Oleh Dr. Budi Kleden SVD
I
Laut, tasik, adalah simbolisme yang kuat tentang kehidupan dan penjelajahan manusia. Di kuping anak-anak yang lahir dan besar di pinggir pantai, deburan ombak adalah panggilan untuk menuju ke dunia yang luas dan dalam. Ada godaan untuk bertualang terngiang dari dalam hempasan ombak yang menyentuh bibir pantai. Laut adalah lambang kebebasan yang mengundang fantasi melanglang buana dan menggugah daya nalar untuk menukik ke kedalaman. Bukan seperti daratan, bagi masyarakat tradisional laut tidak mengenal batas. Sebelum lembaga negara menetapkan berbagai aturan, orang tidak takut melanggar batas dan tidak dituduh merampas wilayah orang ketika melintasi perairan. Maka, tidak ada sampan yang mesti dibakar karena berlabuh di ruang kekuasaan orang lain.
Hempasan gelombang itu dapat pula menjadi pemantik trauma setelah laut dalam keganasannya merampas dari lingkungan terdekat orang-orang terkasih dan membenamnya entah di mana. Dalam situasi seperti ini, suara ombak adalah nyanyian duka yang bagai takdir hendak dijauhi namun tak sanggup disingkirkan. Bagi anak-anak pesisir yang di rantau, laut adalah suara ibu yang memanggil pulang. Suara itu terkadang begitu memelas, maka ada niat sulit dibendung untuk kembali ke kampung, “kendati nae bero ee”, biar cuma dengan menumpang sampan, seperti yang dinyanyikan anak-anak di Larantuka, pesisir pantai Flores Timur.
Laut pun dialami sebagai guru pembentuk watak yang tak kenal kompromi. Dia membuat orang menjadi pemberani dan tak takut mengambil risiko. Laut tidak pernah menjamin kepastian seratus persen. Maka, melaut selalu berarti masuk ke dalam arus risiko. Yang dipertaruhkan adalah nyawa sendiri. Jika di darat kematian sering masih meninggalkan jenazah sebagai sisa kehidupan, kematian di laut sering berarti kehilangan jenazah. Laut tak hanya merenggut nyawa, dia pun menelan tubuh manusia. Sebab itu, para pelaut adalah manusia-manusia yang tidak hanya kekar tubuhnya, tetapi juga keras wataknya. Karena mengarungi laut adalah sebuah petualangan penuh risiko, maka pulang dari seberang laut membawa kegembiraan istimewa bagi mereka yang mengalaminya. Lebih dari istri petani menanti suaminya kembali dari ladang adalah harapan istri dan anak-anak akan kepulangan suami dan ayah mereka dari laut. Dermaga-dermaga adalah saksi bagi hati yang gundah dan mata yang berlinang ketika harus pamit dari kekasih yang berangkat menumpang kapal, atau luapan kegembiraan ketika dimungkinkan untuk bertemu kembali. Tidak seradikal pesawat terbang atau pun mobil yang membawa kekasih hilang terlampau cepat dari pandangan, kapal dan perahu, entah bermotor atau pun tidak, bermain dengan waktu, membuat orang berlama-lama mengalami perpisahan atau mempersiapkan orang bertemu lagi. Laut punya kesabaran untuk perasaan-perasaaan seperti itu.
Tidak hanya itu. Laut mengajarkan orang untuk pandai membaca tanda alam. Arah angin yang dirasa di kulit atau yang terlihat pada gerakan layar diamati dengan saksama. Awan yang mulai mendung memberi isyarat agar segera mencari perlindungan dari hujan atau bahkan dari badai yang ganas. Bintang-bintang di langit merupakan ramalan cuaca bagi para nelayan. Mereka membacanya dengan sangat cermat, sehingga dapat memastikan ikan jenis mana ada di tempat mana dari gejala-gejala alam yang diamati.
II
Bagi orang-orang pesisir, laut adalah lahan kehidupan. Dia telah membesarkan berbagai jenis ikan dan kerang. Rahimnya menyimpan sejuta kekayaan. Namun, untuk mendapatkannya orang mesti mengambil risiko mempertaruhkan nyawanya. Laut itu dermawan dan memikat, tetapi dia juga tidak mudah diajak berkompromi dan menakutkan. Dia menyimpan segudang kekayaan serentak mengandung selaksa bahaya. Orang sering dikecewakannya, tetapi orang toh tidak bisa melepaskan diri darinya. Laut adalah sebuah misteri. Dia adalah yang fascinosum dan tremendum, yang menarik serentak menggetarkan. Seperti yang dikatakan Rudolf Otto kedua sifat itu ada dalam gambaran tentang Yang Ilahi di dalam agama-agama. Tuhan itu sesuatu yang memikat, menarik dan mengesankan demikan kuat, sehingga Chairil Anwar bersajak: “Di pintumu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling.” Namun, Tuhan juga adalah yang menggetarkan sukma, sehingga orang-orang Israel meminta Musa agar tidak dibiarkan berbicara langsung dengan Tuhan: “Engkau sajalah yang berbicara dengan kami, jangan biarkan Tuhan berbicara (langsung) dengan kami, atau kami akan mati” (Kel 20: 19).
