Oleh A. SUDIARJA, SJ
DUA tahun sudah gempa dan tsunami di Aceh dan Nias yang menelan korban 200.000 jiwa berlalu, tetapi pemulihannya belum selesai sama sekali. Musibah besar itu telah menggugah hati begitu banyak orang untuk terlibat, memberikan sumbangan ataupun menjadi relawan “kemanusiaan”.
Akan tetapi, lebih jauh, musibah itu bisa juga menjadi inspirasi untuk permenungan agama, mengenai posisi Allah yang “Mahabaik” dan “Mahakuasa” berhadapan dengan bencana yang terjadi di dunia ciptaan-Nya, salah seorang orang yang terinspirasi untuk menuliskan renungan itu adalah Paul Budi Kleden. Bukunya berjudul Membongkar Derita. Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Penerbit Ledalero 2006).
Buku ini mencoba menjawab dilema klasik yang pernah diajukan Epikuros (341-270SM): “…..Atau Tuhan mau menghapuskan keburukan, tetapi tidak mampu; atau sebenarnya ia mampu, tetapi tidak mau; atau ia tidak mampu dan tidak maue. Jikalau ia mau, tetapi tidak mampu, ia lemah…….Jikalau ia mampu, tetapi tidak mau, dia jahat ….Tetapi, jikalau Tuhan mampu dan mau menghapuskan kejahatan, ….lantas bagaimana kejahatan ada di dunia?” (dalam Lee Strobel, The Case for Faith, Zondervan 2000:25. bdk. Teodice, 2006:230). Dalam wacana filsafat dan teologi, upaya menjawab dilema inilah yang disebut teodice.
Bagi yang mau berpikir mendalam, teodice tentu saja sangat relevan untuk merenungkan keimanan yang dewasa berhadapan dengan musibah-musibah yang beruntun menerpa Tanah Air kita, baik itu gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya maupun lumpur panas di Sidoarjo.
Akan tetapi, lebih rumit lagi adalah sikap iman menghadapi musibah yang diakibatkan oleh manusia sendiri, sejak dari tragedi Trisakti dan Semanggi, pebunuhan Munir, mapun korban-korban tak berdosa dari konflik di Ambon dan Poso.
Suara korban dan suara pemerhati
Berhadapan dengan musibah dan penderitaan, ada dua kemungkinan posisi manusia, yaitu para korban yang mengalami sendiri dan mereka yang tidak mengalami, tetapi menaruh kepedulian. Secara psikologis, kelompok korban adalah pihak yang diam, bisu, tidak mampu bicara. Yang mampu bicara dan mengatasnamakan korban adalah mereka yang tidak terlihat langsung, tetapi peduli.
Susunan Teodice (2006) tampaknya memperlihatkan kesesuaian dengan pembagian ini. Sebelum memasuki bagian kedua tentang teodice, Budi Kleden mencoba mempersoalkan penderitaan itu sendiri. Dari pihak korban, kesulitan itu sangat dirasakan sebab pembicaraan tentang musibah dan penderitaan hanya akan mengulang rasa sakit dan ketidakenakan yang dialaminya. Oleh sebab itu, banyak korban yang lebih suka diam.
Filsafat mengakui adanya berbagai macam bahasa yang digunakan manusia untuk mengartikulasikan diri. Wittgenstein menyebutnya sprachspiel atau permainan bahasa (hal.54). Ungkapan, pernyataan, atau artikulasi penderitaan yang dialami langsung oleh korban berupa jeritan kepedihan yang biasanya tidak bersifat diskursif, tetapi sangat ekspresif dan intensif.
Seni pada umumnya dianggap sebagai bahasa yang mengena untuk mengartikulasikan hal-hal yang berkait dengan kepedihan. Dalam kerangka pemikiran inilah kiranya peryataan Adorno bisa dipahami: “…..sesudah Auschwitz tidak mungkin lagi orang menulis puisi. Menulis puisi sesudah Auschwitz adalah sebuah kebiadaban” (hal.37).
Genosida, yang disimbolkan dengan Auschwitz, di kamp kosentrasi di Polandia yang diciptakan Hitler itu begitu ngeri, sampai puisi (baca seni) pun tidak mampu lagi mengartikulasikan jeritan korban. Diam, tanpa artikulasi apa pun, yang berarti juga melupakan penderitaan masa lampaunya, merupakan jalan keluar terakhir untuk menyelamtakan diri.
Para pemerhati korban, teis ataupun ateis berada dalam posisi yang berbeda, kalau tidak bisa dikatakan berlawanan dengan para korban yang mengalami langsung penderitaan atau musibah. Sementara para korban hanya bisa diam, para pemerhatilah yang mampu berteriak keras menyuarakan penderitaan para korban.
Namun, sementara para pemerhati ateis menyangkal eksistensi Allah, dengan pretensi membela korban, pemerhati teis membela eksistensi dan keadilan (dike) Allah (theos) sambil berusaha menghibur korban dan mendamaikannya dengan kehendak Allah yang belum dipahaminya.
