Oleh Agus Widjajanto
Perhelatan Demokrasi lima tahunan baru selesai digelar hari ini, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung untuk memilih pemimpin kedepan , Baik Pemilihan Presiden dan wakil presiden maupun Untuk pemilihan wakil rakyat di DPR RI, DPRD Propinsi, DPRD kabupaten/kota serta DPD.
Hiruk pikuk pesta demokrasi diawali dengan kampanye yang tidak lepas dari saling menghujat diantara Paslon. Demikian juga pada saat masa tenang digemparkan oleh tayangan film dokumenter Dirty Vote dan pernyataan tokoh pengamat militer. Rakyat kemudian bertanya, kemana muara dan arah tujuan ini semua, sedangkan tujuan Pemilu adalah untuk memilih pemimpin bangsa untuk lima tahun kedepan. Seharusnya, masing-masing pihak menghormati masa tenang tetapi muncul hal-hal yang terkesan memprovokasi pemilih untuk tidak pilih paslon tertentu.
Berbicara soal kepemimpinan Nasional maupun Daerah setingkat Gubernur dan Bupati/Walikota, kita bisa mengadopsi Etika dan Spiritualitas masyarakat Jawa sehari hari dalam kontek budaya kepemimpinan yang dikenal dengan Manunggal Kawuloning Gusti, menyatunya makhluk atau Kawulo, yaitu rakyat dengan Gusti atau Pemimpin yang dulu disebut Raja, pada saat dinasti kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
Mamunggaling Kawulo Gusti dalam konteks kepemimpinan adalah mampu memahami dan sadar kapan menjadi pemimpin sebagai panggilan jiwa selaku anak bangsa demi kepentingan Bangsa dan Negara, bukan ambisi politik pribadi (Den koyo Segoro) dan juga sadar kapan saatnya dipimpin.
Ketika pemimpin harus mementingkan kepentingan yang dipimpin, sedangkan pada saat dipimpin harus sadar dan tunduk, serta tawadhu mengikuti kepemimpinan sang pemimpin, karena adanya batasan waktu jabatan baik untuk Presiden dan Wakil Presiden maupun Gubernur, Bupati atau Walikota.
Sifat mamunggaling Kawulo dan Gusti tersebut harus dipahami dan dijalani sehingga dengan sendirinya dalam diri pemimpin tersebut terpatri sifat kenegarawan. Dalam ajaran Wulang Reh, selalu mendengar, melihat, menyatu dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan rakyat bukan untuk golongan apalagi untuk dirinya sendiri.
Sebaliknya, dalam dimensi budaya Jawa juga dikenal dengan Manunggaling Kawulo “Kalawan Gusti”, yang artinya, rakyat bersatu padu untuk melawan pemimpin nya yang dianggap tidak demokratis maupun otoriter, yang tidak lagi mementingkan kepentingan rakyat, padalah hakekat demokrasi modern yang diadopsi dari filsuf Yunani kuno, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)
Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah sudah benar dan sesuai dengan karakteristik adat istiadat dan budaya serta tujuan awal dari pemikiran para Pendiri Bangsa (Fonding Father) dalam membentuk Desain Awal Negara ini dimana konsep pemilu secara langsung seperti saat ini?
Untuk itu
Seperti dikemukakan oleh Moh Kusnadi dan Harmayli Ibrahim dalam paham kedaulatan rakyat (Democracy), rakyat dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara, penentu corak dan cara pemerintahan diselenggarakan dan rakyat yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Tapi dalam praktek nya sering dijumpai pada negara yang jumlah penduduknya sedikit dan wilayah tidak begitu luas saja kedaulatan rakyat tidak bisa berjalan penuh dan efektif. Apalagi di Negara negara yang jumlah penduduk nya diatas ratusan juta penduduk dengan wilayah yang begitu luas nya seperti Indonesia yang lima kali luas dari Eropa.
Dapat dikatakan tidak mungkin menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dan menentukan jalannya pemerintahan, belum lagi dalam masyarakat modern dan pluralisme yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, dan tingkat pendidikan yang tidak merata sama, yang sangat komplek dan Dinamis. Berakibat kedaulatan Rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Maka oleh para pendiri bangsa, Bapak dan Ibu Bangsa, sudah memikirkan jauh kedepan melampaui jaman-nya karena kompleksitas nya masalah maka kedaulatan rakyat dilakukan dengan cara perwakilan dengan sistem perwakilan. (Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof Dr Jimly Asshiddiqie , hal 414)
Yang dalam prakteknya, demokrasi perwakilan (Representatif Democracy ) adalah para wakil wakil rakyat di DPR. Dimana para wakil rakyat itulah yang sebenarnya bertindak untuk kepentingan rakyat, yang akan menentukan corak , arah , tujuan dari Negara ini lewat lembaga perwakilan yang dikenal dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yang mengkaji dan membentuk GBHN untuk arah( kompas) tujuan pada Bangsa ini kedepan. Akan tetapi, fenomena yang terjadi wakil wakil rakyat melalui partai partai politik, tidak lagi mewakili rakyat yang memilih tapi mewakili kepentingan partai termasuk dalam menentukan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga bisa terjadi, seperti dalam dimensi Jawa, disebut Manunggal Kawuloning Kalawan Gustine (Menyatunya rakyat melawan para wakil rakyat dan pemimpin). Hal Ini karena fenomena yang orientasinya bukan lagi kepada kepentingan rakyat, tapi kepentingan partai politik yang ditentukan oleh elit partai dan itu jangan sampai terjadi .
