Oleh Paul Budi Kleden
SEBAGAIĀ seorang misionaris dan ilmuwan pelintas batas, John M. Prior berhadapan dengan pengalaman keberagaman dalam aneka aspek dan merefleksikannya secara sungguh-sungguh. Pertanyaan yang muncul setiap kali realitas pluralitas tampil secara tajam adalah: Apakah masih ada sesuatu yang dipandang dan dipromosikan sebagai nilai atau gagasan Bersama yang mengikat semua yang berbeda itu? Kalau ada, apakah itu? Dan kalau nilai atau gagasan itu dapat disebutkan, bagaimana cara paling efektif untuk merumuskannya dan mempromosikannya? Pertanyaan ini memiliki bobot kemendesakan yang tinggi dalam agama-agama Ā monoteistis dengan semangat, paham dan praktik misi universal.
Realitas pluralitas tentu bukanlah sebuah kenyataan yang baru dialami sekarang. Dalam tulisannya āIntegrasi, Isolasi atau Deviasi. Membaca Galatia 3:27-28 di Indonesia Dewasa Iniā (1), John menunjukkan bahwa sudah pada abad pertama Gereja Kristen mesti menghadapi kenyataan ini dan harus menanggapinya. Tafsir sosial āPara Pemburu Egaliterā membaca dalam Galatia 3:27-28 sebuah upaya Paulus untuk mempromosikan wawasan inklusif menentang politik imperium romanum yang memecah belah.
Kenyataan pluralitas ini pun menjadi tema inti aliran filsafat yang disebutkan dengan sebuah nama yang kontroversial, āposmodernismeā. Jean Baudrillard, salah satu tokoh penting dalam pola pikir postmodern, mendefiniskan masyarakat postmodern sebagai masyarakat konsumptif, yang dibedakan dari masyarakat modern sebagai masyarakat produktif (2). Kalau di dalam modernitas produksi dan faktor-faktornya menjadi unsur pembeda dan karena itu warga masyarakat dibagi dalam kelas buruh dan pemilik modal, maka dalam kondisi postmodern warga dibedakan oleh apa yang di konsumsinya.
Orang mendefinisihkan diri dengan barang konsumsi dan mendapat harga dirinya dari barang tersebut.Ā Orang dari kampung merasa tidak kalah dengan orang kota yang menggunakan HP bermerek yang sama. Seorang umat agama tertentu merasa lebih dekat dengan penggemar seri film yang disukainya yang beragama lain malah tidak beragama daripada rekan seagama yang selalu beribadat dengannya. Yang paling menentukan perbedaan adalah jenis dan merek barang yang dikonsumsi.
Perbedaan objek konsumsi meleburkan warga dalam satu bricolage. Masyarakat konsumptif terhipnotis oleh iklan dan karena itu mengalami pengaburan distingsi antara kenyataan dan stimulasi. Batasan-batasan tradisional menjadi renggang karena dominasi pola konsumsi yang secara cerdas memanfaatkan media telekomunikasi.
Namun, menyebt kondisi postmodernisme hanya sebagai situasi peleburan keberagaman sebenarnya mengandung kelemahan. Karena, cara pandang seperti ini mengabaikan kebutuhan artikulasi perbedaan sampai pada kenyataan penajaman konflik yang sedang kita alami sekarang. Reaksi atas penajaman konflik muncul dalam berbagai bentuk. Di dalam arus peleburan itu serentak terjadi penajaman kepekaan akan perbedaan.
Pertama adalah penolakan atas perbedaan dengan usaha untuk menyeragamkan segalanya. Perbedaan dilihat sebagai ancaman yang tidak boleh ada karena merongrong jati diri suatu kelompok yang memiliki kesadaran kultural atau religius sebagai kelompok dominan. Maka, terjadilah aksi-aksi teror melawan kelompok agama lain dan penindasan terhadap kebudayaan-kebudayaan lain.
Kedua, penolakan semua sistem penjelasan yang universal atau metanarasi. Karena semua berbeda dan memiliki hak yang sama untuk eksis, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat diterima sebagai pemberi dasar bagi suatu kebenaran universal yang mesti dianuti semua. Kehidupan di dalam masyarakat yang diikat oleh jejaring komunikasi serentak merupakan kehidupan yang terfragmentasi. Jean-Francois Lyotard mendefinisikan kondisi post modern sebagai kondisi hilangnya kepercayaan pada kisah-kisah besar (3).
Realitas itu tampaknya sudah pula menjadi masalah di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pembicaraan etika politik sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berpolitik menjadi sulit. Walapun pada tataran teoritis orang masih memperjuangkannya dan keniscayaannya masih cukup mudah diamini, namun praksis perpolitikan menunjukkan gejala fragmentarisasi yang kian mencemaskan. Orang memanfaatkan peluang yang tersedia untuk apa yang menurutnya sendiri diperbolehkan.
Persoalan ini mendesak untuk direfleksikan dalam konteks seperti Indonesia, sebab bangsa ini pun tidak dapat dibendung dari arus besar budaya konsumptif. Kebudayaan didangkalkan dan warga dibodohi oleh reklame-reklame ekonomi dan politik. Kalau dalam pemasaran barang dan jasa orang berbicara mengenai ekonomi maya, maka dalam politik Indonesia dibicarakan tentang politik pencitraan. Kebenaran politik hendak ditutup-tutupi dengan tampilan yang memukau mengundang pesona atau ucapan sentimentalistis yang hendak memaksakan simpati.
Di dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan: Apakah sebuah masyarakat sungguh dapat berfungsi tanpa adanya sesuatu yang diterima sebagai kebenaran umum? Dan apakah pernyataan penolakan terhadap metanarasi sebenarnya hanya menjadi tameng untuk menutupi berbagai arus besar penyeragaman yang tengah terjadi? (4). Intervensi dari Lembaga-lembaga yang memiliki komitmen kepada kemanusiaan dan lingkungan dibendung dengan dalih kedaulatan masyarakat local yang sebenarnya sedang menjadi mangsa kekuatan-kekuatan global yang merepresi. Apa yang terjadi apabila kita membiarkan konsumsi menjadi hal paling utama yang mendefinisikan kita?
Artikel ini hendak mendiskusikan pandangan J.B. Metz tentang kepekaan terhadap penderitaan sebagai hal yang mempersatuakan umat manusia. Menurut Metz, juga di dalam kondisi post modern kita tidak dapat mengelakkan diri dari penerimaan sebuah otoritas yang bersifat universal dan mengikat. Dia berbicara mengenai otoritas para penderita. Memberikan otoritas kepada para penderita mewajibkan setiap orang untuk berbelarasa dengan para penderita. Karena mengfokuskan diri pada gagasan teologi Metz, artikel ini hanya mendiskusikan postmodernisme sejauh relevan dengan tema tulisan .
1.Pandangan Metz tentang Post-Modernisme
John Baptist Metz secara eksplisit membuat pernyataan-pernyataan negatif tentang postmodernisme. Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir sejumlah muridnya melakukan studi yang menunjukkan kedekatan Metz dengan gagasan inti postmodernisme (5). Pernyataan eksplisit dari Metz yang cendrung negatif dapat dipahami sebagai ungkapan yang lahir dari suatu konsep yang popular tentang postmodernisme, tanpa melalui sebuah pendalaman yang serius. Uraian berikut pun dapat menunjukkan bahwa sebenarnya apa yang dikatakan dan diperjuangkan Metz tidak bertentangan denganĀ konsep-konsep dasar postmodernisme.
