F. Budi Hardiman, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
ESAI-ESAI yang secara rutin dimuat dalam majalah Tempo dengan nama Catatan Pinggir ini salah satu karya tulis yang paling menarik di negeri ini. Majalah itu memuat berita, yaitu berbicara dari perspektif pengamat, dan memang demikianlah berita sebagai berita sedapat mungkin berbicara dari perspektif pengamat. Catatan Pinggir merupakan satu-satunya bagian dari majalah itu yang dengan leluasa beralih-alih perspektif, kadang dari perspektif pengamat dan kadang dari perspektif pelaku, kadang si ”saya” muncul dan kadang si ”dia”. Berita sebagai berita sedapat mungkin jauh dari mitos, alegori, metafor, dan mendekati faktum, tetapi Catatan Pinggir membangun sebuah jembatan rahasia antara faktum dan mitos, antara deskripsi dan alegori. Itulah cara bagaimana esai-esai itu menjadi obat kepicikan. Seusai membacanya, pengetahuan kita tentang banyak hal—tokoh, kasus, sejarah, dst.—bertambah seiring dengan bertambah kayanya cara lihat yang ditawarkannya.
Penulisnya sudah menuturkan puluhan cerita yang dibaca, diingat, dan digalinya dari berbagai tradisi, entah itu filsafat dari masa silam yang sudah sayup-sayup di telinga, sisi sejarah dinasti Barat atau Timur yang dikenal atau kerap diabaikan dalam historiografi, narasi kekuasaan yang masih bising di telinga kita, atau apa saja yang hendak dikomentari penulisnya. Tanpa canggung ia pindah dari kitab suci agama yang satu ke kitab suci agama yang lain untuk memberikan semacam ”pencerahan eksistensial” atas sebuah topik, seolah untuk menghindarkan kita menjadi homo unius libri yang picik memandang dunia. Argumentasi para filsuf Barat pun dimanfaatkan secara piawai, bahkan sampai pikiran sang filsuf sendiri menjadi jelas. Suatu saat faktum dibeberkan. Di saat lain film cerita, mitos, alegori, dan metafor dikisahkan. Akan tetapi, setelah membaca bagian-bagian berita dari majalah itu, pembaca akan segera mengerti bahwa penulis tidak membiarkan jurang antara fiksi dan realitas tetap menganga. Mitos yang dikisahkannya itu kadang terhubung dengan faktum yang diberitakan di negeri ini. Mitos dan metafor seolah dibiarkan penulisnya untuk berbicara tentang fakta yang diberitakan, agar pembaca dapat menemukan bagaimana kebijaksanaan yang mengendap di dalam fiksi itu mencerahi realitas yang diberitakan.
Kita tahu, penulisnya, Goenawan Mohamad, adalah seorang wartawan dan sekaligus penyair. Bahwa penyair menuturkan mitos, narasi, alegori, atau metafor tidaklah mengherankan. Kita juga tidak heran bahwa wartawan melaporkan faktum. Kedua profesi tersebut mengenali batas-batas kawasan mereka masing-masing. Lalu, apa yang dapat dikatakan mengenai seorang penulis yang menuturkan mitos dengan maksud mengomentari faktum atau melaporkan faktum dengan membangun jembatan rahasia ke kawasan mitos? Penulis Catatan Pinggir adalah seorang pelintas batas atau seorang—seperti disebut orang Jerman—Grenzgänger. Sebutan serupa pernah diberikan untuk filsuf Prancis, Jacques Derrida, oleh Wolfgang Welsch, karena pemikiran Derrida bergerak di antara metafisika dan sesuatu di luarnya, yaitu dalam tegangan di antara keduanya, persis di pinggiran. Kita mempunyai Goenawan yang berpikir dalam tegangan antara kawasan faktum dan kawasan fiksi, alegori, metafor, mitos, sastra.
