Oleh Charles Beraf[1]
Sastra adalah representasi. Sastra tidak pernah lahir dari dan demi kekosongan. Kalau seni pada umumnya, sebagaimana dialami oleh filosof Nietzsche[2], adalah monumen kemenangan dari pergulatan menjawabi hidup, maka bisa pula dikatakan bahwa hidup itu sendiri sebenarnya adalah referen atau lebih tepat menjadi alasan paling utama mengapa sebuah karya sastra dilahirkan. Tentang ini, para penganut teori neorepresentasi menjelaskan melalui silogisme mengapa terhadap sebuah karya seni, termasuk karya sastra selalu dibutuhkan interpretasi, meski dengan risiko yang mungkin didapatkan, yakni tidak selalu akan ada makna tunggal atasnya.
“Anything that is a work of art necessarily possesses the property of aboutness – it has semantic content; it has a subject about which it expresses something. ….. All artworks require interpretations (1). If anything requires an interpretation, then it must be about something (2). Therefore, all artworks are about something (3).”[3]
Atau dengan rumusan yang lebih fenomenologis dapat dikatakan bahwa dalam sebuah karya sastra terungkap sekaligus tersembunyi sepotong dunia kehidupan.
Pandangan itu menunjuk tidak hanya pada soal proses berkreasi, yakni bagaimana sebuah karya sastra dilahirkan dari konteks pengalaman hidup tertentu, tetapi juga pada soal apresiasi atasnya yang sudah tentu turut dimungkinkan antara lain oleh persepsi, pengalaman estetis dan perspektif tertentu tentang karya sastra dan apa pun yang terkait dengan karya sastra. Hal pertama berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh sastrawan, sedangkan yang kedua berkenaan dengan apa yang bisa dilakukan oleh penikmat (penonton, audiens atau pembaca) terhadap karya sastra yang sudah dihasilkan. Yang menjembatani atau yang menghubungkan keduanya adalah karya sastra itu sendiri, tetapi makna yang dimaksudkan atau yang dibuahkan dalam dan melalui sebuah karya sastra itu tidak sepenuhnya sama atau tidak juga sepenuhnya berbeda di antara keduanya.
Bagi sastrawan, makna tertentu diungkapkan atau disembunyikan dalam karya sastranya, sedangkan bagi penikmat sastra dimaksud, makna itu diperoleh sejauh yang bisa ia peroleh atau singkapkan, entah melalui suatu proses hermeneutik yang intensif atau entah melalui cerapan yang spontan dan biasa. Seperti halnya terhadap suatu pentasan teatrikal di panggung, penonton hanya bisa menangkap dari peran yang ditampilkan para aktor di atas panggung, tetapi tak bisa sepenuhnya menjangkau misalnya skenario yang dirancang dan dimaksudkan sutradara di balik panggung. Jadi, yang menghubungkan keduanya (sastrawan dan penikmat) adalah terutama apa yang diungkapkan atau ditampilkan, yakni karya sastra itu sendiri, meski dengan itu tidak sama sekali bisa dipungkiri kemungkinan munculnya pluralitas makna yang diperoleh dari karya sastra oleh karena masingmasing pihak sangat mungkin bergerak dari sudut pandangnya sendiri.
Hubungan yang demikian dapat menjelaskan bahwa dalam menghasilkan suatu karya sastra tertentu atau juga dalam hal memberi apresiasi atasnya, baik sastrawan maupun penikmat sastra bisa terhubung satu sama lain dengan berproses dari sudut pandang tertentu yang dimiliki masing-masing mereka demi mendapatkan makna tertentu untuk masing-masing pula. Dalam konteks ini, apa yang diungkapkan sebagai prinsip Thomistik: quidquid recipitur ad modum recipientis recipitur (apa-apa saja yang diterima, diterima menurut cara si penerima) dapat dielaborasi atau diungkapkan secara lain menjadi “apa-apa saja yang dimaknai, dimaknai menurut cara si pemberi makna”. Jelas di sini bahwa yang hendak dicapai baik melalui suatu proses berkreasi maupun melalui apresiasi atas hasil kreasi tertentu bukan terutama ketunggalan makna (yang dimaksudkan sastrawan (bakal) harus sama dengan yang dimaknai penikmat), melainkan sejauh mana makna tertentu bisa disampaikan atau diperoleh melalui karya sastra. Dengan lain perkataan, yang terpenting dalam apresiasi karya sastra bukan soal ‘mengada’ (being), tetapi ‘berbuat’ (doing): bagaimana seorang sastrawan memberi kualitas pada karya sastranya atau bagaimana seorang penikmat sastra bisa menarik makna tertentu dari karya sastra yang dibacanya.
