Oleh Ignas Kleden
Riwayat demokrasi di Indonesia rupanya tak pernah lepas dari riwayat Negara RI, sementara riwayat negara tak pernah lepas dari riwayat para pemimpinnya. Sedari awal, sudah terlihat perbedaan yang mencolok antara dua jenis pemimpin kita dalam pendekatan yang mereka terapkan untuk mempersiapkan negara yang akan terbentuk. Herbert Feith membuat tipologi pemimpin Indonesia masa itu dengan membedakan mereka ke dalam tipe solidarity maker dan administrator. Dalam tulisan ini tipologi tersebut diperluas menjadi tipe tradisionalis dan tipe konstitusionalis.
Seorang tradisionalis sangat paham bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia menjelang kemerdekaan masih hidup dalam tradisi komunitas mereka masing-masing. Sekalipun mereka memperlihatkan beberapa aspirasi yang non tradisional, seperti mengirim anak ke sekolah agar dapat bekerja sebagai pegawai (dan tidak lagi sebagai petani atau nelayan), pedoman utama dalam perilaku mereka tetaplah nilai-nilai tradisional. Mereka lebih senang mendengar apa kata orang-orang tua dalam membuat keputusan daripada mencoba memutuskan sendiri, lebih terikat pada kelompok dan enggan mencari jalan sendiri yang lebih menjanjikan, tetapi mungkin menyebabkan mereka terpencil secara sosial, atau lebih percaya pada nasib daripada rencana yang dibuat sendiri.
Pemimpin politik yang ingin mendapat dukungan akan berdiri di persimpangan jalan: dia dapat mendidik rakyatnya untuk terbuka kepada pemikiran alternatif dan nilai-nilai baru yang dibutuhkan dalam suatu negara modern, atau dia bersikap akomodatif terhadap sikap dan perilaku tradisional agar lebih mudah dipahami oleh rakyatnya dan cepat mendapat dukungan mereka.
Jalan pertama memakan waktu lebih lama, karena pendidikan selalu memerlukan waktu. Jalan ini ditempuh oleh Hatta, Sjahrir, dan mungkin juga Haji Agus Salim, meskipun metode pendidikan mereka berbeda. Intinya, harus dipersiapkan sejumlah kader terpelajar yang cukup pengetahuan untuk mengambil alih posisi-posisi dalam administrasi pemerintahan, apabila posisi-posisi itu ditinggalkan oleh para birokrat kolonial. Orientasi terpokok ialah bahwa negara yang merdeka, pemerintah yang mengatur negara, birokrasi yang melaksanakan pemerintahan, serta rakyat yang diperintah, semuanya berpegang pada satu pedoman yang sama, yaitu hukum yang diwujudkan dalam konstitusi.
Jalan lain diambil oleh Soekarno yang percaya bahwa pengerahan massa merupakan faktor revolusioner terpenting dalam merebut kemerdekaan. Karena itu, massa harus ditarik hatinya, digelorakan semangatnya, untuk memberi dukungan, dan ini hanya mungkin dilakukan jika pemimpin memahami alam pikiran mereka, berbicara dalam jargon-jargon mereka dan berpikir menurut nalar mereka. Clifford Geertz pernah menulis secara dilebih-lebihkan bahwa Soekarno tidak mempunyai suatu alat pun di tangannya untuk memimpin negara modern dan menjalankan pemerintahan. Dia tidak mempunyai partai politik yang terorganisasi seperti yang dipunyai oleh Nkrumah di Ghana, tidak punya birokrasi modern seperti yang dipunyai oleh Nehru di India, tidak mempunyai angkatan bersenjata yang populis seperti yang dipunyai Nasser di Mesir, juga tidak didukung oleh borjuasi nasional seperti yang dipunyai oleh Quezon di Filipina, dan bahkan tidak mempunyai kebanggaan tribal seperti yang dipunyai oleh Kenyatta di Kenya. Dia hanya mempunyai kemampuan memainkan simbol-simbol tradisional dan memenangkan dukungan rakyatnya melalui daya pukau poetics of power.
Ketegangan antara konstitusionalisme dan tradisionalisme ini dilukiskan dengan cara yang menarik oleh Adnan Buyung Nasution dalam studinya yang luas dan cermat, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (1995). Sebelum pemilu pertama 1955 semua UU yang digunakan bukanlah hasil perdebatan dan kesepakatan para wakil rakyat, tetapi disusun oleh beberapa sarjana hukum atas penugasan negara. UUD 45, misalnya, lebih cenderung menjadi produk negara dan bukan hasil yang muncul dari aspirasi rakyat melalui wakil-wakil mereka di parlemen. Sementara itu, dalam UUD 45 dianut konsep negara integralistik, yang memandang negara tidak dalam perbedaan dan pertentangan kepentingan dengan masyarakat dan individu, tetapi melihatnya sebagai kolektif yang menampung baik masyarakat dan individu dalam harmoni. Sayangnya, harmoni itu lebih merupakan asumsi yang diandaikan dan bukannya kesimpulan suatu analisis historis. Akibatnya, masalah asasi seperti HAM tidak mendapat tempat yang layak dalam UUD 45.