Seorang pelintas batas bukanlah seseorang yang tidak tahu batas. Dia tahu batas, maka dia dapat melintasinya. Batas tentu dapat dilintasi tanpa pengetahuan, yaitu secara tidak sengaja, tetapi dengan cara itu batas dilintasi hanya secara obyektif, sementara secara subyektif tidak pernah terjadi pelintasan batas. Goenawan tidak ingin melintasi batas hanya secara obyektif, tetapi juga secara subyektif, yaitu dengan sengaja. Dia ”bermain di antara” kedua kawasan yang selama ini dijaga ketat dalam pikiran orang banyak. Dan hal ini sebuah kesengajaan. Dengan sengaja posisi tidak ditegaskan sejak awal, karena ”bermain di antara” berarti beralih-alih posisi. Dengan sengaja solusi juga tidak dijanjikan sejak awal, karena solusi adalah bagian keseriusan yang tentu asing bagi permainan. Seperti Sokrates, penulis Catatan Pinggir kerap mengakhiri tuturannya dengan pertanyaan atau kesangsian. Dalam ”Perajam” (4 Oktober 2009), misalnya, tuturan tentang kisah hukum rajam dalam Injil yang awalnya menggiring kita pada pendirian bahwa person adalah sentral dalam agama diakhiri dengan sebuah enigma: ”Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada ’gerombolan’? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak.” Goenawan tahu betul apa artinya aporia yang menghadang di ujung lorong panjang dan berkelok dari pencarian suatu jawaban final. Dengan demikian, permainannya adalah sebuah keseriusan yang patut mendapat perhatian kita.
Pertanyaan dan kesangsian yang diletakkan di akhir esainya secara tersirat mengundang pembaca untuk terbuka terhadap peristiwa. Teks-teks berita yang memenuhi halaman-halaman sebelumnya dalam majalah Tempo bukanlah peristiwa, melainkan laporan tentangnya. Dengan menyebut sebuah laporan sebagai faktum, peristiwa seolah dibekukan sebagai obyek-obyek yang dapat diamati. Ketidakterdugaan yang menandai berciri peristiwa seolah dapat dijelaskan sebagai hal-hal yang terduga. Faktum membuat kita tidak bertanya-tanya lagi karena seolah tidak dapat muncul lagi hal tak terduga. Suatu dunia yang seluruhnya dapat dijelaskan atau sepenuhnya dapat diantisipasi adalah sebuah dunia yang tidak memberi tempat untuk peristiwa, sebuah dunia yang untuk seorang penyair pasti menjemukan dan bahkan mengerikan. Peradaban telah mencapai banyak prestasi untuk mengusir peristiwa: sains, teknik, birokrasi, dan jurnalisme. Diletakkan pada akhir majalah itu, Catatan Pinggir seolah membebaskan kembali peristiwa dari kerangkeng laporan-laporan atasnya yang dianggap faktual dalam jurnalisme. Sang pelintas batas mendekonstruksi tatanan fakta yang dilaporkan sebelumnya untuk menginsafi kembali ”yang serba mungkin” yang telah dipaksa berhenti dalam kerangkeng laporan-laporan itu.
Istilah ”catatan pinggir” itu sendiri sudah menyiratkan kodrat tulisan ini. Catatan-catatan yang bisa berupa komentar singkat, kode, coretan, acuan, tanda-tanda baca, dst. biasanya ditulis di pinggiran halaman buku yang sedang dibaca. Peneliti yang biasa bekerja dengan banyak buku akan sangat tertolong dengan memberikan catatan-catatan di pinggir halaman buku yang ditelitinya. Apa saja isinya? Segala yang mungkin ditulis, asal singkat. Catatan-catatan itu bisa menyimpan memori, prapemikiran, atau embrio argumen peneliti yang bisa saja mempersoalkan, menyanggah, atau—lebih tepat—menunda keyakinan-keyakinan yang ditulis dalam buku itu. Secara semiotis dapat dikatakan bahwa catatan-catatan di pinggir buku itu menentang rezim makna yang menjadi hegemonial dalam buku itu. Sementara sebuah buku lahir prematur, yaitu selesai sebelum waktunya, karena pengarang sebenarnya juga tidak pernah merasa cukup untuk menulis, catatan pinggir adalah tulisan yang menunda penyelesaian. ”Buku-buku yang paling berguna,” demikian tulis Voltaire, ”adalah buku-buku yang mengajak pembaca untuk me lengkapinya.”
