Oleh Nirwan Ahmad Arsuka
TAMPAKNYA hanya diperlukan kedua belah tangan, untuk menghitung jumlah cendekiawan kontemporer Indonesia yang hampir tanpa interupsi, menulis dengan mutu relatif terjaga selama puluhan tahun. Ada dua yang sangat menonjol, setidaknya dari segi publisitas, dari kelompok minoritas ini: Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohamad. Pram, sastrawan Indonesia yang paling terkenal di dunia itu, kini hanya menerbitkan ulang karya-karya lamanya dan tak lagi menyentuh mesin tiknya. Dengan tingkat kesuburan yang menakjubkan bukan hanya untuk ukuran Indonesia, Goenawan masih terus menata kata dan kalimat. Konon sajak Goenawan yang pertama, tentang rembulan, ditulisnya di sekitar tahun 1952—entah seperti apa persisnya sajak yang dilahirkan di usia sebelas tahun itu. Dalam 25 tahun terakhir, tulisan-tulisannya nyaris setiap minggu datang menyapa, dalam bentuk Catatan Pinggir. Kolom yang kehadirannya pernah hampir mati dikubur oleh Rezim Soeharto, dan sempat muncul di majalah Suara Independen, memang merupakan kolom dengan karakter paling istimewa dalam khazanah intelektual Indonesia. Sedemikian istimewa sehingga orang bisa dimaafkan jika mengumumkan bahwa di Indonesia ada dua macam esai—pertama adalah esai, pada umumnya; kedua adalah Catatan Pinggir.
Kumpulan ini merupakan seleksi dari hampir 1.000 esei pendek yang dihasilkan Goenawan dari 1960 sampai 2001. Untuk menapak lebih baik karier ke-penulis-an Goenawan, disertakan dua esei panjangnya: Potret Seorang Penyair Sebagai Si Malin Kundang; dan Kesusastraan, Pasemon yang adalah pidato Penerimaan Hadiah A. Teeuw, di Leiden, 25 Mei 1992. Dari sekitar 650 tulisan yang terpilih, sebagian sangat besar berasal dari Catatan Pinggir. Goenawan kerap bilang bahwa kolom yang berevolusi dari rubrik Fokus Kita di Majalah Tempo itu ia kerjakan untuk mengisi secarik halaman dan mengelakkan kebosanan. Mereka yang pernah mencoba mengisi rubrik setiap minggu, dengan tenggat dan aktualitas yang yang terus meronda di kesadaran, dan dengan tekad agar “setiap kata tak mengulang kata sebelumnya,”[1] akan tahu betapa berat pekerjaan itu. Sejumlah Catatan Pinggir, terutama yang ditulis di tahun-tahun awal kemunculannya, memang lebih merupakan pergulatan mengelak dari pentungan tenggat dan ruang kosong. Catatan Pinggir seperti ini ditulis dengan paragraf-paragraf yang merupakan perkembangan dari satu kata yang tak harus kata inti di paragraf sebelumnya, seperti tanaman Pusar Bumi atau Rumput Teki yang menjalar tumbuh dengan digresi untuk menutup bidang yang mesti terisi. Paragraf yang lahir belakangan bisa segera dipotong jika melebihi jatah, tanpa membunuh rumpun paragraf sebelumnya.
Catatan Pinggir dengan digresi ini memang menarik dari segi “teknik” penulisan, atau tegasnya menarik dalam melihat “kelicinan” seorang penulis dengan tangkas menganyam permadani kata untuk menutup bidang kosong. Tapi seleksi ini tak cuma melihat bagaimana kata dan paragraf tumbuh. Selain kekuatan linguistiknya, dilihat juga muatan “epistemik”-nya, dan, yang tak kalah penting, hubungannya dengan esei-esei lain. Seperti bintik-bintik bintang, esei-esei pendek ini menarik bukan hanya karena cahayanya sendiri, tapi juga karena konstelasinya. Dengan kriteria ini, sesungguhnya masih agak banyak esei pendek Goenawan yang layak lolos seleksi. Hanya karena penerbit “memberi” angka sekitar 650 saja, maka dengan agak sewenang-wenang seleksi itu jadi seperti ini. Yang jelas, dari kumpulan ini terlihat bahwa Catatan Pinggir tak hanya jadi pengisi ruang di halaman Tempo. Catatan Pinggir bukan lagi sekedar esei-esei tentang sesuatu, tapi adalah sesuatu itu sendiri. Di bagian depan buku Catatan Pinggir 4, Goenawan menulis, “Hidup di bawah kekuasaan yang kehilangan daya pesona dan persuasi ide-ide … sebuah buku dengan beberapa jumput isi pikiran selalu dipertaruhkan untuk menjadi sejenis pekik ‘merdeka’”.[2] Kumpulan esei pendek ini sungguh lebih kaya dari sekedar pekik “merdeka” seperti yang ditulis Goenawan tadi, yang sebenarnya juga tak terlalu lantang untuk disebut pekik itu.
Jika ada problem universal yang dihadapi oleh hampir seluruh cendekiawan di segenap penjuru Bumi di abad ke-20, maka problem tersebut adalah “sejarah”: perubahan dan pembentukan dunia, yang berarti juga perubahan dan pembentukan takdir manusia. Di esei Kesusastraan, Pasemon, Goenawan dengan terang benderang menjelaskan posisinya di depan soal besar sejarah yang, meski pernah diumumkan kematiannya, niscaya tetap akan merundung manusia sampai jauh masuk ke alaf ketiga ini. Di sana ia bicara tentang kebudayaan yang diterima sebagai trauma, tentang sejarah sebagai sesuatu yang brutal, dan tentang kekecewaan umum terhadapnya. Pilihan kata yang keras itu (brutal, trauma) tak mem-pasemon-kan sikapnya terhadap sejarah, khususnya terhadap penjelmaannya dalam bentuk homogenisasi yang bekerja dengan struktur besar kekuasaan yang menindas. Pandangan muramnya terhadap sejarah, yang menarik diperbandingkan dengan visi-sejarah-apokaliptik Walter Benjamin atau dengan Theodore Adorno yang melihat sejarah ditandai oleh “malapetaka permanen,” sudah terasa sejak Catatan Pinggir awalnya.
Pandangan muram Goenawan atas sejarah memang belum terasa pada esei-esei pendeknya yang ditulis di dekade 1960-an, kendati benih-benih atas pandangan itu sudah tertanam di sana, tertutup oleh semangat muda seorang yang masih percaya pada tindakan eksistensial manusia di tengah kosmos yang konon absurd. Saya melihat benih itu mengambil bentuk antara lain dalam sikap konservatif terhadap luncuran waktu; dalam kecondongan pada kedamaian dan kelimpahan waktu (silam) yang guyub dan terentang anteng, dalam kecurigaan pada keresahan dan kelangkaan waktu (kini) yang tampak terlalu bergegas menuju masa depan yang bising dan tak terpetakan jelas, meluncur menceraikan manusia dari alam dan dari sesamanya manusia.
