— I G N A S K L E D E N —
Pemilihan presiden selalu menimbulkan kehebohan dan perhatian besar, baik di dalam negeri maupun di kalangan internasional. Ini tidak mengherankan karena, dalam sistem presidensial, Presiden Indonesia merupakan lembaga politik dengan kekuasaan terbesar di antara lembaga politik lain.
Rakyat Indonesia bertanya apa yang akan dilakukan calon presiden dalam pemerintahan untuk berbagai sektor publik. Sebaliknya, perhatian internasional berfokus pada ada tidaknya jaminan untuk politik yang demokratis, sikapnya terhadap keterbukaan dunia yang dibawa oleh globalisasi, dan apa yang akan dilakukannya terhadap liberalisasi ekonomi yang menjadi kecenderungan umum sekarang.
Dalam masa kampanye, pengamat internasional akan meninjau sejauh mana calon bersedia masuk proses demokrasi delibaratif, mengemukakan visi mereka tentang masyarakat yang akan dipimpinnya, kesulitan yang paling mendesak untuk diatasi, dan dengan pola kepemimpinan apa semua itu akan dijalankan.
Sebaliknya, di dalam negeri, perhatian lebih tertuju kepada fairness kampanye: apakah lawan politik tidak hanya dikritik tapi diserang dengan kampanye hitam dan fitnah yang tak berdasar dan apakah rakyat diiming-imingi dengan uang atau diintimidasi dengan diam-diam. Perhatian internasional terpusat pada legitimasi kampanye, sedangkan di dalam negeri rakyat menghadapi persoalan legalitas aksi-aksi kampanye.
Pada saat pelaksanaan pemilihan presiden, akan terlihat kesibukan dalam negeri untuk mengawasi jumlah perolehan suara untuk seorang calon, perhitungan suara yang tepat, pencatatan jumlah suara, dan kemungkinan pemalsuan jumlah suara pada berbagai tingkat pencatatan. Sementara kalangan internasional menginginkan pemilihan yang damai dan tanpa kekerasan, di dalam negeri orang berjuang untuk pemilihan yang jujur dan adil. Dunia internasional mengutamakan prosedur demokrasi, sementara kalangan dalam negeri menekankan substansi demokrasi dalam pemilihan.
Visi dan misi disusun untuk menjawab keinginan dalam negeri dan harapan internasional. Dokumen itu disusun oleh satu atau beberapa orang dan menjadi buatan orang. Tapi, dalam kampanye calon presiden, visi dan misi seakan-akan menciptakan seorang pemimpin. Salah satu cara yang relatif mudah untuk memahami visi dan misi seorang calon dan isi kampanyenya adalah melihat bagaimana calon yang bersangkutan memandang rezim pemerintah sebelumnya, lalu menciptakan kontras dengan apa yang dianggap sebagai kelemahan dalam rezim lama.
Gaya pemimpin yang penuh pertimbangan dan terlalu berhati-hati akan dikontraskan dengan sikap tegas dan cepat bertindak. Korupsi yang meluas dihadapi dengan janji adanya pemerintahan yang anti kebocoran. Dominasi perusahan multinasional hendak diredam dengan semacam nasionalisme ekonomi, sementara tingginya angka pengangguran hendak diatasi dengan penciptaan lapangan kerja baru secara luas.
Menghadapi visi dengan program-progam berskala besar timbul pertanyaan: bagaimana mengatasi hambatan yang akan muncul, seperti persoalan pembebasan tanah untuk pembangunan jalan raya dan jalan kereta api? Apakah hak penduduk atas tanah mereka tetap dihormati dan diberi ganti rugi yang pantas dalam negosiasi yang demokratis?
Kontras yang dibuat dengan gaya kepemimpinan dalam rezim sebelumnya, mungkin efektif untuk sementara waktu, tapi belum cukup kuat menimbulkan kegairahan karena melihat cahaya baru dalam suatu prespektif masa depan yang ditawarkan. Ada beda besar di antara euforia yang lahir dari situasi gegap-gempita serta determinasi yang muncul dari enchantment dan ketercerahan.
Seorang presiden baru jelas harus bertolak dari apa yang ada dan tidak bisa berbuat seakan-akan dia dapat menulis bab baru di atas tabularasa. Yang diperlukan adalah memanfaatkan sarana yang ada tapi dengan melihatnya dalam prespektif baru dan menanganinya dengan pendekatan baru.
Calon presiden Joko Widodo mengajukan visi yang mungkin lebih workable dan lebih dekat dengan persoalan. Dia tidak bertolak dari megaproyek atau dana yang astronomis, tapi berangkat dari dana yang ada yang harus dimaanfaatkan dengan efisiensi tinggi disertai pengawasan ketat dan berkala. Kinerja birokrasi akan ditingkatkan melalui online pada semua tahapan kerja, untuk menciptakan akselerasi dan sekaligus transparansi.
Visi-misi calon presiden Prabowo Subianto dan Jokowi menjadi ilustrasi bagi strategi pembangunan big push atau dorongan besar dan strategi piecemeal engineering atau rekayasa setahap demi setahap dalam teori pembangunan. Dalam strategi dorongan besar diharap ada dana besar, proyek besar, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang memungkinkan penciptaan lapangan kerja yang luas.
