Oleh: Albertus Muda, S.Ag, Guru Honorer SMAN 2 Nubatukan-Kab. Lembata
Seorang penyanyi makin semangat bernyanyi di panggung, pertama-tama bukan karena dibayar mahal. Harga termahal yang didapatnya adalah ketika para penonton memberikan tepuk tangan bahkan meneriakan yel-yel sambil menyebutkan nama sang vokalis dari tribun penonton. Dengan kata lain, kebahagiaan seorang penyanyi akan paripurna manakala ia menerima satu pujian dan tepuk tangan meriah dari para pemirsa.
Dalam KBBI, apresiasi berarti penilaian baik; penghargaan; misalnya terhadap karya-karya sastra atau seni juga karya-karya pada umumnya. Pemberian apresiasi dalam konteks apapun, akan menjadi sebuah asupan atau nutrisi yang dipandang sangat berfaedah. Apresiasi juga akan membangkitkan semangat seseorang dalam beraktivitas melalui kreativitas dan inovasi dalam karya yang dihasilkan.
Apresiasi adalah spirit yang sangat membantu seseorang yang sedang atau akan memulai suatu aktivitas. Dengan apresiasi, seseorang akan mengalami bahwa apa pun karya yang dihasilkan dan disajikan sangat dinikmati bahkan menyentuh realitas banyak orang. Apresiasi memungkinkan karya apa pun termasuk karya sastra dan seni semakin bermakna, mengkonteks karena tetap terjaga kualitasnya.
Dalam dunia pendidikan, setiap perkembangan anak sekecil apapun mesti mendapat apresiasi dari guru dan orang tua. Apresiasi tentu akan berdampak pada terbangunnya kepercayaan diri anak. Maka, sangat disayangkan apabila seorang anak yang mulai giat memulihkan semangat belajarnya yang telah kendor bahkan kehilangan semangat, sering tidak mendapat apresiasi dari orang tua bahkan bapak dan ibu guru di sekolah.
Apresiasi mestinya selalu mengawali setiap percakapan. Ketika menghadapi anak dalam seluruh aktivitasnya yang bermakna, apresiasi mesti diberikan. Misalnya, kamu luar biasa hari ini. Tetap semangat dan kerjakan tugas-tugas yang diberikan. Sayangnya, yang sering dijumpai anak-anak di rumah, sekolah dan masyarakat adalah hukuman bukan hadiah. Anak-anak lebih banyak mendapatkan cemoohan, omelan bahkan kata-kata kasar.
Para orang tua, guru juga orang dewasa pada umumnya cenderung menilai anak semata-mata dari sudut pandang orang dewasa bukan dari sudut pandang anak. Kecenderungan ini memicu hilangnya apresiasi pada anak atau pada seseorang yang telah melakukan sebuah pekerjaan atau suatu tugas pada level apa pun. Aktivitas positif apa pun yang dilakukan anak, walaupun sederhana, mesti diapresiasi.
Penulis menyadari bahwa sebuah karya meski hebat bahkan spektakuler sekali pun tidak ada artinya jika karya itu luput dari apresiasi. Karya itu seperti tak bernyawa. Sebab sebuah karya menjadi karya bermakna apabila diberi apresiasi oleh pihak manapun. Apresiasi akan menyuplai optimisme dan harapan bagi para pengkarya untuk bekerja lebih maksimal dengan hasil yang semakin bermutu.
Semua karya yang dihasilkan, diharapkan dapat menggugah perasaan dan meluaskan pemahaman seluruh lapisan masyarakat. Artinya, karya yang dihasilkan bukan hanya memukau orang per orang, tetapi layaknya membawa dampak bagi masyarakat luas dan mampu mengorbitkan kreator atau inovator baru dengan karya yang lebih berkualitas. Dengan ini dapat dikatakan bahwa apresiasi merupakan kekuatan dalam berkarya.
Sebut saja, Charles Dickens, seperti ditulis Stephie Kleden Beetz dalam bukunya Cerita Kecil Saja (2009). Pengarang kelahiran London ini, mencapai kemasyhurannya setelah melewati jalan berliku-liku. Keputusasaan melilitnya, ketika semua karangannya ditolak oleh semua penerbit. Ia bangkit, ketika suatu hari seorang editor memuji buah penanya. Apresiasi sang editor membawanya pada babak baru pengkaryaan yang sangat memukau.
Charles bangkit dari hidupnya yang melarat. Semangatnya pulih dan ia seakan lahir kembali hanya oleh sebuah pujian. Apresiasi telah menggerakkan tangan Dickens. Dari goresan tangannya, mengalirlah berbagai buku yang memperkaya literatur dunia. Tanpa kata-kata manjur sang editor, tentu dunia akan lebih miskin dan kita tak dapat menikmati berbagai buah karya Charles Dickens seperti Oliver Twist atau Christmas Carol.
Penulis juga mengalami hal yang sama. Awalnya ketika mulai belajar menulis, penulis memberanikan diri mengirim tulisan ke beberapa redaksi media cetak. Awalnya, artikel-artikel yang penulis kirim ke alamat email redaksi, kerap menunggu terbitnya sampai jenuh sehingga memicu rasa rendah diri dan putus asa. Penulis mulai bangkit ketika artikel opini penulis yang dikirim ke sebuah media cetak lokal, lolos kurasi dan dipublikasikan.
Semangat yang seolah mati, seakan bangkit kembali. Apresiasi dari para sahabat dan publik pembaca memacu penulis untuk semakin kreatif dan produktif dalam menulis. Semangat menulis tidak pernah kendor bahkan semakin militan dalam menulis. Hingga hari ini, penulis masih tetap konsisten menulis karena berkat satu apresiasi yang penulis dapatkan dari para pembaca. (*)
—————————————————————————————————