Dengan menaruh perhatian pada soal makna dan pada kemungkinan pluralitas makna, otonomi karya sastra dapat terjaga dari kesewenangan menunggalkan makna di satu sisi, dan di sisi lain, ruang kebebasan dalam mengapresiasi karya sastra bisa terbuka lebar. Untuk lebih jelas tentang hal ini, pandangan yang dilontarkan, misalnya oleh filosof Peter Winch tentang hubungan bahasa dan realitas bisa dipakai. Menurut Winch, “ada banyak bentuk kehidupan yang bisa diakses dan ada banyak pula bahasa yang digunakan untuk melekatkan makna pada bentuk kehidupan tertentu. Tidak ada bahasa super yang memiliki akses khusus terhadap realitas yang riil, karena semua realitas adalah riil dalam konteks bahasa yang mendefinisikannya”[4]. Asal muasal pandangan Winch ini ditemukan dalam kritiknya terhadap antropolog Evans Pritchard yang setelah membuat penelitian yang cukup lama atas masyarakat suku Azande di Afrika, menilai bahwa praktik perdukunan pada masyarakat suku Azande lebih rendah dibandingkan dengan ilmu pengetahuan pada masyarakat Barat. Pritchard, dalam perspektif Winch, jatuh dalam cathaconic error, yakni menjadikan ilmu Barat sebagai standar untuk menilai praktik-praktik tradisional suku Azande – suatu standar asing yang menjauhkannya dari upaya menilai apa yang sesungguhnya dihayati atau dihidupi oleh masyarakat suku dimaksud.
Dengan memakai kaca mata Winch, dapat pula dikatakan bahwa tanpa perlu terperangkap dalam penilaian ‘hitam-putih’ atau ‘benar-salah’, suatu obyek atau fakta tertentu sangat boleh jadi merepresentasikan makna tertentu menurut sudut pandang seseorang, tetapi tidak dengan itu tertutup untuk dimaknai dengan cara tertentu pula dengan sudut pandang orang lain. Atau secara berbeda, hal itu bisa diungkapkan dengan aforisme Latin berikut ini: “Cognitum est in cognoscente secundum modum cognoscentis” (apa yang diketahui eksis pada orang yang mengetahui menurut caranya sendiri).
Namun lebih jauh dari sekadar perkara subyek dengan aktus memaknai, persoalan yang paling penting untuk dicari jawabannya adalah apakah realitas tertentu hadir sebagai obyek yang sungguh bermakna tanpa harus bergantung pada subyek tertentu? Dengan patokan manakah suatu realitas bisa terukur sebagai yang bermakna? Apakah seturut patokan sosial dan normatif yang ada pada masyarakat suku Azande, praktik perdukunan bisa disebut sebagai yang bermakna, misalnya menyelamatkan orang dari serangan black magic atau malah sebaliknya hanyalah suatu tricky practice yang biasa seperti pada si tukang sulap? Dalam dunia sastra, pertanyaan senada bisa pula diajukan, misalnya apakah tulisan apa saja yang berbait secara otomatis dikategorikan sebagai puisi?