Berbagai aliran “teodice”
Dalam Teodice (2006) Budi Kleden memaparkan panorama teodice dalam empat kerangka, teori dosa dari Agustinus merupakan salah satu bagian darinya (hal.173 dan seterusnya). Semua kerangka pemikiran tersebut berasal dari latar belakang filsafat dan teologi Barat, kecuali Hinduisme dan Buddhisme, yang disebut dalam satu bagian kecil dari paparan mengenai kerangka pemikran tentang keharmonisan (hal.128).
Dua kerangka lainnya adalah teori privation boni (ketiadaan kebaikan) ketika tokoh Agustinus dimunculkan lagi (hal.147) dan teodice yang otentik. Yang memaparkan, antara lain, pemikiran Immanuel Kant yang mendapat inspirasi dari gempa bumi di Lisabon tahun 1775 (hal.195).
Teori dosa asal dari Agustinus dikemukakan penulis tidak dengan mengaitkan dosa dan penderitaan sebagai hubungan sebab akibat yang langsung, melainkan secara prinsip saja.
Mengartikan penderitaan sebagai hukuman langsung dari Allah atas individu yang berdosa akan berakhir dengan kenaifan karena tidak jarang yang terkena musibah dan penderitaan justru bukan orang yang berdosa, sebagaimana diilustrasikan Budi Kleden dengan novel La Peste, karangan Albert Camus. Di situ dilukiskan banyak anak-anak tak berdosa ikut mati sebagai korban (hal.186-189).
Sementara itu, kerangka pemikiran tentang keharmonisan dalam teodice menempatkan keadilan Allah dalam pemahaman bahwa keburukan (malum) tidak bertentangan, melainkan sejalan dengan kebaikan Ilahi. Bagi Agustinus, “penderitaan memperindah panorama kehidupan” karena merupakan bagian dari keteraturan yang lebih tinggi, yang sering tidak kita lihat sehingga tidak perlu diprihatinkan.
Apa pun ungkapan kebijakan yang bisa muncul dari bencana, yang jelas Budi Kleden memperingatkan kesulitan untuk menerima “kehancuran alam dan keretakan batin manusia” sebagai sarana yang dikehendaki Allah untuk “tujuan yang mulia, yakni mempersatukan manusia pendosa ke dalam tatanan yang harmonis” (hal.98).
Pemikiran lain yang disebut dalam buku Kleden menyangkut kerangka keharmonisan adalah pemikiran Leibniz tentang kemungkinan terbaik dari dunia ciptaan (the best possible word). Bisa dibayangkan bahwa penciptaan manusia yang bebas merupakan pokok yang menjadi persoalan di sini karena Allah tidak bisa memangkas konsekuensi dari penciptaan-Nya, yakni kebebasan manusia yang konsekuensinya bisa memilih dan mendatangkan keburukan.
Dalam kerangka pemikiran privat boni, teodice menempatkan keburukan (malum) sebagai ketiadaan kebaikan saja. Sebagai ketiadaan atau kekosongan, keburukan tidak mempunyai substansi yang perlu dikhawatirkan. Keburukan bukanlah prinsip dan karenanya tidak menotalisasi.
Tidak ada keburukan yang menyeluruh di dunia. Setiap yang buruk selalu hanya dalam arti parsial, bagian tertentu dari sesuatu; keburukan hanya membonceng pada kebaikan. Dalam kerangka pemikran ini penulis Teodice sekali lagi memasukan tokoh Agustinus, yang pemikirannya tentang teodice rupanya mencakup hampir semua kerangka yang dipaparkan.
“Teodice” yang otentik
Budi Kleden mengakhiri rentetan ulasan teodice-nya dengan mengemukakan ajaran Immanuel Kant sebagai teodice yang otentik (hal.195). Bagi Kant, problem teodice terletak pada penggunaan rasio yang berlebihan, yang melampaui batas kemungkinannya untuk untuk berpikir logis, lebih dari itu dengan berkutat pada rasio atau logika dalam pembicaraan tentang keadilan Allah, teodice mempersempit kodrat manusia sekadar sebagai makhluk rasioanal.
Bagi Immanuel Kant secara keseluruhan manusia lebih dari sekadar makhluk rasional. Ini karena selain rasio murni untuk memahami dan rasio praktis untuk menjalankan tindakan, manusia juga mempunyai daya perasaan untuk memepertimbangkan tujuan tindakan.
Dari sini bisa ditarik pengertian lebih luas tentang perlunya tujuan terakhir segala sesuatu menuju kesatuan yang menyeluruh. Manusia tidak saja menjadi tujuan pada dirinya, melainkan juga tujuan akhir dari seluruh ciptaan. Oleh karena itu, ajaran Kant amat penting dalam mempromosikan martabat “kemanusiaan”.
Kant mengemukakan fahamnya tentang teodice yang otentik, yakni “membiarkan Allah sendiri menjadi penafsir dan pemberi keterangan mengenai relasi antara kehendak-Nya dan keadaan dunia…..Teodice yang otentik meminta pertanggungan jawab dari Allah, tetapi memberikan hak kepada Allah untuk membela diri berkenaan dengan tuduhan yang muncul karena adanya malum di dunia (hal.220-221).