Yang jelas, benih pandangan muram Goenawan itu kemudian tumbuh dan menjadi jelas sejak dekade 1980-an. Dari tahun ke tahun, kian menegas bahwa suaranya adalah suara orang yang dengan style terus “mengolah” jarak dari gemuruh sejarah yang membongkar dan menyeragamkan benua-benua. Humor memang kadang juga memercik di tulisan-tulisannya. Tapi karena lumayan subtil, humor-humor itu seakan hanya melintas seperti meteor yang tak langsung mencorong di tengah suasana “ungu” kalimat-kalimatnya yang cenderung sentimentil dan sepintas terasa “memberat”. Penerimaan bahwa sejarah adalah sesuatu yang brutal dan mengecewakan, jelas ikut membuat sebagian besar Catatan Pinggir Goenawan, dan terutama sekali sajak-sajaknya, digantungi oleh mendung murung yang membayang di sekitar bencana, keruntuhan dan waktu yang tak lagi beringsut
Orang memang bisa ikut merayakan ulang tahun kemerdekaan, merayakan kemajuan dan hasil pembangunan, hanya agar ia tak tampak sebagai makhluk a-sosial yang tak mampu bersyukur. Goenawan sedikit banyak termasuk mereka yang menyajikan sikap itu. Ia menunjukkannya di beberapa tulisan yang ia kerjakan bersama dengan meningkatnya program pembangunan ekonomi Orde Baru. Ia menulis betapa ia ikut mencicipi pencapaian kemajuan material Orde Baru, tapi terasa bahwa hatinya tidak di sana. Hatinya tertawan pada sesuatu yang lain, yang antara lain berisi harapan yang tak perlu dirayakan tentang Indonesia yang selalu bisa dicintai oleh siapa pun, terutama oleh mereka yang tak berkuasa, Indonesia yang selalu bisa dibuat baik, juga ketika hukum dan keadilan sudah diinjak disepak masuk ke comberan.
Kritik-kritiknya atas sejarah sebagai gerak maju modernisasi ia barengi dengan pembelaannya atas sisi sejarah yang lain, yakni tradisi masa silam, yang seringkali dicampakkan tapi yang menjadi sumber pengetahuan dan kearifan. Berkaitan dengan perubahan dan pembentukan dunia itu, Goenawan juga menulis tentang agama-agama besar manusia. Ia menulis tentang iman yang tak harus berkaitan dengan kebenaran historis tapi yang bisa membangkitkan banyak hal yang terbaik dalam diri manusia. Tapi ia juga menulis dengan masygul perjalanan agama-agama besar yang tak jarang menyambung sejarahnya dari penghancuran ke penghancuran, yang menghadirkan dirinya di depan manusia sebagai pendahuluan, sebagai bagian, dari neraka jahanam. Ia terutama sangat banyak menulis tentang revolusi sosial politik dengan berbagai korbannya, sejak dari ketidak-jujuran puisi, hancurnya watak dan kebahagiaan kecil manusia, hingga ke nyaris musnahnya sebuah bangsa ditumpas oleh anak-anaknya sendiri.
Catatan-catatan Goenawan atas sejarah dengan pelbagai perwujudannya itu senantiasa dibarengi, atau lebih tepat lagi, dituntun oleh pembelaannya pada mereka yang terpinggirkan. Tampaknya memang ada semacam “posttraumatic stress disorder” yang secara otomatis membuat Goenawan menyusun tulisan melankolik dengan empati yang mungkin tak mengepal tinju tapi kekal pada mereka yang dilupakan sejarah, mereka “yang memperotes dengan keyakinan tipis bahwa protes itu akan di dengar, dan karena itu teriaknya sampai ke liang lahad”.[3] Dia menyindir halus diskusi teoretis rencana-besar-pembangunan yang tak nyambung dengan masyarakat bawah yang kadang bertahan hidup dengan makanan dari sampah; dan dia selalu gagal menyembunyikan kejengkelannya berhadapan dengan analisa antropologi yang menempatkan petani dan pribumi sebagai masyarakat malas.
Penghormatan dan pembelaannya pada yang dengan intim ia sebut liya liyaning liyan, sang Lain yang hakiki, adalah warna kekal dalam tulisan-tulisan mutakhirnya, tema kembaran dari persoalannya dengan Sejarah. Penyair yang menyerap banyak inspirasi eksistensialisme, khususnya dari Albert Camus, dan telah menunjukkan beberapa kecenderungan postmodernis dalam pemikirannya jauh sebelum literatur postmodernisme masuk ke Indonesia ini, telah menyusun jutaan aksara untuk membela keunikan manusia yang hendak dihancurkan oleh proses konseptualisasi dalam dunia pemikiran, oleh kekejaman revolusi dalam dunia politik, dan oleh tarikan komodifikasi dalam dunia ekonomi.
Bagi mereka yang yakin bahwa empati pada kaum yang terpinggirkan hanya akan bermakna jika diwujudkan dalam pergulatan berdarah dan berkeringat untuk menunggangi gerak sejarah, untuk mengubah dunia dengan nyata, Catatan Pinggir memang tidak memadai. Bukan hanya itu, esei-esei Goenawan bahkan dianggap menyimpan ketidakadilan. Mendiang Aswab Mahasin, misalnya, sudah menunjukkan betapa Catatan Pinggir sering enggan terhadap kebulatan dalam banyak hal.[4] Orang tentu tak dapat mengambil tindakan yang meyakinkan jika hanya dibekali oleh pengetahuan yang tidak bulat. Di Pengantar Catatan Pinggir 2, Ignas Kleden dengan tajam menilik dan menunjukkan “watak” dari Catatan Pinggir, tilikan yang sejauh ini memang yang terbaik atas Catatan Pinggir. Salah satu penilaian Ignas yang ditulis dengan kejernihannya yang terkenal itu adalah: “… menghadapi masalah-masalah sosial-politik atau sosial-ekonomi, maka yang terlihat adalah perasaan ragu yang bahkan sebagai keraguanpun seringkali tak begitu meyakinkan, karena sifatnya yang kurang spesifik….” Di bagian lain Ignas menulis, “… terhadap masalah pendidikan, disparitas, kekuasaan, atau partisipasi, yang terdengar adalah perasaan yang tak pasti, ungkapan panjang dan sering amat “cantik” tentang keraguan yang tak sempat mengkristal menjadi pertanyaan.” Ignas memang tidak dengan tandas menunjukkan letak ketidakadilan Catatan Pinggir, tapi ia membukakan pintu masuk lewat penilaiannya atas sikap Catatan Pinggir di mana, “kritiknya yang tegas terhadap otoritarianisme intelektual, yang tak diimbangi sama kuatnya dengan kritik terhadap skeptisisme intelektual.”
Dulu saya juga ikut mengira bahwa Goenawan adalah seorang peragu dengan pendirian tak jelas, bahkan lebih buruk dari itu. Saya kemudian menganggap bahwa kepengecutan adalah watak permanen dalam diri manusia. Tapi tulisan-tulisan Goenawan, dan terutama sekali proses seleksi esei-esei pendek ini yang memungkinkan saya melihatnya secara menyeluruh, telah membebaskan saya dari pandangan sesat itu. Proses itu mengembalikan saya pada kebenaran tua bahwa watak manusia adalah hasil interaksi dari pengetahuannya. Dan bahwa kualitas pengetahuan adalah fungsi dari, antara lain, komitmen dan keterlibatan.
