Oleh Agus Widjajanto
Seperti kita ketahui bersama Mahkamah Kontitusi (MK) telah mengabulkan permohonan atas persyaratan ambang batas dalam pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential treashold) dari yang sudah ditetapkan sebelumnya yakni 20 persen, menjadi 0 persen dimana MK menganggap persyaratan ambang batas telah bertentangan dengan UUD 1945, MK juga menyatakan bahwa norma pada pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam putusannya dalam perkara nomor 62/ PUU- XXI/ 2023, bahwa sesuai pasal 24 C putusan MK (Mahkamah Kontitusi) bersifat final dan binding (terahir dan mengikat).
Bisa dibayangkan dengan sistem multi partai dengan lebih dari 15 partai politik, baik dari Partai besar maupun partai politik kecil yang tidak pernah mendapat suara kursi di DPR, bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden dengan pertimbangan sesuai kontitusi seluruh warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. Betapa ribet dan kacaunya pada saat pemilihan presiden setiap partai politik bisa mengajukan jagonya yang dianggap layak sebagai calon presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik manapun dan rakyat disuruh memilih. Hal ini nantinya menimbulkan dampak masyarakat dan mungkin para bandar politik akan berbondong-bondong membentuk partai politik baru. Dan hal ini belum pernah terjadi di dunia maupun dalam sejarah sejak Republik ini berdiri.
Ambang batas dalam pencalonan presiden dengan 0 persen hanya ideal didalam sistem dwi partai seperti halnya di Amerika Serikat, tidak cocok untuk sistem demokrasi dengan multi partai yang jumlahnya puluhan partai politik. Untuk itu kita harus belajar dari sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar bisa memahami sistem ketatanegaraan secara baik.
Dalam sejarah secara teoritis kita memang telah mengalami perubahan dalam Kontitusi Tertulis kita yakni UUD 1945 dari sejak kita merdeka dan disyahkan UUD 1945 tersebut, adalah yang pertama saat terjadi perubahan dari UUD 1945 ke UUD RIS (Republik Indonesia Serikat) lalu dari UUD RIS kembali ke UUD 1945 sesuai dekrit presiden 5 Juli 1959 dan saat Orde Reformasi dimana UUD 1945 telah diamandemen hingga ke empat kali perubahan (Prof Dr Satya Arinanto), demikian juga dalam sistem pemerintahan kita dari awal saat dibentuk memang para founding father kita mendesain sistem pemerintahan dengan sistem Presidensial, bukan sistem Parlementer, dimanana saat itu memang dalam pembentukannya sebagai negara yang baru berdiri berkiblat pada pembentukan sistem pemerintahan di Amerika Serikat dan Praktek di Eropa Barat.
Sejarah mencatat bahwa saat Orde Reformasi Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengalami perubahan melalui proses amandemen sebanyak empat kali. Yang menurut para elit politik saat itu bertujuan untuk menyempurnakan aturan-aturan dasar negara seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, yang harus sesuai dengan sebuah negara demokrasi modern ala Eropa dan Amerika Serikat.
Para elit politik lupa bahwa sejak Indonesia berdiri dan didirikan oleh para bapak pendiri bangsa (founding father) walaupun ide terbentuknya sistem Presidential adalah meniru dari sistem Presidential Amerika Serikat saat itu, akan tetapi para pendiri bangsa membangun sistem ketatanegaraan tetap berdasar pada nilai-nilai luhur sesuai adat dan tata kehidupan bangsa Indonesia, yang oleh Mr Soepomo dibentuk seperti sebuah pemerintahan desa adat dalam lingkup Nasional/ Negara, yang dalam mengambil keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, yang saat itu dibentuklah oleh Panitia 9 dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Ir Soekarno, dibentuklah untuk syarat adanya sebuah negara setelah diproklamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan proklamasi merdekanya sebuah bangsa, yakni adanya suatu wilayah yang saat itu jelas bekas jajahan Hindia Belanda, adanya penduduk, yang saat itu pada tahun 1945 berjumlah hampir 35 juta rakyat dan adanya dasar negara, dan hukum dasar(kontitusi tertulis) untuk mengatur tata kehidupan dalam bernegara, dimana antar dasar negara dengan hukum dasar baik Preambule maupun isi harus sejalan dengan dasar negara yang merupakan dwi tunggal (dua tapi sejatinya satu yang tidak bisa dipisahkan) .
