Rizal Mallarangeng
KAMU kok memprotes dan mengeluhnya ke aku, Gus? Soal kompromi politik dan nasib kursi kekuasaanmu, itu urusanmu sendiri. Perkaranya kau sendiri yang bikin. Aku jangan diikutikutkan, dong. Sebenarnya aku masih ingin menolongmu. Tapi coba kautempatkan dirimu dalam posisiku. Kan, aku juga harus mempertanggungjawabkan langkah-langkahku di hadapan anak buahku. Malaikat-malaikat itu, lo. Coba, apa yang harus kukatakan kepada mereka untuk membelamu? Sulit betul. Malaikatku di seksi intelijen bilang, dua pekan lalu kau memecat Djohan Effendi, sahabatmu di Forum Demokrasi yang kau minta untuk memimpin Setneg sejak setahun silam. Terus terang, banyak malaikatku sudah lama bersimpati kepada Djohan. Dia orang yang santun dan luarbiasa jujur. Orang seperti dia tidak mungkin pernah mencuri dan mempertaruhkan kemaslahatan publik untuk kepentingan pribadi. Dengan memecat dia, kau membuat malaikat-malaikatku jadi bertanya. Kenapa kau sering memecat orang yang jujur dan tak terbiasa berbohong? Apa yang ingin kau sembunyikan?
Selain masalah sepele seperti itu, masih banyak lagi soal yang jauh lebih penting. Salah satunya datang dari laporan malaikatku di seksi politik dunia non-akhirat—saya tidak perlu menyebut namanya—bahwa kau sekarang sudah sangat sering menduakan aku. Memang, aku mengerti, kau dan teman-temanmu di NU sering dekat dan mengaku-aku dekat dengan segala jenis arwah dan roh gaib. Kalau pada tingkat kultural, sih, aku maafkan semua itu. Katakanlah, itu warisan kultur pedesaan yang memperkaya kehidupan manusia, ciptaan-ciptaanku yang terkadang merepotkan itu.
Tapi, Gus, lain soalnya kalau semua itu menyangkut masalah politik dan proses kenegaraan. Kau berurusan dengan orang yang hidup, bukan yang mati. Dengan mereka yang terakhir ini, soalnya memang jauh lebih mudah. Mereka tidak punya hak suara. Dan kau tak perlu meyakinkan mereka bahwa kau pemimpin yang berhasil. Kamu bisa seenaknya saja, tidak perlu bersusah-payah merebut hati mereka. Dengan mereka yang hidup, itulah persoalanmu. Suaraku adalah suara rakyat yang hidup, yang merasa, yang bisa jengkel dan menimbang-nimbang. Tapi, sejauh ini, apa yang kau lakukan terhadap mereka?
Nol besar. Setahun lebih sudah kau mendapat kesempatan emas untuk berbuat baik terhadap mereka. Wakil-wakil mereka yang sah sudah memberimu peringatan berkali-kali. Tapi kau lebih sering menendang, menyikut, berkelit, dan mengancam.
Dengan semua itu, posisiku agak terjepit sekarang. Kalau aku mengulurkan tangan dan menolongmu, seperti yang terkadang aku lakukan, reaksi para malaikatku pasti akan keras dan memojokkan. Anggota DPR sih masih mendingan. Coba kau diprotes para malaikat. Bisa minta ampun tujuh turunan.
Jadi, maaf, Gus. Kali ini aku tak mungkin membantu. Kalau urusan lain di waktu berbeda, pasti aku akan berusaha menolong. Tapi, soal kompromi politik dan kursimu yang kini sedang oleng, aku angkat tangan. Kau selesaikanlah sendiri.
Cuma, aku ada sedikit pertanyaan—hanya ini yang bisa aku lakukan untuk sementara. Kau ini mau dikenang sebagai pemimpin seperti apa? Kalau mandat kekuasaanmu dicabut bulan depan, kau ingin meninggalkan kesan apa? Dalam beberapa generasi ke depan, kau ingin namamu dikenang dengan penuh syukur dan takzim, atau dicerca dan terus-menerus menjadi bahan olok-olok? Indonesia, seperti negeri lainnya, akan terus menilai karya para pemimpinnya. Kau ingin hanya menjadi pecundang sejarah, tokoh paradoksal yang dianggap menyusahkan rakyat banyak?
Jawabannya ada di tanganmu. Kau belajarlah pada Al Gore, wapresnya Bill Clinton, yang hampir mengalahkan George W. Bush dalam pemilu di AS pada akhir tahun lalu. Namanya menjadi lebih harum justru setelah dia menerima kekalahan dengan besar hati. Dia menerima kenyataan dan mengorbankan kepentingan dirinya demi kepentingan yang jauh lebih besar. Dia tidak pernah mengancam dan menendang dengan panik. Pidato penerimaan kekalahan yang dibacakan Gore akan menjadi salah satu pidato terbaik dan paling bersejarah di Negeri Abang Sam pada abad ke-21. Dengan itu, tanpa menjadi presiden pun, nama Gore akan tetap harum dalam sejarah.
Kalau tidak mau belajar dari negeri yang jauh, kau bisa belajar dari negerimu sendiri. Tepatnya dari tokoh yang kau gantikan, B.J. Habibie. Dia memang memiliki banyak kelemahan sebagai politisi. Dia terlalu naif untuk peran yang membutuhkan ketangkasan Machiavellian ini. Tapi, lihatlah, namanya kini semakin harum, bukan sebaliknya. Pada titik tertentu, dia menerima realitas dan melakukan tindakan yang sangat arif. Dia mundur dengan sukarela, melepaskan kursinya, karena tahu dukungan wakil rakyat untuknya tidak lagi memadai. Tindakan seperti ini akan terus dikenang.
Itulah pelajaran yang baik, Gus. Kalau kau membutakan diri terhadap pelajaran ini, sungguh sayang. Kau bisa berlaku nekat-nekatan dan memukul atau merusak banyak hal di sisa waktu kekuasaanmu, seperti banteng terluka yang merangsek ke mana-mana. Kalau itu yang menjadi pilihanmu, aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Cuma, pikirkanlah hal itu baik-baik. Jadi, sekali lagi, semuanya aku serahkan kembali ke tanganmu. Aku ada banyak urusan saat ini. Kapan-kapan aku mengirim surat lagi kepadamu.
———————————————————————–
Sumber Tulisan: Dari Buku Dari Langit , KPG 2008