Strategi pembangunan Presiden Soeharto sedikit banyak diilhami oleh strategi dorongan besar. Politik harus dibatasi, partai politik dikurangi, dan kebebasan berpendapat diawasi supaya ada stabilitas politik sebagai suasana yang aman untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang tinggi akan menyelesaikan masalah distribusi pendapatan secara alamiah karena hasil pembangunan yang sudah melimpah akan menetes ke tempat-tempat yang lebih rendah dan rakyat dapat mendapat bagiannya tanpa banyak perjuangan politik. Namun tidak diperhitungkan bahwa tetesan ke bawah atau trickle-down effect itu tidak terjadi karena lemahnya kontrol politik. Terjadi kosentrasi kekayaan pada elit yang amat terbatas. Kesulitan dengan strategi dorongan besar ialah dia tidak memperhitungkan adanya unintended result atau akibat yang muncul di luar rencana, sehingga kalau terjadi penyimpangan, dorongan besar akan mengakibatkan penyimpangan besar.
Strategi rekayasa bertahap atau piecemeal egineering lebih lambat, tetapi mempunyai dua keuntungan. Pertama, penyimpangan pada tiap tahap langsung diatasi dengan monitoring secara berkala. Kedua, ada kepercayaan bahwa kalau pembangunan dimulai pada titik yang tepat, perubahan kecil akan diperbanyak dengan cepat menjadi perubahan yang lebih besar dan perubahan akan melipatgandakan dirinya menurut pola yang diawasi. Ada semacam a-small-step-is-a- big-deal philosophy yang tampaknya menjadi keyakinan atau bahkan ilham untuk calon presiden Jokowi.
Dia beranggapan anggaran ada dan mencukupi untuk mulai bekerja, peraturan dan perundang-undangan juga sudah siap. Yang masih perlu dilakukan ialah meyusun suatu politik anggaran dengan pengawasan ketat melalui monitoring berkala dan membuat peraturan yang ada efektif dalam penerapan. Asasnya: law enforcement is empowerment. Dia tidak terjebak dalam reaksi terhadap masa lampau tapi mengajak seluruh bangsa untuk aktif dan kreatif membangun masa depan yang baru.
Visi-misi kedua calon memberi banyak informasi tentang apa yang akan dilakukan untuk rakyat dalam berbagai sector. Kita tahu “untuk rakyat” adalah salah satu unsur demokrasi. Namun sebuah pemerintahan yang oligarkis atau bahkan otoriter dapat menunjukkan niat yang sama dengan menyatakan bahwa segala apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan rakyat.
Apa yang membedakan pemerinthan demokratis dan pemerintahan otoriter atau oligarkis ialah bahwa demokrasi tidak memperlakukan rakyat hanya sebagai obyek kebaikan atau sasaran kebaikan dan kemurahan hati. Demokrasi memberi kesempatan bagi suatu pemerintahan “dari rakyat” dan “oleh rakyat”. Ini sebabnya, perlu diteliti seberapa jauh visi-misi tiap calon mendorong partisipasi politik rakyat sambil memberi saluran tempat rakyat menyampaikan pendapat mengenai perkembangan yang berlangsung dan aspirasi mengenai masyarakat dan kedudukan warga di dalamnya.
Indikator untuk perhatian pada pemerintahan “dari rakyat” dan “oleh rakyat” adalah ada tidaknya pernyataan dalam visi-misi tentang penguatan masyarakat sipil dan partai politik. Suatu pemerintahan yang berambisi melakukan segala sesuatu untuk rakyatnya, tanpa memberi kemungkinan bagi rakyat melakukan sesuatu atas prakarsa sendiri demi kedupan bersama sulit dinamakan pemerintahan yang demokratis. Melindungi rakyat dari segala bentuk diskriminasi memang penting, tapi lebih pentimg lagi menjalankan suatu politik yang dapat menciptakan umum bahwa diskriminasi adalah sikap yang tidak politically correct.
Perhatian terhadap partai politik terlihat dalam visi-misi Jokowi, yang brniat memperbaiki undang-undang partai politik dan mendorong penguatan penguatan lembaga politik. Demikian pun pembiayaan partai politik direncanakan diambil alih oleh negara dan diatur oleh undang-undang partai politik. Juga pembiayan kampanye pemilihan umum direncanakan dijadikan tanggungan negara, untuk mengurangi oligarki politik dalam partai politik dan memperkecil politik transaksional melalui uang.
Adalah suatu langkah maju yang patut dicatat bahwa kedua calpn presiden bersedia diahadapkan dalam debat di televisi untuk mengemukakan visi mereka, mengajukan pertanyaan, dan saling menaggapi. Suasana debat itu menimbulkan harapan bahwa demokrasi semakin matang, karena lawan politik tidak diahadapi sebagai musuh politik.
Suasana baru ini dapat menimbulkan apa yang oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama namakan the audacity of hope, yaitu keberanian untuk percaya bahwa nasib bangsa ada ditangan kita sendiri dan dapat ditangani kendati ada banyak bukti yang menentang harapan itu. Ini mungkin terjadi selama ada persatuan yang berdiri di atas sense of mutual obligation, yaitu kalau warga negara mempunyai kewajiban satu terhadap lainnya.
——————————————————————————————————————————-
Sumber: Majalah Tempo 6 Juli 2014