Akibatnya adalah bahwa saya menyetujui sebagian besar pemaparan Ignas atas “symptom” Catatan Pinggir, tapi saya melihat betapa “diagnosa”-nya tak memadai. Kejernihan tulisan Ignas memang membantu kita dengan mudah melihat apa yang kita bisa setuju, dan apa yang perlu kita tampik darinya. Saya sepakat dengan harapan Ignas agar Catatan Pinggir lebih tegas dan ketat dalam kalimat-kalimatnya karena itu berakibat langsung pada pertumbuhan pengetahuan. Tetapi, saya juga melihat betapa pembedahan Ignas, pada akhirnya menjadi—tampaknya Ignas sendiri tak menyadarinya—campuran antara sejenis tautologi yang halus dan kerancuan penarikan kesimpulan yang menyelusup dalam bentuk sebuah kritik epistemologi dan penilaian moral atas sikap intelektual seorang penulis. Ini terjadi karena Ignas tak bergerak membedah lebih dalam lagi, melupakan fakta kesulitan penulisan kolom berkala yang ia ajukan sendiri, dan karena memusatnya pembedahan bukan pada esei-esei terbaik Goenawan, tetapi pada esei-esei yang menyentuh minat besar Ignas sendiri: sosiologi dan filsafat pengetahuan; esei-esei yang sialnya justeru sering cukup menggugah secara linguistik tapi tak-langsung-membangkitkan secara epistemologis.
Aswab benar ketika mengatakan bahwa Catatan Pinggir sering enggan terhadap kebulatan dalam banyak hal, tapi ia keliru ketika menyimpulkan bahwa, suka atau tidak, begitulah adat Catatan Pinggir: enggan pada kebulatan itu. Lebih keliru lagi ketika Aswab memistifikasi ketidak-bulatan Catatan Pinggir sebagai buah dari keutamaan pencarian kebenaran tanpa henti. Kekeliruan juga muncul pada diagnosa bahwa ketidak-adilan intelektual Catatan Pinggir, kritiknya yang timpang antara otoritarianisme intelektual dan skeptisisme intelektual, adalah pilihan leluasa yang mencerminkan watak dasar penulisnya. Ketidak-adilan dan ketidak-bulatan bukanlah adat, yakni sesuatu yang hakiki yang akan selalu muncul, dari Catatan Pinggir. Bahwa esei-esei itu mengajak kita dalam pencarian, kadang begitu jauh, tanpa titik final, itu bukan karena ia sejatinya enggan pada dan menghindari kebulatan, tapi karena memang tidak mampu, atau lebih tepat lagi, tidak mungkin. Masalah pertama di sini bukanlah soal watak dasar berpendirian atau tidak, tapi lebih soal teknis cukupnya waktu atau tidak. Seperti diketahui, Catatan Pinggir tak jarang ditulis dalam celah waktu yang sangat sempit. Ruang sehalaman majalah dengan waktu yang mepet bukanlah kawan yang baik untuk membentangkan sejumlah argumentasi yang dapat menjadi sebuah traktat filsafat. Hanya seorang jenius yang dibantu sekelompok intelektual cemerlang dan telah menekuni masing-masing soal bertahun-tahun, yang mampu membuat selembar halaman majalah menjadi bidang yang bisa dipakai untuk mengatakan segala hal tentang apa saja dengan kedalaman dan ketegasan sikap.
Yang paling mungkin diperoleh dari halaman terbatas yang dikerjakan oleh seorang penyair dan pewarta, memang bukan prosa yang dibangun secara arsitektonik dengan analisa dan argumentasi. Yang paling mungkin adalah tulisan pendek yang lebih dekat ke puisi, atau provokasi dalam bentuk humor. Tulisan singkat seperti itu lebih sesuai untuk “membentangkan satu set kenyataan”, yang memang perlu membawa ketajaman observasi dan harus punya daya untuk menggetarkan. Banyaknya puisi untuk hal yang terlalu prosais tidak dengan sendirinya menjadi sebuah diskualifikasi. Pernyataan penutup Ignas bahwa terlalu banyak puisi untuk hal-hal yang prosais membuat Catatan Pinggir gagal, tepatnya, membuat pembaca menghadapinya sebagai sesuatu yang biasa saja, dengan sendirinya mudah dibantah, kendati sebagai sebuah sindiran ada benarnya juga. Puisi bukanlah sang pengacau dalam proses pembentukan pengetahuan, juga bukan sang penyabot dalam penegasan sikap intelektual. Memang, selain menjadi petunjuk bagi puncak tertinggi kepiawaian berbahasa, puisi juga betul bisa jadi topeng bagi ketidakmampuan menulis, seperti halnya topeng bagi pergulatan tanggung bahkan watak oportunis dalam pemikiran.
Namun, jika disiapkan dengan baik, kehadiran banyak puisi untuk hal-hal yang prosais, akan menjadi jalan yang cerdik untuk memotong jalan panjang prosa menuju revelasi, untuk menantang dan menggoda pemikiran masuk menjelajah sendiri. Agar godaan itu punya “gema” panjang, sekaligus menggaris-bawahi sikap hati-hati seorang pemikir, digunakanlah sejumlah pertanyaan. Pertanyaan yang baik bisa mengangkat orang ke kerangka pemikiran yang tidak biasa, yang lebih luas dan lebih tinggi. Pertanyaan memang bisa mengundang filsafat, tapi itu hanya berlaku pada pertanyaan yang bagus, dan pertanyaan yang bagus hanya lahir dari pengenalan masalah yang rinci dan mendalam. Jika masalah dikenali dengan tanggung, yang lahir memang adalah pertanyaan-pertanyaan yang, meminjam kalimat Ignas, terlalu besar dan umum, suatu generalisasi kebimbangan yang sulit membuatnya kuat sebagai dasar bagi pekerjaan ilmiah.
Dalam hal esei-esei pendek Goenawan, tak jarang memang dia mengajukan pertanyaan yang mengaburkan, bahkan mencemari sendiri kejernihan pemikiran yang telah disusunnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang umumnya lahir dari pengenalan masalah yang sepintas lalu saja. Salah satu kaidah heuristik seleksi esei-esei pendek ini adalah: kian banyak tanda tanya yang dipasang, kian tipis peluangnya lolos.
