Oleh Agus Widjajanto
Tantra adalah jalan menuju Tuhan dengan mengutamakan pemujaan pada sakti, salah satu cara unik yang ditempuh dalam upaya mendekatkan diri pada energi ketuhanan, Tantra menggunakan simbol simbol alat alat reproduksi sebagai sarana atau disebut Yantra. Bahwa Tantra adalah suatu kombinasi unik antara mantra, upacara ritual keagamaan dan pemujaan secara total. Secara umum dapat diterangkan bahwa Yantra dan mantra adalah bentuk bentuk ajaran Tantra yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat/seseorang pengikutnya guna memuja kebesaran Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur semua yang ada di alam raya semesta ini.
Dalam agama Hindu kata Tantra juga dapat diartikan sebagai praktek untuk membebaskan orang dari ketidak tahuan, dengan demikian Tantra memiliki dua implikasi yaitu sebagai jalan yang membebaskan diri dari ketidaktahuan dan sekaligus jalan ekspansi sebagai jalan untuk mencapai pencerahan secara personal. Bahwa hidup ini harus selaras dalam hukum alam (Sunatullah) agar diri kita tidak terjebak karma (hukuman terhadap diri kita atas perbuatan yang telah kita lakukan) dimana ciri dari tradisi Tantra adalah menggunakan mantra, sehingga sering disebut sebagai mantra marga (jalan mantra) dalam agama Hindu atau Mantrayana (kendaraan mantra) dan Guhyahmantra (mantra rahasia) dalam agama Budha. Istilah mantra sendiri dalam tradisi India yang berarti “Teks, teori, sistem , metode, instrument, tehnik atau praktek” yang bersifat sistematis dan dapat diterapkan secara luas. Dengan ritual dan mantra berupa symbol-simbol tadi sebagai upaya menyatukan diri seseorang dengan Tuhan. Maka tidak heran dalam keyakinan Jawa dan Nusantara selalu dilakukan melalui simbol-simbol. Hal ini adalah pengaruh dari Budaya Tantra baik dari Hindu Siwa maupun Budha dari India.
Dunia Alam Raya dalam galaksi ini atau jagad raya bermula dari kehendak Sanghyang Suwung yang misterius. Kehendak itu terekpresi melalui sabda yang mengoyak kehampaan lalu menciptakan ruang ruang yang menyebar ke segala arah dan membentuk pusaran pusaran energi sesuai 8 mata angin . Dititik pusat pusaran energi disebut Siwa Shakti, atau Rohman Rohim dalam Islam, Kasih sayang dalam Kristani, Yin Yang dalam energi Tao, lanang wadon (pria wanita) yang dilambangkan lingga Yoni dalam peninggalan candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari 10 pusaran energi itu oleh leluhur kita di Nusantara dilambangkan dengan Dasaksara yang membentuk 10 aksara mistis yang membentuk. Sacred geometry bernama Mandala. Melalui getaran aksara aksara itulah kehidupan tercipta dimana aksara adalah cikal bakal seluruh ciptaan.
Selaras dengan prinsip holografis Dasaksara itu bersemayam ditubuh manusia selaku jagad alit (dunia kecil) yang menampung seluruh unsur jagad raya (jagad gede), dimana tubuh manusia pun tersusun dari aksara-aksara yang bergetar membentuk Mandala yang berpusat di inti hati tempat sayang hyang suwung (Tuhan) bertahta sebagai sang hyang Atma (Ruh)
Itulah sesungguhnya ajaran inti dari Tantra, ilmu kuno Nusantara yang diyakini berbagai para ahli sebagai ilmu paling tertua di dunia, siapa yang bisa mengakses dan mendaya gunakan aksara aksara ditubuhnya ia akan menjadi manusia sakti mandraguna dan Waskita.