Dengan standar apakah sebuah pentasan layak disebut sebagai drama dan bukan sekadar pentasan biasa di atas panggung, atau sebagai deklamasi dan bukan orasi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hendak menunjukkan bahwa makna adalah hal yang ada dalam realitas, bukan terutama ada di luar realitas. Makna, dalam bahasa filosof Immanuel Kant, adalah noumenon, bukan terutama phenomenon. Dalam ilmu semantik, persoalan makna diuraikan sedikit lebih jelas dengan mengacu pada bentuk kata atau leksem. Dalam suatu ujaran misalnya, makna amat bergantung pada bentuk kata yang digunakan. Kata ‘ayah’ berbeda bentuk dari kata ‘bapak’, dan karena itu, memiliki makna yang berbeda pula, meski kedua kata dimaksud mengacu pada orang tua laki-laki. ‘Orang tua lakilaki’ adalah informasi, bukan makna. Kata ‘ayah’ dan ‘bapak’ memberi informasi yang sama, yakni orang tua laki-laki, tetapi dalam hal makna, keduanya tak persis sama karena berbeda bentuk. Misalnya, kalimat ‘mama saya sakit’ bisa diganti dengan kalimat ‘ibu saya sakit’, tetapi frase ‘Ibu Negara yang terhormat’ tidak bisa diganti dengan ‘Mama Negara yang terhormat’. Hal yang sama pula dalam soal parafrase, yang dapat diartikan sebagai rumusan informasi yang sama dalam bentuk ujaran yang berbeda. Misalnya, kalimat ‘Suara mereka memecah kesunyian’ adalah parafrase dari kalimat ‘mulut mereka yang tidak pernah diam menimbulkan kegaduhan’, karena informasinya sama dalam rumusan yang berbeda.
Lebih jauh tentang itu, filosof Ferdinand de Saussure[5] menyebut dua unsur sebagai tanda linguistik, yakni signified, yang diartikan dan signifier, yang mengartikan. ‘Yang mengartikan’ adalah bunyibunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa, sedangkan ‘yang diartikan’ adalah makna dari tanda bunyi. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual), yang umumnya merujuk pada unsur luar bahasa (ekstralingual) sebagai referen, misalnya kata ‘kursi’ yang terbentuk dari fonem k,u,r,s,i merujuk pada barang yang dinamai sebagai kursi. Dari sekadar persoalan semantik yang diuraikan di atas, dapat lebih jauh terselami pula soal semiotika, yakni dalam hal sejauh mana suatu realitas yang dihadapi, atau lebih khusus dalam konteks ini, suatu karya sastra yang dibaca, dalam dirinya sendiri memiliki makna tertentu sambil tidak tertutup kemungkinan untuk menginformasikan hal tertentu sebagai referennya. Rendra misalnya, dalam puisinya “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” mengungkapkan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia dengan mengacu pada atau memberi informasi tentang situasi krisis pada tahun 1998. Rendra menulis:
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara/menjadi saksi yang akan berkata/ apabila pemerintah sudah menjarah Daulat rakyat/apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa/
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan/maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa/lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Dari sisi intralingualnya, bait puisi di atas sangat lugas memberi gambaran tentang situasi anomik yang tersebab oleh penyalahgunaan kuasa dan dari sisi ekstralingualnya, hal itu tertegas dengan merujuk pada situasi Indonesia pada 1998. Tanpa referen sekalipun, makna dari bait puisi Rendra di atas dapat terbaca dengan mudah. Namun hal itu tentu akan sangat berbeda dari hal menemukan makna suatu karya sastra tertentu yang kaya akan metafora dan simbol. Misalnya, dari apa yang ditulis Chairil Anwar dengan ‘aku ini binatang jalang/dari kumpulan terbuang’ sulit tersingkap suatu makna yang tunggal, selain oleh karena setiap pembaca bisa menyingkapinya seturut sudut pandang dan referen yang dimiliki, juga terutama karena lukisan metaforik padanya yang bisa memunculkan aneka tafsir dan makna.
Namun entah aneka atau tunggal, entah dari sudut pandang manapun atau dengan referen apa pun, makna dari sebuah karya sastra, baik yang tampak lugas maupun yang metaforik dan simbolis, tak bisa ditarik dari luar, melainkan dari dalam teks itu sendiri. Makna adalah essence of things. Dengan lain perkataan, bermakna tidaknya suatu karya sastra, seperti pada realitas umumnya, hanya bisa terbaca atau tersingkap sejauh dibaca atau disingkapkan pertama-tama dari dalam karya itu sendiri dan sedapat mungkin tertegas dalam referennya yang kuat.
