Oleh Ignas Kleden
UNTUK waktu yang sangat lama pemikiran ilmu sosial dan kalangan politik dikuasai oleh gagasan esensialis tentang kebudayaan. Secara sederhana dalam gagasan itu diandalkan dan dipercaya begitu saja, bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri.
Yang diabaikan dalam gagasan esensialis adalah peranan para pendukung kebudayaan dalam memberi bentuk dan isi kepada kebudayaan mereka. Asumsi yang dianut adalah bahwa tingkah laku sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah tingkah laku budaya perlulah diubah terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku budaya.
Pemikiran seperti itulah yang saya kira telah menjadi dasar kerisauan saudara Mohamad Muzamil dalam artikelnya berjudul Perubahan Nilai atau Budaya Politik? (Kompas, 24 Maret 1998). Pertanyaan yang diajukannya kepada saya sedikit-banyaknya mencerminkan pemikiran kaum esensialis: “Apakah sistem nilai politik yang berlaku saat ini menyimpang dari sistem nilai yang telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia sehingga perlu adanya perubahan menyeluruh terhadap sistem nilai? Ataukah yang terjadi saat ini adalah penyimpangan budaya dari nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia?”
Dalam pertanyaan yang simpatik ini diandaikan bahwa ada sistem nilai yang telah selesai dan baku (yaitu “yang telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia”). Demikian pun kalau ada penyimpangan dalam budaya politik maka itu hanyalah penyimpangan budaya dari nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa Indonesia.
Dalam pemikiran tersebut dibedakan dan bahkan dipisahkan dengan jelas tingkah laku pendukung suatu kebudayaan dari nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang diandaikan baku, selesai, sempurna, dan tak tersentuh lagi oleh pengaruh tingkah laku budaya dalam kehidupan nyata. Ada semacam kepercayaan yang bersifat platonis bahwa nilai dan norma-norma budaya berada pada sebuah “dunia ide-ide” yang otonom, sedangkan tingkah laku budaya hanya merupakan pantulan dan tiruan yang kurang sempurna dari dunia ide tersebut. Kalau ada yang menyimpangdalam kebudayaan maka yang harus diubah adalah tingkah laku budaya dan bukannya nilai dan norma-norma kebudayaan. Secara populer pemikiran ini terlontar dalam ungkapan yang acap terdengar: jangan salahkan kebudayaan, tapi salahkanlah orangnya!
***
KALAU manusia dibentuk oleh kebudayaannya, maka seseorang menjadi Jawa karena kebudayaannya, demikian pun seseorang menjadi Minang karena kebudayaannya. Seorang Jawa yang sejak kecilnya hidup di Jepang di tengah-tengah keluarga Jepang akan menjadi Jepang secara budaya.
Gagasan ini kemudian diperkuat oleh antropologi budaya yang menyelidiki kebudayaan suatu kelompok budaya. Kalau seorang peneliti datang ke Mentawai misalnya, maka yang menarik dia adalah bagaimana pola-pola kebudayaan orang Mentawai saat itu, dan bagaimana orang-orang Mentawai hidup menurut nilai-nilai dan norma-norma yang mereka anut. Peneliti tersebut telah menerima kebudayaan Mentawai sebagai barang-jadi yang sudah ada, sudah terbentuk, dan hanya memperhatikan bagaimana pola-pola kebudayaan tersebut bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
Yang sering tidak dipersoalkan adalah bagaimana orang Mentawai membentuk kebudayaan mereka. Bagaimana sejarah mereka mempengaruhi terbentuknya pola-pola kebudayaan mereka, dan bagaimana pembangunan dan politik Indonesia saat ini mendesakkan beberapa perubahan dalam kebudayaan mereka. Prof Reimar Schefold dari Universitas Leiden, yang semenjak tahun 1970-an menyelidiki kebudayaan Mentawai, menemukan bahwa dewasa ini ritual-ritual keagamaan dan tabu-tabu orang Sakuddei di Kepulauan Mentawai menjadi jauh lebih rumit dari sebelumnya. Dengan ritual seperti itu orang luar menjadi sulit sekali masuk karena ritual-ritual itu menjadi sulit dipahami, sulit ditembus, menjadi lebih hermetic.
