Oleh Mohamad Sobary
“Kretek, however, is more than simply an exotic
cigarette and economic phenomenon, it is an
integral part of Indonesia’s cultural tradition.”
(Mark Hanusz)
Mark Hanusz dan Pramoedya Ananta Toer dua sosok pribadi; yang satu hidup di dunia kemegahan uang, dan yang satu lagi seniman besar yang hidup di dunia ide. Usaha untuk membuat keduanya bertemu tampaknya merupakan sesuatu yang mustahil.
Jika kita hanya melihatnya sepintas lalu, akan segera jelas bahwa Mark, seorang bankir, dan Pram, sastrawan terkemuka, niscaya tidak bakal cocok satu dengan lainnya. Keduanya mungkin memang tidak bisa bertemu secara hangat untuk berbicara tentang hidup.
Seorang bankir kerjanya ‘membuat uang’, sastrawan bekerja di bidang nilai-nilai, dalam worldview, dalam sikap dan tingkah laku manusia maupun dalam renungan filsafat tentang keadialan, kemanusiaan dan estetika yang sangat jauh dari bank dan uang. Di bank, uang paling berharga.
Bank itu rumah uang. Di dalamnya hanya ada uang dan uang. Manusia ada untuk melipatgandakannya. Sekali lagi, di bank, uanglah yang paling berharga dan paling dimuliakan oleh manusia.
Dunia Pram tidak ada hubungannya dengan bank. Mungkin Pram mengutuk bank dalam keadaan darurat sedang membutuhkan uang, tapi bank tidak begitu tertarik untuk memberinya pinjaman yang mengandung tuntutan kekeluargaan dan menimbang rasa kemanusiaan.
Kemanusiaan yang adil dan beradab boleh diteriakan seribu kali dalam hanya satu jam, tetapi boleh jadi bank tak tergiur untuk mendengarkannya. Dalam kamus dunia perbankan, kata kemanusiaan tidak ada. Rumah uang, ya rumah uang. Dia bukan rumah kemanusiaan.
Kita tahu, bank bekerja dengan mekanisme bisnis yang serba ketat, jauh dari apa yang namanya filsafat keadilan, kemanusiaan, mapun keindahan. Namun Mark melepas semua atribut yang ada pada dirinya. Kemudian ia tampil sebagai peneliti yang berkutat dengan wawancara, melakukan pengamatan secara jeli dan menginterpretasi suatu fenomena sebagai bagian dari data yang dihimpunnya. Ia pun berbicara tentang tembakau, tentang produk olahannya, dan aroma cengkeh yang semerbak – ada hangat ada pedas – dan menghubungkannya dengan warisan kebudayaan Indonesia. Dari situ, pelan-pelan Mark dan Pram tersambung oleh semangat dan jiwa penulis.
Ketika pembicaraan jauh dari urusan uang – sesuatu yang asing baginya – Pram akan bisa melayaninya semalam suntuk. Lebih-lebih kalau Mark membawakannya oleh-oleh berupa beberapa bungkus kretek kesukannya.
Kita sedang berbicara tentang Mark yang menulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, buku terbaik di bidang tersebut hingga saat ini. Majalah Time menyanjungnya dengan ungkapan bahwa Mark menampilkan uraian hingga ke tingkat detail dan teliti mengenai industri yang sudah berusia 120 tahun itu, didukung oleh ilustrasi yang so beautiful, so interesting.
Patut ditambahkan pula disini bahwa hingga hari ini buku Mark tadi belum ada tandingannya. Karya yang setara saja belum ada. Apalagi yang membandingi kesungguhannya.
Apa yang dianggap penting dari tulisan Mark menurut kalangan muda yang bergerak dalam komunitas-komunitas pembela tembakau? Mungkin ini: kretek bukan hanya sekedar rokok yang bersifat eksotis maupun fenomena ekonomi belaka. Baginya, kretek merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.
Kretek merupakan bagian dari keluhuran budaya Indonesia. Inilah pesona Indonesia, atau pesona dari Timur, kehangatan dan aroma wangi cengkeh, yang membuat bangsa-bangsa Barat berdatangan, berkelahi, baku bunuh di sini, dan kemudian pelan-pelan menaklukan kita. Abad ke-16 adalah abad yang ditandai dengan modernitas, kemajuan dan pencerahan. Tapi apa yang maju di Eropa, kata Pram dalam novelnya Bumi Manusia, hanya berlaku di Eropa. Orang-orang yang hidup berkemajuan itu tak memberi kita perlakuan dengan rasa hormat.
Dalam diskusi seperti ini, Mark dan Pram jelas satu semangat satu jiwa, ibaratnya takkan terpisahkan satu dari yang lain. Dalam buku Mark itu ditulis: “With a foreword by Pramoedya Ananta Toer”. Terbit tahun 2003, ketika nama Pram sudah melejit setinggi langit. Namanya terukir megah di tingkat dunia.
Dalam buku Mark itu Pram berbicara tentang masa kecilnya, tentang kretek, dan pasar malam. Usianya masih 13 tahun, ketika ayahnya menganggap Pram bodoh dan tak boleh meneruskan sekolah. Maka Pram membuka warung kretek. Dengan kata lain, Pram dihukum ayahnya, lalu berjualan kretek. Persis seperti Roro Mendut yang dikenai hukuman Tumenggung Wiroguno dari Mataram, dan kemudian membuka warung rokok yang menjadi bisnis sukses.
Selama setahun itu Pram meraih sukses pula. Kita tidak tahu darimana darah bisnis yang mengalir di tubuhnya. Dia melayani para pelanggan, termasuk pamnnya sendiri, yang membeli kreteknya dengan cara kredit. Harga kretek dibayar pelan-pelan di kemudian hari. Ini potret ekonomi rakyat yang sangat tulen.
Hukumnya bukan bisnis adalah bisnis. Juga bukan ungkapan bahwa bisnis tak mengenal saudara. Namun bisnis itu tolong-menolong. Semangat itu terbukti membuat dia sukses. Namun anak adalah anak. Sambil berlatih bisnis, Pram juga bermain gambar, atau disebut ‘adu gambar’, seperti layknya mainan anak-anak yang baru tumbuh.
Tak diragukan, dia sendiri perokok berat, sampai akhir hayatnya, dalam usia sekitar 86 tahun, kegemaran merokok tak dihentikannya. Dia mengetik sambil merokok. Ke belakang pun merokok. Juga ketika duduk tenang sambil mengembangkan ispirasi untuk menulis. Pram dan rokok adalah dua entitas yang menjadi satu dan saling mendukung.
Mark menulis buku kretek dan memberinya sanjungan yang melambung ke dunia ide, tentang budaya Indonesia. Pram merokok untuk menanti datangnya inspirasi dan mengejar ide.
***
*Mohamad Sobary, budayawan, penulis beberapa buku diantaranya: Semar Gugat di Temanggung, Makamkan Dirimu di Tanah Tak Dikenal, Kidung, Kisah Karna dan Dendam Kita, Mark Hanusz dan Pramoedya Ananta Toer, Kang Sejo Melihat Tuhan, Demokrasi ala Tukang Copet, Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung.
*Sumber Tulisan buku Mark Hanusz dan Pramoedya Ananta Toer, Mohamad Sobary, Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.