Membaca dari Dalam
Bagaimana hal ‘membaca dari dalam’ atas karya sastra tertentu dimungkinkan? Bagaimana ‘membaca dari dalam’ mungkin bagi seorang sastrawan ketika berhadapan dengan realitas atau sepenggal kehidupan tertentu demi membuahkan sebuah karya sastra yang bermakna? Tentang hal ‘membaca dari dalam’, Edward Bullough, seorang estetisian, menelurkan pandangannya tentang perlunya ‘distansi’ terhadap karya seni, termasuk bagaimana sebuah karya sastra bisa dibaca dari dalam. Distansi, menurut Bullough, dilalui dengan memisahkan karya seni dan daya pesonanya dari selera sendiri si penikmat dengan menaruhnya di luar lingkaran tujuan dan keperluan praktis sematamata.
Dengan distansi, selain obyektivitas karya terjaga, juga seorang penikmat dimungkinkan untuk berkontemplasi terhadap karya seni dalam keheningan tanpa bermaksud menjadikan pengalaman estetis terhadapnya menjadi impersonal. Dalam proses berkreasi, distansi diperlukan agar apa yang direpresentasikan dalam karya bukan bualan imajiner penciptanya, tetapi yang sungguh tersambung dengan realitas yang dihadapi. Dalam apresiasi atas karya sastra, distansi diperlukan agar apa yang dibaca dari karya sastra, dibaca menurut teks dan konteks olehnya karya sastra itu dilahirkan, tanpa terperangkap dalam kepentingan praktis-pragmatis si pembaca. Distance makes the aesthetic object ‘an end’ in itself. It is that which raises art beyond the narrow sphere of individual interest.[6]
Selain distansi yang digagas Bullough, metode hermeneutika kuno yang dielaborasi filosof Hans – Georg Gadamer bisa juga menjadi perspektif dalam hal ‘membaca dari dalam’.[7] Terhadap sebuah realitas macam apa pun, menurut Gadamer, seorang harus pertama-pertama membangun ‘understanding’, yakni memahami atau menerima realitas sebagai teks yang utuh dan eviden (essentially self-evident) di hadapannya. Pemahaman yang demikian memungkinkan pembaca untuk juga membangun “interpretation” yang berbasis data yang utuh, terutama terhadap apa yang dari teks tak cukup jelas baginya. Muara dari interpretasi dan pemahaman atas teks adalah “application”, yakni menarik apa yang penting dari teks, yang perlu disikapi atau dihidupi. Alur triadik ini relevan dalam hal bagaimana suatu realitas didekati, termasuk juga ketika seorang berkreasi atau mengapresiasi karya sastra tertentu.
Dalam konteks ini, bisa dipahami mengapa sebagian sastrawan, yang ketika hendak menulis suatu tema tertentu, mencukupkan diri dengan data tentang tema dimaksud – hal yang juga terjadi pada seorang kritikus sastra yang hendak menulis kritik atas teks sastra tertentu. F. Rahardi misalnya, ketika hendak menulis novel ‘Lembata’[8], dia mengambil kesempatan untuk tinggal di Pulau Lembata, NTT mencari informasi “ini-itu, sana-sini” yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Lembata. Juga Ritual Gunung Kemukus[9], sebuah novel fenomenal karena mengangkat kehidupan nyata para penjaja seks di gunung Kemukus, Boyolali, Jawa Tengah. Novel ini diresensi juga dalam majalah Sastra di Prancis. Atau Seno Joko S., mendalami Kisah Para Rasul dalam Kitab Suci Kristen, yang kemudian berbuah dalam novelnya ‘Tak Ada Santo dari Sirkus’[10]. Juga Kuil di Dasar Laut[11] yang oleh banyak sastrawan dan kritikus sastra, Novel Seno Joko yang ini merupakan novel sejarah yang ditulis dalam kemasan narasi jurnalisme dari hasil riset bertahun-tahun yang dia lakukan di beberapa tempat di beberapa negara: Vietnam, Kamboja, Tibet, dll hingga peristiwa G30SPKI.
