Oleh Agus Widjajanto
Pada era globalisasi seperti saat ini, dimana batas negara seakan sudah tidak ada lagi, pertukaran budaya sudah menjamah keseluruh dunia sulit dibendung karena pengaruh kemajuan Teknologi Informasi , yang tentu akan menimbulkan dampak pada generesi muda milenial dimana dengan mudah akan terpengaruh budaya luar, yang berakibat kehilangan jati diri sebagai bangsa yakni ke Indonesian nya, akan pudar. Yang berakibat rasa nasionalisme juga sangat rendah dan rentan disusupi ideologi lain yang bisa menggoyahkan stabilitas nasional.
Untuk itu harus dilakukan penguatan dan upaya mengfilter pengaruh budaya dan ajaran serta idiologi yang bertentangan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yaitu Pancasila, sebagai pandangan hidup, dan sumber dari segala sumber hukum , serta falsafah Bangsa.
Demikian juga menjelang hajatan besar setiap lima tahun diselenggarakan nya Pemilihan Umum, baik pemilu Pilpres maupun Pemilu Kada, dan pemilu memilih anggauta DPR Pusat , DPRD Propinsi dan Kabupaten Kota, maka segenap warga negara harus berpetan aktif dalam pemilu, dengan tetap menjaga keharmonisan dan persatuan Nasional, untuk stabilitas Nasional itu sendiri, jangan sampai terjadi adanya kampanye Politik Identitas, seperti halnya pada pemilu lalu dalam sebuah pemilu kada di Ibukota Negara, yang tentu sangat mencederai Demokrasi itu sendiri .
Dan juga menjelang merayakan Natal bagi saudara-saudara kita yang beragama Nasrani baik Protestan maupun Katolik, tentu perlu suasana toleransi dari antar umat beragama, saling asah asih asuh dalam bingkai Kesatuan Negara Republik Indonesia. Jangan ada lagi penghujatan terhadap pemeluk agama lain maupun sesama agama yang dipandang beda aliran. Karena Negara ini berdiri berkat adanya perbedaan untuk memcapai cita cita bersama, sebagai negara berketuhanan tapi bukan Negara Agama .
Mari kita tengok ke belakang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Setelah Pancasila ditetapkan secara konstitusional pada tgl 18 Agustus oleh PPKI sebagai dasar negara, maka Pancasila memiliki kedudukan penting dalam tatatanan kehidupan bangsa. Karena maha pentingnya kedudukan Pancasila kemudian memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia untuk menjadikannya rujukan mutlak bagi tatatan kehidupan baik dalam sosial masyarakat, politik, beragama, maupun dalam bidang hukum. Dalam tatanan hukum kedudukan Pancasila dipertegas sebagai sumber tertib hukum atau dikenal dengan sebutan sumber dari segala sumber hukum melalui ketetapan MPR nomor XX / MPRS / 1966 junto ketetapan MPR no V / MPR / 2973 junto ketetapan MPR no IX / MPR / 1978.
Dalam perkembangannya keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum ditentukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Ketika Orde Baru jaman Presiden Soeharto berkuasa Pancasila menjadi dogma statis karena dikultuskan menerapkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, yang mana secara kestabilan nasional baik dari segi pertahanan dan keamanan, sosial kemasyarakatan kehidupan beragama, sangat stabil, dimana mendudukan Pancasila sebagai Dasar Negara ibarat Pondasi gedung mercusuar, dan UUD 1945 sebagai tiang utama atau soko guru dari bangunan tersebut yang bersifat dwi tunggal, yang tidak bisa dipisahkan saling isi dan punya hubungan integral satu sama lain yang memang sejak awal dibuat dan diciptakan para pendiri bangsa, sebagai filosofi hidup dan dogma dalam berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari itu semua memang ada kekurangan dalam masa pemerintahan Orde Baru, di mana Pancasila dijadikan alat legitimasi yang sahih bagi kekuasaan, terkait hal ini, Mahmud MD menuliskan bahwa “pengkultusan Pancasila merupakan puncak penggalangan yang dilakukan secara terus menerus sejak tahun 1966/1967 dalam rangka integrasi nasional sebagai mana diputuskan dalam seminar II Angkatan Darat tahun 1966 yang menghasilkan mandat akan membayar berapapun untuk terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, serta menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat untuk membangun bangsa”, dan pemikiran ini sangat wajar menurut penulis untuk melakukan penggalangan dalam suatu masyarakat yang pluralisme seperti Indonesia, setelah melihat situasi dan kondisi pada masa Reformasi saat ini.
Pada masa Reformasi, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dilegitimasi melalui TAP MPR no III / MPR /2000, tentang sumber hukum dan tata urutan perundangan, akan tetapi dalam TAP MPR ini tidak lagi ditegaskan secara eksplisit tentang Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam sistem hukum nasional .
Jadi, walaupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum memiliki legitimasi yuridis baik melalui TAP MPR maupun Undang-Undang tetap saja tidak memberikan jaminan kepastian hukum dalam tata urutan peraturan perundang undangan , yang berakibat Pancasila tidak lagi mempunyai sifat daya mengikat dalam herarki perundang undangan, hal ini lah yang menjadi persoalan yang harus dikembalikan lagi kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum termasuk dalam herarki perundang undangan, karena kalau tidak akan timbul disharmonisasi antar peraturan perundang undangan.