Buat saya, segala “cacat” Catatan Pinggir, keraguan dan ketidak-adilan intelektualnya, semua itu adalah akibat yang mustahil dielakkan jika orang hanya berdiri di pinggir. Refleksi memang butuh jarak,[5] tapi observasi jelas tidak. Tanpa observasi yang kuat, refleksi akan jadi pemikiran yang asyik memuaskan fantasi sendiri. Hubungan antara observasi dan refleksi adalah hubungan kedua sayap elang dalam mengangkat tubuh pengetahuan terbang menyinggung muram mengarungi dunia. Sebagaimana orang tak dapat memperoleh pengetahuan yang lengkap jika ia terus menerus terpasung di pusat, orang pun tak dapat merengkuh pengetahuan yang utuh dan meyakinkan jika ia terus-terusan berada di pinggir. Orang harus bergerak keluar masuk, bergerak bolak balik dari pinggir ke tengah; menyelusup ke jantung persoalan, meyuruk lalu membobolnya untuk keluar pada tataran lain yang lebih tinggi. Ringkasnya, masalah terbesar Catatan Pinggir terbit bukanlah karena terlalu banyak puisi untuk hal-hal yang prosais, tapi karena kebetahannya untuk hanya mencatat dari pinggir, keengganannya untuk masuk menemu pusat, episentrum peristiwa; keengganan menjelajah habis sampai ke ruang tengah, mengikuti sendiri sebuah pilihan mentok sampai ke ujung-ujungnya.
Tidak dalam setiap hal Goenawan berdiri di pinggir. Jika ia berdiri di pinggir, penyebabnya secara kasar bisa dibagi dua. Pertama, tempo yang tersedia tak cukup untuk membuatnya bergerak ke tengah, sementara persoalan yang dihadapi membentang bukan main luas. Yang kedua, yang tak kalah penting, adalah bias “kognitif” dia dalam melihat luncuran sejarah dan berbagai centang-perenangnya: bias yang menganggap gegas dan hiruk-pikuk perubahan sebagai sesuatu yang bikin rikuh dan sebaiknya dijauhi, bukannya sesuatu yang layak mendapat penjelajahan habis-habisan dan dedikasi tanpa syarat yang menyembunyikan hadiahnya sendiri.
Tulisan-tulisan terbaik Goenawan adalah tulisan di mana ia menjadi pusat, atau bagian dari pusat tersebut. Baca misalnya tulisan-tulisan dia tentang kebudayaan, khususnya kesusastraan, di mana dia terlibat langsung dengannya. Kalimat Ignas jelas benar pada pernyataan bahwa, “… sejauh menyangkut masalah penyair dan kepenyairan, maka sikap penulisnya jauh lebih jelas, dan sampai tingkat tertentu menampilkan suatu posisi tanpa banyak rasa gamang… Dengan demikian terhadap masalah-masalah seperti kebebasan, kehidupan rohani, fungsi dan kedudukan kesusastraan, ataupun kesepian manusia, dia bisa mengatakan sesuatu secara afirmatif atau negatif.” Tentu saja! — ini yang saya sebut tautologi itu: Goenawan adalah penyair yang bergulat dengan kekuatan kata dan kesepian manusia. Ketegasan sikap dan kekuatan tulisan Goenawan telah terlihat sejak eseinya yang mungkin paling awal: Puisi yang Berpijak di Bumi Sendiri. Adapun “masalah pendidikan, disparitas, kekuasaan, atau partisipasi” — ringkasnya: sektor-sektor modern yang mempergulatkan progres yang bisa diukur, adalah bidang yang cenderung ditampik oleh bias kognitifnya, kancah di mana Goenawan lebih memilih jadi pencatat yang mlipir di pinggir, bukan pelaku yang bisa membuatnya mengatakan sesuatu secara afirmatif atau negatif.
Selain tentang sastra dan kebudayaan, tulisan-tulisan terbaik Goenawan bisa dipastikan selalu berupa tulisan tentang “diri”-nya, pada segala lapisannya. Dengan kata lain, tulisan yang dikerjakan dari tengah, dari pusat, dari subyek yang mengalami. Ada yang menyentuh dalam tulisan dia sebagai seorang ayah yang bicara kepada anaknya, atau sebagai “orang Orde Baru” yang bertemu di sebuah negeri yang jauh dengan lawan politiknya di masa silam. Kita juga bisa merasakan getar yang menjalar dari tulisan-tulisan yang dikerjakan Goenawan dalam posisinya sebagai seorang Indonesia yang bergulat dengan tema besar yang masih menghadang generasinya: tentang tanahair dan kemerdekaannya, tentang bangsa dan pembentukannya; tentang, meminjam kalimat Goenawan sendiri, “ikatan emosional yang menjelma berupa air mata yang merebak ketika melihat sebuah bendera dikibarkan dan sebuah tekad dibisikkan, “padamu negeri, jiwa raga kami.”“
Esei-esei ringkas Goenawan jelas menunjukkan bahwa untuk sebuah pengetahuan yang tidak sesat dan meyesatkan, orang tak dapat berdiri hanya di pinggir; dan bahwa Goenawan memang jauh lebih mengenal manusia dengan dunia batinnya ketimbang peristiwa dan tetek-bengeknya. Goenawan memang sangat berhasil jika menulis tentang tokoh, dan tak jarang kedodoran jika menulis tetang pokok, terutama jika pokok tersebut tak bertaut langsung dengan kerja intelektualnya.
Esei-esei ringkas itu juga menunjukkan bahwa bagi seorang dengan tempramen artistik yang memandang dunia dengan sebuah jarak, akan jauh lebih mudah untuk memprihatinkan masalah kebenaran dan segala hal kekal yang merundung semua manusia, ketimbang bergulat dengan hal-hal “kecil” tapi urgen yang terus datang bergelombang dan mesti ditangani dalam kerangka waktu lewat tahap-tahap yang dapat ditakar. Dengan kata lain, esei-esei itu lebih cocok menjadi sebentuk dokumentasi tingkah laku dan perasaan manusia saat dikepung oleh berbagai lapis problem; suatu bentuk narasi di mana tafsir tak harus dibuktikan benar atau salah, di mana nilai tulisan dipertaruhkan pada kekuatan bahasa, kejujuran ekspresi, kredibiltas tema, dan kemampuannya membuat pembaca menemukan kembali apa yang pernah diyakini dan ingin diyakininya lagi.
Masalahnya adalah: esei-esei Goenawan lumayan gemar menyentuh bahkan mengritik hal-hal “kecil” dan urgen, seperti Negara dan Ideologi, “tetek bengek” yang punya sejarah dan dasar-dasar pemikiran yang besar dan panjang. Kegemaran ini membuat tuntutan agar esei Goenawan hadir sebagai think-piece yang tersusun ketat dan “kompatibel” dengan soal yang disentuhnya, menjadi tuntutan yang — meski mungkin terasa berlebihan, mengingat keterbatasan Catatan Pinggir—sungguh sepenuhnya sah. Tuntutan itu memang tak harus dipenuhi, tapi “tradisi” yang memungkinkan ilmu berkembang, membuat tuntutan itu menjadi bukan barang haram. Namun demikian, tak dipenuhinya tuntutan itu oleh Goenawan tidak lantas membuat tulisan-tulisannya menjadi sama sekali kehilangan nilai.
Mereka yang berada di pinggir arus besar sejarah, bukan saja cenderung menerima sejarah sebagai gangguan; mereka juga tak melihatnya sebagai kesempatan untuk bermain mengubah dunia dan menikmati prosesnya. Karena itu, tulisan-tulisan Goenawan, yang memandang sejarah sebagai sesuatu yang brutal, akan memikat sebagai deskripsi, dan dengan sendirinya tak mengesankan sebagai preskripsi. Mereka kuat dalam melihat sisi-sisi keras dari sejarah, dan tak memberi ruang yang cukup untuk bermain dengan sejarah itu, untuk ikut membentuknya secara baru.
