S i n d h u n a t a
Basilika Vatikan dengan kubahnya. Kubah raksasa berwarna biru. Dari jauh nampak, kubah indah itu seakan tergantung di awan, dan diturunkan dari awan, jadi atap basilika. Genius seni. Michaelangelo yang menggarap kubah itu, sungguh berhasil memberikan kesan betapa langit dan basilika itu bersatu dalam satu kubah sebagai titik temu.
Persatuan itu nampak dalam warna. Jika langit sedang biru, dan orang membiarkan diri puas memandang basilika dari kejauhan, serasa awan dan kubah itu bagaikan bergantung-gantungan. Pada waktu menggarap, Michaelangelo sendiri memang terserap dalam kerinduan bagaimana meraba “ke-Absolut-an”. Ke-Absolut-an itu tak dapat diraba, kecuali dengan cara menyeret dunia semesta ini ke arahNya, mempersatukan semesta itu dalam gerak ke arah “sana”. Gerak serta dinamika menuju ke ke-Absolut-an itu tercipta dalam kreasi genius sebuah seni. Dan itulah kubah Basilika Vatikan, yang juga dinamai kubah Michaelangelo.
Di pelataran basilika, hari Jumat menjelang tepat pukul 12.00 siang, ribuan manusia berada. Pelataran basilika itu terbangun dan terbatasi oleh dua buah sayap, yang mengepak dari “tubuh” basilika sendiri. Sayap basilika yang tersusun dari pelbagai pilar-pilar simetris ini diciptakan oleh artis Bernini.
Bernini berusaha, bagaimana kepakan sayap raksasa itu terasa sebagai sepasang lengan yang merentang dan melingkar sepanjang pelataran basilika. Maka pilar-pilar simetris itu membentuk satu kebulatan kesan, bagaikan tangan atau lengan basilika. Basilika yang bertangan, membentuk satu pelukan. Itulah hasrat Bernini, yang ingin menggambarkan, bagaimana wujud suatu pelukan universal, di mana manusia segenap penjuru dunia terpeluk dan tertampung di pelataran Basilika.
*****
Matahari cukup menyengat untuk udara Roma. Menjelang tepat tengah hari ribuan mata tertengadah memandang jendela Paus di istananya. Sebentar lagi Paus akan muncul dari jendela. Lonceng gereja mengalun panjang menandai datangnya tengah hari. Jendela, yang terpencil di kejauhan itu membuka, serentak terdengar sorak sorai, dan ribuan tangan melambai-lambai. Paus sudah muncul dari jendela. Tak berapa lama lagi, suasana berbalik sunyi, dan Paus memimpin doa Angelus Domini.
Angelus Domini, Malaikat Tuhan, adalah doa yang dulu selalu diucapkan oleh umat Katolik, tetapi di tengah hari. Doa ini mengenangkan kunjungan Tuhan pada Maria, lewat malaikatNya, untuk membawakan kabar kegembiraanNya. Dan tahun ini secara gerejani adalah tahun yang dipersembahkan untuk Maria. Itulah sebabnya umat Katolik yang kebetulan berada di Roma, menyempatkan diri untuk datang ke Basilika Vatikan, sejenak bersama Paus berdoa Angelus Domini. Hanya sekitar lima menit doa berlangsung. Paus memberikan berkat, dan jendela itu pun tertutup kembali.
Yohanes Paulus II dikenal sebagai paus yang mencintai Maria. Menyambut tahun Maria, ia mengeluarkan sebuah ensiklik berjudul Redemptoris Mater (Bunda Penebus). Maret tahun lalu, saat diumumkannya ensiklik ini. Paus mengajak umat kristen agar senantiasa mengenang Maria sebagai teladan orang beriman.
Tahun 2000 sudah diambang mata. Di tengah optimisme atau pesimisme menjelang tahun 2000, mungkin orang lupa, betapa bersejarah saat itu seharusnya buat orang kristen. Tahun 2000 adalah “jubelium dua puluh abad kelahiran Kristus di dunia”. Selama sebulan menjelang Natal, orang katolik merayakan liturgi advent, semacam masa penantian dan harapan akan kedatangan Penebus Dunia. Maka, kata Paus, tahun-tahun menjelang tahun 2000 ini layak menjadi semacam advent yang panjang, masa penantian penuh harapan.
