Oleh Reza A. A Wattimena, Pendiri Rumah Filsafat
“Kebenaran itu tak pernah murni. Ia juga tidak pernah sederhana.” Demikian tulis Oscar Wilde di dalam bukunya “The Importance of Being Earnest”. Kutipan itu, kiranya, sesuai menggambarkan semangat dari buku ini. Kita diajak untuk bergulat dengan beragam ide kebenaran, sambil berpetualang di dalam alam pikir Eropa yang mendalam dan penuh tikungan tajam.
Sejujurnya, tak banyak pemikir mendalam di Indonesia. Fransisco Budi Hardiman adalah salah satunya. Di awal 2023 ini, ia kembali menerbitkan buku untuk menyebarkan ide-ide pencerahan di Indonesia. Judulnya adalah Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta. Ada tujuh hal penting yang kiranya layak diperhatikan.
Tujuh Tesis
Pertama, buku ini adalah sebuah diskursus tentang kebenaran. Ia tidak langsung menunjuk pada kebenaran, tetapi pada beragam diskusi yang lahir tentang kebenaran. Budi Hardiman menyentuh pemikiran para filsuf Barat kontemporer, seperti Richard Rorty, Michel Foucault, Jürgen Habermas dan Hans Georg Gadamer. Dengan berpijak pada pemikiran mereka, Budi Hardiman mengingatkan kita, bahwa ide tentang kebenaran itu berpijak para ruang dan waktu tertentu, sehingga tak pernah bisa menjadi universal secara utuh.
“Konsep-konsep seperti dunia sosio-historis, aletheia, atau Wirkungsgeschichte”, demikian tulis Budi Hardiman, “mengacu pada kenyataan bahwa kebenaran, tentang apapun itu, berubah lewat waktu karena berada dalam waktu.” (hal.123) Apapun yang berada di dalam waktu pasti sementara. Ia terus berubah sejalan dengan perubahan sungai sejarah. Pola ini berlaku untuk semua bentuk klaim kebenaran manusia, baik yang berada di dalam sains, agama, filsafat ataupun budaya. Menuhankan satu ide kebenaran tertentu, terutama di dalam sains dan agama, hanya akan bermuara pada kesesatan berpikir.
Dua, maka dari itu, tidak ada kebenaran yang bersifat solid seutuhnya, abadi serta layak diperjuangkan dengan kekerasan. Setiap klaim kebenaran selalu tertanam di dalam arus sungai sejarah. Klaim universalitas sebuah pandangan adalah sebentuk partikularitas tertentu. Namun, di dalam partikularitas tersebut terkandung universalitas di dalamnya. Inilah paradoks universalitas dan partikularitas kebenaran, sebagaimana ditangkap oleh Budi Hardiman.
Tiga, yang kiranya menjadi titik utama pandangan Budi Hardiman adalah kritik terhadap kebenaran faktual di dalam sains modern. Fakta dianggap sebagai kebenaran mutlak yang bersifat istimewa. Ia dianggap lebih tinggi dari agama dan filsafat. Padahal, senada dengan para filsuf ilmu pengetahuan kontemporer, fakta bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dibungkus dalam kerangka pandangan dunia tertentu, dan selalu berubah di dalam aliran sungai sejarah. Tentang ini, Budi Hardiman menulis.
“Supremasi kebenaran faktualah yang sedang sedang kita persoalkan di sini dan kita identifikasi sebagai pangkal krisis-krisis makna dalam modernitas. Sains modern bekerja dalam teritorium epistemis yang tepat dengan upaya-upaya pencarian kebenaran faktual, tetapi cara-cara berpikir sains yang melampaui teritorium itu dan anggapan bahwa kebenaran faktual sains adalah seluruh kebenaran adalah keyakinan berlebihan yang kita sebut sebagai saintisme (scientism).” (Hal. 25)
Sains modern mengalami luber epistemologis. Metodenya diterapkan untuk segala hal dalam kehidupan. Dengan cara ini, sains modern mengancam beragam klaim kebenaran di dalam filsafat dan agama yang, sesungguhnya, masih sangat dibutuhkan manusia. Sesat berpikir ini disebut sebagai saintisme, yakni pandangan yang menuhankan kebenaran faktual di dalam sains modern sebagai satu-satunya kebenaran.
Empat, dengan berpijak pada pemikiran Foucault, Budi Hardiman melihat kaitan langsung antara kebenaran dan kekuasaan. Semua pembicaraan tentang kebenaran selalu diwarnai dengan kekuasaan. Dalam arti ini, kekuasaanlah yang membentuk kebenaran, serta segala proses yang menjadi latar belakangnya. Kekuasaan menyempitkan kenyataan, lalu menghasilkan pengetahuan tertentu, termasuk segala ranah kehidupan manusia, seperti moralitas, pendidikan, hukum, agama dan sebagainya.
