Oleh JB Kleden
Lebaran adalah hari raya umat Islam. Namun di era yang semakin menyatunya peradaban umat manusia saat ini, Lebaran tidak lagi menjadi kesibukan eksklusif umat muslim. Sentimentalitas suasananya yang penuh dengan rasa syukur, kegembiraan, dan kedamaian yang membangkitkan semangat persaudaraan, membuat semua orang merasa ditulari.
Maka ketika Menag Yaqut Cholil Qoumas menginstruksikan seluruh aparaturnya menyemarakkan Lebaran melalui twibbon di berbagai platform media sosial sebagai ungkapan kebersamaan dengan tagar #LebaranUntukSemua, kita tahu itu bukanlah sikap yang ekstrim. Dalam beragama orang yang ekstrim biasanya menarik, tetapi seorang yang moderat biasanya mendekati kebenaran.
***
TAKJIL SEPANJANG JALAN barangkali menjadi penanda paling pertama #LebaranUntukSemua. Tentang ini setiap kita punya cerita.
Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kegembiraan menyambut lebaran sudah dirasakan semenjak hari pertama puasa Ramadhan. Trotoar Gereja Katedral Kristus Raja Kupang hingga Bank Mandiri di Jl. Urip Sumoharjo mendadak disulap jadi pasar Ramadhan tempat berbagai makanan khas Ramadhan dijual.
Pasar Ramadhan di depan Gereja Katedral Kristus Raja Kupang ini merupakan fenomena khas yang berlangsung setiap tahun selama bulan suci Ramadhan. Dari pkl. 15.30 hingga 19.00 wita ruas jalan sempit tempat pertemuan semua jalur lalu lintas di Kota Kupang ini menjadi wahana perjumpaan lintas iman penuh sukacita.
Puluhan hingga ratusan orang setiap sore memadati lokasi ini berburu takjil. Takjil disiapkan umat muslim dari Kampung Solor, Airmata dan Bonipoi yang merupakan kampung-kampung muslim di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini, diserbu oleh segenap warga Kota Kupang hingga Kabupaten Kupang.
”Bosong (umat Muslim) yang puasa, katong (Non Muslim) yang kas abis (menghabiskan) ini takjil,” kelakar tukang parkir di halaman Gereja Katedral. “Moe wi (bahasa Lamaholot, engkau ini) ada-ada saja,” balas ibu penjual takjil dari Kampung Solor, sambil menyodorkan segelas es kacang ijo yang disambut dengan penuh sukacita. “Terima kase ema sayang.”
Ngabuburit di sepanjang Pasar Ramadhan ini senantiasa menciptakan momen kebersamaan dan kegembiraan yang menyenangkan. Sebuah perjumpaan lintas iman yang tulus dan berbuah.
Di sini kita bersetuju dengan Abdul Moqsith Ghazali, Katib Syuriyah PBNU Periode 2022-2027 dan Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Kompas, 9/4) fenomena “War Takjil” yang menyemarakkan kehidupan keberislaman selama bulan Suci Ramadhan, menghadirkan kehidupan beragama yang riang gembira. Serentak ia juga mengekspresikan kehidupan yang harmonis antar umat yang telah mengental dalam darah, berdetak dalam jantung.
Seandainya tak ada pra-kondisi berupa hubungan yang harmonis di antara umat sebelumya, kelakar tukang parkir di atas dengan logat Kupangnya yang aneh, bisa kena pasal penodaan. Maka bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan, hari raya keagamaan yang diperkaya dan dimasyarakatkan oleh adat dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat, berkembang menjadi hari raya bersama. Lebaran menjadi rahmat yang berkatnya merambah semua lapisan, yang rasa syukur dan sukacitanya menyentuh semua orang, dan solidaritasnya menyentuh sesama umat lintas batas tanpa mengusik keberagamaan orang lain.
Tradisi yang terus dipelihara dan dihidupkan ini menjadi sukacita yang meluap, menerobos mengatasi sekat-sekat kemajemukan. Ia menjadi memori kolektif insani yang membernas di sepanjang musim yang berganti.
