Oleh F. Budi Hardiman
Di tengah-tengah kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, keseharian yang banal telah menjadi kelaziman. Kerumunan nomad pemuja tubuh, petarung kapital, pendaki karier, dan penjilat kekuasaan telah mengubur kecemasan eksistensial mereka, yang menyembul dari dalam keseharian, dalam timbunan kesibukan. “Ke manakah Allah?” Tanya Nietsche. “Kita sudah membunuhnya – kalian dan aku. Kita semua pembunuh.” Kondisi modern selalu menanduskan kehidupan yang ilahi. Akankah orang tidak lagi terbuka pada dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari dan terus menjadi kerumunan momad? Telah hilangkah yang mistis?
Tidak, begitulah jawaban Martin Heidegger. Manusia memang memikul salib tertentu. Di satu sisi, manusia selalu mengalami, kejatuhan, yakni larut dalam keseharian, dan karena itu terasibg dari Ada-nya. Namun, di sisi lain, manusia adalah makhluk penanya Ada-nya. Pada momen ini, menurut Heidegger, kecemasan (Angst) yang menyembul keluar dari keseharian itulah perigi mistik di gurun nihilisme pada zaman ini, yang tidak lagi religius. Berkat kecemasan, dasar-dasar keseharian kita menjadi transparan: selubung yang memalsukan Sang Aku dikoyak. Kecemasan menelanjangi manusia sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensi.
Mistik keseharian adalah inti pemikiran Heidegger dalam Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927), yang akan dibahas dalam buku ini. Bukan mistik dalam arti peleburan makhluk dengan penciptaanya, perkawinan sakral antara pendoa dan yang ilahi, maupun penyatuan mikro dan makrokosmos yang dimaksud di sini, melainkan melainkan mistik keseharian: membua diri terhadap penyingkapan dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari kita.
Sebutan “mistik keseharian” mungkin terdengar ganjil. Mistik jelas bukan pengalaman sehari-hari karena bersangkutan dengan dasar-dasar kenyataan dan kehidupan. Tetapi persis inilah yang dilakukan Heidegger dalam Sein und Zeit: menjernihkan keseharian, sehingga dasar-dasarnya menjadi tampak di hadapan kesadaran. Sein und Zeit merupakan pisau eksistensial untuk membedakan yang otentik dan inotentik, yang banal dan yang radikal bertolak dari keseharian kita. Selain itu, eksplorasi makna kata-kata dalam bukunya itu telah menjadi semacam mantra untuk menghayati waktu dan kemewaktuan dengan lebih bening. Pemikiran tentang waktu seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Tidak mengherankan, Sein und Zeit menjadi tonggak penting dalam sejarah pemikiran Barat, dan Heidegger pun diakui sebagai filsuf terkemuka abad ke-20.
Heidegger tidak begitu saja melanjutkan isme-isme dunia pemikran, entah itu rasionalisme, empirisme, idelaime, materialism, dan seterusnya. Semua itu menjadi rapuh dihadapannya, sehingga filsafat sebelum dan setelah Heidegger ditandai oleh suatu patahan. “…….Badai yang dihembuskan pemikiran Heidegger, sebagaimana badai karya Plato yang menerpa kita selama berabad-abad ,” tulis Hannah Arendt, “bukan berasal dari abad ini. Badai itu datang dari zaman yang sangat purba. Apa yang ditinggalkannya adalah sesuatu yang paripurna, dan, seperti segala yang paripurna, dapat dikembalikan ke zaman purba.”
Pemikiran Rene Descartes (1596-1650), yang merevolusi filsafat, telah menjadi titik tolak segala refleksi zaman modern yang tampil dalam isme-isme di atas. Descartes menghimpun segenap refleksi pada problem kesadaran yang disebutnya subjek atau cogito. Rasio adalah pusat realitas; observasi menjadi pegangan kebenaran; manusia adalaha subjek sejarah dan seterusnya. Pemikiran yang berpusat pada subjek ini dianggap bertanggungjawab atas segala efek negatif yang muncul di zaman modern: bencana lingkungan akibat eksploitasi alam yang tak terkendali, tragedy kemanusiaan dalam rezim-rezim totaliter, atau manipulasi dan represi manusia atas manusia lain.
