Oleh Ferdinandus Butarbutar, Dosen Etika UPH Karawaci
Kepengapan udara di ruang publik kembali membuat kita terbatuk-batuk, rasanya sulit untuk menghirup udara segar. Aksi boikot terhadap tim sepak bola Israel kini memenuhi jagad kepublikan kita. Ormas-ormas keagamaan, PA 212, Fraksi PKS dalam Raker Komisi III bersama Menkumham dan Mempora, Gubernur Bali I Wayan Koster dan Ganjar Pranowo juga turut mengafirmasi penolakan yang sama. Basis pijak penolakan umumnya seputar tidak adanya hubungan diplomatik Indonesia Israel, klaim keterjajahan Palestina, klaim kejahatan kemanusiaan Israel, sikap politik Soekarno dll.
Respons masyarakat di ruang-ruang publik analog hingga di ruang-ruang publik digital tentu beragam. Ada yang setuju dengan aksi boikot tersebut, ada juga yang tidak setuju bahkan dikesani terlalu lebay, mengingat Indonesia yang sudah didaulat sebagai tuan rumah FIFA-U20 World Cup Indonesia 2023. Penunjukan legal FIFA ini, di satu sisi kehormatan kita bersama, yang tentu membuka potensi kepada penunjukkan FIFA World Cup level senior di periode-periode piala dunia berikut. Tetapi di sisi lain, Indonesia secara internal, masih bergulat dengan proses kematangan dan kesiapannya sebagai tuan rumah yang perlu ramah terhadap tamu-tamunya secara internasional.
Pertanyaan fundamental yang diudar dalam artikel pendek ini adalah: perlukah aksi boikot tersebut? Etiskah jika kita sebagai tuan rumah menolak tim sepak bola bangsa lain dalam hal ini tim sepakbola Israel? Apakah syarat kompetisi sepak bola yang berskala internasional tersebut berbasis hubungan diplomatik?
Ontologi Kompetisi Sepak Bola
Signifikansi memahami ontologi sepak bola, akan menolong kita untuk melihat kompetisi tersebut secara objektif. Aspek keotonomian sepak bola menjadi pertimbangan dasar, supaya kita bisa merawat keluhurannya. Keotonomian berbagai disiplin ilmu termasuk beragam profesi dalam perkembangan sains modern sangatlah penting. Keotonomian tersebut dikonstruksi dan dijahit oleh hakekat dan hukum-hukum kebenaran pada dirinya sendiri.
Perhelatan kompetisi sepakbola murni sebagai pertandingan yang fairness. Pertandingan sepakbola haruslah dilaksanakan se-fairness mungkin, seadil mungkin dan seprofesional mungkin. Demi menjaga dan mengelola manajemen sepak bola tersebut, maka secara global dibentuklah suatu otoritas internasional yakni FIFA – Federation Internationale de Football Association dan IFAB – International Football Association Board. Dengan demikian, kompetisi sepakbola memiliki identitas dan keluhurannya sendiri. Hal tersebut tidak boleh dicampuri oleh hal-hal yang politis, ekonomi bahkan klaim hermeneutis dari agama-agama sekalipun. Meskipun harus diakui, bahwa bidang-bidang tersebut beririsan sacara proporsional, tetapi sintesanya harus cantik, elegan dan terukur.
Demikianlah kompetisi sepak bola murni sebagai games atau permainan yang menjunjung keketatan fairness, disiplin, kebenaran, transparansi, hingga suportivitas. Dan hal-hal ini terkoneksi dengan manusia sebagai homo ludens. Sebuah games harus diterapkan secara suportif, yang juara divalidasi layak juara, dan yang kalah, harus rela, terbuka bahkan sadar akan kekalahannya dan sadar pula akan kemenangan lawannya.
Lebih jauh intrik dan manipulasi, harus tegas didisiplin (sanksi) seperti: doping; diving; suap; blunder wasit di seputar penentuan offside, pelanggaran dan pengesahan sebuah gol, intrik tangan para pemain, aksi rasis dan penghinaan demi menyulut emosi lawan dll. Komite etik dan disiplin FIFA akan concern terhadap hal-hal tersebut. Dan jika ada sengketa atau konflik konfederasi, liga/kompetisi, asosiasi, pemain, ofisial, agen, dll., FIFA menunjuk lembaga arbitrase Yurisdiksi CAS, yang bermarkas di Lausanne Swiss, yang dinilai independent dan netral memberikan putusan hukumnya.
Etiskah Menolak Tim Sepak Bola Israel?
Mengonstruksi sebuah sikap etis, tentu tidak boleh ugal-ugalan. Sikap etis memeluk hukum dan konstitusi sebagai basis pijak normatif, meluhurkan eksistensi manusia dan juga mengakomodasi konteks secara tepat. Basis-basis pijak tersebut dijahit serapih mungkin dalam prinsip-prinsip moral dan nalar moral. Kelogisan dan keketatan rasional menjadi penglima putusannya secara argumentatif.