Terjadi semacam involusi keagamaan dan involusi ritual. Menurut peneliti ini, pengrumitan ritual itu dimaksudkan untuk melindungi orang Mentawai dan masyarakat Mentawai dari penerobosan oleh program-program pembangunan yang kini dijalankan secara nasional, dan yang dalam banyak kasus menyudutkan mereka pada posisi sulit. Perumitan ritual dimaksudkan sebagai benteng untuk melindungi orang-orang Mentawai dari pengaruh-pengaruh luar yang demikian gencar dan luas.
Terlihat di sini bahwa bukan hanya kebudayaan yang membentuk sifat orang dan masyarakatnya, tetapi sebaliknya pendukung suatu kebudayaan secara aktif memberi bentuk dan isi kepada kebudayaan mereka. Kebudayaan tidak cukup hanya dipandang sebagai nilai dan norma tetapi dapat dan harus juga dipandang sebagai wacana, yaitu sebagai hasil bentukan dan hasil konstruksi sosial dari sekelompok orang dalam mencari orientasi kepada lingkungan hidupnya. Konsepsi bahwa manusia dibentuk oleh kebudayaan kini diimbangi secara meyakinkan oleh konsepsi lain bahwa kebudayaan juga dibentuk oleh para pendukungnya.
Dengan demikian sulit sekali mengatakan bahwa ada nilai-nilai, norma, atau pola kebudayaan yang boleh dianggap selesai, baku dan tak berubah lagi karena “telah diyakini kebenarannya” oleh semua orang. Kebudayaan, pada dasarnya, bukanlah soal kebenaran, tetapi soal praktek dan kebiasaan. Kalau kekerasan terus-menerus dipraktekkan, maka lambat laun dia akan dibudayakan (sekalipun hal ini tak pernah dapat dibenarkan!).
***
DALAM sebuah negara modern proses konstruksi sosial kebudayaan itu berlangsung juga (dan terutama) dalam apa yang dinamakan budaya politik. Tingkah laku elite politik, bisa sesuai dengan nilai-nilai umum yang dianggap luhur, tetapi bisa juga menyimpang daripadanya. Dalam kedua keadaan itu, apakah dia sejalan atau menyimpang, tingkah laku itu tetap mempunyai kekuatan yang besar dalam membentuk kebudayaan. Jadi kalau korupsi, kekerasan atau nepotisme hidup subur dalam politik, dia membentuk budaya politik itu, yang kalau meluas, dapat juga mengubah kebudayaan. Tanpa ada perlawanan dan kritik terhadap praktek-praktek tersebut, maka korupsi, kekerasan dan nepotisme dalam suatu budaya politik akan diterima sebagai bahagian kebudayaan dan bukan sekadar penyelewengan daripadanya.
Jadi apakah nilai-nilai dalam politik Indonesia sesuai atau menyimpang dari apa yang oleh sdr Mohamad Muzamil dinamakan nilai-nilai luhur, kedua proses itu tetap mempunyai pengaruh yang konstitutif terhadap kebudayaan Indonesia. Anggapan bahwa ada nilai-nilai yang tak tersentuh, dan ada tingkah laku budaya yang menyimpang, yang tidak kena-mengena dengan nilai-nilai luhur tersebut, adalah suatu jalan pikiran esensialis yang melihat kebudayaan sebagai dunia platonis yang berada di luar sejarah.