Pada agama Budha ada aliran. Yang disebut aliran. Budha Tantra atau Tantrayana berupa ritual puja atau menuju Bhairawa yaitu memuja kehebatan atau kesaktian. Dengan cara khusus . Ritual Bhairawa sendiri pernah dilakukan oleh Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari khusus untuk menandingi kesaktian Raja Kubhilai Khan atau Khan yang agung dari Mongholia, yang mendalami Aliran Bhirawa tantra dalam agama Budha Mahayana yang berkuasa pada tahun 1260 hingga 1294 Masehi. Merupakan Imperium yang menguasai hampir 2/3 dunia hingga Eropa , Raja Kertanegara yang terkenal sakti dimana raja saat itu bersama para patih dan pejabat tinggi kerajaan sedang berpesta pora dengan makan minum arak sepuasnya, dan bersenggama, dimana dalam sejarah tertulis Raja Kertanegara saat mabuk diserbu oleh Adipati gelang-gelang dari Madiun dengan pasukan jaran goyangnya terbunuh saat itu. Yang tidak lagi bisa melakukan peperangan melawan Kerajaan Mongol, didalam sejarah Raden Wijaya menantu dari Raja Kertanegara yang berhasil mengusir tentara mongol dari Jawa bersama Raden Aryawiraraja Sumenep Madura, sekaligus menghancurkan Adipati gelang-gelang dari Madiun yang telah menyerang Singosari dan membunuh Raja Kertanegara, yang pada akhirnya sekaligus pendiri kerajaan Majapahit.
Paham bhairawa secara khusus berkembang hingga ke China, Tibet, dan Indonesia. Di Nusantara masuknya saktiisme, tantrisme, dan Bhairawa dimulai pada abad ke 7 Masehi melalui kerajaan Sriwijaya di Palembang pada tahun 684 Masehi yang berasal dari pengaruh India selatan dan Tibet.
Dari bukti peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga peninggalan yaitu Bhairawa Heruka terdapat di padang lawas Sumatra Utara, Bhairawa Kalatjakra yang dianut oleh Raja Kertanegara, dan jendral angkatan laut Singosari Adityawarman, serta aliran Bhairawa Bima yang banyak ada di Bali.
Dalam Bhairawa Tantra, upacara ritual dengan melakukan apa yang disebut “Mo 5” disebut “Panca Makara Puja” denganrlakukan upacara Ksetra. Prasasti Joko Dolog di Surabaya pada tahun 1289 menulis bahwa Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha) yang bergelar Jnanaciwa Braja. Dalam agama Budha Tantrayana, istilah tabtrayan berasal dari akar kata ‘Tan’ yang artinya Sakti atau kuat dari kekuatan para dewa (Tuhan) di Bali wujud Bhairawa bisa seperti ilmu leak, yang dikenal dengan ilmu aji wegig yang dikenal sebagai ilmu ngiwo (kiri) dimana merupakan olah spiritual tingkat tinggi yang sebetulnya bisa juga digunakan untuk kebaikan bukan hanya untuk keburukan, akan tetapi konotasi nya sudah terlanjur sebagai ilmu hitam karena digunakan untuk menyerang orang lain. Kisah yang paling legendaris adalah kisah janda Calonarang yang sangat populer di Bali dimana peristiwanya saat kerajaan Daha (Kediri) di Jawa Timur, pada masa pemerintahan prabu Airlangga yang sangat sakti mandraguna, tapi bisa ditahlukan okeh empu Baradah dimana buku buku soal ilmu leak oleh para murid muridnya dibawa ke pulau Bali dalam bentuk lontar pengleakan.
Di Jawa Tengah aliran Bhairawa Tahtra dulu berkembang di lereng gunung Merapi dan daerah pegunungan Dieng, yang pada saat wali songo sebagai penyebar agama tradisi ritual korban yang awalnya berupa daging manusia, diubah dengan cara selamatan baca kataman Alquran dengan merubah menjadi daging ayam utuh dibakar dengan bumbu opor disebut engkung ayam dimana tradisi tersebut tetap dilestarikan pada setiap selamatan, hajatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pendekatan budaya oleh wali songo di Jawa, pada saat penyebaran agama mempertimbangkan demi mempermudah sosialisasi dan perekrutan anggota keagamaan baru, tradisi selamatan daging tetap dipertahankan. Walau melalui dengan cara merubah menjadi daging ayam bakar. Minum arak yang memabukkan diubah menjadi minum kopi hitam, dan minuman segar yang lain. Dalam penyebaran Islam di Jawa juga terpengaruh dan mengadopsi Tantra yang menggunakan simbol simbol, dimana salah satu wali songo menggunakan tembang mocopat, dandang gulo, media wayang yang dirubah dari kisah Mahabarata kepada kisah yang dipadukan sesuai ajaran Islam dalam lakon senjata kalimasada (kalimat syahadat), hal itu merupakan tata cara menggunakan simbol-simbol dalam religi keagamaan khas Jawa untuk mengajarkan penyatuan pendekatan kepada Tuhan lewat pengajaran Manunggaling Kawulo Gusti, dimana dunia spiritual di Nusantara khususnya Jawa bukan tidak mungkin akan mengalami kejayaan dan selalu mengalami evolusi mungkin revolusi untuk menemukan jati dirinya sendiri dalam konsep ketuhanan, jikalau dilihat dari perjalanan sejarah bangsa ini dari abad ke abad.