Maria adalah tokoh advent. Dia adalah wanita sederhana yang dengan penuh kepercayaan dan kesetiaan menanti wujud Tuhan. Paus mengajak, agar di masa advent yang panjang menjelang pergantian 2000 tahun kelahiran Kristus di dunia ini umat kristen sudi meneladan Maria. Itulah sebabnya antara lain mengapa Paus menginginkan tahun 1987-1988 khusus dipersembahkan pada Maria.
Mengenang Maria, seharusnya umat kristen yang terpecah belah rindu untuk bersatu. Ensiklik Redemptoris Mater mengingatkan, bahwa Maria adalah satu-satunya ibu bagi orang kristen. Darinya lahir seorang penebus yang diimani semua orang kristen, padanya terbulatkan satu iman dan harapan akan janji Tuhan yang ingin membebaskan umatnya. Satu ibu, mengapa mesti tidak bersatu?
Paus menunjukkan satu fakta, bahwa baik gereja katolik, gereja katolik orthodoks dan gereja-gereja timur sama intensifnya dalam menghormati theotokos, Bunda Tuhan. Padanyalah gereja yang terpecah belah itu sama-sama terikat. Apalagi jika diingat, praktek penghormatan akan Maria ini biasanya dijalankan oleh umat yang sederhana. “Orang-orang sederhana selalu bisa meraba perlindungan dan kehadiran Bunda Penebus itu.” kata Paus. Fakta ini seharusnya mendorong umat kristen untuk bersatu.
Redemptoris Mater menekankan juga, bahwa ingatan akan Maria tak pernah terpisahkan dari ingatan akan cinta Tuhan, terutama pada mereka yang miskin, menderita dan tertindas. Magnificat, pujian Maria akan kebesaran Allah, adalah doa orang sederhana dan miskin, yang merasa bahagia, karena pada merekalah janji Allah terutama diarahkan dan mendapat perwujudannya. Tahun Maria adalah tahun di mana gereja perlu untuk sadar kembali, bahwa dalam gereja, si miskin harus mendapat tempatnya kembali.
Maria, kata Paus, adalah gambaran dari kemerdekaan dan pembebasan manusia. Sebab pada Maria, makna dan arti hidup ini seluruhnya dicari dan digantungkan pada Penciptanya. Gereja perlu memandang untuk kembali sadar akan tugas sejatinya di dunia ini, terutama dalam rangka perjuangan kemerdekaan manusia.
Ensiklik Redemptoris Mater itu selanjutnya memujikan Maria sebagai cermin dan eksistensi para wanita. “Memandang Maria,” kata Paus, “Para wanita akan menemukan rahasia dirinya. Atas dasar rahasia itu para wanita akan tahu bagaimana mereka melayakkan diri dan mengembangkan dirinya. Dengan cahaya Maria, gereja memandang wajah wanita dalam keindahannya, keindahan yang menampilkan rasa terdalam. Rasa kedalaman kewanitaan inilah yang memampukan hati manusia untuk memberikan diri dalam cinta tanpa syarat. Rasa kedalaman itulah kekuatan, yang memungkinkan orang menanggung beban dan penderitaan terpedih sekalipun. Ia adalah kesetiaan tanpa batas, dan kemampuan untuk mempersatukan gejolak hati dengan kata-kata yang memberikan keberanian, harapan, dan penghiburan”.
De Maria numquam satis! Tentang Maria tak pernah cukup. Dari Maria selalu sesuatu bisa digali, bisa ditemukan. Itulah salah satu anggapan umum di gereja. Orang bisa mengetahui tentang Maria dari dogma, dari ajaran gereja, dari kehidupan umatnya. Tapi seni pun membuktikan, bahwa selalu ada rahasia dalam Maria, yang bisa diekspresikan dalam keindahan seni. Keindahan seni sering malah lebih membukakan kesan, betapa kaya kehidupan Maria itu.