Risiko dari posisi pinggir ini terlihat kembali pada tulisan-tulisan Goenawan yang lahir di dekade 1990-an, yang tak mampu membedakan antara dua kelompok besar pengetahuan. Ia menyamakan pengetahuan ideologis yang adalah prasangka yang tersusun secara sistematis yang mengkalim dirinya ilmiah karena yakin pasti selalu benar, dan karena itu sudah tidak imiah lagi, dengan pengetahuan ilmiah yang tahu batas-batasnya dan terus membersihkan dirinya. Menyamakan kedua jenis pengetahuan ini, mirip dengan menyamakan novel picisan dengan novel Don Quixote Miguel Cervantes, misalnya. Keduanya memang sama-sama novel. Tapi kita tahu, yang pertama dihormati hak hidupnya hanya karena kita menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan menopang pembelaan terhadap suara pinggiran. Sedangkan yang kedua mengekalkan hidupnya karena kekuatannya yang tahan uji dan pencapaian literernya yang terus memancarkan ilham dan menyibakkan zaman baru dalam dunia sastra. Perbedaan pengetahuan ideologis dengan pengetahuan ilmiah memang tipis yang tak akan cukup terlihat tegas bagi mata yang berada di pinggir, baik bagi mata seorang cendekiawan dunia ketiga maupun mata seorang cendekiawan dunia pertama yang tak bergaul rapat dengan “produksi”—dengan sejarah dan dinamika revolusi—ilmu pengetahuan.
Segala jenis pengetahuan manusia memang berakar dari konseptualisasi dan pemikiran taksonomis. Goenawan, atau siapapun, benar ketika mengatakan bahwa konseptualisasi dan pemikiran taksonomis sering menyederhanakan dan meringkus kenyataan. Kerjanya yang selalu “merudapaksa” kenyataan itu, membuat Goenawan punya pandangan syak pada konseptualisasi dan pemikiran taksonomis, juga pelbagai hal yang berkaitan dengannya. Pandangan syak Goenawan itu, yang terperosok merampat-papankan dua kelompok besar pengetahuan dan meringkus perkembangan pengetahuan ilmiah itu, adalah bagian dari suara gemuruh “post-modernisme” yang mengecam rasionalitas dan Pencerahan. Gemuruh kritik yang membekukan dan memperlakukan rasio sebagai sesuatu yang “tunggal dan tak-berubah” itu, kemudian bergerak menghantam pengetahuan ilmiah dan bahkan mengumumkan kematiannya. Pengumuman ini mungkin menarik perhatian mereka yang cenderung suka statemen provokatif, dan yang melihat pengetahuan ilmiah sebagai kekuatan besar yang menindas yang menyepak kesucian dan keindahan keluar dari dunia, dan karena itu layak ditunggu dan dirayakan kematiannya. Saya juga pernah tertarik oleh pengumuman itu, tapi dengan alasan yang lain: keraguan akan kematian pengetahuan ilmiah, yang berakar pada keraguan akan ketidak-mampuan rasionalitas mengritik diri sendiri. Argumentasi bahwa dua sokoguru fisika mutakhir tampak saling menolak dipadukan, bahwa Relativitas Umum tak dapat mengikuti hukum-hukum kuantum yang mengatur partikel-partikel mikrokosmos, sementara black hole di langit tengah menggoncang dasar-dasar mekanika kuantum, malah memperkuat keraguan itu. Kelak keraguan itu membuat saya kian sadar bahwa kedahsyatan terbesar sains sungguh tidak terletak pada kemampuannya untuk menyibak rahasia semesta, untuk mengontrol dan mengubah dunia, dengan tingkat keberhasilan yang tak ada tandingannya dalam sejarah.
Kedahsyatan terbesar pengetahuan ilmiah, yang membedakannya dengan segenap sistem pengetahuan yang lebih dulu muncul dalam peradaban, adalah kesadarannya akan batas-batasnya sendiri yang membuatnya selalu siap maju, meregulasi dan merevolusi diri. Berkat sukses spektakulernya sendiri, regulasi diri sains kini menuntut langkah-langkah raksasa yang skalanya harus sebanding dengan tindakan seorang ilmuwan yang pernah menganggap kenyataan sebesar plasmodium dan mencoba meletakkannya di bawah mikroskop. Dulu ketika teknologi pengamatan masih sangat primitif, fragmen kenyataan terlihat masih bisa dikontrol, dan diinterogasi untuk mengaku. Tetapi bersamaan dengan kian meningkatnya kemampuan pengamatan itu, bersamaan dengan membubungnya kekuatan untuk mengintervensi kenyataan, mendadak ilmu melihat kenyataan itu meledak tumbuh secara liar dan terlihat lebih dahsyat ketimbang obyek yang paling tak-terpikirkan manusia. Pengetahuan tentang kedahsyatan kenyataan, datang berbarengan dengan pengetahuan tentang ‘keterbatasan” pengetahuan, yang berakar pada keterbatasan proses berpikir, atau lebih tepat proses kognitif: proses yang menuntun pengetahuan ilmiah melihat kesinambungan alam semesta seisinya sekaligus menyadarinya sebagai karakter dasar makhluk hidup. Memang, mencurigai abstraksi manusia, nyaris sama dengan mencurigai kehidupan. Berpikir sama alamiah dan sama hakikinya dengan bernafas; kegiatan dasar dari kehidupan untuk mempertahankan dirinya. Ciri pertama kehidupan bukanlah pada kemampuan reproduksi-dirinya, tapi pada kemampuan “berpikir”-nya merespon lingkungan yang terus berubah. Reproduksi penting untuk kelangsungan hidup species, kognisi penting untuk sekaligus kelangsungan hidup species dan individu. Manusia harus berpikir agar dunia bisa ia pahami, karena dengan pemahaman itulah—betapapun dangkal dan kasarnya—kehidupan dunia bisa ditanggungkan. Bahwa dalam proses berpikir itu manusia sering meringkus sang Lain, itu terjadi antara lain karena adanya jarak yang tak dilintasi.