Melampaui Descartes, Heidegger memperlihatkan bagaimana subjek atau kesadaran itu hanyalah salah satu cara realitas menyingkapkan dirinya. Kesadaran bukanlah segala-galanya, bahkan kesadaran merupakan suatu kelupaan akan realitas. Karena itu, berbeda dari semua filsuf yang mendahuluinya, Heidegger tidak ingin terjebak dalam salah satu aspek realitas, melainkan mengangkat totalitas realitas sebagai bahan refleksinya. Realitas sebagai suatu keseluruhan dalam filsafat disebut ‘Ada’ (Sein). Filsafat bagi Heidegger adalah pemikiran tentang Ada, dan memikirkan Ada diyakininya dapat meluruskan kesalahpahaman yang terjadi akibat pemikiran-pemikiran yang terbatas pada aspek-aspek realitas belaka. Tidak reduksionalistis, melainkan total dan radikal menyelami Ada dan Tiada – itulah karakter pemikiran Heidegger.
Filsafat sebagai pemikiran tentang Ada tentu tidak unik Heidegger. Itulah yang dikenal dengan nama metafisika atau ontologi. Yang baru pada Heidegger adalah bahwa Ada ini dipikirkan dalam pertautannya dengan waktu. Bukan hanya itu, filsuf ini menyelam ke dalam keseharian yang banal untuk meraih kedalaman makna Ada. Sein und Zeit, master piece Heidegger merupakan buku kunci filsafat setelah Politeia (Negara) Plato (sktr. 428-347 SM) dan Phenomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh, 1807) G.W.F. Hegel (1770-1831). Oleh Heidegger, untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, hal-hal yang sehari-hari direnungkan sedemikian rupa sehingga memendarkan makna ontologis yang dalam. Heidegger tidak membicarakan hal-hal yang “tinggi-tinggi”, seperti dialektika roh, keadilan, rasio komunikatif, revolusi sosial atau – yang kini menjadi tren globalisasi. Heidegger juga bukan penghuni dunia isme-isme yang seolah mau menyepelekan kerumitan hidup dan meringkusnya ke dalam suatu kotak. Ia bicara tentang hal-hal remeh secara mendalam, seperti tentang alat-alat, rasa cemas, khalayak, atau kata-kata. Safransky menyebut filsafat Heidegger dalam Sein und Zeit sebagai “tranparansi keseharian,” dan saya menyarankan sebutan ‘mistik keseharian’.
Buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1 merupakan pengantar biografi sosok Martin Heidegger. Bab 2 menjelaskan metode fenomenologi yang dipakai oleh Heidegger dalam Sein und Zeit. Bab 3 mengulas struktur, isi dan proyek Sein und Zeit. Bab 4 membahas kemenduniaan Dasein yang merupakan titik tolak analisis Heidegger dalam buku itu. Saya mulai masuk ke dalam ulasan tentang suasana hati, keseharian, dan kematian dalam bab 5. Baru dalam bab 6 saya akan membahas tuntas segala yang telah dipersiapkan dalam bab-bab sebelumnya, yaitu tentang kemewaktuan Dasein. Buku ini akan ditutup dengan Epilog yang coba menunjukkan relevansi pandangan-pandangan Heidegger dalam Sein und Zeit untuk kehidupan masyarakat yang kompleks dewasa ini, katakanlah suatu tilikan Heideggerian atas keseharian dalam era globalisasi informasi dan ekonomi pasar. Dialog Heideggerian yang terlampir pada akhir bab ini disusun dalam konteks belajar-mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Dialog tersebut bukan untuk memberikan jawaban final atas berbagai ketidakjelasan dalam pemikiran Heidegger, melainkan untuk membuka diskusi lebih lanjut. Demikian pula, buku ini seyogyanya dipandang sebagai semacam “hidangan pembuka” untuk menikmati pemikiran Heidegger dan wacana filosofis lebih jauh.****
*******************************
Sumber Tulisan: Prolog Buku Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG, 2003