Oleh Agus Widjajanto
Banyak ditemui kasus kasus peradilan pidana di Indonesia, baik ditingkat penyidikan , maupun penuntutan dan yang telah masuk ranah peradilan di pengadilan , kurang adanya perhatian dari para penegak hukum bahwa kita disamping harus menghormati Due Process of Law, juga jangan lupa sistem peradilan pidana kita mengenal dan menganut Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Integrated Criminal Justice Sistem )
Due Process of Law adalah proses hukum yang adil , yaitu suatu proses hukum yang menerapkan rumusan pasal pasal perundang undangan secara adil , baik dari segi formal maupun material , dalam suatu proses peradilan pidana, yang mengandung jaminan hak kemerdekaan seseorang warga negara dalam menjalani suatu proses peradilan , baik dalam.tingkat penyidikan maupun penuntutan.
Banyak kasus terungkap, dalam tingkat penyidikan , yang kebetulan seseorang yang telah ditetapkan tersangka berdasarkan dua alat bukti yang dianggap cukup, ditahan dengan pertimbangan Subyektif yang merupakan kewengan penyidik dalam proses peradilan pidana. Saya pernah menangani suatu kasus yang kebetulan tersangka nya adalah masih aktif menjabat jabatan pelayanan masyarakat, yang berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat, yang disangkakan pemalsuan surat dalam jabatan , dalam.suatu lahan tertentu yang kebetulan mengacu pada hasil floting gambar peta dari kantor pertanahan / BPN , ini juga sangat beresiko , karena harus dibuktikan benar apakah penerapan pasal nya pas, atau tidak, apakah unsur delik sesuai pasal yang disangkakan benar terpenuhi ? apakah obyek yang dilaporkan benar adanya sesuai ploting peta dari BPN tersebut, jangan sampai salah obyek salah letak yang berakibat salah menetapkan tersangka , apakah statusnya tanah yg disengketakan tanah negara atau adat ? Itu perlu pembuktian, yang komprehensif dan dibuka di depan sidang . Dan akan lebih sulit lagi saat tersangka sudah terlanjur ditahan , pelayanan masyarakat terganggu , dan bagaimana kalau terbukti letak obyek bukan di situ sesuai yang dilaporkan ? Ini salah satu contoh dari banyak kasus , di Indonesia. Yang jadi pertanyaan bersama apakah demi kepentingan penyidikan kah, atau demi kepentingan masyarakat ? Atau justru demi kepentingan pelapor ?
Kecuali dalam kasus kasus Delik Formil , bukan delik aduan , yang memang mengarah pada kerugian negara secara masif dan pencucian uang mungkin perlu dipertibangkan untuk dilakukan penahanan terhadap Tersangka, ini jadi renungan kita bersama , demi terwujudnya keadilan bersama.
Sebetul nya Sistem Peradilan Pidana di Indonesia menganut dan mengacu pada ” Daad – Dader StrafRecht ” atau menurut Prof Muladi , disebut model keseimbangan kepentingan , dimana pendekatan nya mengenal pendekatan Normatif , Administratif , dan Sosial ,
Sebetulnya dalam.Sistem Peradilan Pidana dikenal dengan Integrated Criminal Justice Sistem , atau sistem peradilan terpadu yaitu sistem agar bisa menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan ,baik kepentingan Negara menyangkut pelayanan publik, ,kepentingan masyarakat yakni yang harus dilayani, dan pelaku tindak pidana sendiri. Serta korban yakni saksi pelapor.
Maka dengan sistem yang ada bertujuan agar proses peradilan pidana , baik ditingkat penyidikan dan penuntutan diharapkan agar mempertimbangkan sistem diatas, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam kaitan Due Process of Law yang justru akan menyulitkan penegak hukum sendiri saat dibawa ke ranah sidang , padahal tersangka sudah terlanjur di tahan
Tujuan dari Hukum Acara Pidana sendiri adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yang lengkap dari suatu tindak pidana, karena KUHAP kita memang menganut Due Process of Law, dimana berdasar pasal 183 KUHAP menganut sistem pembuktian Negatif Weterlijke . Ini yang harus dipahami bersama.
Bahwa Due Process Of Law diterapkan oleh negara negara demokrasi modern yang segala sesuatunya berdasar atas hukum, dimana dalam kontitusi kita, di atur dalam pasal.1 ayat 3 UUD 1945, Undang Undang Kekuasaan kehakiman , dan perundangan terkait .
Bahwa keadilan yang diharapkan bersama sesuai cita cita Proklamasi dalam UUD 1945 masih jauh dari yang diharapkan, pisau keadilan harus tajam dibawah juga tajam diatas, terbebas dari pengaruh politik, dan kepentingan apapun karena kekuasaan penegak hukum adalah mandiri, dengan demikian harus benar benar obyektif , berttindak sesuai koridor hukum, karena pertanggung jawaban nya bukan hanya pada intitusi tapi langsung kepada Tuhan Yang Maha Agung , saat pengucapan sumpah jabatan .
*************************
Penulis adalah Praktisi Hukum di jakarta, Penulis Masalah-masalah Politik, Sosial, Budaya dan Hukum