Berteori, atau secara luas menalar dan berpikir, kita tahu, pada dasarnya adalah membanding-bandingkan. Dari pembanding-bandingan itu, manusia lalu mengklasifikasi gejala dunia yang datang mengepung. Gejala yang sering sangat kompleks dan tampak kacau balau itu, mau tak mau harus bisa ditata agar lebih mudah dipahami. Kategori-kategori yang dibuat manusia adalah perangkat kognitif penataan dan klasifikasi gejala tersebut. Seperti semua perangkat temuan manusia, kategori-kategori itu berevolusi dari tingkat yang sangat kasar ke yang sangat halus. Semakin halus kategori yang dibangun, semakin sedikit informasi yang perlu dibuang dari gejala-gejala dunia. Pembuangan—atau lebih tepatnya penangguhan—informasi memang selalu terjadi dalam proses berpikir makhluk yang fana. Apa boleh buat, tindakan untuk mengetahui—seperti halnya pembentukan bangsa—memang menuntut tindakan untuk lupa, untuk tidak mengetahui. Paradoks ini justeru memberi panas bagi metabolisme sains yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Pengetahuan yang menampik anasir tidak tahu dalam dirinya adalah pengetahuan yang kehilangan panas, pengetahuan yang sudah jadi bangkai. Bisa dibayangkan apa jadinya jika bangkai seperti ini membengkak menjadi tubuh pemikiran yang meraksasa, yang berlagak mengusung nilai-nilai penghabisan dan keharusan terakhir dalam sejarah. Tubuh pengetahuan yang mengaku membawa desain besar penjelasan dan perubahan dunia ini, jika diotopsi, ternyata lebih banyak menjelaskan diri manusia dan prasangka-prasangkanya, bukannya kenyataan dunia dan keajaiban-keajaibannya.
Kesadaran bahwa otak dan indra manusia lumayan terbatas, membuat para pelopor sains modern, kita tahu, mengajukan empirisisme sebagai salah satu pilar metoda ilmiah. Penerimaan akan batas melahirkan langkah cerdas penyusunan pengetahuan yang berpijak pada realitas, bukan pengetahuan yang tumbuh dari komentar atas komentar. Empirisisme juga berarti bahwa seseorang tak lagi bisa terus berada di pinggir, dan harus bergerak mendekati seintim mungkin obyek-obyek yang hendak diketahuinya. Memang, seringkali dalam upayanya memahami obyeknya, ilmu tak jarang menangkap, menjepit dan membekukan obyeknya dalam rumusan-rumusan konseptual. Tetapi menangkap, merengkuh dan mengenali, adalah proses yang harus dilalui sebelum sampai pada tindak melepaskan — sebagaimana “melalui dosa kita bisa dewasa” (Subagio Sastrowardoyo). Gelasseinheit,[6] detachment, dua kata yang berkaitan dengan sikap melepas itu, adalah kembang-kembang yang hanya bisa mekar dari batang matang penataan dan pemahaman kognitif. Sementara itu, ilmu pun sadar bahwa konsep, simbol dan segala macam produk kognitif manusia, sungguh hanya hasil encoding manusia atas kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri. Pewarisan dan penyebaran produk kognitif manusia itu, terutama sekali pergulatan dengannya, itulah inti kebudayaan; isi dari kegiatan panjang “menumbuhkan kepribadian, memperkaya rohani, melatih akal budi dan penalaran, menumbuhkan terus peradaban manusia.”[7]
Salah satu nilai utama esei-esei Goenawan adalah bagaimana mereka menghadirkan berbagai cara kerja rasio, mulai dari rasio yang masih terbelenggu dalam prasangka-prasangkanya, hingga ke rasio yang kemudian mengoreksi dirinya sendiri. Kita memang masih bisa menemukan potongan pengetahuan yang “berwatak ideologis” di sana, tapi kita juga dapat menemukan jenis “pengetahuan ilmiah” yang meregulasi dan mengatasi dirinya, dan pada gilirannya memberi respon yang lebih maju terhadap sejarah. Suatu keanekaragaman rasio terhampar di sana dan kita bisa belajar banyak darinya. Yang menarik adalah bahwa pengetahuan ideologis Goenawan muncul ketika ia menulis tentang rasio dan pengetahuan, sementara pengetahuan ilmiahnya membentang terutama dalam tulisan-tulisan dia yang jantungnya adalah sastra. Seperti seorang saintis yang memahami keterbatasan teorinya dan menerimanya sebagai kutukan sekaligus berkah, Goenawan menggaris bawahi keterbatasan sastra dan dari sana terus-menerus mencari jalan untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan tersebut. Sejak awal dekade 1960-an, Goenawan sudah menulis betapa sastra, atau seni pada umumnya, selalu berawal dari kehidupan nyata; betapa hasil seni tak pernah sempurna, meskipun ia selalu ingin demikian. Seperti seorang Popperian dalam melihat teori ilmu, Goenawan menandaskan betapa puisi mencoba menggapai hal-hal yang tiap kali menjauh dan menjauh bagaikan kaki langit yang kita kejar.[8]
Kehadiran berbagai jenis kerja rasio itu dibarengi juga di esei-esei Goenawan dengan kehadiran pertautan dan perbenturan berbagai sejarah dalam diri seseorang: sejarah dirinya yang tak tunggal, yang berkelindan dengan sejarah orang lain, bangsa lain, peradaban lain; jalinan sejarah yang membentuk hidup dan pemikiran seseorang. Dari perbenturan itulah kita kemudian melihat bagaimana ia tumbuh menjadi seorang pemikir eklektik yang meyerap ilham dari berbagai sumber, dan bagaimana jawaban kreatifnya terbentuk atas sejarah-sejarah yang bertumpang-tindih itu. Kita melihatnya lewat pergerakan orang dari pinggir ke tengah, yang seraya menyebar-luaskan banyak sekali konsep, melakukan semacam “dekonstruksi”—sebuah bentuk lain kerja rasio ilmiah—atas sejumlah konsep yang telah ikut membentuk sejarahnya. Seorang cendekiawan, mirip dengan seorang politikus, memang bisa juga punya tindakan yang tak seiring dengan kata-katanya yang dulu. Di pidatonya yang disebut di depan, Goenawan berkata tentang pasemon yang “menaruh kita kembali dalam kesaktian dan keterbatasan … dan kita pun memilih … kediam-dirian kita sendiri, kearifan kita sendiri.” Syukurlah Goenawan tak bertahan terus di pinggir memanjakan kediam-diriannya. Akibat dorongan sejarah itu sendiri, ia telah bergerak hanyut ke tengah memasuki bukan hanya gelanggang percaturan ide-ide mutakhir yang luas, tapi juga kancah pergolakan politik nasional yang antara lain telah menjadikannya pejuang kebebasan berpendapat dengan reputasi internasional. Sambil mengingatkan bahaya ajaran yang merasa selalu benar, ia mengutip pujian pada Kaum Kiri yang memang telah melakukan banyak kesalahan tapi paling tidak, tak berdiri di pinggir.
Pergerakan Goenawan dari pinggir ke tengah dan dekonstruksinya atas sejumlah pengertian, terlihat jelas dalam tulisan-tulisannya tentang wayang yang terentang puluhan tahun itu. Tulisan-tulisan awalnya tentang khazanah adiluhung Jawa itu masih berpegang pada pakem dan tafsir ortodoks yang sudah berusia ratusan tahun. Belakangan, anak dari desa nelayan di pantai utara Jawa Tengah yang jauh dari dari centre of excellence Jawa yang menindas kultur tanah asalnya itu, kemudian menawarkan tafsir baru atas sistem nilai paling luhur peradaban Jawa. Ia menyusupkan kritisisme dan humanisme modernitas ke dalam alam mythic Mahabharata dan Ramayana, menyusupkan yang “sejarah” ke dalam yang “mitologis.” Esei-esei tentang wayang ini termasuk tulisan dia yang terbaik. Sedemikian bagus sehingga sering kali rasa jengkel saya terbit: mengapa tulisan-tulisan pendek yang merujuk pada dua buah epik besar dunia yang sudah begitu terkenal itu, tidak hadir bukan sebagai “lembar-lembar yang tercecer lepas” itu?