Semakin banyak lukisan tentang Maria di Galeri Accademia Venezia. Masing-masing berusaha menampilkan salah satu kesan yang ditangkap dari Maria. Salah satu lukisan gemilang tentang Maria adalah karya Giambattista Pittoni (1687-1767), yang menampilkan saat pewartaan kabar gembira oleh Tuhan lewat Malaikat Gabriel pada Maria.
Dalam Injil, pewartaan kabar gembira itu memang menarik, tapi sering hanya memberikan kesan yang statis dan kurang dinamika. Dan dinamika inilah yang ditangkap oleh Pittoni yang kuasnya menggelapkan sebuah sisi, dan di sisi gelap inilah Maria berada. Malaikat datang, berwajah bidadari, sayapnya membentang, dan kegelapan pun berpijar dengan cahaya keemas-emasan. Awan emas menyapu kegelapan itu, dan bagaikan pusaran empat anak-anak kecil memutar dalam sapuan awan itu.
Setitik putih dalam rupa burung merpati, menemani Malaikat mendekati Maria. Tubuh Maria miring ke arah kanan, dan tubuh sang malaikat miring ke arah kiri. Posisi berlawanan ini terbangun secara sangat simetris, sehingga menimbulkan kesan “gerak” dan “saat” kabar gembira itu merasuk ke dalam diri Maria, dan serentak mengangkat kesederhanaannya dalam keindahan sebuah gerak tari. Giambattista Pittoni telah membuat pewartaan kabar gembira itu bagaikan suatu balet.
Tentu bukan maksud Pittoni “mensekularisasikan” tema religius itu. Ia hanya membayangkan bahwa momen pewartaan kabar gembira, di mana yang ilahi masuk ke dalam yang manusiawi itu, sebagai suatu ekstase rohani. Ekstase tak pernah bisa dilukiskan secara tepat. Dan Giambattista Pittoni menggambarkan ekstase itu bagaikan suatu tari balet. Dan inilah maksud Pittoni: betapapun sederhana Maria, ia menjadi indah dalam komposisi gerak lukisan yang bagaikan tarian balet itu.
Maria indah dalam karya seni. Tapi tak ada rasanya seniman yang dapat menandingi kebesaran Michaelangelo dalam menampilkan keindahan diri Maria. Patung Pieta, karya genius Michaelangelo, yang sampai kini masih berada di Basilika Vatikan, menjadi saksi untuk itu. Tiap pengunjung basilika, kendati ia tak terlalu mengerti seni, tentu akan kagum sejenak melihat karya seniman zaman renaisance itu.
Michaelangelo datang ke Roma pertama kali tahun 1496. Kendati saat itu namanya sudah terpandang, Pieta-lah yang kemudian mengantarkan keharuman namanya. Michaelangelo berusia 21 tahun. Ia telah membuat dua karya luar biasa, “Dewi Asmara yang tertidur” dan “Dewa Bachus yang mabuk”.
Kardinal Jean de Bilheres de Lagraulas sangat tertarik akan dua karya itu, dan ia ingin berkenalan dengan senimannya sendiri. De Lagraulas minta kepada Michaelangelo, agar ia membuat suatu patung Pieta. Pieta sudah cukup tersebar sebagai karya seni saat itu. Pieta pada pokoknya melukiskan Maria yang memangku jenasah Yesus, putranya, setelah peristiwa penyaliban.
*****
Kardinal De Lagraulas akhirnya dapat berkenalan dengan Michaelangelo lewat perantaraan seorang pedagang bernama Japoco Galli. Pada kardinal, Japoco Galli bilang , bahwa Michaelangelo akan menyelesaikan karya itu dalam setahun, dan patung dari marmer itu akan menjadi patung terindah di Roma, serta tak ada karya seniman lain yang mampu menandingi karya Michaelangelo nanti.