***
CUTI BERSAMA – Jam kerja yang lebih pendek selama bulan puasa dan cuti bersama barangkali dapat disebutkan sebagai penanda kedua #LebaranUntukSemua. “Ayo mari kita nikmati pulang jam tiga,” seorang rekan sejawat saya berteriak penuh kegembiraan di hari pertama puasa. Dan begitu alarm pkl 15.00 berdering Teng… langsung Go…
Tentu saja bukan karena bersua dengan keluarga menjadi begitu penting. Tetapi karena rutinitas yang tak berkesudahan, akhirnya merupakan beban yang tak tertanggungkan. Manusia bukanlah arbeitstier, kuda beban yang harus bekerja tanpa jedah.
Maka cuti bersama menjelang dan setelah Lebaran selalu disambut dengan penuh sukacita oleh semua kalangan. Pertama sebagai penghormatan kepada umat yang merayakan, kedua cuti bersama menjadi sebuah istirahat nasional.
Pada hari-hari itu otot kita mungkin akan bekerja sama kerasnya seperti hari-hari dinas, tetapi ketegangan pikiran dilenturkan. Nilai-nilai yang dalam hari-hari kerja dipandang demikian serius, boleh diremehkan dan ditertawakan. Tujuan dan kepentingan yang dikejar mati-matian di tempat kerja, saat cuti bersama boleh dilupakan dan dianggap tidak penting – meski hanya untuk sementara.
Cuti bersama menjadi kesempatan manusia berganti kulit dari homo faber, manusia tukang yang lelah berkeringat, menjadi homo ludens yang santai bermain-main sekaligus menjadi homo ridens yang tertawa ria dan jenaka. Pada saat itu orang boleh melepas semua atribut dinas, pergi ke ke gunung, ke pulau pasir dan bebas berselancar di buih ombak mewarnai hidupnya.
Dalam perspektif ini, ada semacam kemerdekaan yang diberikan negara dan yang coba direbut seluruh pegawai dengan penuh sukacita untuk dirayakan dalam cuti bersama, yakni: Kemerdakaan dari keharusan bekerja mati-matian serta berbagai tuntutan pragmatisme di tempat kerja. Maka kalau negara memberi kesempatan untuk libur bersama secara nasional berliburlah dengan riang gembira. Libur tidak bisa didisposisikan untuk diwakilkan.
***
MUDIK – Seperti takjil, mudik sebetulnya merupakan sebuah fenomena yang khas umat Islam pada hari-hari Lebaran. Namun karena setiap kita punya udik, maka mudik juga menjadi penanda #LebaranUntukSemua.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam jumpa pers virtual yang dipantau dari Jakarta, Minggu, (17/3/2024) menyatakan terdapat tren kenaikan perjalanan mudik pada musim Lebaran 2024 sebesar 71,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 193 juta orang dibandingkan periode yang sama pada 2023. Ini tentu amat menggembirakan, ia bisa dipandang sebagai suatu indikasi implisit meningkatnya kesejahteraan, jika mau dilihat secara ekonomis.
Udik (kampung halaman) memang memiliki daya magnit yang kuat hingga mampu menyedot setiap orang untuk mudik. Padalah mudik bukan sebuah perjalanan tanpa risiko. Tapi para pemudik tidak menghiraukan semua risiko tersebut, karena mudik bukan sekadar pulang kampung merenda rindu pada halamannya. Mudik sejatinya merupakan ekspresi romantisme ritual-ritual urban people yang sehari-hari harus berjuangan dengan kerasnya kehidupan.
Kehidupan perkotaan yang memaksa orang harus bekerja sebagai robot bernyawa, akan kalis dengan mudik. Maka orang yang bermudik merupakan pribadi yang secara naluriah berupaya untuk merengkuh dan menghidupkan kembali ruh jiwanya yang sudah sekalian lama terlempar dan terkapar dalam kelelahan di sudut-sudut kota. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa fenomena mudik tersublimasi dalam perjalanan manusia mencari air kesejukan yang berpuncak pada Lebaran.