Presiden kedua Jenderal Besar Soeharto, memandang bahwa Pancasila sejatinya digali dan diciptakan dari nilai nilai luhur ajaran para leluhur kita, seperti yang terdapat dalam aksara Jawa yang lahir pada satu saja, yaitu dalam huruf Honocoroko . Aksara Jawa tidak sekedar digunakan media menulis oleh orang Jawa pada jaman dulu , akan tetapi aksara Jawa juga sebagai media untuk bisa memahami konsep ketuhanan, dimana setiap abjad aksara Jawa mempunyai makna yang berkaitan dengan konsep ketuhanan, dimana terdapat tiga unsur yaitu Tuhan, manusia, dan kewajiban manusia sebagai mahluk hamba yang diciptakan, bahwa huruf Ha : adalah diartikan Hurip atau Urip yaitu hidup , sifat Dzat Yang Maha Esa atau Tuhan, sedang Na , adalah Hana artinya ada yaitu adanya kita manusia dan adanya alam semesta ( selaku sunatullah ), huruf Caraka, yang artinya utusan , dari kata Ca: cipta, pikir, nalar kita, akal kita, sedang Ra: adalah Rasa Budi kita olah rasa kita, sedang Ka adalah kehendak atau Karsa kehendak dari yang Maha Esa , atas kehidupan kita bagian dari alam semesta.
Dengan memahami konsep aksara Jawa Honocoroko, kita bisa menjadi manusia berbudi luhur, awalnya kita dari mana (sang kan paraming dumadi), lalu setelah dilahirkan di dunia harus bagaimana, dan setelah tiada kita mau kemana ?
Dengan memahami diri kita maka kita bisa tahu jati diri kita, dengan demikian kita bisa memahami bagian dari alam semesta diluar diri kita, itu semua harus harmonisasi itulah nilai nilai dari Pancasila, yang diaktualkan melalui Eka Prasetya Panca Karsa.
Bahwa konsep Pancasila dari pak Harto pun sama, menggali dari ajaran luhur para leluhur bangsa ini sebelum lahirnya Indonesia merdeka, kita adalah bangsa yang besar dan berbudaya adiluhung .
Pancasila sebag dasar falsafah (Philosofische Gronslag), pandangan hidup (Weltanchaung) sekaligus Idiologi negara / bangsa, secara filosofis mempunyai makna yang mendalam sebagai guidance line, pijakan, dan dasar dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan bermsyarakat, karena diadopsi dari volkgeist/isi jiwa bangsa yang terkristalilsasi ke dalam lima sila Pancasila (moral Ketuhanan, moral Kemanusiaan/humanisme, moral Persatuan/nasionalisme, moral Kerakyatan/demokrasi, dan moral Keadilan sosial (social justice). Lima sila Pancasila itu menjadi atau sebagai landasan moral kita dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat atau dalam kehidupan kita bersama sebagai anak bangsa tanpa tersekat oleh ikatan primordial (suku, agama, daerah, golongan, ras, dllnya).
Persoalannya sekarang dan ke depan adalah bagaimana “membumikan” lima nilai luhur Pancasila itu dalam tataran praktikal agar Pancasila dapat berfungsi sebagai “filter” atau penyaring atas pengaruh yang timbul dari perubahan ataupun kemajuan zaman di berbagai bidang kehidupan tanpa kita kehilangan jati diri sebagai bangsa, sekaligus kondusif dengan dinamika zaman dengan berbagai perubahan yang menyertainya.
Untuk membumikan Pancasila dlm tataran das sein agar dapat berfungsi sebagai “filter”, beberapa hal yang mendesak dan urgen dilakukan, yakni:
- Lima sila Pancasila itu harus diberikan makna secara verbal (degan bahasa yang sederhana) dan virtual (berupa gambar, foto, video, dllnya) secara utuh, menyeluruh dan mudah dipahami tapi tidak menghilangkan esensi yg terkandung dalam setiap sila (ini menjadi tanggungjawab Badan Pembinaan Idiologi Pancasila/BPIP) ;
- Hasil pemaknaan verbal dan visual itu kemudian di edukasikan dan disosialisasikan secara kontinyu dan masif ke segenap lapisan masyarakat dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan media sosial (medsos);
- Perlu juga memasyarakatkan Pancasila dilakukan semacam P4 (masa Orde Baru), hanya metodenya tidak bersifat doktriner atau dogmatis, tapi dialogis dan interaktif.
Dengan upaya atau langkah-langkah tersebut di atas, Pancasila akan menjadi “membumi” yang secara internalisasi akan tampak ke luar dalam perilaku Pancasilais. Jadi Pancasila jangan hanya “pajangan” atau lip service (sebatas di mulut) tapi tampak prakteknya dlm perilaku dan sikap sehari-hari anggota masyarakat..
Ini yang harus dimengerti para generasi muda, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat beradab dan berketuhanan, bukan negara agama, tapi negara yang melindungi segenap tumpah darah rakyatnya terhadap agama yang dipeluk masyarakatnya.
————————————–
*Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Menulis Masalah-masalah Politik, Hukum, Sosial dan Budaya