Pluralitas sebagai Satu Raelitas Sosial dan Gerejani
Ā Berbeda dari Yohanes Paulus II yang dalam ensikliknya Fides et Ratio menolak postmodernisme yang disejajarkan dengan relativisme, dan Benediktus XVI yang dalam pidato progmatisnya menjelang konklav menstigmatisasi postmodernisme sebagai diktator relativisme (6), Metz mempunyai pengamatan yang lebih variative. Metz melihat postmodernisme dari kaca mata modernisme dan dengan demikian menempatkan diri dalam jajaran para pemikir yang menilai postmodernisme sebagai kritik atas modernisme (7).
Modernisme mengusung gagasan tentang kebebasan dan otonomi. Persoalannya, kebebasan dan otonomi ini hanya dibatasi pada mereka yang sanggup memperjuangkannya. Karena itu, kebebasan dan otonomi tidak terutama dilihat sebagai kenyataan terberi pada setiap orang, melainkan prestasi yang diperoleh kelompok orang yang sanggup merebut dan mempertahankannya. Dengan demikian kebebasan dan otonomi terkait erat dengan kategori kekayaan dan kekuasaan. Kebebasan dan otonomi termanifestasi di dalam kekayaan yang ditumpuk dan kekuasaan yang diraih.
Karena kebebasan dan otonpmi mendasarkan diri dan mempertahankan eksistensinya dalam kekuasaan, maka kebebasan dan otonomi pun menjadi pendorong untuk menindas orang lain dan menaklukan alam. Hal ini menjadi alasan mengapa kondisi modern ditandai oleh kolonialisme dan eksploitasi alam secara besar-besaran.
Sebagai reaksi atas modernitas yang bertendensi kolonialisasi ini, banyak bangsa baik dengan kekerasan maupun perundingan yang cerdas membebaskan diri dari penjajah. Bersamaan dengan kemerdekaan ini terjadi kebangkitan kesadaran bangsa-bangsa untuk menggali kebijaksanaan hidup dari tradisi mereka sendiri. Kendati pada tahap awal hal ini masih mendapat perlawanan dari sejumlah kekuatan dari dalam dan terlebih penolakan dari luar karena pandanganbangsa standardisasi pengetahuan yang dominatif eurosentris, namun sejarah perlahan kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan menjadi sumber inspirasi bagi bangsa mereka sendiri dan juga banyak orang di Eropa yang sedang mengalami kelesuan. Pengalaman akan dialektika pencerahan telah mengantar bangsa-bangsa Eropa kepada pandangan akan kebuntuan pola pikir dan gaya hidup mereka serta kemendesakan pencarian akan alternatif.
Bersamaan dengan apresiasi yang kian luas terhadap kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan, seruan untuk mencari alternative atas pemecahan permasalahan dunia pun menjadi semakin keras. Semakin banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap ideologi pembangunan buatan Barat yang hegemonik dan eksploitatif. Konsepsi pemikiran Barat yang diteguhkan dalam dominasi ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama Kristen mendapat gugatan. Metafisika menghadapi krisis. Konsekuensinya, muncullah pertanyaan berkaitan dengan daya ikat dari kebenaran. Bagaimana kita mesti memikirkan dan mendefinisihkan kebenaran di dalam dunia yang menekankan dan mengalami pluralitas? Dunia dan pengalaman hidup yang plural menuntut definisi baru dari kebenaran. Dan postmodernisme dengan konsepnya tentang kebenaran yang menyebar di dalam narasi-narasi lokal menjawab permaalahan tersebut. Tidak ada lagi kebenaran tunggal dan tidak hanya ada satu perangkat kriteria penilaian tindakan yang mesti menjadi rujukan setiap orang di mana-mana. Entahkah seseorang disebut beradab dan berbudaya tidak dapat lagi dinilai hanya dengan menggunakan standard Barat.
Bagi Metz, gejala sosiologis dan epistemologis ini menemukan pula padanannya di dalam Gereja Katolik. Metz berbicara mengenai Gereja sejagat yang bersifat polisentris. Gereja kehilangan ciri homogenitasnya dan mesti menerima serta menghargai keberagaman budaya yang terdapat di dalamnya. Keberagaman budaya ini menjadi nyata dalam beberapa pusat kekatolikan. Gereja tidak lagi sentralisitis, tapi polisentristis. Gereja Eropa tidak dapat disamakan dengan Gereja Afrika atau Amerika Latin. Gereja Afrika akan mendapat warna khusus yang berasal dari kebudayaan bangsa-bangsa Afrika.
Dalam bayangan Metz, hanya Gereja yang sanggup melepaskan dirinya dari eurosentrisme dan memetakan diri secara polisntris, yang dalam pluralitas saling menginspirasi, sanggup menjadi satu kekuatan dalam dunia postmodern. Sebaliknya, sebuah Gereja yang tetap bersifat sentralistis dan monolistis, hanya akan menjadi sebuah peninggalan masa lampau dikagumi namun tidak sanggup menjadi sumber inspirasi bagi transformasi masyarakat. Sebuah Gereja yang polisentris serentak mesti mencegah segala bentuk kesewenang-wenangan atas nama kontekstualitas, sebab hal ini justru mengarah kepada relativisme. Di sini Gereja pun menghadapai pertanyaan dasar mengenai relasi antara pluralitas dan kebenaran yang merupakan sebuah pertanyaan filosofis.
Metz tidak terobsesi untuk merefleksikan pertanyaan ini secara teoritis-filosofis. Minatnya lebih terarah pada apa yang disebutnya sebagai diskursus praktis yang memiliki konsekuensi baik bagi teologi, maupun bagi filsafat dan politik. Pertanyaan utama yang dilontarkannya adalah: Apakah di dalam dunia plural ini ada satu otoritas tertentu yang bersifat laten dan diterima oleh semua, yang validitasnya bukan merupakan hasil sebuah diskursus? Atau: Bagaimana kita dapat berbicara mengenai harapan yang universal di dalam dunia yang plural ini?
- Allah dalam Postmodernitas: Tuhan dalam Krisis dan Konsekuensinya
Di dalam tulisannya yang berjudul āDiagnosen zur Zeitā (8) yang diterbitkan Bersama tulisan Jurgen Habermas dan Dorothe Solle serta beberapa pemikir lain dalam rangka peringatan perpisahannya dari Universitas Munster pada tahun 1993, Metz secara istimewa berbicara mengenai krisis Allah dalam dunia postmodern. Di sini, tampaknya Metz sudah meramalkan pentingnya memberikan ruang pada agama dalam diskursus publik dalam negara-negara demokratis, yang kemudian menjadi tema pembicaraan Habermas pasca peristiwa 11 September2001, pemboman menara kembar New York. (9)
Penghayatan relasi manusia dengan Allah tengah mengalami krisis. Bagi Metz, krisis ini terutama terletak dalam kesewenangan berbicara mengenai Allah dalam suatu iklim yang ditandai oleh kebangkitan agama-agama. Di satu pihak kita sedang mengalami suatu euforia penemuan kembali tema agama. Allah Kembali menjadi tema, tidak hanya sebagai bahan dalam diskusi ilmiah filosofis, tetapi juga sebagai suatu faktor dalam perubahan politis sebagaimana dipromosikan oleh para komunitarian dengan gagasan mereka tentang tentang civil-religion, atau sebagai sarana psikologis untuk menolong perkembangan kepribadian seseorang. Allah menjadi nama untuk memaksakan kesatuan orang yang hidup dalam suatu tatanan sosial, dan karena itu dia serentak menjadi pemicu konflik. Gerak persatuan di bawah komando Allah mana yamg disembah berarti aksi pemebersihan atau paling halus pembungkaman lingkungan sosial dari mereka yang berpandagan berbeda. Dan Tuhan mengalami konjuktor dia dalam parktek kelompok-kelompok evangelikal yang mempermosikan penyembuhan-penyembuhan religius.(10)
Berhadapan dengan fenomena ini kita patut bertanya: Entahkan fungsionalisasi Allah secara massif ini masih dapat dipertanggungjawabkan? Metz menegaskan, di dalam gejala-gejala ini, āAllah disebut dalam berbagai percakapan, namun orang tidak bermaksud sungguh-sungguh untuk membicarakannya.(11) Fungsionalisasi Allah baik demi kepentingan politik maupun psikologis sebenarnya sedang memenggal Allah. Sebab di dalam fenomena-fenomena ini orang hanya berkonsentrasi pada dimensi inkarnatoris dari Allah, pada identitas yang ilahi dan manusiawi, tetapi serentak denganĀ itu orang melepaskan dimensi eskatologis dari Allah. Padahal, Allah hanya tetap dihormati dan disungguh dipikirkan sebagai Allah, apabila orang tetap mengindahkan dimensi eskatologis ini, karena dimensi inilah yang menegaskan bahwa Allah memiliki kedaulatan yang tidak dapat di objektivasi oleh manusia.
