Oleh Agus Widjajanto
Kemajuan tekhnologi informasi berdampak pengaruh budaya asing yang sulit dibendung dan sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk gaya hidup generasi muda milenial di jaman modern saat ini dimana seakan tidak ada lagi sekat dan batas negara, setiap orang bisa mengakses tehnologi informasi, Sehingga yang ada adalah kebebasan seperti kebebasan berekpresi dalam hidup bermasyarakat yang majemuk seperti Indonesia kebebasan berbicara menyampaikan pendapat yang sudah berlebihan cenderung kebablasan yang tidak lagi mencerminkan adab bagi sebuah bangsa yang santun.
Dalam menyikapi hal itu, rasanya tidak cukup hanya dari pendekatan spiritual keagamaan dan dari sisi edukasi lewat pengajaran disekolah maupun di kampus-kampus dan pengajaran keagamaan. Dimana harus diakui upaya di atas telah mengalami kegagalan, baik dari kaum agamawan, pendidik baik guru, dosen dan budayawan.
Kondisi dimana telah melahirkan suatu keadaan, generasi muda lebih condong pada budaya kebebasan, hasil dari mengabdopsi budaya-budaya yang dianggap cocok yang berakibat terkikisnya budaya sendiri tiadanya rasa malu dimana berbuat hal yang tercela dan bertentangan dengan adab dan kesopanan dianggap hal yang wajar, seakan lupa bahwa kita bangsa timur dengan adat istiadat ketimuran dan ke indonesiaan, bukan budaya barat hal ini bisa kita lihat terjadinya korupsi secara masif, dimana lembaga antirasuah, sendiri berat untuk menegakan pemberantasan korupsi serta mengatasi korupsi, baik itu dari segi penindakan maupun pencegahan, yang mana korupsi selalu terjadi walaupun telah diberikan fasilitas dan biaya dari APBN yang begitu besar, tetapi karena adanya degradasi moral dan sistem yang menunjang terjadi nya korupsi itu sendiri dimana gaya hidup para pejabat dan keluarganya yang begitu glamor sesuai terungkap di berita berita media masa, korupsi seakan menjadi budaya dan dianggap wajar saat ini sebagai pengembalian modal, karena begitu besar nya cost biaya yang ditimbulkan untuk mencalonkan pada jabatan publik di negeri ini.
Indonesia pernah mengalami pasang surut kepemimpinan. Sebagai pemimpin, haruslah bisa menjalankan pemerintahan agar rakyat dan bangsa tidak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab dengan menjunjung tinggi dan memegang teguh peradaban serta budayanya.
Pada saat pemerintahan Orde Lama dan masa masa kemerdekaan, Bung Karno berpegang teguh prinsip kepemimpinan Jawa. Membentuk negara Non Blok ditengah memanasnya persaingan negara-negara besar pasca perang Dunia II. Pengaruh Amerika beserta sekutu blok Barat dengan negara sosialis yang dimotori Uni Soviet saat itu beserta Tiongkok.
Bung Karno menerapkan prinsip Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake yang artinya Indonesia tanpa melakukan invasi militer tapi dengan kekuatan lobi, pendekatan melalui diplomasi internasional. Dengan modal karismatiknya, Soekarno bisa membentuk blok baru yakni negara Non- Blok yang bisa diterima dua kekuatan super power dunia, blok Barat maupun blok Timur. Prinsip yang juga dipegang teguh Soekarno adalah Memayu Hayuning Bawono yakni menjaga keseimbangan dan kemaslahatan dunia agar tidak terjadi perang antar negara Super Power, sebagaimana tertulis dalam Preambul (Pembukaan) UUD 1945.
Pada awal pemerintahan Orde Baru falsafah kepemimpinannya dijadikan alat untuk memaknai kemerdekaan dengan melakukan pembangunan perekonomian dan stabilitas politik nasional.
Saat itu mantan presiden Soeharto berpedoman pada falsafah Tri Darma versi Pangeran Samber Nyawa, dimana rakyat diberikan doktrin dan wawasan agar turut memiliki dan melindungi negara. Falsafah Handarbeni, Hangayomi, dan Hangrungkepi, dimana pemimpin dituntut agar memberikan contoh, suri tauladan terhadap rakyatnya.
Falsafah Tri Darma tersebut sejalan dengan falsafah dari Sri Sultan Hamangkubuwono ke-IX yakni Hamengku , Hamangku, Hamengkoni. “Hamengku” artinya seorang pemimpin senantiasa melindungi rakyat, secara adil, “Hamangku” pemimpin lebih banyak memberi darma bakti nya kepada rakyat dan bangsanya. Sedang ” Hamengkoni ” pemimpin harus memberikan suri tauladan, contoh bagi rakyat dan memikul tanggung jawab dengan segala resiko nya.
Presiden Soeharto juga selalu berprinsip, “Mikul Dhuwur, Mendem Jero” menghormati para pendahulu yang telah berjuang demi kemerdekaan ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Sementara saat ini, masyarakat berharap, Presiden terpilih dalam Pemilu 2024, Prabowo Subianto dan Wakil Presiden, Gibran Raka Buming Raka, mempunyai sikap sesuai prinsip falsafah kepemimpinan yang telah diwariskan oleh raja – raja masa lalu dan pemimpin terdahulu, yang sangat mencintai bangsanya.
Falsafah kepemimpinan yang harus dipegang teguh adalah, “Adil Ambeg Paramarta” dimana sebagai pemimpin harus bersikap adil dan dapat membedakan urusan kenegaraan dan urusan pribadi sehingga bisa fokus menjalankan amanah kepemimpinannya. “Berbudi Bawa Laksana”, pemimpin harus bermurah hati serta teguh memegang dan memenuhi janji pada rakyat, janji saat kampanye Pilpres agar dicintai rakyat.
Pemimpin juga harus “Wicaksana” bijaksana dalam mengambil keputusan, sehingga tidak mengorbankan rakyat dan rasa keadilan. ”Eling lan Waspodo” pemimpin harus ingat pada jati dirinya sebagai abdi rakyat dan akan bekerja untuk rakyat dengan tetap menjaga kewaspadaan yang ada sebagai hamba Tuhan. Selain itu, “Nut Jaman Kelakone”, pemimpin harus bisa mengikuti jaman dengan prinsip kuat ngeli Ning ora keli (mengalir tapi tidak ikut terbawa arus) serta ngono yo ojo ngono, bisa menjaga dan mengontrol diri sebagai seorang pemimpin yang punya kekuasaan besar yang mempunyai sifat mulia andhap ashor (rendah hati ), prasojo (sederhana) rajin bekerja, sabar, tenang. Pemimpin harus mempunyai prinsip, “Den Ajembar” mempunyai hati, pikiran yang berpandangan luas, ”Den Momot” memuat dan menerima masukan dan inspirasi dari rakyatnya dalam mengambil kebijakan, “Lawan Den Wengku” harus bisa mengalahkan dan menyingkirkan Kepentingan pribadi atau ego pribadi, “Den Koyo Segoro” memiliki ilmu, wawasan, mempunyai kebijakan dan hati seluas samudera, yang dicintai rakyatnya.
Masyarakat berharap pemimpin kedepan memiliki sifat-sifat tersebut untuk menyongsong Indonesia Emas, membawa Indonesia kembali kepada jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan mencintai peradaban budayanya sendiri. Bangsa yang bermartabat di mata Dunia Internasional dan disegani karena berdiri pada kaki sendiri. Semoga **
==================