Seandainya dipaksa untuk menjelaskan posisi, satu-satunya deskripsi yang lumayan kena untuk posisi penulis Catatan Pinggir adalah bergerak di pinggiran, yaitu menunda penyelesaian. Rezim-rezim politis silih berganti seperti gelombang-gelombang, dan seperti perahu layar esai-esai Goenawan mengarungi zaman lewat embusan roh zaman menyertai gelombang-gelombang itu. Cara lihat ini juga bisa dicoba: jika politik adalah sebuah perjalanan menembus berbagai medan menuju entah ke mana, esaiesai itu dapat dianggap sebagai coretan-coretan pada pepohonan, tebing, dan semak yang telah dilalui. Pada coretan-coretan itu kita mungkin dapat menemukan jalan untuk kembali. Dari yang telah lewat mungkin juga petunjuk ke depan dapat diperoleh. Namun jangan berharap untuk mengetahui tujuan entah itu puncak atau lembah karena si pencoret tidak meninggalkan apaapa selain isyarat untuk terus pergi.

Apa saja yang dibahas di dalamnya? Catatan Pinggir berbicara tentang hampir semua persoalan penting yang gaduh dibicarakan di dalam republik kita. Buku ini merupakan kumpulan esai Goenawan dalam Tempo yang merentang selama lebih dari tiga tahun, yaitu dari Juli 2007 sampai Desember 2010. Pembaca kumpulan ini tidak hanya segera akan menangkap keluasan dan kedalaman pengetahuan penulisnya, tetapi juga akan takjub dengan stamina intelektual yang dibuktikan Goenawan untuk melahirkan tulisan-tulisan yang penuh variasi dan tidak menjemukan ini. Bukan hanya itu, jika berasal dari mazhab akademis yang ketat, pembaca tentu akan tertantang dengan metode yang juga bermacam-macam yang dipilihnya. Di sana, misalnya, tidak hanya ada impresi-impresi situasi, alegori-alegori, atau bahkan semacam celotehan di kafe, tapi juga psikoanalisis, hermeneutik, dekonstruksi, kritik ideologi, semiotik, sejarah filsafat, dst. Tidak cukup hanya polifonik dengan pemakaian berbagai istilah asing, karena biasa ”bermain di antara”, Goenawan juga adalah seseorang yang polimorfis dalam menyiangi kulit gejala yang berlapis-lapis. Pembaca dapat ikut melihat dunia dari perspektif semacam compound eyes dalam penulisan, sehingga cukup diyakinkan bahwa cara melihat itu tidak tunggal, tetapi banyak.
Kiranya buku ini dapat kita mulai dari mana saja justru karena esai-esai itu dapat dibaca lepas satu sama lain. Klasifikasi tematis pun tidak dapat diseragamkan karena komentator yang berbedabeda dapat menemukan klasifikasi yang berbeda-beda pula. Goenawan banyak mengulas tokoh-tokoh sejarah kita, seperti Tan Malaka, Muhammad Yamin, Wahidin, dan Sukarno, dan cukup sering bercerita tentang seniman dan budayawan. Dalam hal ini sejarawan dan politikus pasti punya urusan tersendiri dengan Goenawan. Karena area keterlibatan saya adalah penulisan dan pengajaran filsafat, saya sendiri cenderung memperhatikan topiktopik yang dekat dengan filsafat. Di sini saya mengambil segelintir contoh.
Beberapa Catatan Pinggir langsung atau tak langsung bersentuhan dengan persoalan ”metodologis”. ”Cicak dan Buaya” (15 November 2009), misalnya, adalah sebuah tilikan psikoanalisis Freud. Jika bukan praktek dekonstruksi, ”Watchmen” (22 November 2009) setidaknya merupakan penjelasan ilustratif tentang apa itu dekonstruksi. Semacam metode Entmythologisierung (demitologisasi) ala Bultmann yang masih saja menyulut kontroversi teologis juga ada di sini dalam kombinasi ganjil dengan Zizek, seperti dapat dicermati dalam ”Paskah” (11 April 2010). Bahkan Ideologiekritik yang dulu dibidikkan Horkheimer dan timnya ke arah Aufklärung dalam ”Modernitas” (6 September 2009) menemukan target lokalnya: ”Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremehkan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga selalu bisa tak terduga-duga, tak pernah kering.” Ulasan-ulasan ringkas seperti itu mengandung argumen yang juga memiliki gaung di dalam mazhab-mazhab akademis ketat yang membutuhkan berlembar-lembar argumentasi dan kerap tetap tak dimengerti oleh pembaca biasa.
