Oleh Ferdinandus Butarbutar, Dosen Teologi dan Etika UPH, Karawaci
Publik terbelah dalam menerima putusan mati yang diberikan oleh PN Jakarta Selatan 13 Februari lalu, terhadap terdakwa Ferdy Sambo atau FS, atas kasus pembunuhan Brigadir Yosua Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J. Beberapa Lembaga yang menolak putusan vonis mati tersebut seperti Amnesty International. Indonesia Police Watch (IPW), Komnas HAM dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). (Lih. https://news.detik.com/berita/d-6568935/amnesty-hingga-pgi-tolak-vonis-mati-sambo-mahfud-md-biarin-saja., diakses 17 Februaru 2023). Basis argumentasi dari penolakan tersebut, bahwa vonis mati dinilai tidak manusiawi, dan tidak sesuai dengan UUD 1945, pasal 28 ayat 1, deklarasi DUHAM termasuk konvensi hak-hak sipil dan politik.
Namun di sisi lain, kita juga melihat, banyak masyarakat dan tokoh-tokoh publik hingga pejabat negara seperti Menkopolhukam Mahfud MD, yang menerima vonis mati tersebut, sembari menegaskan optimisme, bahwa penegakan hukum yang adil masih ada di Indonesia. Hakim Ketua PN Jakarta Selatan yakni Wahyu Iman Santoso, banjir apresiasi karena keberaniannya dalam memutuskan vonis tersebut.
Artikel ini hadir demi memberikan pencerahan hermeneutis, yang berusaha menjawab, apakah ada prinsip-prinsip dasar untuk memahami sebuah putusan mati terhadap seorang terdakwa? Dan apakah vonis mati tersebut dapat memenuhi rasa keadilan?
Potret Kasus Ferdy Sambo
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menghadiahi vonis mati terhadap FS dengan argumentasi bahwa tidak dijumpainya hal-hal yang meringankan Bagi FS sebagai terdakwa. FS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan melanggar Pasal 340 subsider 338, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Selain itu juga didakwa melanggar Pasal 49 juncto pasal 33 UU Nomor 19/2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11/2008 tentang ITE juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 ke-1 KUHP. Atas tuntutan tersebut, vonis matipun dijatuhkan terhadap FS. Dan vonis ini jauh lebih berat dan berbeda dengan tuntutan JPU, yang menuntut FS seumur hidup.
Lebih jauh kita perlu melihat prinsip-prinsip hermenutis bagi publik demi mengonstruksi pengertian atas vonis mati Ferdy Sambo:
Adanya Keadilan Retributif yakni Kesesuaian Hukuman dengan Tindakan Kejahatan
Putusan hukum tentu diujung setelah melalui sejumlah fase persidangan yakni sidang dakwaan, sidang tuntutan, pleidoi, replik sebagai tanggapan atas pleidoi, sidang duplik hingga siding putusan vonis. Penentuan putusan vonis, dilakukan secara berhati-hati, sembari berusaha mengakomodir semua materi sidang, alat bukti, saksi-saksi dll. Atas pertimbangan holistis, integratif dan ketat, maka dijatuhkanlah putusan vonis mati terhadap FS oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan.
Perlu kita ketahui bahwa kronologi persidangan tersebut dilaksanakan selogis dan seketat mungkin, karena terkait dengan kebenaran moral yang dilacak melalui berbagai cross check data secara dialogis dan valid. Proses ini juga transparan bahkan dapat diakses di media-media cetak, elektronik dan daring.
Hal lain, yang perlu diklarifikasi diawal adalah bahwa tidak semua kasus dapat dihadiahi dengan vonis mati. Ada basis-basis kategorial bertingkat, yang paling tidak, secara derajat hukum perlu diukur misalnya, apakah kasus tersebut ada di level rendah, menengah atau tinggi (maksimum)? Dan dalam setiap level perlu ada kekuatan deterministik yang otoritatif berdasarkan hukum, dan ini tentu representasi dari kekuatan sebuah negara hukum.
Dalam hal inilah penting ada prinsip dasar sebagai “takaran/timbangan” untuk menjustifikasi level kejahatan. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan melalui melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), an sich fokus pada tindakan pidana atau pelanggaran hukum dari FS. Selanjutnya tim Majelis Hakim melihat objek material seluruh persidangan dengan kerangka objek formal untuk menilai buruknya tindakan tersebut. Itulah sebabnya, merujuk basis data material persidangan dikonstruksi konklusi putusan, bahwa sama sekali tidak terdapat hal-hal yang meringankan FS, maka vonis mati diberikan.
Selain itu Majelis Hakim secara kolegian juga berusaha mengukur keluasan dan kedalaman tindakan kejahatan serta dampak-dampaknya. Perlu kesadaran moral untuk mengontrol arah dan alur putusan. Misalnya jika putusan diperlunak, maka penegakan hukum yang adil-benar menjadi pucat tak bernyali. Itu sebabnya syarat-syarat apa yang menentukan sebuah tindakan salah atau benar-benar sangat salah, perlu dipotret dan dikaji seketat-ketatnya.
