Alexander Aur, Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata, Semarang.
Perubahan iklim global terus berlangsung. Anomali iklim yang terwujud dalam berbagai peristiwa ekstrim lingkungan hidup terus terjadi di berbagai belahan dunia. Salah satu peristiwa ekstrim adalah anomali suhu udara. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis data perihal anomali suhu udara, khususnya di Indonesia, periode Juni 2022.
Pada laman BMKG yang penulis akses (21/7/2022, pukul 9.07 WIB), telah dipublikasikan data mengenai anomali suhu udara. Mengacu pada data dari 86 stasiun pengamatan BMKG, normal suhu udara bulan Juni periode 1991-2020 di Indonesia adalah sebesar 26.79 oC (dalam range normal 21.4 oC – 28.7 oC) dan suhu udara rata-rata bulan Juni 2022 adalah sebesar 26.73 oC. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, anomali suhu udara rata-rata pada bulan Juni 2022 menunjukkan anomali negatif dengan nilai sebesar -0.06 oC. Anomali suhu udara Indonesia pada bulan Juni 2022 ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-22 sepanjang periode data pengamatan sejak 1981.
Perubahan iklim merupakan persoalan bersama dan telah menjadi perhatian berbagai pihak. Dalam konteks diskursus pengetahuan lingkungan, persoalan perubahan iklim telah lama menjadi diskursus pengetahuan ilmiah. Salah satu data yang dipaparkan oleh BMKG yang penulis cantumkan pada awal tulisan ini, merupakan contoh buah dari diskursus pengetahuan ilmiah mengenai perubahan iklim.
Dengan perangkat paradigma saintifik dan metode ilmu pengetahuan ilmiah, para ilmuwan alam meneliti fenomena suhu udara dan menyimpulkan kausalitas dari anomali suhu udara. Kesimpulan itu diterima sebagai sebagai pengetahuan yang benar. Publikasi oleh BMKG tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai anomali suhu udara di Indonesia merupakan pengetahuan yang benar. Meskipun kebenaran pengetahuan tersebut dapat berubah seiring dengan penemuan-penemuan baru pada masa depan, tetapi untuk saat ini pengetahuan tersebut benar secara ilmiah.
Dalam konteks perubahan iklim, pengetahun ilmiah mengenai alam telah dan banyak berguna bagi manusia. Kegunaanya adalah manusia memilik pengetahuan mengenai perubahan iklim dan akibat-akibatnya. Berdasarkan pengetahuan itu pula, manusia menetapkan tindakan-tindakan konkret untuk mengatasi perubahan iklim. Salah satu tindakan manusia terungkap dalam sikap negara-negara anggota G20 membahas persoalan pengelolaan lingkungan hidup dan upaya mengendalikan perubahan iklim pada Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (Media Indonesia, 21/6).
Apakah cukup menggunakan pengetahuan dan pendekatan ilmiah untuk mengendalikan perubahan iklim? Apakah masyarakat adat atau masyarakat lokal mempunyai pengetahuan lingkungan, yang berkontribusi juga bagi upaya pengendalian perubahan iklim?
Pengetahuan lingkungan lokal
Pengetahuan lingkungan lokal melekat pada masyarakat lokal atau masyarakat adat. Beberapa istilah teknis digunakan oleh para environmentalist, ecologist dan antropolog untuk menamakan pengetahuan tersebut. Istilah-istilah yang digunakan (Kyle White, 2018) antara lain, indigenous knowledge (IK), traditional knowledge (TK), indigenous knowledge of the environment (IKE), traditional ecological knowledge (TEK) dan native science (NS).
Istilah-istilah tersebut, termasuk istilah “pengetahuan lingkungan lokal” yang penulis gunakan dalam artikel ini, semuanya merujuk pada wawasan dunia (world view) masyarakat lokal atau masyarakat adat mengenai kehidupan dan relasinya dengan ekosistem. Sifat wawasan dunianya adalah kultural dan spiritual (LaDuke, 1994; Rebecca Tsosie, 2018). Jadi, pengetahuan lingkungan lokal adalah wawasan dunia masyarakat lokal atau masyarakat adat mengenai cara berpikir dan cara bertindak terhadap lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan ekologi/alam. Pengetahuan lingkungan masyarakat lokal bersifat kultural dan spiritual.
Berbagai diskursus filosofis mengenai pengetahuan manusia tentang lingkungan menunjukkan bahwa dalam pengetahuan lingkungan lokal, terkandung beberapa dimensi fundamental (Joan MCGregor, 2018). Masyarakat lokal atau masyarakat adat menghayati dan mempraktikkan dimensi-dimensi fundamental berikut ini secara kultural dan spiritual.
Pertama, dimensi komunitas. Manusia adalah bagian dari alam sebagai komunitas kehidupan. Setiap makhluk mempunyai peran yang tepat. Setiap orang dalam komunitas ini mempunyai kewajiban untuk merawat dan melindungi satu terhadap yang lain baik terhadap sesama manusia maupun alam. Dalam dimensi komunitas ini, sifat spiritual, kultural, politik, dan ekonomik saling berkelindan.