Yang memukau pada tulisan-tulisan Goenawan adalah teknik khasnya dalam mencerahi peristiwa dengan tilikan yang bajik dan bijak: dengan lincahnya—kadang juga akrobatis—dia menghubungkan peristiwa, tokoh, kasus, atau apa saja yang menarik minatnya dengan pendapat para filsuf atau pemikir yang buku-bukunya paling sering keluar dari rak-rak buku kampus. Namanama besar, seperti Laclau, Zizek, Deleuze, Lacan, Badiou, dan Schmitt, menambah deretan nama yang lebih klasik yang pernah dibahas Goenawan, seperti Sokrates, Machiavelli, Hegel, Marx, dan Freud. Kekayaan literatur yang dibacanya akan menggoda homo unius libri untuk menambah bacaannya. Dalam ”Bhutto” (6 Januari 2008), Carl Schmitt dipakai untuk mengomentari tragedi Bhutto. Problem absurditas informasi yang ditematisasi dalam drama absurd Beckett secara tak terduga dihubungkan dengan persoalan komunikasi yang ramai dibicarakan para pembaca J. Habermas dan Karl Otto Apel, seperti terbaca dalam ”Percakapan” (14 Maret 2010). ”Bento” (20 Januari 2008) adalah komentar atas seorang filsuf, Spinoza. Di dalam ”Orakel” (5 Desember 2010) kita dapati bagaimana perkara rumit seperti peralihan dari teosentrisme ke antroposentrisme dalam filsafat Barat di tangan Goenawan menjadi begitu ilustratif. Memahami pertarungan berlarut-larut antara logos dan mitos, rasionalitas dan takhayul sebagai pertarungan language games, ia mengajak kita untuk terbuka terhadap misteri Ada. ”Katakan itu takhayul,” tulisnya, ”Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya.”
Beberapa contoh lain adalah coretan-coretan tentang sejarah yang sekilas tampaknya ”cuma” menyampaikan informasi, tetapi jika dicermati ternyata dibidikkan kepada kepicikan-kepicikan. Dalam hal ini kritik agama tetap merupakan tema favorit Goenawan, sebagaimana dapat kita tangkap, misalnya, dalam ”Si Ayam” (26 September 2010), ”Ahmadiyah” (8 Agustus 2010), ”Daging” (22 Agustus 2010), ”Émile” (28 Februari 2010), ”Mono” (8 Maret 2009), ”Bento” (20 Januari 2008), dan ”Si Buntung” (9 Agustus 2009). Baginya agama dapat merosot menjadi benda, res, atau berhala sesembahan penderita paranoia yang didikte rasa takut akan kekosongan dirinya dan memburu yang lain. Termasuk dalam res itu adalah legalisme agama yang dipersoalkannya secara kritis, seperti tampak dalam ”Perajam” (4 Oktober 2009). Doktrin intoleran dari Vatikan pun tak luput dari bidikannya, sebagaimana terbaca dalam ”Mereka” (22 Juli 2007). Untuk menghadapi Zeitgeist yang serba politis sekaligus serba agamawi, dia lalu membuat catatan tentang mistik, seperti dapat dibaca dalam ”Guna” (3 Oktober 2010). Politisasi agama malah menjauhkan kita dari Tuhan. Goenawan lalu mengubah kutipan yang dikutip mistikus Meister Eckhart: ”Andaikata aku punya Tuhan yang dapat kugunakan, aku tak akan menganggapnya Tuhan.” Yang sebaliknya juga dilakukannya: menyingkap ”iman implisit” dalam sains yang telanjur dianggap sebagai sumber atheisme, seperti ditunjukkan dalam ”Darwin” (22 Februari 2009). Sekularisme tidak mungkin menjadi total, demikianlah keyakinan yang tersirat.