Perhelatan kompetisi sepakbola FIFA-U20 World Cup yang akan dilangsungkan pada 20 Mei – 11 Juni 2023 ini di Indonesia, secara normatif diatur oleh hukum legal internasional. FIFA sebagai subjek hukum, memiliki kapasitas hukum legal internasional. Demikianlah FIFA sebagai lembaga atau institusi INGO (International Non-Governmental Organization), yang saat ini beranggotakan hingga 211 negara. FIFA tidak serta merta terkait dengan negara-negara anggotanya, tetapi lebih kepada asosiasi-asosiasi sepak bola di beberapa negara, baik berupa klub, perserikatan dan liga atau kompetisi. Dan keseluruhan anggota-anggota FIFA tersebut juga didudukkan secara kategorial ke dalam 6 konfederasi sepakbola dunia, yang merujuk basis geografis. Dan umumnya, dalam babak-babak penyisihan perhelatan piala dunia hal tersebut akan terlihat.
Posisi dan kedudukan hukum ini perlu dipahami secara terang benderang. Jika tidak, dapat mempermalukan kita yang menolak sebuah tim sepak bola. Apalagi jika ini dilakukan oleh pejabat-pejabat negara atau mereka yang memiliki background akademis. Dalam statuta FIFA pasal 15 poin a, b, dan c dinyatakan bahwa FIFA netral dan independen terhadap urusan politik dan agama-agama. Tidak ada diskriminasi. Dan pada pasal 19 pihak-pihak ketiga, tidak dapat ugal-ugalan mencampuri FIFA, asosiasi-asosiasinya termasuk perhelatan kompetisi internasional. Demikian juga sebaliknya, dari FIFA dan asosiasi-asosiasinya tidak boleh mencampuri kepentingan dari pihak ketiga. Prinsip sportivitas, independensi, fairness dan netralitas, menjadi nyawa dari statuta FIFA.
Lebih jauh mari kita intip statuta FIFA pada pasal 4:1-2. 1) Discrimination of any kind against a country, private person or group of people on account of race, skin colour, ethnic, national or social origin, gender, disability, language, religion, political opinion or any other opinion, wealth, birth or any other status, sexual orientation or any other reason is strictly prohibited and punishable by suspension or expulsion. 2) FIFA remains neutral in matters of politics and religion. Exceptions may be made with regard to matters affected by FIFA’s statutory objectives.”
Kutipan di atas secara eksplisit mengafirmasi bahwa FIFA netral dan non diskriminatif. Oleh karena itu, merujuk basis pijak normatif, basis pijak konteks Ke-FIFA-an, Indonesia, Palestina dan Israel, bahkan basis pijak dari aktor-aktor penolak tim sepak bola Israel, seperti sejumlah aktivis muslim, PA-212, PKS atau fraksinya, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali, I Wayan Koster, adalah tidak etis menolak tim sepak bola Israel.
Basis argumentasi para pemboikot, bisa saja tidak salah, tetapi tidak pada tempat yang tepat. Ini ibarat lain gatal, lain pula yang digaruk. Sebagai orang-orang yang hebat, mereka harus memikirkan panggung-panggung legal dan strategis atas hal-hal tersebut. Agenda-agenda mereka, jangan bias dan sungsang. Pola-pola demikian bukan karakteristik seorang leader yang cendekia atau terdidik.
Patutkah Menciutkan Sepakbola Ke dalam Area Hubungan Diplomatik?
Dengan merujuk eksistensi FIFA sebagai International Non-Governmental Organization (INGO), yang beranggotakan 211 negara, maka kita dapat melihat dan meluhurkan korpus dari organisasi FIFA tersebut. Inilah sikap-sikap yang elegan, sportif dan legowo.
Kita mengakui, bisa saja sebuah perhelatan kompetisi sepak bola menyatukan seluruh dunia termasuk anggota FIFA secara kemanusiaan, namun juga kita sadar, bahwa hal tersebut juga bisa berdampak negatif, seperti konflik atau persengketaan. FIFA nyaris mengalaminya, apalagi konfederasi-konfederasi dan asosiasi-asosiasi yang ada dalam payung FIFA.
Karena kedudukan FIFA yang menegaskan FIFA adalah INGO, yang tidak ada kaitan atau korelasi langsung dengan masalah-masalah politik internasional, maka tidak worthy, jika menggunakan dalil-dalil hubungan diplomatik sebagai dasar penerimaan atau penolakan sebuah tim sepak bola. Hal-hal hubungan diplomatik, kerjasama bilateral dan multirateral, bukanlah kewenangan FIFA. Hubungan diplomatik kewenangan negara-negara, dan FIFA bukanlah sebuah negara. FIFA tidak didaulat untuk menjadi wasit atau hakim, terkait hubungan dan kerjasama diplomatik secara bilateral bahkan hingga multilateral. Termasuk juga tidak dapat menjadi mediator dan wasit bagi relasi Palestina – Israel; dan Indonesia – Israel. Kapasitas legal FIFA, sebagai lembaga internasional memiliki kekhasan dan koridornya sendiri.