Sifat spiritual terkait dengan pandangan masyarakat lokal bahwa semua makhluk memiliki roh. Kepemilikan itu mewujudkan dalam bukti-bukti kehidupan yang berlangsung dalam alam. Sifat politik dari dimensi ini terungkap dalam relasi saling tergantung antaramanusi dan antara manusia dengan hewan dan tumbuhan. Sedangkan sifat ekonomik merujuk pada relasi pertukaran timbal-balik dalam berbagai hal antarmanusia dan manusia dengan hewan dan tumbuhan.
Kedua, dimensi keterhubungan satu sama lain. Di dalam alam sebagai sistem kehidupan, setiap makhluk saling terhubungkan. Setiap entitas tidak dapat diperlakukan secara terpisah. Tindakan sekecil pun terhadap sebuah entitas berdampak terhadap entitas-entitas yang lain. Keterhubungan ini menunjukkan bahwa lingkungan merupakan sistem kehidupan.
Ketiga, dimensi masa depan. Tindakan dan perilaku manusia terhadap dan dalam lingkungan wajib mempertimbangkan kehidupan generasi demi generasi berikutnya. Tindakan dan perilaku terhadap lingkungan saat ini sudah harus memperhitungkan pula kondisi-kondisi kehidupan yang baik bagi keberlangsungan hidup generasi berikut di masa depan.
Keempat, dimensi sikap rendah hati. Sikap ini bertautan dengan sikap mawas diri dalam bertindak terhadap lingkungan. Di hadapan hubungan yang kompleks dan rumit antarkomponen dalam lingkungan, sikap rendah hati terungkap melalui pengakuan diri bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang terbatas mengenai lingkungan. Oleh karenanya, prinsip kehati-hatian dalam bertindak merupakan merupakan hal penting. Tujuannya agar tindakan setiap orang tidak menimbulkan akibat buruk bagi keberlanjutan lingkungan atau mengancam sistem kehidupan.
Berbeda dengan pengetahuan ilmiah mengenal lingkungan yang berciri empirik dan teoritis, pengetahuan lingkungan lokal berciri kultural dan spiritual. Masyarakat lokal atau masyarakat adat menghayati pengetahuan itu sebagai bagian integral kehidupan sehari-hari. Terintegrasi dengan praktik dan keyakinan masyarakat mengenai alam semesta. Dengan corak yang demikian, masyarakat lokal menata tindakannya terhadap lingkungan. Oleh karena itu, cara hidup masyarakat adat senantiasa ramah terhadap lingkungan, tidak eksploitatif, dan ekologis.
Mengendalikan perubahan iklim
Pengetahuan lingkungan lokal dapat menjadi kontribusi bagi upaya mengendalikan perubahan iklim dan pemanasan global. Dimensi-dimensi yang terkandung dalam pengetahuan tersebut mempunyai beberapa berfungsi. Pertama, fungsi paradigmatik. Oleh karena sifat kultural dan spiritualnya, pengetahuan lingkungan lokal dapat menjadi paradigma dalam menetapkan kebijakan ekonomi-politik pengendalian perubahan iklim. Fungsi paradigmatik pengetahuan tersebut juga memungkinkan terjadinya – meminjam istilah Gadamer – fusi horizon dengan paradigma dan metode ilmiah. Fusi ini beralasan karena ilmu pengetahuan ilmiah bermula dari praktik-praktik hidup yang bersifat kultural dan spiritual dalam masyarakat. Dengan demikian, setiap kebijakan ekonomi-politik dan tindakan terhadap lingkungan dipandu oleh horizon berpikir lokal dan ilmiah.
Kedua, fungsi etis-regulatif. Oleh karena pengetahuan lingkungan lokal terintegrasi dengan praktik hidup sehari-hari, maka pengetahuan tersebut berfungsi untuk meregulasi tindakan dan perilaku manusia. Penetapan larangan bagi warga masyarakat adat untuk merambah atau mengola kawasan-kawasan tertentu, merupakan regulasi terhadap tindakan dan perilaku para warga. Meskipun larangannya bersifat mitis dan spiritual, tetapi efektif untuk mengendalikan perubahan lingkungan ekstrim. Kepatuhan terhadap regulasi itu senantiasa berbasis pada keyakinan bahwa alam memiliki roh. Keyakinan ini terungkap pula melalui cara hidup masyarakat adat yang terintegrasi dengan lingkungan (tumbuhan dan binatang). Hidup yang integratif dengan lingkungan senantiasa demi keberlanjutan lingkungan.
Pengendalian perubahan iklim selain terwujud dalam teknik-teknik praktis pengendalian masalah lingkungan, juga menyangkut masalah pengetahuan mengenai lingkungan. Perihal pengetahuan, pengetahuan lingkungan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat/masyarakat lokal dipadu dengan pengetahuan lokal mesti dimasukkan dalam berbagai regulasi pengendalian perubahan iklim. Dengan demikian, pengendalian iklim memperoleh legitimasi baik secara ilmiah maupun secara kultural dan spiritual. Legitimasi inilah wajib diupayakan semua pihak karena semua pihak dan makhluk menghuni satu bumi. ***
———————————————————————————————