Dengan kata lain, manusia – filsuf atau teolog – tidak seharusnya memberi keterangan seolah bisa mewakili penalaran Allah sendiri. Namun, dalam arti ini, tampak bahwa teodice bergeser bukan lagi pembelaan Allah sebagaimana lazimnya dimengerti, melainkan justru merupakan semacam tuntutan kepada Allah untuk memberikan penjelasan terhadap persoalan malum.
Masalahnya, apakah Allah pernah akan menjawab tuntutan semacam ini? Kalua tidak melalui penalaran teodice para filsuf dan teolog, lantas melalui cara manakah Allah bisa diharapkan untuk memberikan penjelasan ?
Dari “teodice” ke Teologi Harapan
Dalam dua bagian akhir buku Teodice, Budi Kleden membicarakan atribut-atribut Allah (bagian ketiga) dan Allah yang menderita (bagian keempat). Kedua bagian ini merupakan telaah yang sangat sukar untuk pembaca biasa karena bagaimana pun juga terpaksa berspekulasi tentang Allah. Namun, yang menarik, berbeda dari pemahaman kita sehari-hari yang kurang kritis, Teodice menawarkan refleksi yang seolah bisa menelanjangi Allah, bahkan dalam sifat-sifat kelemahan-Nya.
Dalam bagian ketiga, misalnya, dikemukakan antara lain pandangan Hans Jonas bahwa Allah tidak berdaya sebagai risiko dari penggunaan kemahakuasaan-Nya untuk mencipta manusia dengan kebebasannya. David Blumental menerangkan bahwa dalam diri-Nya, Allah juga merangkum kejahatan. Ada “kebukan-baikan” dalam diri Allah, yang bisa dirasa melecehkan manusia ciptaan-Nya.
Manusia harus mengajukan protes terhadap Allah, kata Blumental (hal.258), karena Allah ikut bertanggung jawab atas hasil ciptaan-Nya. Tokoh ketiga yang diajukan penulis adalah Wolfgang Borchert yang mengajak orang beriman merenungkan ulang providential dei (penyelenggaraan ilahi) setelah didapatinya Allah lepas kontrol terhadap ciptaan-Nya.
Providential dei yang baru menempatkan penafsiran tentang Allah mengikuti faham “Teologi Proses”, yang melihat rencana ilahi bukan sebagai sesuatu takdir yang sudah jadi, melainkan sedikiit banyak tergantung juga pada tanggung jawab manusia.
Bagian terakhir dari buku mempelihatkan ciri Kristiani dari teodice karena bicara mengenai Allah yang menderita dan salib. Oleh penulis ditampilkan Elberhard Jungel yang memperlihatkan kemahakuasaan Allah dalam cinta, melalui Yesus Kristus dan teologi Jurgen Moltman yang mengangkat harapan dari refleksi yang mendalam tentang peristiwa salib. Menurut Moltman, dalam Allah sendiri terdapat dialektika.
Pada akhir buku ini, penulis mengutarkan, inti harapan manusia terletak pada kenyataan bahwa Allah solider pada manusia yang menderita. Disatu pihak dia tidak bisa menolong menghilangkan penderitaan yang terjadi di dunia karena dosa, dari lain pihak dia bukan tidak berbuat apa-apa.
Penderitaan Yesus di salib merupakan ungkapan paling nyata dari solidaritas tersebut. Namun inti persoalannya bukan penderitaan itu sendiri, betapa pun ngerinya penderitaan pada salib, melainkan cinta Allah yang solider itu. Ini karena penderitaan sendiri tidak bermakna, atau dari penderitaan sendiri tidak dapat ditangkap secara langsung motivasi kebaikan Allah. Padahal, justru dalam penderitaan itulah terlaksana atribut-atribut kemahabaikan dan kemahakuasaan Allah (hal. 323).
Akhir kata
Teodice (2006) merupakan buku dengan topik yang diulas secara mendalam dan kaya akan refleksi yang menarik karena di situ dipersoalkan hubungan dilematik antara kemahakuasaan dan kemahabaikan Allah dengan penderitaan manusia, atau adanya malum di dunia.
Di dalam banyak gagasan baru yang jarang kita dengar tentang Allah karena kita terbiasa dengan pemikiran kesalehan yang naif dan tidak kritis. Namun, buku ini meskipun sudah diberi ilustrasi dengan teks-teks dari kesusastraan dan contoh-contoh tentang penderitaan pada bagian depan, tetap merupakan telaah teologis yang berat sehingga hanya mereka yang sudah belajar filsafat dan teologi saja, yang bisa memahaminya.
******
A. Sudiarja, SJ, Pengajar Filsafat di STF Driyarkara, Penulis Buku – Bayang-Bayang – ( Galang Press-2003).
Sumber Tulisan Kompas 16 Desember 2006