Kontrak ditandatangani, dan Michaelangelo mulai bekerja. Sayang De Lagraulas meninggal sebelum Pieta dari Michaelangelo selesai. Begitu Pieta dipasang, kekaguman mengalir dari mana-mana. Michaelangelo sendiri tak mengira, bahwa Pieta, ciptaannya, ternyata mengundang kekaguman luar biasa.
Michaelangelo dengan Pietanya melukiskan Maria sebagai gadis remaja, dengan wajah sederhana tapi jelita. Sementara lutut dan kaki gadis remaja ini dipahat sedemikian rupa, sehingga memberi kesan kekuatan yang luar biasa. Kekuatan kaki gadis remaja ini memungkinkan ia menyangga jenasah putranya setelah Ia diturunkan dari salib. Mayat Yesus dipahat dengan sangat realis, menderita, dewasa.
Tubuh Maria dimiringkan ke kanan, menjorok ke dalam, dalam arah yang berlawanan dengan jenazah putranya. Komposisi arah yang berlawanan ini memungkinkan Maria yang menyangga putranya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menyerah pasrah. Betapa kokoh pangkuan gadis muda ini, meski di sana tersangga sesosok mayat yang sangat menderita.
Maria adalah ibu Yesus. Tapi dalam Pieta Michaelangelo ia seperti the daughter of the Son, anak dari putranya. Seorang ibu menjadi anak putranya, justru ketika penderitaan mencapai puncaknya: kematian putranya. Wajah Maria adalah wajah yang jelita, dengan visi seorang bidadari. Wajah putranya adalah wajah manusia, yang menderita, kalah dan mati, kendati Dia diimani sebagai Tuhan yang menjelma di dunia.
Saat itu Michaelangelo juga mendapat kecaman pedas dari para kritisi. Mengapa ia membuat kontras luar biasa antara sang ibu dan anaknya? Mengapa ia begitu tegam melukiskan seorang gadis remaja, berwajah jelita, menampilkan kesan tak bersalah seperti seorang bidadari, padahal di pangkuannya tergeletak jenazah putranya yang begitu menderita. Mengapa Michaelangelo sampai hati meletakkan seorang gadis tak bersalah dalam penderitaan yang begitu dahsyat? Dan masih lagi: mengapa gadis remaja tak bersalah itu mempunyai pangkuan yang begitu kokoh dan kuat di mana tersangga jenazah putranya?
Kontras itulah yang memang justru ingin ditekankan oleh Michaelangelo. Maka ia menjawab kecaman para kritisi. Kata Michaelangelo, ia sungguh sengaja menekankan keremajaan, kejelitaan, dan kesegaran wajah sang ibu, yang mekar bagai bunga-bunga di musim semi.
“Anak dari Putra” ini sebenarnya berasal dari puisi penyair Dante, In Paradiso. Michaelangelo memang sangat dipengaruhi oleh Dante, sekurang-kurangnya menurut Vassari. Dalam In Paradiso, Dante melukiskan saat terakhir ia memandang keilahian. Saat itu Beatrix, yang menyertai Dante menghilang. Dante tak mungkin lagi melukiskan keindahan Beatrix: Di sini puisiku mesti berhenti, tak mungkin lagi ia mengikuti keindahanmu, berhenti seperti setiap seniman di ujung tujuannya.
The Daughter of The Son itu telah terpahat dalam Pieta Michaelangelo. “Anak dari Putra” itu terjelma dalam penderitaan Pieta. Dan dalam penderitaan bahkan kematian inilah Michaelangelo melukiskan dialog antara ibu dan anaknya. Dialog sungyi, diam tanpa kata, dialog antara yang hidup dan yang mati. Pieta memaparkan apakah nilai dan arti dari sebuah dialog yang sunyi.