Dalam psikologisasi terkandung bahaya pereduksian Allah menjadi salah satu faktor dari psike manusia, sementara dalam politisasi Allah mudah dijadikan sarana belaka bagi penataan kehidupan bersama. Dengan ini Allah sebenarnya dibungkam dan divonis untuk tidak mengungkapkan tuntutan-tuntutan yang membongkar kemapanan pribadi dan sosial. Allah didomestifikasi di dalam agama, dan agama seperti ini ātidak lebih dari sekedar nama untuk impian akan kebahagiaan tanpa penderitaan, obsesi mistis jiwa atau khayalan psikologis-estetis tentang ketakbernodaan manusia.ā(12)
Pengkerdilan Allah ini berakhir pada pengkerdilan manusia. Manusia tidak hanya meninggalkan posisinya sebagai pusat segala sesuatu, tetapi juga kehilangan daya juang. Kemerosotan militansi menjadi keluhan yang kian sering terdengar. Semakin banyak orang menarik diri ke dalam kemapanan individualnya. Dalam kondisi postmodern, tidak hanya terjadi privatisasi agama, tetapi privatisasi berbagai bidang kehidupan lain, khususnya politik. Para warga kehilangan militansi ideologis dan bersikap indiferen terhadap realitas politik.
Demokrasi diperjuangkan di negara-negara yang masih berada di bawah rezim otoritarian, namun menjadi satu realitas yang diterima begitu saja tanpa pathos di negara-negara yang telah memiliki atau sedang menata tradisi demokrasi. Kebebasan dan otonomi yang diperjuangkan di dalam modernitas, menjadi sesuatu yang sangat normal dalam kondisi postmodern dan karena itu tidak lagi menarik perhatian dan komitmen. Seperti dalam konteks Indonesia, demokrasi dipermainkan oleh para politisi untuk mendapat kuasa dan akses kepada kekayaan, sementara rakyat dibiarkan hidup dalam bayangan demokrasi semu. Kebebasan, otonomi dan demokrasi kehilangan kekuatan sebagai nilai yang hendak diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Manusia postmodern yang dilahirkan dalam alam kebebasan dan demokrasi mengalami diri bukan lagi sebagai orang yang terlempar ke dalam penjara dunia melainkan ke dalam kebebasan dan otonomi. Dalam kondisi seperti ini manusia berada pada posisi konsumptif yang menghadapi sekian banyak pilihan pemaknaan atas hidup dan harus sendiri menganyam makna hidup itu. Hidup manusia merupakan rancangannya sendiri yang dibangunnya dari berbagai sumber tanpa mesti memiliki hubungan dengannya.
Akibat dari keterlemparan pada diri sendiri adalah konsentrasi pada persoalan sendiri. Manusia kehilangan pandangan untuk persoalan-persoalan besar umat manusia. Pertanyaan mengenai tata dunia dan masa depan umat manusia serta dunia hanya menjadi persoalan para politisi dan sejumlah aktivis LSM. Warga dunia umumnya terkesan lebih mudah digerakan oleh nasib yang dihadapi manusia-manusia konkret. Wajah anak busung lapar atau korban gempa bumi dan tsunami lebih mudah membangkitkan belarasa dan menggalang aksi bantuan daripada pidato panjang dalam pertemuan-pertemuan dunia tentang pemanasan bumi atau populasi bumi atau buku tebal berisi pendasaran universal mengenai HAM. Kota, desa dan paroki lebih cenderung mencari kota, desa dan paroki partner mereka di benua lain dan membantu secara konkret di sana daripada melibatkan diri dalam inisiatif global penghapusan utang.
Warga bersikapĀ apatis terhadap gagasan-gagasan alternatif yang mengkritisi sistem politik dan ekonomi. Yang dicari dan dirasa lebih meyakinkan adalah langkah-langkah kecil dan konkret. Jawaban atas pertanyaan besar mengenai globalisasi dicari dalam insiatif-inisiatif pribadi. āSesamaā hanya muncul dalam relasi personal, bukan dalam realitas sosial. āSesama adalah yang ada di depan mata, bukan manusia dalam tatanan sosial, dan proyek-proyek bantuan, dalam masalah rasial, dalam pekerjaan, peran dan tuntutan-tuntutan sosialā, tulis Moltmann dalam bukunya Theologie Hoffnung.(13) Ketimpangan yang disebabkan sistem dan dilakukan secara sistematis dihadapi dengan aksi-aksi sporadis yang lahir dari simpati pribadi dan kelompok. Orang tidak lagi berbicara mengenai gagasan-gagasan urgen, tetapi mengenai sejumlah tokoh sebagai idol. Fakta terpinggirkan oleh kebutuhan untuk membicarakan hal-hal pribadi.
Pergeseran ke ruang personal ini terjadi juga di dalam agama. Gereja dan agama-agama lain pada umumnya semakin memahami dan mempresentasikan diri sebagai oase bagi manusia postmodern yang merindukan rasa nyaman dan mendambakan tanah air yang hilang. Agama-agama menawarkan pengalaman akan keutuhan dan pemenuhan di dalam dunia yang ditandai oleh ketidakutuhan dan penundaan pemenuhan. Mereka memberikan keseimbangan bagi pengalaman manusia yang mesti berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial, politis dan ekonomis yang keras, yang sering tidak memperhatikan individualitas menusia karena mereka berfungsi dengan prinsip-prinsip umum yang indeferen terhadap keunikan pribadi.(14)
Agama-agama melaksanakan fungsinya dengan baik dalam keseluruhan sistem sosial, ekonomi dan politik apabila mereka berhasil menjadi penjamin ketenangan dan rasa nyaman personal. Agama-agama mengalami kemandulan dalam mengkritisi sistem, tetapi dengan ini mereka sebenarnya menjadi elemen suportif yang dikehendaki dan melanggengkan sistem. Allah diperkenalkan sebagai Engkau yang intim yang memberikan kelegaan dan kebahagiaan. Konsekuensinya, agama-agama kehilangan kesanggupan untuk mengformulasikan secara tajam pengalaman non-identitas dan negativitas dalam berbagai bentuknya.
