LAMALERA sebuah kampung kecil di selatan Lembata sudah lama menghidupi spirit bahwa laut adalah sumber kehidupan, serentak mereka juga mengalami bahwa laut adalah ‘seorang ibu’ (ina lefa). Tanggal 1 Mei setiap tahun dipandang oleh orang-orang Lamalera sebagai Tahun Baru, dimana mereka memasuki kalenderium mereka melaut, yang mana kelenderium ini bersamaan pula dengan kalenderium liturgi gereja Katolik, bulan Mei sebagai bulan Maria. Pembukaan musim melaut ini ditandai dengan upacara perayaan ekaristi di pantai Lamalera. Perayaan Ekaristi 1 Mei ini dinamai Misa Lefa.
Misa Lefa bagi lefa alep adalah kepasrahan, penyerahan diri, kegiatan melaut mereka kepada Yang Kudus dan sekaligus permohonan kepada Tuhan agar Ia berkenan memberikan berkat-Nya agar laut memberikan hasil yang berlimpah. Para lefa alep juga meyakini bahwa laut dengan murah hati memberikan seluruh ikan, baik ikan yang kecil-kecil sampai ke ikan Paus (kotoklema) sebagai kiriman dari leluhur dan Tuhan (knato). Ikan Paus (kotoklema) menjadi sangat penting bagi lefa alep karena hasil tangkapan ikan Paus diperuntukan untuk seluruh kampung, seluruh pulau. Cara pandang ini yang menumbuhkan pada mereka spirit untuk terus berharap (mengaji pole). Mengaji (berdoa) dan pole (berharap) sungguh menjadi nafas mereka.
Pada diri lefa alep selalu terpancar h a r a p a n besar bahwa laut akan memberikan kelimpahan bagi mereka. Bagi lefa alep laut adalah rahim yang menyimpan sejuta kekayaan. Laut di mata lefa alep juga dipandang sebagai sebuah ruang perjumpaan dengan Tuhan. Kesulitan di laut adalah ujian iman dan panggilan untuk bertobat dan melakukan rekonsialisasi.
Dalam kosmologi masyarakat Lamalera, leluhur juga menduduki peran penting. Leluhur dalam pandangan masyarakat Lamalera adalah orang tua serta nenek moyang yang telah meninggal secara fisik tetapi roh atau jiwanya tetap hidup. Para leluhur ini diyakini akan menjaga dan melindungi laut. Dari leluhur, orang Lamalera belajar tentang keberanian, kejujuran, kemurahan hati, bela rasa, serta kasih sayang.
Santo Agustinus menggambarkan manusia sebagai peziarah di dunia (homo viator). Selama masih di dunia manusia sedang melintasi jalan sambil mengarahkan pandangan kepada tujuan akhir. Dalam karyanya, De Civitate Dei St. Agustinus menggambarkan bahwa dambaan manusia yang paling dalam ialah damai yang paling utuh dan pasti (pax plenissima atque certissima). Maka, dalam peziarahannya di dunia, hendaknya manusia tak mencari ikatan pada hasrat alami dan badani, tetapi mengarahkan diri kepada kepenuhan adikodrati: ia melakukan aktivitas di dunia sekarang (actio), dengan mata batin yang terarah kepada masa depan (contemplatio).
Bagi Agustinus, damai akhirat itu bukan alasan bagi manusia untuk lari dari dunia. Manusia tetap aktif di dunia dalam kesadaran bahwa ia memang berada di dunia, tetapi bukan dari dunia. Kerinduan manusia akan kesatuan dengan Allah tercetus dalam kata-kata Agustinus dalam buku Confessions: “Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu, dan jiwa kami belum berdiam sebelum ia beristirahat dalam Engkau”. Para lefa alep tentu menghidupi dalam diri mereka perkataan St. Agustinus ini “melakukan aktivitas di dunia sekarang (actio), dengan mata batin yang terus mengarah ke masa depan (contemplatio). (Paskalis Liko Bataona)