Vonis Tersebut Secara Operasional Mengafirmasi Utilitas
Diawal perlu ditegaskan bahwa tidak semua vonis mati menghasilkan kemanfaatan maksimum. Biasanya vonis mati tersebut diterapkan demi menumbuhkan efek jera bagi yang lainnya. Tetapi sayangnya, hasil yang berbanding lurus tidak serta merta tercapai. Banyak putusan vonis mati, misalnya kasus-kasus narkoba, kejahatan terorisme dll., yang diproduksi oleh pengadilan, tetapi penyebaran dan keluasan kejahatan sejenis tetap saja ugal-ugalan.
Lalu bagaimanakah dengan vonis mati FS, apakah ada sebuah kemanfaatan yang dapat mewujud disana?
Jika merujuk FS sebagai salah satu perwira tinggi berpangkat Irjen, yang dalam fakta persidangan terbukti menyeret 35 anggota Polri, maka kasus FS ini sangat miris. Citra institusi Polri sangat tercoreng. Masyarakat luas kini tidak percaya dengan institusi Polri. Para komandan atau perwira tinggi Polri, ternyata dapat memanipulasi atau bersembunyi di balik sebuah jabatan atau operasi penanganan kasus secara formal (legal), yang secara publis dikeluarkan dari corong-corong Divisi Humas Polri.
Itulah sebabnya, dengan menjatuhkan putusan vonis mati, tim Majelis Hakim menarik atau memperluas kasus ini ke belakang dan ke depan. Memperluas ke belakang yakni ke internal Polri, bahwa vonis mati ini diharapkan dapat memproduksi efek jera dan mencegah para perwira tinggi lainnya mengulangi kejahatan yang sama. Polri perlu berbenah memperbaiki reputasinya. Sementera memperluas vonis ke depan, diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap istitusi Polri. Persepsi masyarakat terhadap Polri yang terluka karena kasus ini bahkan atas kasus-kasus lainnya perlu disembuhkan.
Akhirnya vonis mati ini juga mempertegas, bahwa semua masyarakat “equal before the law”. Tidak ada satu manusia dan lembaganya yang kebal terhadap otoritas hukum dan negara.
Vonis Mati Tersebut Secara Teologis-Filosofis Mengungkap Kebenaran
Manusia adalah makhluk rasional. Rasio atau akal budi manusia, membutuhkan pijakan-pijakan kebenaran atas setiap sikap dan putusan yang ia terima dan pilih bahkan atas setiap komitmennya.
Landscape kasus FS dapat dilihat dan diakses hampir semua pihak. Transparansi kasus dan terkuaknya lapisan demi lapisan yang menyelimuti kasus ini dikupas satu demi satu. Fakta, data dan klaim-klaim saling beradu dan crosscheck. Tesis dan antitesis; pernyataan dan bantahan; saling adu dalam frame argumentasi-argumentasi hukum. Semua proses ini dijahit dan dirajut menjadi sebuah sintesa putusan vonis hukum oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan.
Semua saksi bahkan para terdakwa berhak dan bebas berpendapat untuk memberikan pembelaannya. Dan Majelis Hakim, JPU hingga tim kuasa hukum, harus terbuka dan objektif terhadap setiap paparan fakta persidangan.
Prinsip-prinsip dasar dalam uji validasi argumentasi adalah di dalam framework konsistensi, kongruen (sebangun), korespondesi dan koherensi. Hak dan kemerdekaan berpendapat di depan persidangan di perbolehkan. Hanya ada kewenangan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan untuk menguji setiap argumentasi dan klaim-klaim para terdakwa dan para saksi.
Apakah antara fakta dan klaim/pernyataan saling bersesuaian secara konsisten? Apakah klaim pembelaan koherensi nilai pada proposisi pernyataan yang disampaikan? Apakah konstruksi semua klaim dan alat bukti sebangun atau justru malah kontradiktif dan saling menjatuhkan? Apakah pengungkapan semua fakta dan materi persidangan secara korespondensial dapat dijahit menjadi sebuah gambaran putusan vonis yang utuh, padu, saling lengket dan terorganisir dalam satu kesatuan?
Dengan mempertimbangkan semua materi dan fakta persidangan yang transparan tersebut, publik akhirnya dapat melihat bahkan mengakomodasi putusan vonis mati tersebut. Atas dasar-dasar sebagaimana dipaparkan diatas, maka putusan vonis mati terhadap FS bisa dimengerti atau dipahami.
Pengertian atas putusan vonis mati ini masih relevan di konteks penegakan hukum di Indonesia. Di sisi lain, proses panjang ratifikasi atas vonis hukuman mati, jangan dijegal dan dihentikan. Itu mutlak dan urgen dilakukan. Itulah sebabnya, penulis menahan diri untuk tidak memberikan argumentasi-argumentasi ilmiah dan hukum, sembari menunggu dan berharap kepada keadilan dan peradaban yang semakin menguat bertumbuh di negri ini, semoga!
————————————————————————–