Dalam mesin sistem sosial-ekonomi dan politik yang anonim agama-agama menghambakan diri dengan mendiamkan potensi yang terkandung di dalam dirinya untuk membicarakan apa yang masih pincang dan tidak adil serentak menggalang harapan yang militan. Agama-agama terjebak dalam bahaya untuk sekadar menjadi āsemacam psikologi yang buta terhadap ketakterjangkuan yang lain dan kepada dunia serta kehilangan daya gugatan politisā.(15)
Dengan ini agama-agama memang menjadi sebuah kontras terhadap dunia, namun sebuah kontras yang tidak produktif dan kehilangan daya sengat. Mereka kehilangan kesanggupan memberikan kontribusi untuk mengubah sistem sosial dan ekonomi serta tatanan politik yang menjadi sumber ketidakadilan dan penderitaan. Yang diutamakan di dalam agama-agama seperti ini adalah penyembuhan luka-luka batin, kesediaan berdamai dengan dan menerima kondisi yang ada, dan dengan demikian membuat dunia terasa lebih nyaman bagi manusia. Namun, dengan sikap seperti ini agama-agama justru kehilangan identitas sebagai penyuara harapan eskatologis yang sebenarnya menjadi sumber siakap kritis terhadap dunia.
Metz tidak menyangkal bahwa salah satu tugas penting dari agama-agama adalah menawarkan pengalaman kedamaian personal dan peneyembuhan luka-luka batin. Untuk tugas ini psikologi dapat memberikan kontribusi besar. Psikologi dapat membantu membebaskan manusia beriman dari rasa takut dalam kehidupan religius dan menggereja.(16)
Namun, perlu disadari bahwa penyembuhan adalah sebuah pengertian yang lebih luas daripada sekadar penyembuhan luka batin. Penyembuhan juga mencakup dimensi sosial, ekonomi dan politik. Sebab itu, agama-agama perlu mendorong manusia untuk menerima tugas penyembuhan yang meneyeluruh ini. Manusia postmodern tidak banyak dibantu apabila agama-agama hanya memperteguh ketidakberdayaannya berhadapan dengan realitas problematis dunia yang besar dan berusaha menggapainya dengan memberinya pengalaman-pengalaman yang meneduhkan batinnya. Ketidakberdayaan hanya dapat diatasi apabila agama-agama memotivasi orang untuk bersedia menjalankan pelayanan konkret guna membebaskan umat manusia dan lingkungan dari ancaman kehancuran karena ketidakadialn sistemik yang tercipta.
Tanpa menempatkan diri dalam koneksitas dengan dunia dan sejarah yang memerlukan peneyembuhan, maka agama-agama akan menjadi suatu faktor yang mempunyai krisis pemahamanan dan penghayatan relasi dengan Tuhan. Allah yang berdaulat dan tidak identis dengan dunia justru di mumifikasikan di dalam agama-agama. Agama-agama mempermak Allah agar tampak menyenangkan manusia. Teologi tidak mempersoalkan absensi-Nya di dalam dunia.(17) Kegelisahan manusia karena merasa ditinggalkan Allah tidak lagi menjadi pertanyaan yang ditanggapi secara sungguh-sungguh di dalam teologi. Yang diutamakan adalah Allah yang sudah selalu ada, yang mewahyukan diri-Nya secara definit dan total dalam peristiwa historis tertentu dan dibakukan di dalam ajaran yang pasti. Allah yang sudah selalu ada sebenarnya kehilangan dimensi rahasia-Nya. Dia tidak lagi menantang dan mengundang pencarian yang militant dari pihak manusia.
Krisis Allah ini tidak lagi dialami di dalam ateisme yang radikal melainkan dalam bentuk imunisasi Allah di dalam agama-agama. Allah diterima begitu saja. Orang tidak mempersoalkan eksistensinya. Penderitaan pun tidak menjadi wadas bagi ateisme seperti yang pernah dikatakan Georg Bucher.(18) Di mana-mana Allah dialami dan dirayakan sebagai penjamin dan pemberi kepenuhan bagi manusia, sebagai yang selalu setia tanpa batas bagi manusia yang selalu meletakkan kesetiannya pada syarat-syarat tertentu. Allah seperti ini menjadi kompensasi bagi manusia yang mengabaikan kewajiban sosio-politisnya, yang menyalahgunakan kekuasaan dengan tindakan korupsi dan tenggelam dalam apatisme politik sebagai warga yang dibelenggu rasa tidak berdaya.
Agama menjadi pelarian, di mana keterbatasan manusia diabsorbsi ke dalam ketidakterbatasan Allah dan dengan demikian ditenangkan. Disini sebenarnya manusia beragama sedang melakukan kesalahan. Ketidakterbatasan dan kedaulatan Allah yang mestinya dipahami sebagai keterbukaan kepada masa depan, dimengerti dan dihayati sebagai kepemilikan masa depan. Ketidakterbatasan adalah ciri Allah, manusia tidak dapat masuk ke dalamnya selama sejarahnya di bumi. Ketidakterbatasan dan keterbatasan tetaplah pengertian-penegrtian berlawanan yang seharusnya menjadi sumber ketidaktenangan manusia.
Apabila pada tahun 1960-an ada kecemasan bahwa kita akan memasuki sebauh masa post-religius Ketika konsep-konsep mengenai Allah dan setiap orientasi adi- kodrati akan dinilai sebagai spekulasi murni dan tidak lagi menyentuh hati dan budi manusia,(19) maka sekarang yang kita alami adalah kenyataaan bahwa Allah dijinakkan di dalam bahasa doa dan liturgi Gereja(20) dan dengan demikian hanya berfungsi untuk sebagai pompa hlusinasi rasa bahagia dan pemberi ketenangan bagi manusia. Sebab itu, di dalam krisis seperti ini kita harus merasa terdesak untuk mendefinisihkan secara baru pertanyaan mengenai Allah dan membahasakannya secara aktual.
Ā
- Penderitaan sebagai Pusat Teologi
Jawaban yang diberikan Metz terhadap tantangan yang dilahirkan oleh masyarakat postmodern adalah perumusan teologi politik sebagai āLeidempfindliche Theologieā, teologi yang peka terhadap penderitaan. Teologi ini melihat penderitaan sebagai locus theologicus. Yang menjadi titik tolak berteologi bukan lagi manusia pada umumnya, melainkan manusia yang menderita, bukan lagi pandangan yang optimis tentang dunia dan sejarah, melainkan penderitaan, dan bukan lagi kebuntuan masa depan dunia karena dominasi teknik, melainkan otoritas para penderita. Dengan teologi ini orang tidak bergerak dari kepenuhan harapan akan masa depan menuju perealisasinya di masa lalu dan sekarang. Di sini orang bertanya mengenai legitimasi harapan akan Allah di hadapan realitas penederitaan banyak warga. Kemiskinan, penderitaan dan kekejaman dilihat dan diartikulasikan sebagai ancaman bagi harapan. Negativitas pengalaman ini harus tetap dibuka.
Negativitas ini adalah konteks kita berteologi. Tidak ada teologi yang dilaksanakan dalam vacuum dan bebas dari penentuan situasi aktual. Teologi lahir di dalam satu kompleksitas permasalahan, namun dia tidak tenggelam di sana. Sebaliknya, sebuah teologi mesti juga memiliki kemampuan untuk di universalisasi. Sebab itu teologi mesti sungguh menyadari godaan yang selalu mengintainya yakni untuk berbicara di dalam rumusan-rumusan abstrak. Satu teologi yang sadar akan tantangan situasinya dan memanfaatkan keterbukaan terhadap situasi sebagai kriteria kredibilitasnya, mesti sanggup menjadikan pengalaman-pengalaman yang kontradiktoris sebagai titik pusatnya.(21)
Berteologi menuntut kesediaan untuk membiarkan iman yang teguh dilukai oleh pengalaman kegelapan iman. Teologi seperti ini bukan pertama-tama berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat, dan hanya karena itu dia menjadi sensitif terhadap pengalaman negativitas yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Apabila teologi dijalankan dalam kesadaran akan janji yang belum dipenuhi seluruhnya dan membiarkan kepastian iman dipertanyakan oleh pengalaman penderitaan, khususnya penderitaan orang lain, maka dia sanggup memberikan kontribusi untuk membongkar penyalahgunaan politik, penyimpangan kultural dan indiferentisme ekonomis. Teologi hanya akan mampu memberanikan warga untuk melihat dan mengakui keterlibatannya dalam politik, budaya dan ekonomi yang menindas jika dia sendiri menyadari diri sebagai pencarian akan Tuhan yang sering dikecewakan, sebagai penantian akan TuhanĀ dalam ketidakpastian. Teologi seperti ini dapat mengarahkan pandangan orang kepada penderitaan orang lain. Dia menolak netralitas.