Dan sesuai pendapat dari Prof. Satya, dimulainya sistem Presidensial tidak lagi murni yang mana, sudah terjadi semi sistem Parlementer pada saat pemerintahan Presiden Abdul Rachman Wahid (Gus Dur) dimana membangun kekuatan politik dengan sistem 4 kaki dimana kekuatan politiknya menggandeng 4 kekuatan partai politik.
Menurut penulis ini sebenarnya awal mula terjadinya pergeseran peran dari Legislatif yang mulai mencengkeram pada sistem pemerintahan, dimana telah terjadi politik transaksional lewat suara suara di DPR, dalam menggolkan kebijakan, terlebih lebih dalam pembentukan Undang-Undang pun pemerintah yakni Eksekutif harus mendapat persetujuan dari DPR, ini saling Sandra, saling kunci kekuatan politik, yang berakibat pemerintahan harus melakukan koalisi dengan menggandeng partai partai politik, hingga berdirilah partai-partai politik baru, yang jumlahnya hingga lebih dari 20 partai politik, yang dulu pernah terjadi saat pemerintahan Orde Lama dengan 100 Partai dan pada saat awal Orde Baru dalam pemilihan umum 1971 hingga puluhan partai yang lalu di lebur dalam tiga partai politik, dimana dalam Orde Lama bernama NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) saat Orde Baru menjadi Nasionalis Agama dan Golongan Karya.
Menurut penulis sistem pemerintahan yang paling ideal dan sudah terbukti dalam stabilitas politik dan terjaminnya keamanan dan pembangunan adalah sistem pemerintahan Presidensial dengan sistem tri partai atau dwi partai kalau perlu, yang memang sejak awal dicipkatkan dan didesain oleh para founding father kita, hanya saja persoalannya bagaimana untuk memenuhi tuntutan jaman sesuai perkataan Mas Bambang Selusetyo apakah perlu dilakukan amandemen ? Menurut penulis, sepanjang tidak merubah dan menghilangkan pasal pasal Soko Guru ( Pondasi Tiang Utama ) dari pada terbentuknya negara maka, sesuai jaman dan geo politik dan strategis ke depan bisa dilakukan perubahan penambahan, sesuai Kontitusi Amerika Serikat, lalu apa saja pasal Soko Guru, dari UUD 1945 tersebut:
- Kedudukan sebuah lembaga tertinggi sebagai manifestasi dari sebuah perwakilan rakyat yakni MPR.
- Pasal presiden harus orang Indonesia asli.
- Pembukaan UUD 1945.
- Pasal 1 ayat 1 dari UUD 1945.
Konsesus dari pasal-pasal di atas adalah Soko Guru, atau pondasi dari tiang utama dari berdirinya negara. Dan ini bisa dilihat dari Sila ke-empat dari Pancasila (sebagai hukum dasar) negara yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan sila ke-empat dari Pancasila ini konekting dengan pasal 1 ayat (2) dari Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Oleh karena saking dipengaruhi semangat meniru atau terbius oleh eurofia untuk melakukan Reformasi dan mengakhiri kekuasaan Orde Baru saat itu yang dianggap KKN dengan memanfaatkan situasi terjadinya Resesi Ekonomi atas permainan negara-negara Adi Daya dan Eropa untuk menguasai dan mengendalikan ekonomi negara Dunia Ketiga, dimana para elit politik lupa, bahwa antara Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan (Dwi Tunggal) maka dengan demikian dengan melakukan amandemen UUD 1945 hingga ke-empat kali akan tetapi tidak merubah bunyi dari Dasar Negara Pancasila, maka seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini terjadi kepincangan dalam sistem Ketatanegaraan kita sejak Reformasi bergulir hingga saat ini.