Laut dengan daya tariknya serentak menakutkan, yang mencerminkan sifat Tuhan, itulah yang dialami orang-orang Lamalera, sebuah kampung para pelayan tegar dari pantai selatan pulau Lembata, NTT. Bagi mereka, laut, seperti Tuhan, adalah pemberi kehidupan yang dermawan, tetapi yang juga tak mudah diajak berkompromi.
Adalah menarik jika dibuat perbandingan antara religiositas dunia pertanian dengan keagamaan yang tumbuh di lingkungan para pelaut. Secara amat umum mungkin dapat dikatakan, berbeda dari religiositas yang terbentuk dalam masyarakat agraris yang ditandai oleh korban berdarah atau penyerahan diri seperti yang dikisahkan dalam mitos sang dewi padi, Dewi Sri dalam tradisi Jawa atau Tonu Wujo di kalangan masyarakat Lamaholot di Flores Timur, religiositas para pelaut adalah religiositas penyelamatan. Kisah nabi Nuh yang ditampung di dalam perut ikan besar atau cerita Io Kobu, hiu raksasa dari wilayah pesisir pantai Lamaholot, mengarahkan konsep religius tentang Tuhan yang datang sebagai penyelamat pada saat yang sulit. Karena kesuburan merupakan sesuatu yang amat penting dalam lingkungan agraris, religiositas para petani amat sering mengenal perkawinan antara langit dan bumi. Hujan adalah pembuahan ibu bumi oleh lelaki langit. Sebaliknya, pengalaman para pelaut mengingatkan akan kerahasiaan dasar laut, yang hanya akan dinikmati apabila orang membiarkan diri dibawa pergi oleh sang dewi laut, Puteri Duyun. Kesuburan perkawinan akan melahirkan anak dengan struktur hirarkis yang dikuasai oleh senioritas dan dominasi gender, sementara penikmatan kekayaan laut adalah soal kebersamaan. Seperti dikatakan di atas, di darat orang menetapkan batas tanah yang jelas. Batas tanah adalah batas kekuasaan, dan sering berarti batas wilayah agama tertentu. Di darat Tuhan memang gampang dikapling-kapling. Sebaliknya, laut tidak mengenal batas. Dan di atas laut yang tanpa batas itu, saling menolong adalah keharusan. Para pelaut Lamalera tahu, perahu-perahu saling merapat jika yang satu tengah mengintai seeokor paus. Solidaritas adalah bagian utuh dari keagamaan para nelayan.
Dalam masyarakat pelaut tradisional, pengalaman akan misteri laut bukan cuma pengalaman individual yang didalami dan dirayakan dalam kesendirian. Ia adalah perayaan kolektif karena menyangkut hakikat hidup seluruh warga. Bagi orang-orang Lamalera, melaut adalah sebuah pekerjaan yang syarat bermuatan religius seperti kehidupan itu sendiri. Melaut merupakan sebuah ritual. Dan ritus adalah sarana pertemuan, bukan hanya pertemuan antara yang ilahi dan yang insani, tetapi ritus juga mempererat kesatuan di antara yang insani. Ritus selalu merupakan perayaan kesatuan. Sebab itu, Yesus, sang guru dari Nazaret berujar, “Oleh sebab itu, kalau salah seorang di antara kalian sedang mempersembahkan pemberiannya kepada Allah, lalu teringat bahwa ada orang yang sakit hati terhadapnya” (Mat 5:23). Ritual akan terungkap sebagai sebuah kobohongan apabila dalam kehidupan sehari-hari warga terbelah dalam konflik karena alasan uang atau gengsi. Dan bagi para nelayan tradisional yang memahat dalam ingatannya betapa pentingnya kesatuan di atas perahu, kesatuan di dalam kampung dalam keseharian pun merupakan unsur hakiki bagi keberhasilan pekerjaan mereka.
Bagai laut yang mempertemukan pulau-pulau dan mengikat semua dalam satu ikatan, demikian Tuhan pun dilihat dan disembah sebagai yang mempersatukan semua hati dan segala suku. Terbelah dalam perseteruan adalah tindakan melawan hakikat Tuhan, dan jika suasana kampung dan hati para pelaut masih diliputi keretakan, melaut hanya akan menjadi sebuah perjalanan penuh bahaya tanpa hasil. Tuhan yang dijumpai dan disembah para pelaut adalah pemilik laut yang satu, yang mengingatkan bahwa hanya dalam solidaritas orang dapat mengatasi keganasan laut.
