S i n d h u n a t a
Boleh jadi, ini adalah kali terakhir Lionel Messi tampil di Piala Dunia. Maklum, sudah 35 tahun usianya. Belum tentu ia bisa tampil empat tahun lagi. Jika demikian, ini adalah saat ia harus memperdengarkan ”Nyanyian Angsa”-nya. Saat ia akan menyanyikan lagu terindah dengan kakinya, sebelum ia beristirahat dari Piala Dunia.
Sepanjang kariernya, Messi sering menjadi teka-teki. Seperti pernah ditulis oleh Jonathan Liew dari The Guardian, Diego Maradona dan Pele pernah membicarakan hal itu dalam suatu acara promosi jam tangan Swiss di Paris.
Kata Maradona, ”Messi adalah pribadi yang besar, tetapi ia tidak mempunyai kepribadian untuk menjadi pimpinan.” Pele setuju, ”Messi adalah pemain besar, tak usah diragukan. Namun, ia tidak mempunyai kepribadian.”
Benarkah anggapan dua legenda bola dunia itu? Dulu mungkin benar. Namun, sekarang kiranya tidak. ”Messi adalah pemimpin yang diam. Ia amat menunjukkan kepribadiannya ketika bermain,” kata Jorge Sampoli, mantan pelatih Argentina. Veteran bola Sergio Bastita menambahkan, Messi mungkin kurang menonjolkan diri di lapangan. Tetapi ketika ia bicara di ruang ganti, semua mendengarka
Di hadapan rekan-rekannya, Messi ternyata amat berwibawa dan bisa menunjukkan otoritas kepemimpinannya. Di ruang ganti, menjelang final Copa Amerika 2021 melawan Brasil, demikian ia menggugah semangat rekan-rekannya, ”Selama 45 hari kita dikurung dalam hotel, 45 hari kita tidak melihat keluarga kita, teman-teman. Itu semua untuk saat ini. Maka, kita pergi ke sana dan mengangkat piala, kita akan membawanya pulang ke Argentina. Aku ingin mengakhiri dengan ini: koinsidensi itu tidak ada. Kejuaraan ini seharusnya digelar di Argentina, tetapi Tuhan menghendaki itu dimainkan di Brasil, sehingga kita dapat menang di Maracana dan membuat lebih indah bagi kita semua.”
Maksud Messi jelas, sangatlah terhormat bila Argentina bisa menundukkan Brasil, di kandang tuan rumah yang angker, Maracana. Maka bagi Messi, bukanlah kebetulan, jika dengan alasan lonjakan Covid-19 di Argentina, Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan membatalkan Argentina sebagai tuan rumah dan mengalihkannya ke Brasil. Itulah kesempatan untuk mempermalukan Brasil di kandangnya sendiri. Cita-cita Messi tercapai, Argentina menggondol pulang trofi Copa Amerika setelah menekuk Brasil, 1-0, di Maracana.
Menurut Pelatih Lionel Scaloni, kini Messi telah tumbuh sebagai pemain dan pemimpin yang matang. ”Ia bertambah usia. Dulu, ia menggiring sendiri, lima sampai enam rekannya tak diberinya kesempatan. Kini ia lebih membutuhkan kesebelasannya, ia membantu timnya, ia membuat kesebelasannya bermain. Ia memainkan bola tidak lebih dari tiga detik saja. Ia lebih banyak menimbang. Ia tahu bagaimana harus berlatih dan bagaimana orang menjaga dan memperhatikannya,” kata Scaloni.
Pelatih Messi di Paris Saint-Germain, Mauricio Pochettino, juga bilang, Messi sekarang lain dari sebelumnya. Bermain di klub lain dengan bermain dalam kesebelasan nasional. Sebagai pemain bintang, di kesebelasan nasional Messi bisa menjadi pusat. Di klub PSG, hal itu tidak bisa terjadi. Di sana ia harus berbagi peran dengan pemain besar lainnya, Neymar Jr, bintang Brasil dan Kylian Mbappe, bintang Perancis. Karena tidak terus menjadi pusat, Messi bisa mengurangi stresnya. Tidak hanya di lapangan, tetapi juga di hadapan media,
Messi tidak lagi menganggap dirinya penting. Namun, tidak demikian anggapan rekan-rekannya. Kata kiper Emiliano Martinez, ”99 persen Argentina adalah Messi. Kami hanya 1 persen, sisanya. Kami berlari seperti singa dan berusaha membantu dia.”
Mac Alisster memuji Messi sebagai pemain yang banyak membantu teman-temannya. Gelandang tengah Argentina itu selalu berusaha memberikan passing kepada Messi. Alasannya, jika bola di kaki Messi, semua akan menjadi mudah. Itu terjadi seperti otomatisme magis. Bahkan, ketika ia tidak bermaksud mengarah ke Messi, bola jatuh di kaki Messi. Bola seakan ingin menjadi miliknya. Tidak salah, karena kaki siapa yang bisa merasakan bola dengan sempurna melebihi kaki seorang Messi?
Itu benar terjadi ketika Argentina mencetak gol pertama ke gawang Australia. ”Sesungguhnya saya bermaksud mengoper bola ke Ottamendi, tetapi bolanya menyasar ke Messi.” Waktu itu Ottamendi tampak kehilangan kontrol dan Messi menyambutnya, menyentuhnya sebentar, lalu menyarangkannya ke gawang lawan. ”Saya bilang ke Leo, itulah asis saya bagimu,” gurau Ottomendi tentang passing yang meleset tetapi benar itu.
Messi harus menang demi Argentina. Itulah beban berat di pundak Messi. Maka, bek kiri Nicolas Tagliafico senang ketika Messi berani bilang, ”Saya sesekali bermain untuk anak-anak saya, bukan untuk Argentina.” Dengan begitu, beban akan pergi dari pundaknya, dan ia akan memperoleh kembali rasa kebebasannya, lalu akan menang dengan lebih mudah, demi anak-anaknya, dan tentu saja juga demi rakyat Argentina.
Argentina sadar tak mudah menaklukkan Belanda pada laga perempat final. Apalagi Louis van Gaal mengancam, ”Kami harus membuat perhitungan dengan Argentina.” Sampai sekarang, Van Gaal masih kesal mengenang kekalahan Belanda lewat adu penalti dari Argentina pada semifinal Piala Dunia 2014. Dan, ia hendak menebusnya sekarang.
Kata Van Gaal, ”Messi hebat, tetapi saya melihat, selama ini Messi tampak tidak banyak beraksi ketika lawan-lawannya menguasai bola. Itu tentu sebuah peluang bagi kami.” Van Gaal juga tidak peduli pernyataan jurnalis yang menilai Belanda memainkan sepak bola negatif dan membosankan. ”Itu pendapat Anda, tetapi saya tidak berpikir bahwa pendapat Anda adalah pendapat yang benar,” kata Van Gaal ketus.
Van Gaal menegaskan, dalam meraih cita-citanya, Belanda akan meniti sendiri jalannya dengan tenang dan pasti. Semua tentu menanti dengan berdebar-debar, apakah Van Gaal nanti bisa sungguh membuat perhitungan dengan Argentina.
*******************************************************
Sumber Tuklisan Kompas 9 Desember 2022