Pada masa kekinian (saat ini) budaya selamatan dalam hajatan baik mau nikah kan mau pindah rumah bahkan peringatan haul meninggalnya kerabat baik 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari tetap dipertahankan walau oleh kaum syariat dan paham tertentu dianggap Bid’ah dan sesat tidak sesuai ajaran agama dalam akidah agama (hukum hukum agama) dalam Alquran dan sunah.
Orang Nusantara selalu bisa menerima hal baru keyakinan dan agama baru, baik dari Hindustan di India maupun Agama Samawi tapi mereka tetap berpegang teguh pada ajaran luhur nenek moyang yang tradisi ritualnya dipengaruhi oleh pengaruh India, baik orang Jawa, orang Batak, orang Dayak, orang Indonesia Timur, Minahasa maupun Madura, bahwa suatu keyakinan ibarat pusaka keris atau pedang dan tombak, ada warangka (bungkus) dan ada curiganya pusakanya, yang keduanya merupakan satu kesatuan dalam estetika keindahan sekaligus ke kesaktian.
Pada saat masuknya Islam di Jawa maupun di Nusantara, oleh para anggota wali songo melalui perjalanan laku spiritual yang tentu sangat dalam, mulai menggali dan menciptakan ilmu kaweruh baru, dari hasil modifikasi ajaran agama Hindu Siwa, Bhuda Mahayana tadi dalam Tantra dan Bhairawa, yang disebut “Rajah Kala Tjakra” yang paling terkenal dalam sejarah dilakukan oleh sunan Kudus Sayyid jak’ far Sodiq, dengan menggunakan media benda dirajah/ditulis dengan huruf honocoroko maupun huruf Pegon (arab gundul) untuk digunakan sebagai sarana melarutkan /menghilangkan ilmu kesaktian dari seseorang yang dipandang lawan, dimana lafal ilmu cakra dari senjatanya Prabu Krisna dalam kisah Mahabarata dari India tetap pertahankan dalam lafal ilmu Kolo Tjokro, yakni: ya marojo joyomoyo yaa maroni Niro moyo, yaa dayudho yaa dayani, nilo Doyo monosio, yaa badigko demikian juga menyangkut wahyu atau sinar jatuhnya pulung yang dikenal di Jawa sebagai Wahyu keprabon disebut Wahyu Tjokroningrat, yang merupakan Wahyu yang dipercaya orang Jawa sebagai isyarat datangnya Ratu Adil yang bisa membawa bangsa ini mencapai kejayaan dan keadilan, menuju Indonesia merdeka seutuhnya.
Bahwa wawasan, pandangan dan kedalaman ilmu dari para wali songo tidak perlu diragukan, yang kerap memfatwakan yang berhubungan dengan mu’amalah dengan aturan akidah seperti melarang penyembelihan sapi di wilayah Kudus oleh sunan Kudus sebagai penghormatan terhadap saudara saudara pemeluk agama Hindu saat itu, bahkan pure Hindu yang sudah tidak terpakai dijadikan menara masjid yang hingga kini terkenal dengan masjid menara Kudus, bahwa begitu membuminya adab dan ilmu mereka serta rela berasimilasi dengan orang orang pribumi, sebagai perwujudan hablu minanas, ukuwah islamiah, dan ukuwah wathoniah untuk mewujudkan ukuwah bhasariah (Memayu Hayuning Bawono).
——————————