Satu dua contoh dan keterangan di atas sudah sangat cukup menjelaskan kepada kita bahwa sebuah karya sastra hanya bermakna atau bisa dimaknai sejauh dibuahkan atau dibaca dengan daya upaya ‘membaca dari dalam’, entah dengan distansi a la Bullough atau pun melalui alur triadik yang diperkenalkan Gadamer. Tanpa ‘membaca dari dalam’, sebuah karya sangat boleh jadi hanya serupa pajangan ornamentik dalam jejalan kata-kata indah, tanpa isi yang cukup, terutama bagi pembacanya. Begitu juga, tanpa ‘membaca dari dalam’, seorang pembaca bisa jatuh dalam kesewenangan menghakimi teks sastra tertentu.
Menulis dari Luar
Lima belas (15) cerpen Lamatapo dalam buku ini bisa disimpul sebagai buah dari upaya ‘membaca dari dalam’ dengan empat (4) kategori tematik, yakni: pertama, tentang relasi manusia dengan manusia, kedua, manusia dengan alam, dan ketiga, manusia dengan dirinya, dan keempat, manusia dengan Tuhan.
Kategori pertama, aspek keseharian yang dicirikan secara amat kuat oleh interaksi sosial tentang pergulatan hidup yang tampak umum dan biasa pada kebanyakan orang, seperti kelahiran, perkawinan, rumah tangga, perantauan, santet, konflik, kematian dan sebagainya. Misalnya, dalam cerpen “Penggali Sumur”, percakapan tentang hal mengggali sumur antara tokoh Om Banus dan anak-anak dalam diri tokoh ‘Aku’, Kedaman, dan Olak adalah hal yang tak jarang dijumpai di kalangan masyarakat. Anak-anak yang diliputi rasa ingin tahu bertanya-tanya mengapa Om Banus tidak memilih bekerja ke Malaysia, tetapi justru mengabdikan diri dengan pekerjaan yang di mata anak-anak amat berat. Namun berawal dari percakapan sederhana, hal yang lebih jauh didalami Lamatapo adalah nilai atau bobot dari pekerjaan Om Banus.
“Kita akan menimba kehidupan, anak-anakku. Kita akan bercerita, belajar sabar, dan dikuatkan oleh persatuan, Nak. Di sumur, kita menemukan diri kita bukan lagi satu, tapi menjelma persekutuan yang kuat, sebagaimana satu tetes air yang jatuh dari bibir sumur dan menjadi banyak di dasar sana, anak-anakku. Itu sebabnya, Om ingin jadi penggali sumur.”
Dari keseharian atau hal yang tampak biasa, Lamatapo seolah turut menarik pembaca dengan gaya cerita yang sangat lugas untuk juga bergerak sampai ke kedalaman, ya memberi daya atas keseharian atau sebagaimana dalam uraian F. Budi Hardiman tentang filsafat Heidegger, membuat keseharian itu berdaya mistik yang layak dihayati.[12]
Pada kategori kedua, aspek relasi alam-manusia. Apa yang dilukiskan Lamatapo, selain dengan asosiasi yang kuat, juga dengan melawankan dua hal atau lebih yang memang sebenarnya tak persis sama demi menegaskan pesan moral, yakni bagaimana semestinya terjalin relasi antara alam dan manusia. Dalam cerpen “Perempuan Sekarat dalam Lukisan”, di satu sisi, perlakuan yang baik dari Urbanus terhadap istrinya dilawankan dengan kehendak buruk istri untuk membabat habis tanaman di pekarangan rumah, namun di sisi lain, kepedulian Urbanus itu tampak tersambung kental dengan kepeduliannya terhadap alam lingkungan. Atau juga dalam cerpen “Lubang Besar di Hutan Tebu”, hal membunuh tikus dan kucing yang dilakukan Tohar (suami Sarinah) dihubungkan dengan peristiwa pembunuhan ayah Sarinah pada masa yang lalu. Atau perangai Tohar yang kasar dan dominan (gambaran maskulinitas) dilawankan dengan kelembutan Sarinah (femininitas) – dua hal yang juga dalam perspektif gerakan ekofeminisme dewasa ini selalu saling dihadapkan untuk menegaskan bahwa memberi perhatian kepada kaum perempuan bersinggungan dengan tanggung jawab ekologis atau sebaliknya, kerusakan ekologi adalah buah dari dominasi dan hasrat-hasrat maskulin.