Metz berpendapat bahwa pertnyaan paling tua dan paling kontroversial mengenai Allah adalah pertanyaan seputar penderitaan, pertanyaan tentang penderitaan orang-orang yang tidak bersalah. Penderitaan serupa ini tidak dapat lagi di masukkan dalam kategori moral dan mendesakkan pertanayaan, bagaimana orang masih bisa berharap dan ap aarti harapan dalam kondisi seperti itu. Teologi sebagai pemberian pertanggungjawaban tentang harapan, sebagaimana dikatakan dalam surat pertama Santo Petrus (1 Ptr 3:2), diperhadapkan pertama-tama pada pengalaman penderitaan.(22)
Beriman di tengah penderitaan adalah harapan yang didasarkan pada pernyataan Tuhan mengenai masa depan. Iman tidak mendasarkan dirinya pada kesanggupan alamiah manusia, melainkan pada janji Allah sendiri (23). Kalau iman didasarkan pada kapasitas transedental yang terdapat secara alamiah pada manusia, maka manusia akan sampai kepada Tuhan dengan mengaktualisasikan kapasitas tersebut dan menemukan kepenuhannya di dalamnya. Manusia mencapai kebahagian pribadinya dan terhenyak dalam mistik mata tertutup.
Namun apabila kita melihat janji Allah sebagai sumber iman, maka iman yang dihayati, ditandai oleh harapan. Dalam harapan kita menantikan kehidupan dan kebahagiaan, tetapi ternyata yang kita alami adalah penderitaan dan kematian dini. Masa depan menghadirkan makna dan pemenuhan bagi masa sekarang, namun masa sekarang itu sendiri penuh dengan penderitaan yang terkesan sia-sia. Tanggapan teologis tidak dapat diberikan dalam bentuk soteorologi individual yang menunjukkan bagaimana manusia pendosa dapat menemukan jalan kembali kepada Tuhan dan dengan demikian mencapai keselamatan.Ā Pertanyaan teodicea pada dasarnya adalah mengenai keadilan bagi penderita. Sebab itu, jawaban tidak dapat diberikan dalam bentuk soteriology individual (24). Namun, teologi pun tidak dapat menjadikan harapan sebagai sebuah ideologi politik yang mengabaikan para penderita yang konkret.
Teologi perlu menjadi sebuah tanggapan atas pengalaman eksistensial yang terancam, namun bukan dalam arti sekedar sebagai usaha untuk memberikan pegangan berhadapan dengan ketidakpastian eksistensi. Tuduhan ini hanya dapat dibenarkan apabila di dalam teologi pertanyaan tentang penderitaan ditangkal dan dijinakkan. Namun, pembicaraan kristiani dan biblis mengenai Allah mengenal semacam āpengalamanā kegaluan eksistensi, penolakan terhadap situasi hidup,ā¦ā¦ā¦artikulasi berbagai kontradiksi (25). Pembicaraan tentang Tuhan dalam Kitab Suci tidak memiliki fungsi integratif untuk meluruskan semua yang bengkok. Pembicaraan ini mengenal pergumulan individual yang tidak dapat diabsorbsi ke dalam gagasan-gagasan umum. Pembicaraan tentang Allah di dalam Kitab Suci adalah kisah personal pribadi-pribadi dengan Tuhan.
Ciri naratif pembicaraan tentang Tuhan dalam Kitab Suci tidak tanpa alasan. Narasitas pembicaraan ini mengungkapkan keterbukaan kepada hal-hal yang mengejutkan dan yang tidak dapat disistematisasi, kepada para pemberontak dan pembela Allah. Kitab Suci tidak tidak menyembunyikan pengalaman-pengalaman sulit manusia dalam relasinya dengan Tuhan. Dalam arus pengalaman itu manusia diberi iman. Iman biblis menawarkan janji dan harapan akan masa depan yang didasarkan pada Allah dan terbuka kepada masa depan. Keteguhan iman menjadi paling nyata dalam protes melawan kekuatan yang menindas dan protes menentang pereduksian manusia menjadi pengertian-pengertian abstrak. Iman berarti berseru kepada Allah demi penyelamatan mereka yang menderita.
Ā Ā Ā Ā Ā Ā 2.1.Yang utama adalah penderitaan orang lain
Ā Ā Ā Ā Ā Ā Dalam kenyataan tidak semua penderitaan menjadi sebuah seruan protes. Kita sering menjumpai gejala privatisasi penderitaan. Penderitaan menjadi konsumsi pribadi. Para penderita mengurung diri atau dibelenggu dalam penderitaannya. Akibatnya adalah suatu sikap apatis terhadap setiap usaha perubahan atau semacam spiritualisasi penderitaan. Tanpa kesadaran dan keyakinan yang benar dan mendalam akan janji yang diberikan Tuhan,Ā orang akan dengan mudah menerima saja penderitaan sebagai sebuah kenyataan alamiah yang tidak dapat diubah, sebagai salib yang mesti agar memperoleh pahala kebahagiaan atau sebagai akibat kesalahan di masa lalu. Orang mencari alasan untuk penderitaannya dalam masa lalu, baik masa lalunya sendiri maupun masa lampau orang lain.
Penderitaan pun dapat semata-mata berkonsentrasi pada persoalannya sendiri. Orang hanya memikirkan penderitaannya sendiri dan mencari kambing hitam untuk kenyataan itu. Hal ini tidak hanya berlaku untuk penderitaan pribadi tetapi juga untuk kelompok. Mekanisme pengkambinghitaman seringkali terjadi karena manusia tidak mampu dan menolak melihat lebih jauh daripada penderitaan sendiri. Yang dipermasalahkan di sini bukanlah kesediaan yang terlampu cepat untuk menerima penderitaan dan ketidakadilan yang dialami sendiri. Juga yang dimaksudkan bukanlah semacam kesalehan pietistis yang berusaha melihat penderitaan sendiri menjadi lebih mudah diatnggung dengan membandingkannya dengan penederitaan orang lain. Sebaliknya, yang hendak dituju di sini adalah siakp terbuka, kerelaan untuk mengembangkan turut merasakan penderitaan orang lain dan dengan demikian menumbuhkan sikap belarasa.
Pandangan yang terbuka kepada penderitaan orang lain mencegah kita Ā untuk menginstrumentalisasi penederitaan orang lain. Orang seperti ini tidak lagi rela membiarkan orang lain menderita sebagai pembalasan atasĀ penderitaannya sendiri. Di sini Metz menemukan makna politis dari keterbukaan itu. Hanya apabila ada kesediaan untuk turut merasakan penderitaan orang lain, kita dapat mematahkan spiral kekerasan. Pihak lain tidak hanya dilihat sebagai penyebab penderitaan sendiri, tetapi sebagai penderita yang mesti juga menghadapi pergumulan yang sama seperti kita. Di sini yang menjadi pusat perhatian dan perasaan bukanlah pemenang yang triumfalistis, melainkan para korban yang menuntut aksi solidaritas.