III
Para pelaut berlayar dari laut menuju Tuhan. Bagi mereka, laut adalah jembatan, jalan dan simbolisme yang teramat kuat tentang kehadiran dan efektitas dari yang ilahi. Laut berciri sakramental, tanda dan sarana yang mengingatkan dan menghadirkan Tuhan. Dan Tuhan para pelaut, sifat-sifat dan keutamaan-Nya, pastilah berbeda dari cita rasa keagamaan para pengolah tanah. Sebab itu, studi tentang religiositas laut, sebagaimana diupayakan oleh Anton Lelaona di dalam bukunya, adalah sesuatu yang amat bermakna. Bukan hanya ekonomi bangsa ini mesti dibangun di atas dasar potensi kekayaan laut. Cita rasa dan praktik keagamaannya pun perlu berpaling ke laut. Bangsa ini mesti kembali mengarah ke laut, dan dari laut menuju Tuhan.
Namun, ini baru sebagian dari cerita. Tidak cukup orang berlayar dari laut menuju Tuhan. Menggapai Tuhan melalui pergumulan dengan laut memang perlu, tetapi ini barulah setengah dari perjalanan. Seperti para pelaut, yang pergi untuk pulang, perjalanan menuju Tuhan pun mesti mempunyai titik balik. Kita mesti berjalan kembali pulang dari Tuhan menuju laut. Dan hal ini menjadi semakin mendesak dewasa ini, ketika dengan lantang dan penuh percaya diri bangsa kita memproklamirkan diri sebagai bangsa pelaut dan hendak menggunakan kekayaan laut untuk mengenyangkan isi perut, mencerdaskan kepala dan membentuk watak anak bangsa. Mengapa?
“Dari Tuhan menuju laut” adalah usaha untuk melihat dan memperlakukan laut sebagaimana Tuhan melihat dan memperlakukan laut. Laut bukan Tuhan, dia terbedakan dari Tuhan, maka laut tidak boleh disembah seperti Tuhan. Tuhan tidak boleh disamakan dengan apapun, tidak juga dengan laut. Laut adalah tanda yang membawa kita kepada Tuhan, tetapi mesti tetap terbedakan dari Tuhan. Namun, laut serentak adalah ciptaan Tuhan yang membawa dalam dirinya jejak penciptanya. Sebab itu, laut harus dirawat dalam rasa hormat dan penuh tanggungjawab, sebagaimana Tuhan menghormati dan merawat ciptaan-Nya dengan penuh kasih dan tanggungjawab. Kembali dari Tuhan menuju laut berarti melindungi laut dari eksploitasi tanpa batas hanya demi memuaskan nafsu dan ketamakan manusia.
Tugas ini menjadi semakin penting dewasa ini ketika kekayaan kemaritiman diandalkan sebagai pilar utama ekonomi bangsa. Orang-orang yang sudah belajar mengenal Tuhan dari pergumulan dengan dan di laut, yang telah berlayar dari laut menuju Tuhan, sejatinya menjadi pejuang pembela laut, agar kerakusan yang mendominasi eksploitasi kekayaan hutan dan tanah di darat, tidak dibawa ke dasar laut. Kita tidak meng-konsekrasi laut, mengilahikannya dan menjadikannya tak tersentuh. Yang mesti dilakukan adalah meng-konservasi laut, merawat dan menjaganya sebagai ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bukan cuma bagi satu generasi. Dengan ini tidak dikatakan bahwa hanya orang yang punya dan mengenal Tuhan, sanggup dan terlibat dalam usaha konservasi laut. Yang ditekankan adalah, bahwa orang yang sudah berlajar dari laut menuju Tuhan, tidak dapat tidak melibatkan diri di hadapan langkah masif pencemaran laut.
Dari laut menuju Tuhan dapat dimengerti sebagai sebuah tugas spiritual, sebuah perjalanan mistis serentak telaah teologis untuk mengendus gambaran tentang Tuhan dalam tradisi para peluat. Dari Tuhan menuju laut adalah sebuah keterlibatan sosial dan politis untuk berpartisipasi menjaga dan merawat laut dari penghancuran akibat keserakahan manusia yang tak terbendung. Keduanya sama-sama penting. Mistik dan politik, kedalaman rohani dan solidaritas sosial, mestinya menjadi dua sisi berimbang dari keimanan seseorang. Kendati memberi judul buku ini, Dari Laut Menuju Tuhan, penulisnya sebenarnya berbicara, kendati secara implisit, juga tentang ziarah Dari Tuhan Menuju Laut.
***************************************************
Sumber: Budi Kleden, Menuju Titik Balik – Esai-esai tentang Teologi dan Sastra, Lamalera 2022.