“Diskursus apapun”, demikian tulis Budi Hardiman, “entah itu dalam sains, agama, seni ataupun politik, menetapkan batas-batas pemikiran, sehingga – seperti kata Foucault – mengontrol, menyeleksi dan mengeksklusi.” (hal. 150) Pengetahuan adalah hasil dari pembatasan. Pembatasan hanya mungkin dengan adanya kekuasaan. Dunia, dengan demikian, adalah kumpulan pembatasan-pembatasan. Pembatasan tersebut tidak selalu murni, melainkan dilumuri beragam kepentingan yang ada di dalam masyarakat.
Lima, Budi Hardiman membuat pembedaan penting antara fakta dan makna. Fakta adalah apa yang ditemukan di dalam kenyataan. Inilah ranah kesibukan dari sains modern. Sementara, makna adalah proses manusia menafsirkan dunia, kerap kali dengan cara yang bersifat subyektif. Ini adalah ranah dari agama, budaya, seni dan, dalam batas tertentu, filsafat.
Fakta lebih terlihat sederhana. Sementara, makna itu rumit dan kaya akan warna. Di dalam kehidupan, keduanya bertaut begitu erat, seolah tak terpisahkan. Budi Hardiman mengajak kita merayakan semua itu, tanpa terjatuh pada pemutlakan bentuk fakta atau makna tertentu, atau mencampurkan secara sembarangan antara ranah fakta dan ranah makna.
Enam, lebih jauh, Budi Hardiman membedakan tiga macam dunia. Yang pertama adalah dunia obyektif, dimana fakta dan kajian sains modern mendapat tempat. Yang kedua adalah dunia intersubyektif, yakni dunia sosial, dimana manusia saling berkomunikasi untuk bisa saling memahami di dalam dunia sosial. Produk dari dunia intersubyektif adalah hukum, agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, yang bisa diubah sejalan dengan kebutuhan manusia. Yang ketiga adalah dunia subyektif, yakni dunia pengalaman batin manusia yang bersifat pribadi.
Ketiga dunia tersebut harus ditempatkan sesuai tempatnya. Irisan ketiganya boleh terjadi, tetapi tumpang tindih selayaknya dihindari. Manusia memerlukan fakta di dalam hidupnya, supaya ia tidak terjebak pada kesesatan berpikir takhayul yang penuh khayalan, dan merugikan hidupnya. Namun, manusia juga adalah mahluk pemberi makna. Ia mewarnai pengalaman hidupnya dengan cerita dan tafsiran yang begitu kaya. Semuanya perlu diberikan tempat secukupnya di dalam ruang-ruang kehidupan.
Tujuh, Budi Hardiman kiranya juga mengembangkan pandangannya sendiri. Ia melihat, bahwa hidup manusia terdiri dari beragam ontologi. Dalam arti ini, ontologi adalah pandangan menyeluruh tentang kenyataan, dan memiliki klaim kebenaran tertentu. Ada empat bentuk ontologi yang dirumuskannya, yakni ontologi pelampauan, ontologi pelepasan, ontologi penerimaan dan ontologi penyingkapan.
Dengan keempat bentuk ontologi ini, Budi Hardiman merangkum semua pendekatan yang telah ia pelajari di dalam filsafat. Detil dari teori tipologi ontologi ini bisa dibaca langsung di dalam bukunya, supaya memperoleh pemahaman lebih dalam. Teori tipologi ontologi ini merupakan bentuk-bentuk penghayatan manusia tidak hanya pada kebenaran, tetapi pada kehidupan sebagai keseluruhan. Buah dari pemahaman ontologi ini adalah keterbukaan pada kebenaran yang terus mengalir di dalam sungai sejarah dan perubahan itu sendiri.
Relevansi
Buku ini kiranya mengajak kita untuk menjadi cair dalam hidup. Artinya, kita diajak untuk menari di dalam keindahan warisan budaya manusia, yakni filsafat, agama dan sains. Kita menjadi kaya secara pribadi, dan berwarna di dalam penghayatan hidup. Kita menikmati semuanya, tanpa terjebak di dalam salah satu klaim kebenaran, dan menjadi keras, apalagi merusak hidup bersama.
Di dalam politik, kita juga diajak untuk menjadi cair. Kita tidak fanatik pada satu aliran politik tertentu. Kita tidak menjadi buta dan diperbudak oleh satu partai tertentu. Sikap cair, terbuka dan sehat di dalam memandang politik amat penting, terutama menjelang pemilihan umum yang berlangsung 2024 nanti. Jika kita tertutup dan salah memilih, kita menggiring seluruh Indonesia ke arah kehancuran.