Untuk itu untuk saat ini yang paling utama dan paling krusial yang harus diambil keputusan segera dalam membangun kembali ketatanegaraan negara kita adalah segera melakukan Amandemen terbatas yang ke-lima untuk mengembalikan marwah dan aurahnya ke-Indonesiaan baik terhadap UUD 1945 maupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, ada beberapa pasal krusial yang sepatutnya untuk dikembalikan pada kedudukan semula sesuai format dari Undang-Undang Dasar 1945 yang lama adalah sebagai berikut:
- Kembalikan lagi rumusan Pasal 1 ayat (2) lama : “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”;
- Kembalikan lagi rumusan pasal (yang lama) tentang MPR dengan kewengannya;
- Bubarkan DPD (karena dalam pasal lama tentang MPR, sudah disebut “Utusan Daerah”). Dengan demikian, UUD 1945 menganut sistem perwakilan unicameral (satu badan perwakilan yang disebut dengan MPR);
- Bangun sistem kepartaian dwi partai (Be party System) yang digolongkan dalam partai Nasionalis dan partai Agama dimana semua partai-partai politik melakukan fusi melebur sesuai dengan latar belakang dari AD/ART partai-partai tersebut;
- Bangun sistem Pemilu dengan sistem distrik;
- Kembalikan aturan presiden harus orang Indonesia asli, dimana kita harus belajar dari latar belakang emosional dari para pendiri bangsa, bahwa saat pemerintahan Hindia Belanda masyarakat dibagi dalam kasta-kasta dan justru orang asli Indonesia dibesut Bumi Putera dan;
- Pertegas kembali sistem pemerintahan Presidensiil, dengan mengembalikan lagi kewenangan presiden yang di koptasi oleh DPR, seperti original power pembentukan Undang-Undang kekuasaan ada pada presiden dan DPR hanya menyetujui atau menolak, bahwa hak prerogatif presiden dalam pengangkatan pejabat setingkat menteri, seperti: Kapolri, Jaksa Agun dan pimpinan lembaga non kementerian. Rekruitment Hakim Agung, Komisi Yudisial, Anggota BPK, dan lainnya tidak lagi melibatkan DPR melalui mekanisme ‘fit and proper test‘.
Hal itu sangat urgen untuk dilakukan dan sangat penting, serta mendesak dilakukan oleh pemerintahan yang baru, dengan tujuan:
- Mewujudkan stabilitas pemerintahan;
- Menjamin kelangsungan Demokrasi Pancasila;
- Menjaga keutuhan bangsa dan NKRI;
- Mengurangi beban negara buat cost partai politik yang justru menimbulkan kegaduhan.
- Mencegah praktek-praktek korupsi dengan transaksional para partai politik dengan pejabat publik.
Adalah Presiden Soekarno yang punya obsesi untuk mengelompokkan 2 kelompok masyarakat secara sosiologis, yaitu Nasionalis dan Agama (Islam,khususnya). Hanya memang saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah eksis dan punya basis massa yang kuat dan besar: petani dan kaum buruh, jadilah kemudian tiga kekuatan besar itu disatukan menjadi yang dikenal dengan NASAKOM untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Presiden Soekarno ditopang oleh 3 (tiga) kekuatan besar itu. Hanya sayangnya, presiden Soekarno tidak mudah memainkan irama politik agar ada harmonisasi di antara tiga kekuatan besar itu, jadilah sejarah berkata dan berkehendak lain.
Kini, komunis sudah mati (Tamat bahkan diseluruh duni), tinggal dua kekuatan besar yang masih eksis, mengapa dan kenapa mereka tidak mengorganisasikan dirinya menjadi dua partai besar sesuai dengan idieologinya dengan menegaskan asasnya: Pancasila. Juga perlu dipikirkan yang diatur dalam konvensi ketatanegaraan agar pemilihan langsung presiden oleh rakyat mengingat cost yang begitu tinggi dikembalikan lagi pemilihan kepada partai politik, dimana partai politik pemenang itulah yang berhak mengajukan calon presiden terpilih dimana MPR sebagai mandataris presiden tinggal ketok palu mengesyahkan.
Atas permintaan dan masukan berbagai pihak agar mengembalikan UUD 1945 secara murni dan konsekuen secara total, sangat sulit dilakukan setelah bergulir sekian puluh tahun dan harus menyesuaikan kondisi geo politik dunia dalam penghormatan Hak Asasi Manusia, yang mana sudah banyak sekali lembaga baru seperti Mahkamah Kontitusi, maka yang paling rasional yang paling terbaik dilakukan adalah dengan Amandemen Terbatas melalui amandemen ke-lima, terhadap Undang-Undang Dasar 1945, agar bisa konek dan singkron dengan sila-sila dari Pancasila khususnya Sila ke-IV dari Pancasila menyangkut sistem aturan kerakyatan dalam perwakilan.
Tampaknya Sifat putusan Mahkamah Kontitusi yang bersifat final dan beinding (final dan mengikat) yang tidak lagi ada upaya hukum dan berlaku, harus ditinjau ulang, mengingat hakim-hakim MK juga manusia biasa yang tentu bukan Tuhan bukan malaikat, sebagai manusia tentu tempat segala kekurangan kekilafan kesalahan, lagi pula siapa yang bisa menjamin dan mengontrol seluruh majelis hakim MK bahwa mereka telah memiliki jiwa Kenegarawanan untuk membangun bangsa ini ke depan?
******************
Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya, Politik Hukum dan Sejarah Bangsanya