Ada juga topik yang dulu digunjingkan oleh Adorno dan kawan-kawan sebagai Kritik der Massenkultur, yaitu masifikasi, seperti tertuang dalam ”Debat” (28 Juni 2009) dan ”Potret” (8 Februari 2009), sebuah coretan melawan kediktatoran visualitas yang mulai mendominasi masyarakat kita. Kita mungkin menduga, kritik atas kapitalisme suatu kali akan menjadi radikal dan total, karena di beberapa esai Marx di tangan Goenawan bagai guru Timur yang menasihati kehidupan. Dugaan itu keliru. Seperti sekularisme, kapitalisme dan individualisme juga tidak mungkin menjadi total, karena selalu saja ada celah bagi sosialitas manusia, sebagaimana tertuang dalam ”Berbagi” (21 Juni 2009). Begitu juga yang kolektif tidak akan menjadi total, karena selalu saja akan ada celah bagi individualitas. Dalam ”Ibrahim” (28 November 2010), Goenawan menyingkap enigma kolektivisasi dan individualisasi, impersonalisasi dan personalisasi itu dengan alegori menutup wajah dan melihat wajah. Manusia punya wajah yang tak dapat ditotalisasi, direifikasi, atau didepersonalisasi kecuali dengan menyelubunginya.
Karena pelintasan batas membawa tegangan semantik juga, ambivalensi merupakan locus penceritaan yang digemari Goenawan, seperti dapat kita baca dalam ”Perang” (7 September 2008) atau dalam ”Monumen” (12 Juli 2009), yang mengironikan celah yang menganga di antara penanda dan petanda. Hidup seorang manusia itu sendiri mengandung ambivalensi, maka Catatan Pinggir juga berlaku sebagai serpihan-serpihan informasi tentang potret seorang tokoh yang menguak ambivalensi hidupnya, sebagaimana ditunjukkan dalam ”Tiga Fantasi” (29 Maret 2009) dan ”Rendra (1935-…)” (16 Agustus 2009). ”Teror Itu” (26 Januari 2009) kiranya merupakan contoh bagaimana dua ciri yang bertentangan seperti horor dan komedi dalam film dibiarkan mengatakan sesuatu untuk kejadian real di Jakarta, yaitu bom di Ritz-Carlton dan JW Marriott beberapa tahun lalu, dan dengan cara itu ambivalensi justru memungkinkan harapan.
Goenawan juga tak segan mengolok-olok ”diri” lewat mulut orang lain, sebelum dia membawa pembacanya kepada penelitian semantik yang lebih dalam yang segera menghambarkan olok-olok tadi, seperti dapat kita baca dalam ”Primordialisme” (19 Desember 2010) atau ”Diri” (25 April 2010). Baginya identitas adalah topik sensitif yang merahasiakan ironi: kejawaan, kepriaan/keperempuanan, atau keislaman adalah ke-apa-an yang biasa dipakai untuk menjelaskan ke-siapa-an, tetapi ketika ke-apa-an ini begitu menentukan seseorang, ke-siapa-annya yang merupakan misteri itu dicaplok oleh batasan-batasan yang datang dari ke-apa-an itu. ”Bagi saya,” tulisnya dalam ”Diri”, ”yang penting bukanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia sebagai agency, pelaku.” Dari fiksi tentang identitas itulah lahir segregasi dan diskriminasi ras, gender, dan religius. ”Dan identitas itu adalah bagian dari paranoiaku,” katanya. Cara Goenawan untuk melepaskan diri dari fiksi konyol itu menyerupai cara Georg Simmel, yakni melawan setiap upaya stabilisasi dan esensialisasi identitas dengan memahami ”diri” sebagai sesuatu yang tidak pernah ”sejati”, karena terdiri atas banyak relasi yang terus berubah. Akibatnya, seperti secara personal disingkapkannya dalam ”Indonesia” (23 Agustus 2009), ia sendiri kagum akan semacam ”imigran permanen” yang tidak berakar pada tanah mana pun. Namun bukankah anti-esensialisme merupakan konsekuensi logis pelintasan batas?