Di dalam agama, kita perlu sikap serupa. Agama adalah produk budaya. Ia hidup dan berubah di dalam ruang dan waktu. Menuhankan agama berarti menyangkal ciri historis agama tersebut, dan membuat kita terjebak di dalam kesesatan yang berbuah kehancuran hidup bersama.
Budi Hardiman juga mengajak kita tidak menuhankan sains. Sains memang telah mengubah seluruh hidup manusia. Cara berpikir kita tentang dunia, termasuk tentang diri kita sendiri, berubah total, akibat penemuan-penemuan menakjubkan di dalam sains. Namun, itu bukan berarti, sains layak menjadi satu-satunya kebenaran di dalam hidup. Sains perlu ditempatkan pada tempat yang tepat, sambil bersanding dengan filsafat, budaya, seni dan agama di dalam mewarnai hidup manusia.
Buku Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita adalah karya penting untuk Indonesia. Buku ini perlu dibaca masyarakat luas, dan menjadi bahan diskusi mendalam. Tantangan yang lahir dari buku ini akan membuat kita berkembang di dalam dunia pemikiran. Secara perlahan namun pasti, kebijaksanaan pun bisa digenggam di tangan.
Beberapa Catatan
Ada lima catatan kritis yang bisa diberikan atas buku ini. Pertama, buku ini bisa menjadi autokritik atas dirinya sendiri. Buku ini membahas beragam klaim kebenaran dan ontologi, sambil menggunakan klaim kebenaran dan ontologinya sendiri. Artinya, proses kekuasaan dan penyempitan juga terjadi di dalam buku ini, ketika membahas soal kebenaran dan unsur-unsurnya di dalam hidup manusia. Pendek kata, jika buku ini benar, maka buku ini juga “salah”.
Dua, peyempitan paling terasa di dalam pandangan Budi Hardiman soal Filsafat Asia. Secara sederhana, Budi Hardiman menyempitkan filsafat Asia sebagai filsafat Timur, atau kebijaksanaan Timur, yang menolak dunia (ontologi pelepasan). Padahal, filsafat Asia memiliki banyak sekali aliran. Ontologi filsafat Asia juga amat beragam, dan jauh lebih kaya daripada yang dipaparkan oleh Budi Hardiman, terutama di dalam teorinya soal tipologi ontologi-ontologi.
Tiga, Budi Hardiman tidak berbicara tentang kebenaran. Ia berbicara tentang beragam wacana tentang kebenaran. Ini seperti sedang berada di restoran, tetapi hanya membaca menu, tetapi tidak memesan, apalagi makan. Ini adalah proses yang mengasyikan secara intelektual, tetapi tidak akan membuat hidup manusia lebih kaya dan lebih mendalam secara keseluruhan. Dengan kata lain, buku ini bersifat tanggung di dalam memahami dan mendalami kebenaran.
Empat, apa yang dilakukan Budi Hardiman memang sangat brilian. Tetapi, ini juga menunjukkan dengan jelas keterbatasan pendekatan Filsafat Eropa, atau Barat, secara keseluruhan. Filsafat Eropa terjebak pada apa yang saya sebut sebagai “obsesi pada bahasa dan konsep”. Buahnya adalah kebingungan dan keletihan epistemik, yakni kelelahan di dalam merumuskan konsep, guna memahami kenyataan serta kehidupan sebagai keseluruhan yang, sesungguhnya, tak pernah bisa ditangkap di dalam konsep. Satu pertanyaan terjawab, puluhan pertanyaan muncul, tanpa pernah berhenti. Yang tersisa hanyalah rasa letih dan tak terpuaskan.
Lima, Budi Hardiman kiranya perlu melampaui filsafat. Perjalanannya sudah panjang, dan sangat berharga, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga kita, para pembaca dan muridnya. Atau mungkin, ia sudah tahu tentang hal ini, tetapi memutuskan untuk tetap bermukim di ranah bahasa dan konsep, seperti yang ia lakukan. Untuk memastikan “kebenarannya”, kita perlu bertanya pada beliau langsung.
Akhir kata, setelah bergulat dengan kebenaran, kita perlu mengalami kebenaran secara langsung. Budi Hardiman mungkin akan berkata, bahwa ini bukan tugas ataupun ranah filsafat. Namun, saya ingin berkata sebaliknya: filsafat berkembang dengan menjangkau jauh ranah-ranah tak bertuan, dan seringkali terlarang. Mari kita tunggu karya-karya beliau berikutnya.
Sumber Tulisan rumahfilsafat.com
===================================
Tentang Penulis