Lebih jauh, secara hukum legal dan demi profesionalitas persepakbolaan, posisi dan status keaggotaan dari anggota-anggota FIFA tersebut adalah setara/egaliter. Keanggotaan Indonesia dalam hal ini PSSI, tidak lebih superior, jika dibandingkan dengan tim sepak bola Israel. Semua klub dan perserikatan sepak bola adalah setara (pasal 4 Statuta FIFA), meskipun klub-klub sepak bola tersebut dari negara maju atau negara yang sangat beragama, bahkan ketika didaulat sebagai tuan rumah.
Ajang kompetisi piala dunia U-20 menuntut kelayakan dan kepantasan untuk lolos. Dan hal tersebut juga melalui kriteria seleksi berjenjang, sesuai konfederasi-konfederasi yang ditetapkan oleh FIFA secara internasional. Berbagai tahapan kompetisi sebagai babak penyisihan grup harus dilalui.
Perlu ditandaskan bahwa perjuangan kemanusiaan dan kemerdekaan itu luhur, tetapi FIFA jangan dipaksa dan diseret kepada arena-arena politik. FIFA tersebut mengelola regulasi konfederasi, asosiasi, kompetisi, pemain, ofisial, agen dll., dari 211 negara. Tugas pokok FIFA ini jangan dicekik kepada problem-problem hubungan diplomatik.
Peran Pemerintah, Kaum Cendekia dan Tokoh-Tokoh Agama
Peran ini mesti dipahami dan dilihat sebagai tanggung jawab dan panggilan yang proporsional. Peran tersebut tidak boleh mengambil alih peran sentral FIFA. Peran-peran dari aras non-FIFA, harus mengafirmasi tujuan dan cita-cita FIFA. Inilah kebesaran dan keluhuran yang harus dirajut oleh pemerintah, kaum cendekia dan para tokoh agama.
Pemerintah memiliki peran terhadap FIFA, dalam hal ini dengan asosiasinya di Indonesia, yakni PSSI. Peran tersebut adalah peran yang terbatas dan seperlunya. Secara kenotaritan hukum, PSSI adalah Non Governmental Organization. Itulah sebabnya, kewenangan pejabat pemerintah, tidak bersifat langsung kepada PSSI.
Pejabat pemerintah, menyesuaikan frekuensinya dengan FIFA dan PSSI supaya terbangun fine-tune yang meluhurkan atau memajukan persepakbolaan tanah air. Pemerintah perlu mensupport bakat-bakat bola dari anak-anak muda di bangsa ini, karena mereka juga sudah memutuskan berkarier melalui sepak bola. Negara dan pejabat-pejabatnya, perlu menjamin dan melindunginya. Jika terlalu mencampuri, maka kita dan PSSI bisa dapat sanksi, dan tentu itu merugikan banyak hal.
Demikian juga para cendekia di Indonesia, yang bisa saja mereka memiliki posisi-posisi strategis di berbagai bidang, juga harus berhati-hati. Gerakan dan hasrat kecendekiaan adalah mengupayakan pencapaian kebenaran terbaik.
Kecendikaan berbeda dengan gerakan-gerakan politis. Kaum cendekia yang berpolitis, akan rentan kepada hasrat mempolitisasi argumentasi-argumentasi rasional. Mungkin saja ada benarnya, tetapi sangat instrumentalisme, pragmatisme, populis dan teknis. Gerakan cendekia seperti ini akan gagal mengikat kebenaran secara korespondensial, karena semata digerakkan oleh kepentingan pragmatisnya. Gagal menjahit kebenaran yang luas dan universal, karena semata dikooptasi oleh kebenaran parsial dari minatnya yang eksklusif dan tertutup.
Terakhir peran para tokoh agama. Para tokoh agama juga memiliki concern pada Tuhan/God, manusia/umat dan alam semesta sebagai lokus geografis. Di dalam ketiga lapangan atau arena tersebut, tersemat kebenaran, keadilan bahkan keluhurannya.
Fokus kita kepada manusianya, maka siapapun manusianya, para tokoh agama meski belajar memandang manusia tersebut memiliki keluhuran dan kesetaraan secara substantial meskipun ada perbedaan. Perbedaan dan keberagaman tersebut, dapat mengafirmasi kekhasan dan keunikan setiap manusia, dan hal ini akan menarik jika dirajut dalam relasi interpersonal dan relasi sosial lainnya.
Para tokoh agama harus berbesar hati menerima sekaligus mengakui bahwa semua manusia ada saja idem-nya dan ada juga ipse-nya sebagaimana ditegaskan oleh Paul Ricouer. Itulah kehasan dan keunikan manusia. Kesadaran saya akan yang lain, dapat meluhurkan yang lain, yang secara otomatis juga meluhurkan saya. Umat beragama, perlu disadarkan bahwa mereka juga adalah warga negara bahkan warga dunia, yang perlu toleran dan meluhurkan sesama manusia.
——————————————————————————————————–
.