Untuk kategori ketiga, aspek spiritualitas yang terlihat dalam pergulatan batin dari hampir sebagian besar karakter, entah mau ditarik kembali kepada pengalaman traumatis pada masa lalu atau memilih cara hidup baru; entah hidup dalam pusaran kenangan atau bersedia menatap masa depan yang masih jauh terbentang; entah tetap menjaga tradisi dengan risiko terbilang kolot atau ikut disapu bersama arus modernisasi yang kian gila. Namun toh pada akhir pergulatan, Lamatapo menunjukkan bahwa keputusan tetap harus diambil. Misalnya, dalam cerpen “Dua Cangkir Kopi di Hari Ulang Tahun Pernikahan”, pengalaman buruk Jesica dengan suaminya membangkitkan kenangan akan ibunya yang pergi tanpa berita. Keduanya (Jesica dan ibunya) terjembatani hanya dengan persoalan secangkir kopi: secangkir pada ibu dan secangkir lain pada Jesica. Namun di akhir pergulatan ini, bukan kopi secangkir Jesica, bukan pula kopi secangkir ibu, tetapi spirit pernikahanlah yang mesti dihangatkan dengan konsekuensi perkara secangkir kopi harus dibiarkan menguap, dingin dan selesai.
Lalu kategori keempat, dimensi iman, yakni bahwa yang tak pernah selesai atau tuntas terjawab hanyalah perkara tentang Tuhan. Dalam kategori ini, Tuhan dilukiskan sebagai yang paling akhir, puncak dari keterarahan manusia, tetapi toh tidak akan pernah berakhir untuk diselami manusia. Dalam cerpen terakhir dalam buku ini “Menunggu Maria”, tokoh ‘Aku’ dilukiskan sebagai persona yang dihadapkan dengan peristiwa kematian dan yang memiliki relasi intersubyektif dengan Tuhan. Sebagai persona, ‘Aku’ bukanlah manusia yang tertutup pada dirinya sendiri. Ia hanya bisa menemukan dan menjadi dirinya sendiri, ketika dia bisa keluar dari dirinya sendiri dan mengarahkan diri kepada Tuhan, karena makna tertinggi hidupnya terletak tidak dalam dirinya sendiri, atau pun dalam relasi dengan manusia, melainkan dalam intimitas dengan Tuhan. Tuhan, dalam bahasa teolog Edward Schillebeeckx, adalah horison dari berbagai macam hubungan manusia dengan dunia yang terwujud dalam tindakan penyelamatan-Nya atas manusia.“The whole of secular human life makes explicit what God’s inward offer of grace means for us, namely, that God is our salvation”.[13]
Namun dengan subyektivitas yang theonom ini sekalipun, ‘Aku’ tetap tak bisa memahami secara tuntas kehendak Tuhan-nya. Atau dalam bahasa Santo Paulus: “Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya (Roma 11:33).
Dari yang tak terselami itu hingga pada pengalaman hidup yang konkret dan biasa, Lamatapo sesungguhnya menghadirkan referen yang kuat bagi cerpen-cerpennya. Bahkan, tanpa berindah-indah dalam diksi, cerpencerpen ini menampakkan apa yang dikatakan Horatius, ‘dulce et utile’, karya sastra yang menyenangkan dan berguna. Menyenangkan, karena diungkapkan dalam bahasa yang lugas dan rutin (bahasa keseharian), dan berguna, karena berdaya membangkitkan atensi orang untuk mencari kedalaman, meski dari perkara-perkara hidup yang sangat sederhana. Singkat kata, cerpencerpen ini adalah suatu rangkaian nobilia simpliciter, kesederhanaan yang anggun.