Tatapan pada penderitaan orang lain hanya dapat dipertahankan selama orang melihat masa depan bersama. Harapan akan sebuah masa depan yang tidak hanya menjadi milik para pemenang, yang dari sekadar kemenangan kelompok kecil orang yang memiliki privilese, akan mampu melihat di dalam musuh tidak hanya penyebab penderitaan kita sendiri. Harapan akan masa depan bersama ini memungkinkan orang lain yang menderita tampak dalam singularitasnya yang tak terulang. Masa depan bersama yang dijanjikan Allah dan diharapkan terwujud melindungi orang lain dari bahaya pereduksian pada saat sekarang.
Penderitaan mencemaskan, karena di hadapannya kita sangat mengharapkan masa depan yang membawa perubahan, serentak merupakan kesempatan paling meragukan harapan. Kita tidak menanggapi kecemasan ini dengan melarang penderitaan, tetapi dengan membahasakannya. Dinamika masa depan menyatakan kekuatannya dalam ketidaktenangan menghadapi penundaan masa depan yang tampak jelas di dalam penderitaan(26). Dinamika itu mengambil bentuk protes karena apa yang sedang dialami adalah kebalikan dari harapan. Di dalam diskrepansi yang menyakitkan ini praksis yang semestinya bukanlah penyerahan diri di hadapan penderitaan, melainkan seruan dan upaya pembebasan. Dengan ini kita menolak alienasi dan penghancuran diri melalui penyesuaian dengan salah satu dari kutub-kutub yang berdialektika. Harapan yang terkandung secara implisit di dalam seruan dan praktik pembebasan ini āmelindungi humanitas konkret manusia, melindungi setiap pribadi dan generasi dari bahaya dikorbankan demi usaha militan untuk merealisasikan humanitas yang masih tertunda dan tenggelam dalam momok proyek raksasa perubahan dunia yang dilaksanakan secara paksaā.(27)
Teologi mesti melawan segala tendensi untuk membungkamkan seruan dan praksis yang tidak menyenangkan dan yang bersifat politis ini. Kalaua teologi menanggapi secara serius humanum yang terncam dan menjadikan penderitaan sebagai titik tolaknya, maka humanum yang positif serentak dihadirkan dalam bentuk penolakan untuk membiarkan manusia menjadi korban ideologi. Teologi akan melindungi manusia dengan berkonsentrasi pada permenungan mengenai penderitaan. Inilah yang mendasari kemendesakan teologi politik dalam diskursus postmodern demi menyelamatkan manusia.
Ā
2.2. Menuju sebuah Teologi yang sensitive terhadap penderitaan
Metz menyebut konsep teologisnya leidempfindliche Theologie (teologi yang sensitif terhadap masalah penderitaan). Teologi ini menjadikan penderitaan sebagai titik tolak sekaigus kriteriumnya. Metz juga berbicara mengenai kekristenan yang peka terhadap penderitaan(29).Ā Sebuah kekristenan yang peka terhadap penderitaan memerlukan pula sebuah moral yang terbuka terhadap penderitaan.
Teologi berbicara mengenai iman, yang menemukan legitimasinya dalam kepekaan terhadap penderitaan, iman yang membuka mata dan hati manusia bagi realitas penderitaan. Iman mengarahkan perilaku moral yang berorientasi pada upaya untuk menanggapi penderitaan. Moral seperti ini hanya dapat dibangun apabila ada kesadaran akan finalitas waktu. Keterbatasan waktu memberikan dasar bagi kemendesakan untuk bertindak mengatasi penderitaan. Hidup korban terbatas dan kesempatan penolong untuk membantu pun tidak terulang. Sebab itu, orang harus menolong. Waktu kita terbatas, sebab itu kita mesti memulai sesuatu dengan setiap kesempatan yang tersedia.
Keterbatasan waktu juga memberikan pendasaran bagi keunikan hidup setiap korban penderitaan. Karena hidupnya terbatas, maka dia memiliki nilai yang tak tergantikan. Individualitas yang tidak terulang memberi kepada setiap orang hak untuk diperlakukan sebagai pribadi, tidak dikooptasi ke dalam kolektivitas dan menguap di dalam kekelan waktu. Perhatian kepada individu yang memiliki waktu hidup yang terbatas membuat kita peka untuk menangkap pemangkasan haknya untuk hidup secara pantas karena berbagai penindasan dan ketidakadilan, karena alam yang tidak bersahabat dan sulit diperhitungkan, karena sistem yang anonim dan tidak manusiawi. Karena pentingnya keterbatasan ini, maka teologi yang sensitif terhadap penderitaan mesti juga bersifat sadar waktu.
Teologi yang peka terhadap penderitaan dan sadar waktu tidak menawarkan jawaban-jawaban final untuk setiap persoalan. Dia menanggapi sambil tetap memperdengarkan pertanyaan yang menunjukkan ketidaktuntasan jawaban yang tersedia. Teologi yang peka terhadap penderitaan sadar bahwa manusia selalu mempunyai sekurang-kurangnya satu pertanyaan lebih banyak daripada jawaban yang tersedia. Gagasan Rahner tentang manusia sebagai pertanyaan terbuka kepada Allah mendapat artikulasinya yang paling jelas berhadapan dengan penderitaan. Penderitaan tidak hanya melahirkan pertanyaan tentang Allah, tetapi juga pertanyaan kepada Allah. Allah menjadi alamat pertanyaan karena Dia setia, dan masa depan adalah masa depan Allah. Berhadapan dengan penderitaan kita mestinya bisa bertanya balik kepada-Nya.(30)
Hal ini menjadi tugas yang autentik dari setiap teologi. Teologi mengandaikan iman. Namun, dia tidak mengharuskan kepemilikan iman yang teguh tak tergoyahkan. Sebuah teologi yang merumuskan pertanyaan dan yang hidup dari pertanyaan, dapat dilaksanakan dalam kondisi keraguan. Sebab, di dalam doa sebagai bahasa asali teologi ini keraguan dan pemberontakan adalah hal yang diperkenankan. āBahasa doa jauh lebih menyeluruh daripada bahasa iman. Di dalamnya orang dapat mengatakan bahwa dia tidak percaya.(31)
Apakah sebuah teologi dapat sungguh bermanfaat, apabila di dalamnya orang dapat membantah iman dan dapat menggumuli sungguh-sungguh masalah absensi Tuhan dalam kehidupan manusia? Dan bagaimana kita dapat mempertanggungjawabkan secara rasional sebuah teologi, apabila bahasa aslinya adalah doa yang tak dapat ditelaah dalam bingkai teori diskursus dan filsafat komunikasi? Apakah di sini kita tidak kembali berhadapan dengan satu bentuk teologi yang membenarkan privatisasi iman, satu bentuk voluntarisme yang demikian menekankan kebebasan Tuhan sehingga kita tidak dapat memberikan satu pernyataan positif apapun tentang Dia?
Konsentrasi teologi pada pertanyaan balik kepada Tuhan menegaskan bahwa sebenarnya tidak banyak hal yang dapat dikatakan secara positif tentang Tuhan. Dihadapan penderitaan teologi mesti mencegah diri dari bahaya menenggelamkan diri dalam teori dan potensi kritis. Metz sering berbicara mengenai kemiskinan dalam roh yang telah dibuktikan Israel dalam sejarahnya. Maksudnya adalah kemiskinan untuk tidak menghibur diri dengan mitos dan bentuk-bentuk lain yang membantu mengatasi ketidakpastian eksistensi. Israel menderita karena kemiskinan roh ini. Dia merupakan sebuah āpanorama jeritanā,(32) sebuah panorama yang dipenuhi dengan luka-luka karena mesti mempertahankan kemiskinan rohnya.