Saya bayangkan tokoh-tokoh wayang Goenawan itu, dengan Mahabharata dan Ramayana yang ditafsirkan kembali, tampil secara lengkap dalam sebentuk novel besar. Sebentuk wiracarita tanpa mahapahlawan—cerita yang dibentangkan dengan latar sebuah pandangan dunia, sebentuk gagasan tentang semesta—yang mungkin akan ikut melahirkan kembali Jawa, dan sampai batas tertentu ikut memperkaya India.
Jika terhadap budaya adiluhung Jawa, Goenawan telah memberikan sejumlah tafsir baru, hal serupa belum ia berikan dengan jumlah yang sama pada khazanah adiluhung Eropa Amerika; khasanah besar ini dikenalnya bersamaan dengan, kalau bukannya malah lebih dahulu dari, khazanah Jawa. Ia banyak mengangkat Oedipus dan tokoh-tokoh Shakespeare, tapi tafsirnya atas karakter-karakter tragis itu belum sedalam dibanding tafsirnya atas tokoh-tokoh Mahabharata. Ini tentu bukan sebuah bentuk ketidak-adilan. Mungkinkah ini bentuk lain dari syndrom cendekiawan pinggiran yang masih saja dibebani “kecanggungan bahkan rasa pedih orang Dunia Ketiga yang mematut-matut diri, kadang secara menggelikan, di depan negara-negara maju?”[9] Apa pun penyebabnya, pada tulisan-tulisan Goenawan terlihat upaya bergerak kian dekat ke pusat sumber-sumber artistik dan intelektual Eropa Amerika. Ia memang belum serileks cendekiawan Amerika Latin seperti Octavio Paz atau terutama Jorge Luis Borges yang memperlakukan Barat sebagai salah satu saja bahan mentah “penghianatan” dan penciptaannya. Begitu intimnya Borges dengan khazanah Barat dan Dunia hingga ia bisa memparafrasekan watak dasar pemikiran mereka, aspirasi-aspirasi tertinggi mereka, pandangan dunia mereka, impian-impian terdalam mereka, dalam kalimat-kalimat yang relatif ringkas, yang kemudian diaduk untuk mengguncang dunia tersebut dan menghadirkan sebuah dunia fantastik cukup lewat fiksi-fiksi pendek. Tapi melihat bagaimana Goenawan mengatasi hubungan tradisionalnya dengan Jawa dan khazanah adiluhungnya, menarik untuk menebak seperti apa kelak ia mengatasi rasa “gentar”-nya berhadapan dengan peradaban paling berpengaruh di dunia ini.
Dalam sejumlah esei panjang yang ia hasilkan beberapa tahun terakhir, Goenawan membawa “khazanah Indonesia”—pemikiran Takdir Alisyahbana, sajak-sajak Chairil Anwar, puisi Asrul Sani, Semar—ke dalam dialog dengan Eropa dan Amerika Utara. Ia memang telah menulis libretto, dalam Bahasa Inggeris yang sangat bagus. Diilhami oleh cerita tua Calon Arang dan Kali, opera yang musiknya ditata Tony Prabowo itu dipentaskan di Amerika dan mendapat sambutan hangat. Ia menggali pengalaman Indonesia untuk ikut menjawab beberapa tantangan pemikiran yang dihadapi dunia. Ia memang mengritik teori bahasa Saussurian, menyanggah beberapa penilaian Michel Foucault, Jacques Derrida, Umberto Eco, dan sederet pemikir mutakhir dunia. Tetapi, kritik Goenawan tetap adalah kritik yang belum sistematis dari seorang yang sering hanyut di sepanjang tepian dan mencoba bergerak ke pusar gelanggang pergumulan ide-ide. Yang terlihat pada Goenawan ketika ia menghadapi Eropa dan Amerika, dan mengritik pemikiran-pemikiran mutakhirnya, dia bergerak seperti penari topeng yang asyik berputar-putar mengelilingi pasangan mainnya, menyenggolnya dengan selendang sekali-sekali, tapi tanpa pernah merengkuhnya apalagi memasukinya, “dengan raung yang tak terserap karang”.[10] Khazanah dan pergolakan intelektual Eropa Amerika memang sangat sering ia kunjungi namun tetap belum bisa ia perlakukan secara hangat, sebagai bagian intim dari dirinya sendiri, di mana dirinya juga sekaligus adalah bagian dari sejarah satu ummat di satu bumi.
Kita belum tahu hasil akhir apa yang diberikan Goenawan dari perjalanannya “keliling” dunia, sebuah perjalanan yang selalu dibayang-bayangi oleh soal tafsir dan emansipasi. Tulisan-tulisannya yang terus lahir membuat keseluruhan karyanya seperti pulau yang pelan-pelan bergerak naik dan terus membesar. Yang pasti, tulisan-tulisan Goenawan tentang kebudayaan dan peradaban dunia, tentang pergolakan religius dan politik di pelbagai benua, sering menggoda saya melihatnya sebagai semacam benih dari buku-buku tebal yang berbicara lebih jauh dan lebih terstruktur tentang “seni dan sejarah,” tentang “iman dan zaman,” tentang “tanahair dan kemanusiaan.” Paling tidak, dalam perjalanannya memasuki Eropa-Amerika, melaporkan pemikiran-pemikiran mutakhir dunia, Goenawan telah menerjemahkan dan mengomentari pemikiran-pemikiran itu dengan bagus. Ia memberi kita pintu untuk masuk mengenal sendiri pemikiran itu lebih intim, sekaligus untuk kelak menyadari dengan nikmat betapa terbatas dan bisa menyesatkannya sebuah catatan yang dibuat dari pinggir. Bagi para pencari yang tak gampang puas, keterbatasan catatan dari pinggir itu, akan menyedot dan menghadiahkan suatu sensasi intelektual yang rekah ketika kita masuk ke tengah dan menemukan sendiri apa yang tak ditemukan oleh Catatan Pinggir, melihat lebih utuh apa yang oleh Catatan Pinggir terekam secara tidak lengkap dan distortif. Di titik ini, esei-esei pendek Goenawan menjadi sebentuk puisi yang adalah benih dari sebuah kosmos tertentu yang akan melambung bersama dengan hadirnya sekaligus sikap bercadang-cadang dan sumbangan energi intelektual dari pembacanya.
Dalam empat dekade karier kepenulisannya, selain menggoda pemikiran untuk menjelajah, Goenawan juga terutama telah memperkaya Bahasa Indonesia. Kata memperkaya di sini sebenarnya agak miskin: yang dilakukan Goenawan bukan sekedar memperkaya tapi lebih berupa ikut memberi kehidupan baru bagi Bahasa Indonesia. Di tangan Goenawan, meski bukan hanya di tangan dia, Bahasa Indonesia menjadi lebih intelektual sekaligus lebih luas untuk menampung dan merayakan avontur. Dia termasuk yang menyerap banyak kosa kata dan struktur kalimat yang hidup di jalan-jalan dan mengangkatnya menjadi bagian dari uraian filosofis.