Konstituante, mengikuti studi Adnan Buyung Nasution, membalikkan kecenderungan sebelumnya dengan dua sasaran utama: menghasilkan konstitusi yang lahir dari aspirasi rakyat melalui wakil-wakil mereka dalam parlemen, dan memberi tempat yang lebih pasti bagi HAM dalam konstitusi baru. Perdebatan mengenai HAM yang berakhir pada 10 September 1958, menyetujui 19 hak asasi manusia, setelah pembicaraan tentang HAM didukung oleh hampir semua kelompok politik dalam Konstituante. Keberhasilan ini dipandang demikian penting dalam studi tersebut sehingga kesepakatan tentang HAM dianggap sebagai proklamasi kemerdekaan ke dalam, setelah Soekarno-Hatta melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke dunia luar.
Sukses Konstituante dalam merumuskan dan mengesahkan HAM, sayangnya, tidak disertai dengan keberhasilan yang sama dalam menyepakati dasar negara. Perbedaan opsi dan pertentangan paham berlangsung tegang di antara kelompok-kelompok politik yang masing-masing menghendaki Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi sebagai dasar negara. Beberapa persiapan dilakukan untuk mencapai kompromi tetapi, sebelum sempat dilaksanakan, Konstituante telanjur dibubarkan oleh Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.
Kontras yang diciptakan oleh Konstituante terhadap masa sebelumnya memperlihatkan apa yang dianggap paling penting untuk politik dalam kurun waktu tertentu. Pertama, konsep negara integralistik dalam UUD 45 jelas lebih dekat dengan berbagai tradisi di Nusantara, yang menganggap kekeluargaan lebih penting daripada individu, kebersamaan lebih penting daripada perorangan, sementara kepentingan pribadi hanya mungkin terwujud dalam kepentingan bersama. Uniknya, asumsi tentang kebersamaan itu dapat menghasilkan kesimpulan yang amat berbeda dalam teori politik. Rousseau, misalnya, pada awal bukunya tentang kontrak sosial menulis: Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana mendapatkan dirinya terbelenggu.” Kalimat ini tidak hanya berarti bahwa setiap orang secara alamiah bebas tetapi kemudian masyarakatlah yang mengekangnya dalam berbagai ikatan. Kalimat itu lebih mencerminkan keyakinan Rousseau bahwa kebebasan alamiah lebih mirip suatu abstraksi, sedangkan ketergantungan tiap orang adalah realitas manusiawi yang sebenarnya.
Tugas politik bukanlah menyelamatkan kebebasan alamiah dari tekanan masyarakat, melainkan melegitimasi ketergantungan itu melalui kewarganegaraan dan mengubah kebebasan alamiah yang semu itu menjadi kemerdekaan politik yang sesungguhnya melalui komunitas demokratis. Ketergantungan alamiah kepada masyarakat justru mengharuskan politik untuk mewujudkan kebebasan perorangan. Karena itu, dengan merujuk kepada Rousseau atau tidak, para politisi kita dalam Konstituante ternyata memberi perhatian besar kepada hak-hak perorangan yang terwujud dalam pengesahan 19 hak asasi sebelum lembaga itu dibubarkan.
Kedua, selama berabad-abad para filosof memikirkan mengapa harus ada masyarakat dan negara. Pemikiran tentang negara bergerak antara kutub republikan yang sudah bermula semenjak Aristoteles di Yunani Antik, melalui Machiavelli di Italia semasa Renaisans, diteruskan ke revolusi Prancis pada abad ke-18 hingga ke Thomas Jefferson di AS, sementara di lain pihak ada pemikiran liberal yang digalakkan oleh para filosof Inggris dan kemudian diteruskan dalam varian yang amat beragam.
Tema dasar dalam paham republikan adalah civic virtue (kebajikan warga negara). Aristoteles mengajarkan bahwa keutamaan seseorang hanya mungkin terwujud melalui keterlibatannya dalam politik. Machiavelli menganggap para pedagang tidak bisa diandalkan dalam kebajikan warga negaranya, karena mereka tidak bisa diajak bertempur kalau negara dalam bahaya. Semangat republikan inilah yang menjiwai perjuangan kemerdekaan Indonesia tatkala rakyat dan pemimpinnya merasa harus mempersembahkan segala sesuatu, bahkan nyawanya sendiri.
Sebaliknya, keutamaan dalam paham liberal adalah kebebasan perorangan, yang dianggap menjadi benteng terakhir yang melindungi individu dari paksaan dan intervensi negara dan institusi lainnya. Konstituante tampaknya memberi antitesis yang kuat kepada republikanisme dengan menunjukkan perhatian yang sentral kepada hak-hak individu yang ditetapkan sebagai hak-hak asasi manusia.
Apakah ini masa yang sebaik-baiknya dalam politik liberal di Indonesia? Pertanyaan itu dapat dijawab dalam formula negatif: Konstituante pastilah bukan masa yang seburuk-buruknya dan harus disesalkan karena di sana diperlihatkan kreativitas politik lain, yang muncul dengan tenang dan jernih dari gegap gempita revolusi kemerdekaan.
Karena itu, kalau republikanisme mudah dinyalakan karena berkerabat dekat dengan tradisionalisme kebudayaan kita, maka politik liberal dikerjakan dengan perdebatan yang tekun dan bermutu tinggi serta makan waktu, untuk membuka jalan ke arah konstitusionalisme, sebagai suatu cita-cita yang hendak dijadikan tradisi dalam masyarakat baru.
————————————————
Sumber Tulisan: Majalah Tempo Edisi 13 – 19 Agustus 2007
Gunawan Muhammad mengatakan tulisan-tulisan Ignas Kleden adalah cahaya. Terima kasih Beranda Negeri terus menyalakan cahaya. (Jb Kleden)