Oleh Agus Dermawan T
Sebuah cerita perkumpulan budayawan dan seniman muda di Yogyakarta yang meresahkan kaum penguasa, di Jakarta. Maklum PSK namanya!
APABILA PSK atau Persada Studi Klub masih hidup pada 2013, klub sastrawan ini akan berusia 45 tahun. Karena pada medio Maret 1968 klub tersebut mulai dibentuk lewat rubrik sastra di mingguan Pelopor Yogya. Sebuah koran amat sederhana, yang terkategori jelek cetakannya. PSk ini dikomandani oleh Umbu Landu Paranggi, penyair karakteristik kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, yang pada 2013 genap berusia 70 tahun.
Apabila lembar-lembar sejarah PSK dicermati, ternyata klub sastra itu tidak cuma menggerakan gairah para pencipta puisi dan prosa saja, tetapi juga memotivasi para pemikir serta aktivis sosial dan budaya yang “laten revolusioner” pada tengah tahun 1970-an.
Lewat rubrik sastra itu Umbu memang tak henti memupuk keberanian anak-anak muda untuk bicara lewat medium tulisan, apa pun bentuknya. “Segala yang kau pikirkan” katanya memprovokasi di depan gedung Senisono. Tepatnya di sehampar trotoar yang letaknya di persimpangan Kantor Pos Besar Yogyakarta, sebelah selatan Malioboro. Satu wahana informal yang jadi pusat pertemuan fisik dan pikiran anak-anak muda setiap malamnya.
Bagi yang sadar situasi budaya, yang lantas bertaut dengan sosial dan politik, kalimat Umbu itu seperti akan ajakan untuk bersikap dan berbuat dengan disertai kematangan pikiran, yang telah dilatih lewat dunia penulisan. Tujuannya agar anak-anak muda siap menghadapi pemerintah Orde Baru, yang pada menjelang paru pertama dekade 1970 dirasa mulai represif. Lewat PSK Umbu seperti mengatakan bahwa orang yang berpikir tak mudah tersingkir.
Bertahun-tahun sastra jalanan ala Umbu hidup dan menyala. Dan ia selalu melontarkan topik untu dipikirkan dan didiskusikan. Pada suatu kali lewat rubrik ia menegaskan perkataan pujangga Rainer Maria Rielke, “Janganlah engkau menulis puisi cinta yang cengeng pada langkah permulaan. Berpalinglah kepada tema kehidupan sehari-hari yang keras dan terus melintas.” Saya tak menduga, topik Rielke yang dilontarkan Umbu itu jadi perbincangan sehari-hari di trotoar Senisono, juga disepanjang koridor Malioboro. Dan kalimat “berpalinglah kepada tema kehidupan yang keras” berkembang jadi wacana bagaimana cara melawan segala sesuatu yang menjurus ke tiran.
Pada kesempatan lain penyair Ragil Suwarna Pragolapati menyampaikan kabar bahwa Umbu menolak isi esai Why the moved matters tulisan D.H. Lawrance, yang menyatakan bahwa novelis lebih tinggi kedudukannya ketimbang penyair. Lalu tak kurang dari seminggu forum diskusi trotoar memperdalam persoalan itu. Penyair dan novelis pun merasa dirinya satu.
Ratusan topik kesenian, kebudayaan sosial, bahkan politik dipercakapkan di sana. Dari yang ilmiah, ngilmiah, ringan, berat sampai yang banal. Nama Rivai Apin, W.S. Rendra, Dickinson, Andy Warhol, Herman Hesse, Robert Forst, Herbert Marcuse, sampai Ronggowarsito muncul di ujung Malioboro.