***
PERTANYAAN yang sangat menarik adalah mengapa gerangan pemikiran esensialis tentang kebudayaan ini demikian dominan? Secara ilmiah, hal ini jelas merupakan pengaruh positivisme yang memandang kebudayaan sebagai given, barang-jadi yang bisa diteliti secara empiris gejala-gejala dan pola-polanya. Positivisme hanya sanggup menangkap kehadiran sebuah kebudayaan dengan pola-polanya sebagaimana sudah terbentuk. Namun, dia gagal menangkap proses pembentukan kebudayaan itu.
Dalam proses pembentukan tersebut (yaitu dalam konstruksi sosial kebudayaan) akan terlihat kekuatan-kekuatan, kepentingan-kepentingan dan berbagai ide yang membentuk suatu kebudayaan dalam suatu konteks sejarah yang konkret. Setiap kebudayaan ada riwayat hidupnya, dan konstruksi sosial adalah semacam biografi tentang kebudayaan bersangkutan.
Dari segi itu dapat dipahami mengapa penjajah Belanda dulu selalu mempropagandakan bahwa pribumi adalah orang-orang malas. Dengan mengatakan bahwa pribumi pada dasarnya malas, maka seluruh tanggung jawab terhadap kemiskinan dan kemelaratan di daerah koloni dibebankan kepada pribumi yang tidak mau bekerja keras, sementara seluruh usaha kolonial dalam mengeruk kekayaan Indonesia untuk dibawa ke luar tidak lagi disinggung-singgung. Di sini kebudayaan orang-orang pribumi dibangun dalam satu wacana dengan citra yang membela dan menyelamatkan kepentingan kolonial dan kekuasaan kolonial.
Dalam politik praktis, esensialisme kebudayaan ini pun banyak manfaatnya. Di sini diajukan dua strategi pemanfaatannya. Pertama, dengan menganggap bahwa ada nilai-nilai dan norma yang sudah selesai dan sempurna sebagai barang-jadi, segolongan orang yang kebetulan berkuasa merasa dapat menguasai dan bahkan memonopoli nilai dan norma tersebut, seperti memonopoli penjualan minyak atau kertas misalnya. Golongan ini merasa dapat menentukan praktek mana yang sesuai dengan apa yang dinamakan nilai luhur dan mana pula yang bertentangan, tanpa ada kemungkinan diskusi atau diskursus mengenai tindakan tersebut.
Kedua, kalau kemudian terjadi banyak penyimpangan maka hal tersebut selalu dapat dinetralisir dengan merujuk terus-menerus kepada apa yang dianggap penyelewengan yang sedang terjadi di depan mata. Esensialisme, sampai tingkat tertentu, membebaskan orang dari beban menanggung hipokrisi, karena kepercayaan yang diciptakannya sendiri, bahwa tindakan dan tingkah laku budaya adalah satu hal, sedangkan nilai budaya adalah hal lainnya. Begitulah, seseorang mengambil dan memanfaatkan uang negara untuk pentingan dirinya, sambil tetap dengan anggun berbicara tentang nilai-nilai kejujuran dan pengabdian tanpa pamrih untuk nusa dan bangsa.
Yang dilupakan di sana ialah bahwa tindakan dan tingkah laku budaya selalu mempengaruhi kebudayaan, dan bahwa nilai-nilai luhur dalam kebudayaan hanya mungkin ada kalau kita membuatnya luhur. Sebaliknya, nilai-nilai itu akan babak-belur atau hancur-lebur kalau tingkah laku itu bagaikan “jauh panggang dari api”.
Secara singkat: esensialisme kebudayaan adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggung jawab kebudayaan dalam politik dengan cara memisahkan tingkah laku budaya dari nilai-nilai kebudayaan, dan karena itu menafikan akibat tingkah laku budaya terhadap pembentukan kebudayaan. Pandangan konstruksionis tentang kebudayaan dapat menyingkapkan distorsi yang sering muncul dalam kesadaran: orang yang tak sanggup melakukan apa yang dipercayainya, akan cenderung percaya pada apa yang dilakukannya.
Sumber Kompas 7-11 – 2011