusan administrasi menjadi lebih sederhana. Layanan akademik saat ini cenderung kaku, rumit dalam hal birokrasi, dan terkesan feodal karena dosen semakin sulit untuk ditemui.
Penutup
Dunia pendidikan Indonesia memerlukan arah yang tepat untuk menaikkan kualitasnya. Kualitas pendidikan di Indonesia masih berada dalam tahap peningkatan riset, sehingga diharapkan dapat mewujudkan universitas berbasis riset. Kendala yang sering ditemui adalah kemampuan para pendidik, dalam hal ini dosen, untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan riset. Saat seorang dosen mencapai puncak pendidikan tertinggi, mereka terkesan stuck dan sudah merasa menyelesaikan semua tugasnya, sehingga mereka akan lebih terfokus pada mengajar. Bahkan dalam mengajar mereka cenderung memakai teori lama yang didapat dari mata kuliah yang diambil saat melanjutkan sekolah. Sesungguhnya penelitian yang diharapkan dikerjakan oleh para dosen dapat membantu mereka dalam meningkatkan kualitas diri dan selalu up to date dengan perkembangan zaman. Membaca juga dapat membantu mereka untuk merevisi teori-teori lama sehingga perkembangan pendidikan dapat diwujudkan. Sebagai pendidik, baik para guru maupun dosen, memiliki tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Implikasi dari tugas ini adalah tanggung jawab untuk selalu memperbaharui diri agar kualitas pendidikan Indonesia dapat meningkat.
*****************************************************************