Israel tidak mengambil alih kesenangan akan mitos yang mencirikan bangsa-bangsa sekitarnya untuk sekadar meringankan pengalaman penderitaan mereka yang tidak terhankan. Israel sanggup membuat pembedaan antara penderitaan yang tidak dapat diatasi dan penderitaan yang disebabkan oleh manusia. Penderitaan yang tidak dapat diatasi dan penderitaan yang disebabkan oleh manusia. Penderitaan yang tidak dapat diatasi menjadi alasan untuk bertanya kepada Tuhan, sementara penderitaan kedua adalah protes melawan para penguasa.
Jeritan, penolakan dan idealisasi ini hanya mungkin karena ada janji. Israel berpegang pada janji yang diberikan Allah sebagai masa depan kepada umat-Nya. Janji ini tidak membuat Israel buta terhadap realitas penderitaan. Israel serentak membawa dalam dirinya janji dan penderetiaan, panggilan dan penolakan, harapan dan salib. Bangsa ini tidak bersedia melepaskan yang satu demi yang lain. Sejarah Israel adalah godaan yang terus-menerus atas harapan, sebuah tantangan entahkah harapan itu memiliki dasar. Namun, konsentrasi pada ketidaksempurnaan dan penderitaan bukanlah penyangkalan diri di dalam penderitaan. Kita tidak diharapkan untuk sanggup menghancurkan diri di dalam pergumulan dengan kekuasaan-kekuasaan yang mematikan.
Metz mengupayakan sebuah teologi berdasarkan model teologi penderitaan Yahudi yang didasarkan pada pentingnya kemiskinan di dalam roh. Teologi serupa ini harus bisa menjalankan pengaruh-pengaruhnya yang mendesak hanya dengan sejumlah kecil pernyataan positif tentang Allah, yakni pernyataan-pernyataan yang tidak mempertajam suasana duka dan masuk ke dalam konflik, kita perlu menjaga agar tercipta keseimbangan antara ironi dan pengampunan yang terlampau dini. Teologi yang terbuka terhadap penderitaan dimotivasi oleh janji, dan dengan demikian juga oleh harapan. Harapan ini didasarkan pada Allah, yang dalam bahasa Ernst Boch disebut sebagai āGott vor unsā (Allah di depan kita). Namun, serentak dengan itu teologi ini memberikan kualifikasi tertentu pada harapan.
Dalam konteks ini pembicaraan Metz mengingatkan kita secara sangat kuat pada Immanuel Kant(33). Keduanya menuntut pembicaraan yang tidak terlampau tergesa-gesa mengenai Allah. Teologi tidak boleh melampaui batasnya sendiri. Bagi Metz, batas itu adalah otoritas para penderita. Keduanya pun berkonsentrasi pada praksis yang selalu mengandaikan adanya harapan. Kant menyebut Allah harapan sebagai syarat transedental yang sudah selalu hadir dan diandaikan apabila manusia mewujudkan kebebasannya. Metz menolak transendentalitas ini, sebab menurut dia, di dalam pengertian ini kita sudah memberikan jaminan akan kepastian kehadiran Allah, kendatipun pengalaman terkadang menunjukkan absensi Tuhan. Allah justru dicari dan dirindukan di dalam penderitaan. Namun, bagaimanapun Metz, tetap mengandaikan harapan akan Allah, sebab kita hanya mencari apa yang kehadirannya dijanjikan. Kendati demikian, catatan kritis Metz dapat diapahami, sebab apabila kita berkonsentrasi pada syarat transendental itu, kita tidak akan lagi memperhatikan penderitaan secara penuh. Catatan Metz ini penting untuk dapat dari krisis mengenai paham dan relasi manusia dan Tuhan. Namun, gagasan ini bukanlah sebuah penolakan total melawan harapan.
Ā
- Tanggapan Kritis
Ā Sebagaimana sudah dikatakan di atas, konsep Metz tentang postmodernisme dipengaruhi oleh pandangan tanpa sebuah pergumulan yang lebih mendalam atas gagasan-gagasan pokok para filsuf yang disebut sebagai pemikir postmodern. Sebuah telah yang lebih serius akan menemukan bahwa di balik klaim penolakan metanarasi, Lyotard misalnya tetap mengusung gagasan mengenai demokrasi dan keadilan. Demokrasi perlu diperjuangkan dan dipertahankan sebab merupakan sistem yang memberikan peluang bagi artikulasi perbedaan. Keadilan adalah sebuah ideal yang harus selalu diupayakan, walaupun kita senantiasa berhadapan dengan ketidakadilan dalam setiap Tindakan konkret kita.(34)
Kita tidak dapat membebaskan diri sepenuhnya dari ketidakadilan, namun kita tidak boleh melepaskan gagasan keadilan, sebab hanya dengan ini kita dapat mengenal ketidakadilan sebagai ketidakadilan. Kesadaran ini penting agar kita tidak bertindak sewenang-wenang dan arogan sebagai pelaku ketidakadilan(35). Tanpa kesadaran itu kita akan kehilangan kerendahan hati dalam politik dan dengan demikian menjadi otoriter.
Gagasan yang serupa ditunjukkan pula oleh Jacques Derrida. Bagi Derrida, keadilan, pengampunan, hospitalitas dan demokrasi merupakan hal-hal universal yang diperlukan dan harus diperjuangkan. Tentang keadilan, misalnya, Derrida menegaskan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman akan yang tidak mungkin. Maksudnya, sebagai pengalaman keadilan terikat pada hukum, namun hukum tak pernah dapat identik dengan keadilan sebab keadilan selalu melampaui hukum. Ideal keadilan menjadi alasan untuk terus-menerus bersikap kritis terhadap hukum dan peraturan yang ada.(36)
Hal yang sama dikatakan Derrida tentang demokrasi(37). Demokrasi dalam arti yang sejati tidak pernah terwujud dan hanya karena itu kita dapat dan harus bersikap kritis terhadap setiap pemerintahan demokratis yang ada. Karena demokrasi sesungguhnya masih selalu akan datang, maka kita mendapat sebuah imperatif untuk melihat kekurangan dan memperbaiki kondisi demokrasi yang sekarang kita hadapi.
Pola pikir Lyotard dan Derrida sebagaimana dikatakan secara sangat singkat di atas tidak hanya menunjukkan bahwa postmodernisme tidak bersifat anti-universal sebagaimana dikatan Metz. Mereka mengusung juga ideal-ideal universal, namun dalam bentuk futur yang tidak pernah menemukan perwujudannya. Dengan demikan ideal-ideal tersebut berperan sebagai negasi terhadap semua tendensi totalisme yang ada di dalam sejarah. Di sini kita dapat menemukan paralelitas dengan pandangan Metz tentang otoritas universal para penderita.
Dasar dari otoritas ini adalah kesadaran bahwa apa yang ada di dalam sejarah belum mewujudkan sepenuhnya apa yang dijanjikan. Allah dan pemenuhan janji-Nya masih selalu akan datang. Otoritas para penderita bukanlah sebuah otoritas positif yang mengarah kepada Ā diktatur para penderita, meliankan sebagai dialektika negatif yang membongkar kerangka teologis yang mempromosikan identifikasi Allah dan sejarah serta melanggengkan kekuasaan totalitas baik dalam bentuk struktur dan ajaran gerejani maupun dalam wujud politisasi agama oleh pusat-pusat kekuasaan politik.