Pergulatan penyair ini dengan Bahasa Indonesia telah membuatnya jadi stylist terbaik dalam sejarah Indonesia hingga hari ini. Dengan melebur bahasa lisan dan bahasa tertulis, melebur bahasa prosa yang terikat waktu dengan bahasa puisi yang mengatasi waktu, ia ikut menyajikan ke kita sebuah dunia yang bisa diselamatkan oleh bahasa. Penyerapan kosa kata dan struktur kalimat asing menjadikan Bahasa Indonesia membuka pintu lebih lebar pada dunia dan masa depan; pengambilan kosa kata daerah membuat Bahasa Idonesia bertaut dengan dunia lama Nusantara yang terlupakan sekaligus menghidupkan sebagian khazanah dunia tua tersebut. Karya sastra yang besar selalu membuat kita dekat dengan aliran kalimat yang mencapai suatu kelenturan dan kejernihan yang mungkin setara dengan arus kali kecil di antara batuan kristal mineral; aliran yang memunculkan bukan hanya kemantapan dan transparansi struktur materi, tapi juga vibrasi gelombang cahaya dan bunyi. Esei-esei terbaik Goenawan, seperti juga sajak-sajaknya, sering menghadirkan aliran kalimat yang meninggalkan gema dan pendar di kesadaran. Kadang-kadang kita menemukan di antara aliran itu ada arus yang awalnya terasa dingin dan murung, tapi yang dengan ajaib menghantarkan kehangatan halus air mata dan kepercayaan yang tak terumuskan pada hidup.
Sekali waktu Goenawan mengibaratkan dirinya sebagai si Malin Kundang: seorang penyair yang menjalani masa remajanya di sebuah desa pesisir, sebuah dunia yang memandang dan dipandangnya dengan setengah hati. Ia tumbuh dewasa dan menjadi si durhaka di tengah ingar bingar revolusi bangsanya yang hendak menundukkan sastra sebagai hamba politik. Dilihat dari empat dekade karier intelektualnya, kini tampak bahwa Goenawan lebih mirip dengan Adipati Karna, pada dimensi yang berbeda, tentu.[11] Goenawan remaja adalah si Radheya yang tumbuh dengan keinginan ganjil yang tak pernah dikhayalkan oleh dunia masa kecilnya. Goenawan dewasa adalah Sang Karna yang menggunakan aksara untuk merumuskan dirinya sendiri, yang akhirnya diterima dan dihormati oleh kalangan tinggi cendekiawan tanahairnya. Kini ia tetap Sang Karna yang berasal dari pinggir dalam menghadapi pusat peradaban yang paling dominan di Bumi saat ini. Goenawan adalah Karna yang lain, batu desa peisisir yang bergulat untuk tak terus hanyut sepanjang pinggiran, yang dalam benturan dengan diri dan dunianya, telah menerbitkan perciknya sendiri; Karna yang menulis dengan kepiawan “membikin abadi yang kelak retak,” tapi dengan “alasan perang” yang belum cukup besar untuk “membikin retak bangunan agung yang dulu dikira abadi.”
Kumpulan tebal “marginalia” pendek ini mengingatkan saya pada satu buku tebal lain yang juga penuh dengan kutipan, jejeran kata-kata benda dan tulisan-tulisan ringkas yang tak bisa disebut selesai. Penulisnya bahkan “tidak hidup untuk menuliskannya” – Ia bunuh diri sebelum merampungkannya dan cuma meninggalkan setumpuk besar manuskrip yang harus disusun oleh orang lain. Oleh sejumlah kritikus sastra, buku yang ditulis dengan niat menjadikannya sebuah “revolusi Kopernikan” di bidang kebudayaan, dianggap sebagai salah satu pencapaian literer terbesar abad 20: The Arcades Project Walter Benjamin.[12] Pemikir yang percaya bahwa puing-puing budaya massa itu menyimpan kebenaran filosofis, menyebut proyeknya itu sebagai teater bagi seluruh gagasan dan pergulatannya. Mengambil subyek arkadia—pendahulu mal-mal masa kini—yang tumbuh di Paris, ibukota abad 19 itu, Benjamin mengerjakan proyek ini untuk membongkar praktek penulisan sejarah, menyediakan pendidikan politik bagi generasinya dan mentransmisikan energi revolusioner itu ke generasi berikutnya.
Goenawan menulis esei-eseinya tidak dengan niat sebesar Benjamin. Meski demikian, kumpulan ini telah menyediakan diri menjadi sesuatu yang diharapkan Goenawan ketika bicara tentang kebudayaan: menjadi salah satu karya di mana sumber-sumber artistik dan intelektual sebuah bangsa ikut dipelihara. Materi dan informasi yang nyaris tak tepermanai yang tersaji dalam kumpulan ini, menjadikannya buku penting bagi mereka yang ingin melengkapi pengetahuannya tentang Indonesia, dan juga tentang dunia. Buku dengan isi yang disusun kronologis ini adalah kumpulan pecahan-pecahan kaleidoskopik yang bisa dipakai untuk secara kasar merekonstruksi kehidupan politik dan intelektual di Indonesia, dan, sampai batas tertentu, di dunia, di paruh kedua abad ke-20 dan fajar abad ke-21. Adapun kekuatan linguistiknya, kutipan-kutipan dan aforisme yang bisa membuat orang dijalari oleh semacam energi yang mungkin berdenyar sekian tempo, menjadikannya buku wajib bagi mereka yang mencintai sastra, yang merayakan kedahsyatan bahasa pada umumnya dan yang memperjuangkan kekuatan hidup Bahasa Indonesia pada khususnya.**
————————————————————————————————-
*Tulisan Ini adalah Pengantar Buku: Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2002),
*Catatan Kaki
[1] Setelah Tempo Tak Ada Lagi, 5 Juni 1995.
[2] Setelah Tempo Tak Ada Lagi, ibid.
[3] The Death of Sukardal, 19 Juli 1986
[4] Aswab Mahasin, Diskusi Tanpa Kebulatan. Tempo 21/12, 24 Juli 1982
[5] Lihat Pengatar TH. Sumartana: Sebuah Refleksi, dengan Jarak. Catatan Pinggir I (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1982).
[6] Gestell, 27 Februari 1993
[7] Schole, 3 Juli 1982
[8] Manakah Yang Lebih Indah? 29 Nopember 1963
[9] Kepada V.S. Naipaul, 23 Januari 1982
[10] Kata-kata Seperti Dencing Gobang, dalam “Misalkan Kita di Sarajevo” (Kalam: Jakarta, 1994)
[11] Karna, 7 Februari 1987; Bhargawa, 11 April 1987
[12] Lihat juga Susan Buck-Morss, The Dialectic of Seeing; Walter Benjamin and the Arcades Project. (Cambridge: MIT Press, 1989)