Dalam kontek sistem memerintahan yang dulu para pendiri bangsa dan sesuai pendapat Mr. Soepomo bahwa sesungguhnya pemerintahan ini adalah pemerintahan desa dalam lingkup nasional, karena memang diadopsi dari adanya pemerintahan desa, dimana ada rembuk desa, wakil desa, wakil pemuda, wakil tokoh agama, untuk melakukan Musyawarah mencapai mufakat, agar tidak terjadi kegaduhan, karena sifat kompleksitas nya tadi dalam luasan dan jumlah penduduk.
Tidak ada salahnya kalau kita eling dan waspodo , merujuk pada pernyataan Bung Karno yang dikenal dengan JAS MERAH (Jangan sekali kali melupakan sejarah), maka sejarah gerakan Reformasi tahun 1998 yang telah berhasil menumbangkan atau mengakhiri pemerintahan Orde Baru, yang berujung pada tuntutan Reformasi yang salah satu tuntutan Reformasinya adalah Constitution Reform.
Terjadi perubahan UUD 1945 yang lebih dilatar belakangi oleh Euforia Reformasi sehingga terkesan perubahan UUD 1945 yang hingga 4 Kali dilakukan secara gegabah, tidak hati hati dan emosional. Berakibat relatif, banyak pilar dan prinsip prinsip kenegaraan yang telah digariskan dalam UUD 1945 oleh “Founding Father”, pendiri bangsa kita dihapus dan dihilangkan. Terutama, pilar prinsip kedaulatan rakyat yang tersuplemasi kedalam konsep MPR sebagai penjelmaan rakyat yang berdaulat dengan kewenangan dasar yang dimiliki oleh MPR diantaranya, Menetapkan GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden, mengubah UUD 1945 (Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa, Guru Besar Hukum Tata Negara UNPAD Bandung).
Lebih lanjut Prof Gde menyatakan, Perihal susunan dan kedudukan MPR yang terdiri dari seluruh anggauta DPR (Political Representation) bukanlah tanpa alasan tetapi sebagai presentasi dari prinsip kedaulatan rakyat, sepertu yang diinginkan Founding Father kita.
Dengan pengalaman sejarah dan situasi reformasi yang sudah 25 tahun ini, sejak UUD 1945 diubah, maka sudah waktunya kita kembali melakukan amandemen/ merubah secara terbatas yaitu mengembalikan lagi kedudukan wewenang dari MPR seperti dulu, mengembalikan DPD sebagai utusan daerah yang duduk di MPR, mengembalikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh MPR yang tidak lagi dipilih oleh rakyat yang dalam praktek nya lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya. Terutama soal cost yang terlampau besar yang harus ditanggung oleh negara. Terlampau mahal hal yang dipertaruhkan buat Kesatuan dan Persatuan Negeri ini. Khusus untuk Mahkamah Kontitusi dan Komisi Yudisial sebaiknya tetap dipertahankan dengan segala kelebihan dan kekurangannya untuk menguji Undang-undang dan pengawasan Kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Kembali lagi pada Manunggal Kawuloning Gusti dalam kontek kepemimpinan raja – raja pada masa lalu, saat ini masih berlaku di Jepang dan Thailand, dimana Raja adalah Gusti atau wakil Ilahi, sedang Kawulo adalah rakyat. Raja selalu bertindak bijaksana menyatu dengan rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat dalam posisinya sebagai Kepala Negara. Sedangkan kepala Pemerintahan akan dijabat oleh Perdana Menteri (Maha Patih, dalam Dinasti Kerajaan Majapahit dan Singosari) yang dalam demokrasi modern tetap dilakukan pemilihan umum untuk Memilih Perdana menteri, walaupun harus tetap mendapat persetujuan Raja, sebagai Kepala Negara.
Dengan Amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan hingga empat kali, apakah perlu dilakukan Amandemen terbatas, untuk mengembalikan kedudukan MPR sesuai tugas dan fungsinya lagi ? Mengembalikan syarat Presiden harus orang Indonesia asli, tergantung Para elit politik dalam hal ini, rakyat sudah terwakilkan atau bahkan akan merubah dalam UUD 1945 khusunya pasal 1 ayat (1) menjadi, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Kerajaan”, sehingga tidak lagi ada Pilpres tapi dimungkinkan adanya pemilu, Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
Seperti di Jepang, Thailand, Inggris, “Segalanya mungkin bagi Allah dan mungkin juga bagi rakyat”. Semuanya kembali kepada kehendak bersama, dari para elit politik. Dalam sistem multi partai ini, yang penting mari kita bertindak demi kepentingan Bangsa dan Negara bukan untuk kepentingan golongan saja. Untuk mencapai tujuan negara, membentuk masyarakat adil dan makmur, Gemah Ripah loh Jinawi, Toto Tenteram Kerto Raharjo.
———————————————