***
Jika mengikuti terus esai-esai Goenawan, akan timbul kesan bahwa Catatan Pinggir ”cerewet”. Tapi kesan itu keliru. Yang di tengahlah yang cerewet dan bising, sementara yang di pinggir cenderung hening mengamati. Sementara peristiwa-peristiwa yang di tengah itu bagaikan teriakan-teriakan histeris manusia massa dalam Colosseum yang menentukan hidup-matinya gladiator yang kalah, Catatan Pinggir menarik diri dari kerumunan dan mencoba mendengarkan keheningan manusia batiniah. Membaca esai-esai singkat ini, orang tidak sekadar menjadi ”orang”, tetapi akan menjadi ”seseorang”. Catatan Pinggir mengandung motif individuasi yang merebut kembali sang aku yang berpikir dari kerumunan yang berpikir standar atau bahkan tidak berpikir sama sekali. Paradoks, ironi, aporia, ambivalensi, dan ketidakselesaian yang tidak hanya disajikan, tetapi juga dilatihkan oleh Goenawan, membantu untuk menemukan kembali individualitas individu yang sudah terancam punah di negeri kita. Membaca dan menulis tidak bisa dengan berisik, dan membaca dan menulis, demikian Sloterdijk, akan membangun interioritas manusia. Lagi, dalam ”Perajam”, kalimat ”Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak” menyampaikan secara enigmatis bahwa tulisan tidak lumat di dalam gejolak kediktatoran oleh tak seorang pun, seperti dialami dalam demokrasi massa. Ia terarah pada interioritas manusia.
Karena itu, antara penulis Catatan Pinggir dan pembacanya terjadi sebuah hubungan diam yang hanya dapat dialami oleh— saya mengacu pada Luhmann—suatu spesies yang tinggi taraf evolusinya, yaitu suatu makhluk yang mampu mereproduksi ”masyarakat” lewat menulis dan membaca.6 Berbeda dengan DPR yang bising dan gaduh, karena politik memang tidak lain dari ”bicara keras-keras”, menulis dan membaca hanya mungkin tanpa berisik, yaitu mendengarkan ”bagian dalam” manusia. Sebuah tulisan, seperti Catatan Pinggir ini, menghasilkan masyarakat tanpa kehadiran seorang pun, sementara dengan kehadiran orang banyak, politik yang berisik itu bisa jadi malah ”menghabisi” masyarakat. Mengapa? Karena language games dan isi pikiran yang dimainkan dalam Catatan Pinggir mereproduksi publik pembaca yang kritis, suatu lapisan sosial yang sangat diperlukan untuk demokrasi, sementara dengan oportunisme dan pragmatisme kekuasaan, politik kerap justru menghancurkan individualitas individu.
Yang dibutuhkan dalam demokrasi bukanlah kerumunan yang berteriak sama. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan orang yang berani berpikir dan mengeluarkan suara yang berbeda dan bahkan menentang kerumunan. Seklusi dari politik lewat menulis dan membaca sampai saat ini masih merupakan jalan untuk memelihara kewarasan dan menghindar dari histeria massa dalam politik. Catatan Pinggir menawarkan jalan itu. Penulisnya tampak tidak goyah oleh teriakan riuh rendah berita-berita di tengahnya; dia berdiri di atas batu karang yang tenang dan kokoh: kebebasan berpikirnya. ”Kini perlawanan terhadap Negara + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang majal,” begitu keyakinannya, ”… Maka satu-satunya cara melawan mungkin dengan menulis, mencerca, atau menertawakan. Selebihnya ilusi.” Tentu Goenawan tidak minta pembacanya untuk setuju padanya. Dia bahkan seperti memprovokasi kita untuk membantah. Esai-esainya adalah deretan tantangan untuk berpikir tanpa tuntunan hal-hal yang baku atau—seperti dikatakan di atas— obat kepicikan. Membacanya adalah latihan yang enak dan perlu ke dalam kebebasan berpikir. Anda harus mencobanya sendiri.
—-S e l a m a t M e m b a c a—-
- Tulisan ini adalah Pengantar untuk Buku Catatan Pinggir 9, Penerbit Pusat Data dan Analisa Tempo 2011.