Lebaran menjadi energi positif yang mampu menggerakan semua orang untuk rame-rame ke udik yang kemudian dipersepsikan sebagai primordial nature yang penuh harmoni dengan Tuhan, sesama dan lingkungan yang hilang dalam pengembaraan dan rutinitas setiap kita di rantau.
Mudik menjadi terapi kerohanian dan momentum pemulihan kondisi manusia dari kegersengan dan kekosongan makna kehidupan kepada kesejukan rohani yang mendalam. Maka mudik tidak bisa diwakilkan.
***
MOHON MAAF LAHIR BATHIN. Inilah penanda paling universal “LebaranUntukSemua. Kalau takjil sepanjang jalan menjadi sarana perjumpaan lintas batas, cuti bersama saat berganti kulit menyiapkan diri memasuki suasana penuh kebebasan, mudik menjadi ekspresi dari kerinduan asali manusia akan mitor firdaus yang hilang yang menjadi pengembaraan setiap insan, maka Lebaran adalah saat pembebasan. Kemenangan. Yang profan dipatahkan, yang kodian dihentikan dan umat muslim dengan penuh khusuk memasuki waktu yang kudus dan daerah yang sakral.
Sahabat perjalanan saya dalam tradisi iman Abraham, H. Muhammad MS, Ketua MUI Kota Kupang, dalam sebuah acara buka puasa bersama, mengatakan, semangat keilahian (devine spirit) yang membebaskan pada hari Lebaran sangat terasa karena dipersiapkan dengan ibadah sebulan utuh selama bulan suci Ramadhan.
Selama berpuasa, katanya, umat Islam tidak hanya menahan lapar, dahaga dan berbagai nafsu badan, tetapi berdoa dan merenung memuji nama Allah dan bergulat menemukan kembali jati dirinya. Pertemuan dengan Sang Khalik selama bulan suci Ramadhan menjadi pangkal tolak pertemuan dengan sesama pada hari lebaran.
“Manifestasinya adalah silaturahmi maaf memaafkan, juga memberi sedekah melalui sirkulasi zakat fitra secara proporsional. Jadi kalau bapak ibu pegawai Kementerian Agama rajin berpuasa dan berbuka bersama tapi iklas beramalnya hanya slogan di dinding kantor dan tidak mau bersilaturahmi maaf-memaafkan dengan sesama, itu saya disclaimer, pak Kleden.” ujarnya dengan logat Makasar yang khas, disambut gemuruh ketawa hadirin.
Di sinilah makna pembebasan sepenuhnya. Manusia menemukan kepenuhan fitrahnya. Ia bertemu dengan Tuhan dalam kedamaian dan berjumpa dalam rekonsialisasi penuh persaudaraan dengan sesamanya. Inilah perbuatan yang sungguh membebaskan dan universak: meminta maaf dan memberi maaf.
Pada hari yang fitra ini hidup tak usah bersandiwara karena kita sungguh-sungguh, secara bersama-sama dengan sengaja dan penuh keiklasan dan kerendahan hati menelanjangi diri sendiri. Memohon ampun kepada Yang Maharahman dan Maharahim. Dan ketika hati manusia tersentuh cinta ilahi hanyalah keharuan yang terjadi.
Kita menganggungkan nama Allah, tanpa direcoki oleh kesialan yang terus menerus menimpa si miskin. Kelebihan tidak mengusik suara hati, karena juga diberikan kepada sesama. Makanan yang disajikan benar-benar lezat karena memang disiapkan untuk disajikan dan dinikmati oleh yang lain.