Karya sastra yang sederhana nan anggun semacam ini, menurut hemat saya, tentu tak bisa lahir dengan hanya mengandalkan imajinasi, tetapi juga dengan keterlibatan yang intensif dari si pengarang, yang didukung secara amat kuat oleh intuisi, baik intuisi intelektif (kemampuan intelek untuk mengenal esensi suatu obyek melalui proses abstraksi) maupun intuisi indrawi (kesanggupan indrawi, terutama indra penglihatan untuk mengenal suatu obyek secara materiil). Menulis dengan mengandalkan imajinasi, tetapi tanpa keterlibatan dan intuisi bisa menyeret si pengarang kepada bayangan belaka tanpa pengertian. Juga kalau si pengarang bermaksud menulis karya sastra hanya dengan mengandalkan keterlibatan dan intuisi, tanpa imajinasi, maka karya itu hanya akan tampak seperti sebuah reportase yang kaku. Intuisi dan keterlibatan berdaya mengantar pengarang untuk bergerak dari bayangan (phantasma) ke pengertian, sedangkan imajinasi memungkinkan pengarang mengelaborasi apa yang dicerapnya ke dalam konteks yang bisa lebih luas dibayangkan.
Dalam cerpen-cerpen Lamatapo ini, memang ada paduan antara keterlibatan, intuisi dan imajinasi, tetapi barangkali dari kaca mata pembaca terutama, tak cukup ‘meliarkan’ imajinasi untuk bergerak dalam konteks yang lebih luas. Hal terakhir ini bisa dipahami, karena sebagian besar cerpen ditulis dengan latar lokalitas yang kuat (kampung) dan dengan keterlibatan yang intens, yang tentu saja dengan risiko imajinasi pembaca mudah juga ditarik untuk hanya berpusar sekitar lokalitas yang dihadirkan pengarang. Andai saja, misalnya dalam cerpen “Penggali Sumur” pilihan Om Banus untuk bekerja di kampung dibandingkan dengan narasi tentang susahnya bekerja di Malaysia, maka imajinasi pembaca bisa bergerak lebih lapang misalnya menjangkau soal-soal yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti upah, majikan, eksploitasi dan praktik human trafficking lainnya.
Persoalan-persoalan yang diuraikan di atas dalam sosiologi Charles Wright Mills, dikenal dengan imajinasi sosiologis (sociological imagination), yang berarti menaruh dan melihat suatu hal dalam konteks yang lebih luas dan kaya, agar hal dimaksud pun bisa berbicara tentang lebih banyak hal dan bisa pula amat kaya untuk dimaknai. ”Sociological imagination is the awareness of the relationship between personal experience and the wider society”.[14] Dengan lain perkataan, paduan antara keterlibatan, intuisi dan imajinasi dalam sebuah karya sastra bisa tampak kuat atau dapat dikatakan karya sastra itu bisa sangat kaya untuk dimaknai kalau seorang sastrawan tidak hanya membaca realitas dari dalam, tetapi juga berani menulis dari luar, menulis realitas dengan kaca mata luar.
Menulis dari luar, dalam pengertian ini, sama sekali tidak berkaitan dengan seorang outsider, yang melihat persoalan dari luar. Menulis dari luar yang dimaksudkan di sini adalah menulis dengan perspektif yang luas, tidak sama sekali terperangkap dalam konteks dalamnya suatu realitas itu ada dan dicerap. Ini memang bukan perkara gampang, segampang memutar telapak tangan, apalagi bagi seorang penulis yang amat sulit mengambil jarak dengan realitas tertentu. Karena itu menurut hemat saya, urusan menulis semacam ini hanya mungkin terwujud kalau seorang penulis bersedia untuk membuat pergumulan rangkap (double wrestle), mengkonfrontir apa yang ditemukan dalam konteks dengan apa yang ada di luar konteks (konteks lain).
dengan apa yang disebut oleh sosiolog Peter L. Berger sebagai “sociological perspective”, yakni ‘melihat yang umum dalam yang partikular’, yang membantu untuk menyadari pola-pola umum dari tindakan yang spesifik dari setiap individu.
