Pukul 4 Pagi
Tidak ada yang bisa diajak berbincang.
Dari jendela kau lihat
bintang-bintang sudah lama tanggal.
Lampu-lampu kota
bagai kalimat selamat tinggal.
Kau rasakan seseorang di kejauhan
menggeliat dalam dirimu.
Kau berdoa: semoga kesedihan
memperlakukan matanya dengan baik.
Kadang-kadang, kau pikir,
lebih mudah mencintai semua orang
daripada melupakan satu orang.
Jika ada seseorang
yang terlanjur menyentuh inti jantungmu,
mereka yang datang kemudian
hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.
Dirimu tidak pernah utuh.
Sementara kesunyian
adalah buah yang menolak dikupas.
Jika kau coba melepas kulitnya,
hanya akan kau temukan
kesunyian yang lebih besar.
Pukul 4 pagi. Kau butuh kopi segelas lagi.
*************************************
Puisi tidak Menyelamatkan Apa pun
Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun memberi
keberanian membuka jendela dan pintu pada pagi hari.
Menyeret kakiku menghadapi dunia yang meleleh
di jalan – jalan kota yang tidak berhenti berasap.
Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun dari matanya
kulihat seekor anjing berjalan menuntun seorang pria tua
buta ditaman. Dari hidungnya kuhirup ladang – ladang jauh
yang tumpah sebagai parfum mahal dipakaian orang asing.
Dari telinganya kusimak musik dari getar senar gitar para
imigran bernasib gelap.
Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun jari – jarinya
menyisir rambutku yang dikacaukan cuaca. Sepasang
lengannya memeluk kegelisahanku. Tubuh ayahku
kumakamkan di punggungnya yang bersayap. Tanah
kelahiranku memanggil – manggil di suaranya
yang sayup.
Dan di lembab bibirnya kukecap senyummu
berulang kali setiap redup dan berharap
*************************************
*Sumber: Buku Puisi Tidak Ada New York Hari Ini, M. Aan Mansyur, 2016, Gramedia
*M Aan Mansyur, Lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Bekerja di Komunitas Ininnawa dan Pustakawan di Katakerja, Makasar.