Mata Maria terpejam. Tapi seluruh wajahnya berbicara. Kesunyian dan ke-diam-an ini memampukan dia untuk meraba kedalaman tersembunyi, hakikat terdalam pribadi putranya. Pribadi seseorang tak dapat diraba lewat kata atau pernyataan, ia tersembunyi sangat dalam, ia adalah keintiman diri orang itu sendiri. Kata-kata hanya mendangkalkan kepribadian yang penuh rahasia itu. Hanya dengan “diam”, “dialog” tanpa kata, yang dapat meraba kepribadian itu, karena di sinilah terjadi penyerahan diri kepada pribadi yang tak ia mengerti. Dan hal inilah yang dipahat secara dramatis oleh Michaelangelo dalam Pieta: dialog itu bisa terjadi, bahkan dialog ini dialog sejati, ketika Maria, kaya dengan seribu pengertian tapi terdiam dalam kata, memandang putranya di pangkuannya, yang sudah mati.
*****
Mengapa kau tak mau berjaga? Tanya puisi Giovanni Strozzi kepada Michaelangelo, yang waktu itu habis menyelesaikan karyanya Fajar di Pagi Hari. Dan dalam puisi pula Michaelangelo menjawab pertanyaan Giovanni Strozzi:
“Kusuka tidur, tapi lebih kusuka, jika aku jadi batu, sementara di luar derita dan celaka terjadi. Tak melihat, tak mendengar suatu apa, bagiku adalah hiburan luar biasa. Jangan bangunkan aku, bicaralah pelan dan diam…”
Michaelangelo memang telah menciptakan pelbagai karya besar. Tapi sejak pengalamannya di Roma tak bisa lagi ia pisah dari Pieta. Pieta menuntun dia melacak corak dan garis seni yang khas bagi dirinya. Pieta pula yang menjadi tema di senja usianya. Kecuali Pieta di Roma, Michaelangelo mencipta di saat tuanya: Pieta di Santa Maria del Fiore, Pieta da Palestriana, dan Pieta Rondanini.
Ketiga Pieta ini masih segaris dengan Pieta di Roma. Tapi dalam karyanya yang terakhir ini tak nampak lagi perpisahan antara teknik dan spiritualitas Michaelangelo, yang telah mencapai kematangannya. Malah serasa teknik itu tak mampu lagi mengungkapkan kematangan spiritualitas itu.
Michaelangelo telah meraih segala kemampuan teknik zaman renaisance. Tak mungkin lagi ia diungguli. Setelah Michaelangelo, mau tak mau seni harus menatap medannya yang baru. Michaelangelo sudah menguras habis keampuhan zaman renaisance. Dan itu berarti ia telah memberi tempat baru bagi perkembangan seni selanjutnya. Di ujung kehebatan yang sekaligus “keterbatasannya” ini Michaelangelo memberi kenang-kenangan pada dunia ketiga patung Pieta.
“Kini kulihat betapa palsu pikiranku tentang seni selama ini. Aku ditunggui oleh kematian ganda. Kematian yang pertama aku tahu pasti. Kematian yang kedua sedang mengancam aku. Tak ada lukisan, tak ada manusia, yang dapat menahan diri dari cinta Tuhan, yang merentang di kayu salib untuk menerima kita,” kata Michaelangelo setelah ia menyelesaikan Pieta Rondanini, beberapa saat sebelum ia mati.
Tak nampak “kecantikan” dalam Pieta Rondanini. Tak ada pemisahan lagi, mana yang ilahi, mana yang manusiawi, mana ibu mana putra. Guratan teknik pun tak bernafsu lagi untuk melukiskan wajah. Pieta Rondanini hanyalah ekspresi dari kesatuan Yesus dan Maria. Wajah mereka berdua melebur dalam penderitaan, tubuh mereka menyatu dalam kesunyian dan kesendirian. Tak ada kata yang dapat melukiskan rasa kedalaman seni besar itu yang mencapai kematangan spiritualitasnya dalam Pieta, kecuali mungkin kata-kata Dante ini: kata dan bahasaku jadi makin miskin, apa yang kutahu, kuketahui seperti anak kecil, yang memainkan lidahnya pada buah dada ibunya.******
______________________________
Sumber Tulisan dari Buku Dari Pulau Buru ke Venezia, Penerbit Kompas, 2006