Setiap kali melakukan silaturahmi Idul Fitri sebagai seorang non-muslim, saya merasakan Idul Fitri (seperti Natal dalam tradisi iman saya) hari raya yang paling dapat menyentuhkan cinta ilahi pada perasaan manusiwi. Saat memohon ampun dan memberi maaf, mengajari kita bagaimana seharusnya orang beriman menjadi manusia. Idul Fitri adalah saat dimana orang beriman harus berani menjadi makin manusiawi, lebih dari pada menjadi “sekadar” beragama.
***
AGAMA mempunyai nilai dan relevansi universal. Demikian juga perayaan hari raya keagamaan yang merupakan sesuatu yang eksklusif, tapi nilai-nilai dan pesannya mengandung makna universal: Kepekaan yang begitu iklas untuk tidak mau bergembira sendiri, kerelaan untuk berjumpa dengan sesama dalam semangat pengampunan dan persaudaraan sejati menjadi pedoman dan etika dalam kehidupan bersama.
Maka kita sangat berkepentingan untuk mengatakan alangkah indahnya kebiasaan saling memberi maaf dikembangkan menjadi suatu sifat dan jiwa besar yang bisa mengatasi kekerdilan jiwa dan hati. Termasuk dalam kehidupan berpolitik.
Konstruksi keindonsiaan kita adalah hasil rekonfigurasi politik terus menerus. Dalam konfigurasi itu kadang melahirkan luka dan peradangan yang berkepenjangan yang membuat perikehidupan bangsa terkoyak-koyak. Persatuan politik amat rentan karena kepentingan namun dendamnya terpendam secara sosiologis menjadi laten.
Di saat negeri ini menghajatkan ketenangan untuk memulihkan keadaan dan untuk bangkit dari keterpurukan akibat pemilu. Idul Fitri degan kandungannya silaturahimnya seyogyanya menjadi acuan utama. Karena Idulfitri sebagaimana ditulis Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam pojok Gusmen (Rabu,10/4) adalah momen yang tidak hanya menghadirkan kebahagiaan namun juga membangkitkan semangat persaudaraan.
Dalam perspektif ini umat Islam boleh merasa mujur karena mewarisi peradaban yang benar-benar pernah menjadi peradaban global. Kosmoplolitanisme Islam telah pernah menjadi kenyataan sejarah yang meratakan jalan bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak dibatasi pandangan-pandangan kebangsaan sempit dan parokialistik.
Maka ketika Menag Yaqut Cholil Qoumas memerintahkan seluruh aparaturnya menyemarakkan Lebaran melalui twibbon sebagai ungkapan kebersamaan dengan tagar #LebaranUntukSemua, kita tahu itu bukanlah sikap yang ekstrim. Dalam beragama, orang yang ekstrim biasanya menarik, tetapi seorang yang moderat biasanya mendekati kebenaran. Indonesia is our home, in which we long for a better motherland.
“Di luar segala pikiran tentang apa yang salah dan benar, ada sebuah tempat,” tulis Rumi, “aku akan menemuimu di sana.” Mungkin penyair yang sufi itu tidak bica tentang agama. Tapi agama masih merupakan salah tempat yang senantiasa dijadikan manusia untuk mengeliminasi kepanikan, mengurangi kekhawatiran dan menyandarkan harapan.
Dalam dunia yang semakin mengglobal dimana semakin banyak problem musti diatasi secara mondial, agama dan kepercayaan yang banyak harus saling mempengaruhi demi menyatakan iman yang satu. Kebenaran bersifat pluriform. Setiap unsur dogmatis yang eksklusif perlu “melebur” dalam ziarah iman yang sama. Tagar Lebaran Untuk Semua – juga untuk semua hari raya keagamaan – adalah teguran alternatif yang mengingatkan kita semua mengenai kebersamaan umat sebagai bagian dari masyarakat bangsa. Ancaman yang paling melumpuhkan setiap orang dan setiap agama adalah ketika ia kehilangan perspektif kebersamaan dan menjadi eksklusif.
Sangat luar biasa… Semoga semua pembaca menyadari keterpanggilannya di dunia..selalu diberkati dan sehat selalu BPK J.B.Kleden. Tuhan memberkati. Amin????