
Pengantar
Bulan Purnama adalah simbol romantisme universal. Dalam karya-karya sastra, bulan sering digambarkan sebagai penanda cinta dan kerinduan. Puisi “Trilogi tentang Bulan Purnama” karya Yoseph Yapi Taum menggambarkan perjalanan cinta, kerinduan, kedahsyatan, dan bayang-bayang kematian. Sebuah permenungan yang mendalam tentang hakikat cinta, kekuatan, dan keruntuhannya sekaligus
BULAN TELAH KEMBALI
Bulan telah jatuh lagi
Dentingnya teduh ungu menyilaukan
Sepasang burung menariknya
Rindu tak bisa digantung di langit
Bulan telah terbangun kembali
di musim yang sudah mengering
Sepasang burung memendamnya
di telaga bagai seonggok kenangan
Bulan telah bercahaya kembali
Dilukisnya bumi dengan warna langit
Sepasang burung tak lagi murung
Selembar doa jatuh ke telaga
Yogyakarta, 23 April 2020
———————————————————-
PURNAMA DI LADANG JAGUNG
Malam purnama di ladang jagung
Bukit, sungai, laut, dan sepasang remaja
Menyusuri jejak purba yang membeku di sunyi malam
“Hujan masih membasahi mayang jagung, kekasih!
Kucium kembang mawar dan melati di sanggul pengantin!”
Keheningan bersembunyi di sudut-sudut ladang
Desir angin menggetarkan denyut jantung
Jalan setapak diterangi purnama raya
Aku menyentuhmu di balik pohon berulangkali
Ciuman demi ciuman susul menyusul menjadi buas
Malam purnama di ladang jagung
Gunung, jurang, desah, dan sepasang remaja
Melintas di atas bayang pohon-pohon di kejauhan
“Tabir malam membentangkan sayap bekunya, kekasih!
Kucium kembang kamboja dan sapaan para pelayat!”
Yogyakarta, 10 Agustus 2019
———————————————————————
PURNAMA MEMUDAR DI KAKI BUKIT
Satu lagi purnama memudar di kaki bukit
Wangi yang memberi sayap bagi sejoli menepi
Segala rindu dan duka berakhir di suatu titik
Simpang jalan dan lorong sunyi menyambutnya
Musafir pembangkit mantra sudah letih
(Sepasang kekasih masih bernyanyi hingga larut
di taman anggur dengan purnama merah)
Dengan punggung jari disekat isaknya
Cahaya terakhirnya terpantul dinding purba
Selaksa dua sejoli menghapus dingin air matanya
Siapa yang menjaga tidurmu malam-malam?
Adakah segudang puisi penjaga mimpimu?
Satu lagi purnama memudar di kaki bukit
Kepaknya melemah di batas cakrawala
Para peziarah melantunkan mazmur
Mengantarkan ke rumah kekalnya
Yogyakarta, 3 Agustus 2019
——————————————————————
Tentang Penulis
*Yoseph Yapi Taum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember 1964. Saat ini menjadi ketua Program Studi Magister Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pendidikan: (1) SMA Seminari San Dominggo, Hokeng (1984), (2) Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta (1984-1985) dari biara Oblat Maria Imaculata (OMI). (3) S-1 dari di IKIP Sanata Dharma (1990); (4) S-2 dari Universitas Gadjah Mada (1995); (5) S-3 dari FIB Universitas Gadjah Mada (2013) dengan disertasi berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998. Melakukan penelitian tentang Konflik dan Kekerasan di Papua (2015-2016). Antologi puisinya Ballada Arakian (2015), Ballada Orang-orang Arfak (2019), dan Kabar dari Kampung (2023).