Dalam teologi kontekstual, pergumulan rangkap ini amat kental dihidupi, yang mengandaikan dua proses berikut ini, yakni pertama, kesediaan seorang teolog untuk going in (masuk dan terlibat di dalam realitas) dan kedua, kesediaan untuk coming back (distansiasi, kembali kepada diri, kepada apa yang teolog sendiri hidupi dan hayati). Dengan dua proses ini hingga pada pergumulan rangkap, seorang teolog dimungkinkan untuk berteologi secara kontekstual, yang berarti membawa warta Injil tidak hanya dari sudut pandangnya sendiri, tetapi juga warta yang memang sudah disejalankan dengan konteks yang ditujunya. Proses ini, menurut hemat saya, juga relevan dalam penulisan karya sastra, yakni menulis dari luar tentang sesuatu yang sudah dibaca dari dalam.
Namun terlepas dari tetek bengek soal ‘menulis dari luar’ yang diuraikan di atas, dengan kecukupan membaca dari dalam, Lamatapo sesungguhnya menghadirkan suatu karya sastra yang bermakna bagi pembaca, ya sekurang-kurangnya telah menjadi seperti apa yang dikatakan cerpenis Martin Aleida, ‘Sastra kesaksian’, yang bersaksi tentang keseharian yang bermakna. Pada siapa pun yang membacanya, karya ini bisa memunculkan insight untuk turut melihat perkara-perkara hidup yang sederhana, tidak hanya sebagai yang anggun dan menyenangkan, tapi juga berguna, yang layak diabadikan dalam karya semacam ini.
Mbe’i Kajuoto Detukeli Awal Maret, 2021
————————————————————————————
Sumber Tulisan Prolog Buku Pengggali Sumur, Kumpulan Cerita Pendek, Selo Lamatapo – Penerbit Ikan Paus 2021
——————————————————————————————————
Catatan Kaki
[1] Pastor Kampung, tinggal di Detukeli, Ende.
[2] Sekalipun dalam situasi yang serba sulit oleh karena hubungan buruk dengan Richard Wagner dan Cosima, Nietzsche masih menaruh perhatian pada musik dan drama. Walter Kaufmann, Nietzsche Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton:
Princeton University Press, 1974), pp. 35-36.
[3] Noël Carroll, Philosophy of Art (London: Routledge Taylor and Francis Group, 1999), p. 29.
[4] Peter Winch, “Understanding a Primitive Society”, dalam B.
Wilson (ed.), Rationality (Oxford: Blackwell, 1970), pp. 90-91.
[5] Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, translated by PerryMeisel and Haun Saussy (New York:
Columbia University Press, 2011), p.68.
[6] Edward Bullough, “PHYSICAL DISTANCE AS A FACTOR IN ART AND AN AESTHETIC PRINCIPLE” dalam Manuscript Volume V, June 1912, p. 117.
[7] Hans – Georg Gadamer, Truth and Method (New York: Continuum, 1989), p.307. Bisa dibandingkan juga dengan proses yang ditawarkan oleh Althusser dalam mengapresiasi suatu karya seni, yakni “seeing”, “perceiving” dan “feeling” (melihat, menyadari dan merasakan). Bdk. Dominic Head, The Modernist Short Story A Study in Theory and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), p. 27.
[8] F. Rahardi, Lembata, Sebuah Novel (Yogyakarta: Penerbit Lamalera: 2008).
[9] F. Rahardi, Ritual Gunung Kemukus (Yogyakarta:
Penerbit Lamalera: 2008).
[10] Seno Joko Suyono, Tak Ada Santo dari Sirkus (Yogyakarta: Penerbit Lamalera: 2010).
[11] Seno Joko Suyono, Kuil di Dasar Laut (Yogyakarta: Penerbit Lamalera: 2014).
[12] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), p. 52.
[13] Edward Schillebeeckx, Revelation and Theology, translated by N. D. Smith (London: Sheed and Ward Ltd, 1967), pp. 5-6.
[14] Charles Wright Mills, Sociological Imagination (Oxford: Oxford University Press, 1959), p.5. Bisa pula dibandingkan dengan apa yang disebut oleh sosiolog Peter L. Berger sebagai “sociological perspective”, yakni ‘melihat yang umum dalam yang partikular’, yang membantu untuk menyadari pola-pola umum dari tindakan yang spesifik dari setiap individu.