Gagasan tentang Allah yang selalu akan datang, yang eskatologis, tentu saja dalam Kekristenan mesti menghadapi pertanyaan mengenai inkarnasi Allah yang definitif di dalam diri Yesus dari Nazaret. Namun, Metz tidak memberikan uraian yang memadai tentang posisi Kristus dalam teologinya yang terbuka terhadap penderitaan. Teologi Metz memiliki defisit kristologis eksplisit, kendati secara implisit pandangannya mengandung sejumlah pikiran dasar yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah kristologi (38). Metz lebih mempromosikan sebuah kristologi eksatologis yang terobsesi untuk dimensi ābelumā dari seluruh warta Kerajaan Allah (39). Apa yang sudah terlaksana di dalam diri Kristus masih merupakan sebuah janji yang belum dipenuhi selama masih ada manusia yang menjadi korban ketidakadilan dan alam tetap dieksploitasi karena keserakahanĀ manusia. Sebab itu, Kristus tetap hadir dan dihadirkan dalam tanda salib. Jumad Agung tetap menjadi latar belakang setiap kali kita merayakan Paskah.
Penutup
Ā Penderitaan sebagai locus theologicus dapat dilihat sebagai sebuah kerangka teologis untuk memberikan pendasaran bagi solidaritas atau belarasa. Metz tidak mendasarkan solidaritas pada Allah yang solider seperti yang diperkenalkan Moltmann, tetapi pada Allah yang belum tuntas melaksanakan apa yang dijanjikan-Nya. Belarasa kita lakukan bukan karena kita hendak mencontohi Allah, melainkan karena kita diinspirasi harapan yang dibakar oleh janji Allah. Apa yang mesti dilakukan Ketika janji tidak sesuai kenyataan? Orang yang berharap pada Allah tidak akan tinggal diam. Harapan ini mendorong kita untuk turut bertanggungjawab agar janji Allah dapat diwujudkan. Penederitaan sebagai locus theologicus bukan hanya menjadi alasan untuk membuat refleksi mengenai Allah dan keberpihakan-Nya, melainkan mendorong aksi keberpihakan manusia.
Salah satu ungkapan yang sangat sering muncul dalam tulisan-tulisan John M. Prior adalah belarasa. John terkesan lebih memprioritaskan penggunaan kata ini daripada versi Latin yang juga digunakan dalam bahasa Indonesia, solidaritas. Dari berbagai perspektif, entah dari pendekatan biblis, misiologis, kultural atau teologis John berulang kali menunjukkan urgensitas belarasa dalam situasi Indonesia dan di dalam dunia dewasa ini. Leidempfindliche Theologie, teologi yang peka dan terbuka terhadap penderitaan, pun dapat memberikan kontribusi untuk maksud ini.
—————————————————————————————
Sumber Tulisan dari Buku Menerobos Batas ā Merobohkan Prasangka Jilid 2 , Penerbit Ledalero.
Catatan Kaki:
1.John M. Prior, āIntegrasi, Isolasi atau Deviasi. Membaca Galatia 3: 27-28 di Indonesia Dewasa indamaian, Maumere: Ledalero dan Candraditya, 2009, hlm. 37-68.
2. Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign, Charles Levin, St. Louis: Telos, 1981iā, dalam Georg Kirchberger dan John M. Prior (eds),Ā Jati Diri Manusia dan Injil Per.
3. Jean-Francois Lyotard, Kondisi Postmodern, Sebuah Laporan tentang Pengetahuan, penterj. Novella Parchiano (Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2003)
4.Paul Budi Kleden, āMempertimbangkan Pluralitasā, dalam Willy Gaut, Filsafat Postmodernisme Jean-Francois Lyotard, Maumere: Ledalero 2010, hlm. Xxv
5. Peter Zeillinger, Nachtragliches Denken. Skizze einess philosophisch-theoligischen Aufbruchs im Ausgang von Jacques Derrida, Munster: LIT Verlag, 2002
6. Paul Budi Kleden, āPerkawinan Baru antara Iman dan Akal Budi: Mas Kawin yang Terlanjur Mahalā, dalam Jurnal Ledalero 6/2/2007, hlm. 161-189
7. Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne, cet. Ke-5, Berlin, 1997.
8. B. Metz et al. Diagnosen zur Zeit, Dusseldorf 1994.
9. Giovanni Boradori, Philosphy in a Time of Terror,University of Chicago Press 2003.
10. Tulisan-tulisan dalam John M. Prior (ed), Kekuatan Ketiga Kekristenan. Seabad Gerakan Pentekostal 1906-2006, Maumere: Ledalero 2007
11. B. Metz, āGotteskrise. Versuch zur, geistigen Bestimmung der Zeitā, dalam J.B. Metz et al. Diagnosen zur Zeit, Dusseldorf 1994, hlm. 78.
12. Ibid
13. Moltmann, Theologie der Hoffnung. Untersuchungen zur Begrundung und zu den Konsequensen einer cristilchen Eschatologie, Munchen: Chr. Kaiser, 1969, hlm. 290
14. Ibid hlm. 295
15. B. Metz, op. cit., hlm. 90
16. B. Metz, āIn der Spur des Lebensā Kevelar: 1993
17. Dengan ini Metz secara implisit menunjuk pada teologi wahyu dalam sisitem tertutup seperti yang diperkenalkan oleh Karl Barth dan Karl Rahner
18. Georg Buchner āDantons Todā, dalam George Buchner, Buchner Werke in einem Bnad, Berlin: Aufbau-Verlag, 1967, hlm. 40
19. B. Metz, āGott vor uns. Statt eines theologischen Argumentsā. Frankfut a. m. : Shurkamp 1965
20. B. Metz, Gotteskrise, op. cit, hlm. 80
21. B. Metz, Gotteskrise, op. cit, hlm 76
22. Metz mendefinisikan teologi dengan merujuk pada 1 Ptr. 3:15
23. Pada titik itu Metz mengambil jarak dari gurunya Karl Rahner, yang dikritiknya kerena dinilai mengabaikan dimensi sosial iman kristiani dalam teologi transedentalnya.
24. Metz menambhakan bahwa sebagai akibat dari perkembangan ini di dalam sejarah teologi telah penekanan yang berat sebelah atas dosa dan bukannya atas keadilan. Kekristenan menjadi sebuah pemberi daftar dosa, bukannya sebuah seruan dan jeritan melawan penderitaan.
25. B. Metz, Theodize-empfindliche Theologie, op cit hlm. 84
26. Metz menekankan penting dan mendesaknya menerima dinamika eskatologis ini dalam refleksi teologis
27. B. Metz, Gott vor uns, op. cit, hlm. 240
28. B. Metz, Theodizee-empfindliche Theologie, op cit., hlm. 82
29.Ā J.B. Metz, Gotteskrise, op. cit., jilid 2
30. , hlm. 84
31. B. Metz, Theodizee-empfindliche Theologie, op. cit. hlm. 98.
32. Metz mengambil alih pengertian ini dari Nelly sachs.
33. Immanuel Kant, Uber das Misslingen aller philosophischen Versuche in der Theodizee, Darmstadt 1968, Jilid ke-9
34. Jean-Francois Lyotard, Le Nome et lāexception, hlm. 44, dikutip dari Wolfgang Welsch,cit.,hlm, 243.
35. Jean-Francois Lyotard, The Different Phrases in Dispute, penerj, Georges Van Den Abbeele, Manchester University Press 1988, hlm 138 -141.
36. Jacques Derrida, āForce of Law. The Mystical Foundation of Authorityā, dalam Jacques Derida, Acts of Religion, New York: Routledge 2002.
37. Jacques Derrida, The Politics of Frienship, London: Verso 2005.
38. Paul Budi Kleden, Christogie in Fragmenten. Die Rede von Jesus Christus im Spanungsfeld von Hoffnungs und Leidesgeschichte bei Johann Baptis Metz, Munstler: LIT Verlag, 2001.
39. Ibid, 373.
Ā Ā Ā Ā Ā
Ā