Pada awalnya yang berkumpul di situ tentu sastrawan kerabat PSK. Kemudian diimbuh para mahasiswa STSRI ( Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ) “Asri” yang gemar diskusi. Selanjutnya muncul anak-anak muda anggota teater di sekitar Yogya. Pada waktu berikutnya bergabung mahasiswa serta dosen dari fakultas sastra, sejarah, sosial-politik serta filsafat Universitas Gajah Mada-Bulaksumur. Sampai disini niat Umbu mempertemukan sastrawan dengan perupa, filsuf, sosiolog, politikus sampai antropolog tampak tercapai. Dan dari sinilah kemudian muncul istilah “Universitas Malioboro” atau “Poros Bulaksumur-Malioboro”, yang dikemudian hari diangkat jadi judul kumpulan puisi.
Jika dedengkot PSK Emha Ainun Najib mengungkap ada jalur Umbu yang menyusur Tugu sampai Kraton (Utara-Selatan), maka tak boleh dilupakan jalur Gampingan sampai Bulaksumur (Barat-Timur), yang bersumbu di ujung Malioboro. Jalur ini adalah turunan dari kegilaan Umbu, yang lantas menerbitkan nama Yudhistira ANM Masardi, Halim HD, Ebiet G. Ade, Linus Suryadi AG, Landung R. Simatupang dan puluhan nama penting lainnya.
Pada akhir Maret 1975, sebagai mahasiswa STSRI “Asri” saya dan delapan teman mengadakan pameran “Nusantara! Nusantara!” di gedung Karta Pustaka, Yogyakarta.* Sebuah pameran parody seni rupa, yang isinya berempati kepada sejumlah mahasiswa STSRI “Asri” yang diskors dari kampus. Syahdan para mahasiswa ini dihukum lantaran melakukan gerkan “Desember Hitam” yang anti pemaksaan konsep kebudayaan di Jakarta. Pameran “Nusantara! Nusantara!” dibuka oleh Romo Dick Hartoko, seorang rohaniwan Katolik, budayawan, pemimpin redaksi majalah Basis.
Beberapa hari pameran dibuka keributan terjadi. Aparat Orde Baru menuduh pameran itu embrio dari subversi kebudayaan. Terembus kabar bawah kasus ini, sekalian kasus ‘Desmber Hitam’, telah masuk dalam pembahasan Panglima Komando Wilayah Pertahanan IV Jawa-Madura, Letjen Widodo. Para dosen STSRI “Asri” ditekan untuk menindak para peserta pameran. Dan saya selaku juru bicara pameran tidak boleh masuk kampus dalam tempo tiada terbatas.
Saya pun datang ke Romo Dick untuk minta pertolongan. Dengan Kuatir Romo Dick mengatakan bahwa saya telah dicatat sebagai bagian dari “Universitas Malioboro”, komunitas pemikir muda yang sudah lama dimata-matai aparat kemananan demi stabilitas politik. “Ini tanda-tanda zaman”, katanya. Apa yang dikatakannya benar. Beberapa minggu kemudian Emha Ainun Najib dan novelis-sosiolog Ashadi Siregar menyarankan agar saya segera lari, bila tidak ingin ditangkap tentara. Mereka menganjurkan saya ke Jakarta, untuk menyelinap di majalah Obor. Majalah itu ternyata dibatalkan penerbitannya oleh Menteri Penerangan, lantaran di dalamnya ada nama Aini Chalid, salah seorang penggerak Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974.
Saya pun menggelandang di Jakarta sambil mengingat Umbu Landu Paranggi, “Presiden Malioboro” yang menginspirasi siapa saja untuk terus berpikir dan bertindak berani. Sementara Umbu sendiri diam-diam pulang ke kampungnya, lalu pindah ke Bali, setelah PSK di populerkan pemerintah sebagai singkatan dari Pekerja Seks Komersial.
***
*Karta Pustaka adalah perpustakaan milik Konsulat Belanda di Yogyakarta. Didirikan pada 1968. Perpustakaan yang menyimpan puluhan ribu buku ini tutup pada awal Desember 2014, karena kekurangan dana pemeliharaan.
*Sumber Tulisan dari Buku SIHIR RUMAH IBU, Agus Dermawan T, Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.