Oleh Agus Widjajanto
Restorative Justice, saat ini menjadi alternatif baru dalam sistem pemidanaan, yakni sebagai upaya penyelesaian suatu tindak pidana melalui pendekatan atau kesepakatan para pihak.
Keadilan restoratif saat ini banyak ditempuh para penegak hukum dan didengungkan pegiat hak asasi manusia, disanjung atau ditinggikan sebagai sebuah Wahyu ilahi ala barat.
Restorative Justice diterima sebagai “isme” dari sistem peradilan Barat baik aliran Anglo Saxon maupun Eropa Continental, dianggap sarat dengan pemikiran humanis.
Ternyata, Restorative Justice adalah pendekatan hukum pidana yang memuat nilai tradisional dan sudah dimiliki dan dijalankan oleh suku – suku di Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, sebagai acuan dalam penyelesaian masalah pidana melalui hukum adat.
Harus diakui, kearifan lokal selama ini sudah semakin dilupakan oleh para pelaku kebijakan, organ negara, baik para petinggi, penegak hukum, politisi, budayawan dan para pegiat sosial di negeri ini.
Kearifan lokal yang merupakan budaya asli bangsa ini, melalui musyawarah mufakat, telah dipraktikkan dalam penyelesaian perkara – perkara yang berkaitan dengan tindak pidana di desa adat dan suku-suku di Nusantara. Penyelesaian melalui musyawarah dan mediasi dengan melibatkan korban, pelaku, sesepuh adat, sesepuh agama, masyarakat adat. Diselesaikan secara kekeluargaan, yang aturannya setiap suku berbeda – beda sesuai kebiasaan setempat.
Pertengahan tahun 1970, Prof. Satjipto Rahardjo, seorang Guru Besar Sosiologi Hukum, telah menggagas sebuah aliran hukum agar bisa diterapkan dalam peradilan di Indonesia, sebagai terobosan dalam memberikan keadilan bagi masyarakat, yang dikatakan sebagai ide yang lahir dari bumi Nusantara sejak dulu kala.
Prof. Satjipto sebagai penggagas Hukum Progresif di Indonesia mengajukan pertanyaan kritis, apakah hukum untuk manusia atau manusia untuk hukum?
Menurutnya, hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Beliau ingin mengetengahkan realita bahwa hukum selalu dinamis dan tidak pernah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang ajeg (statis), yang mengalami perubahan sesuai perkembangan jaman dan masyarakat itu sendiri. Dimana idealnya hukum adalah untuk menolong manusia dalam mencari dan mengatur keadilan.
Prof. Satjipto Rahardjo ingin memberikan pembelajaran kepada semua elemen di negara ini untuk melakukan pencarian, pencerahan dan pembebasan. Sehingga gaung pengajarannya bukan hanya sebatas tembok-tembok ruang kuliah program magister dan doktor, tetapi merasuk ke dalam sendi-sendi penelitian yang dilakukan oleh murid-muridnya.
Hal itu dapat dibuktikan dengan mempelajari hasil penelitian mahasiswa bimbingannya yang berasal dari seluruh Indonesia berupa tesis dan disertasi. Bahkan tak jarang, ide yang disemaikan beliau untuk dirawat oleh muridnya, ternyata tidak hanya sebatas penelitian tentang hukum normatif, tetapi juga melakukan penjelajahan antara lain hingga ranah psikologi, antropologi, fisika, biologi dan kedokteran.
Progresivisme yang diajukan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, sempat dikritik oleh kalangan tertentu sebagai istilah lain untuk Critical Legal Studies. Namun sejatinya, gagasan tersebut tidak dapat disamakan dengan aliran tersebut, sebab Hukum Progresif tidak mengajak masyarakat untuk menuntut kebebasan tanpa batas atau mengungkung rakyat dalam dogma aturan formil dalam pemahaman legisme secara sempit lewat hukum positif kita yang masih banyak merupakan modifikasi peninggalan Belanda.
Beliau selalu melandasi pemikirannya pada nilai -nilai Pancasila, bukan semata-mata pada persoalan adanya ketidakadilan dan ketidakbenaran yang dirasakan oleh pihak pencari keadilan lewat ruang sidang yang sarat dengan pergulatan kemanusiaan, tetapi tetap harus diterangi oleh wahyu Ilahi sebagai pondasi dalam memberikan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak serta merta diterima sebagai “taken for granted” tanpa mengkritisinya dengan menggunakan filter Pancasila.
Hakim di Indonesia yang dipandang sebagai negawaran, manusia yang terhormat, primus inter pares, yang dipercaya sebagai constitution guardian, juga adalah manusia biasa, yang tidak luput dari salah karena manusia adalah tempatnya salah, tetapi hati nuraninya sangat menentukan arah perjalanan hukum di Indonesia pada masa mendatang.
Itu sebabnya Prof. Tjip, begitu beliau disapa, sangat concern dengan tekad untuk mengajak kelas menengah Indonesia dan partisipasi seluruh masyarakat untuk membangun hukum yang berhati nurani berdasarkan nilai-nilai luhur nenek moyang seluruh suku Nusantara yang oleh Bung Karno diajukan sebagai Pancasila.
Tapi sayangnya, organ negara kita, baik penegak hukum, politisi, wakil rakyat, pemerintah, tidak jarang menganggap hukum progresif hanyalah sebatas sebuah teori yang tidak bisa diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Hanya dilihat sebagai salah satu teori dalam mencari gelar magister atau doctor, tidak lebih, dan tidak kurang.
Pemikiran demikian mengemuka sebab mental kita sudah terjajah ratusan tahun, akibat kungkungan dogma, aturan formil, asas-asas dan teori barat, bahwa aturan yang boleh dipergunakan dalam proses peradilan harus berdasarkan peraturan perundang – undangan yang sudah ada dan tidak boleh keluar dari rel.
Para pemikir Eropa dan Amerika, baru menemukan konsep Restorative Justice pada medio tahun 1970.
Konsep awal, pertama kali digagas oleh Howard J. Zehr, seorang kriminolog Amerika Serikat yang menjadikannya sebagai “The Pioneer of the Modern Concep of Restorative Justice” dan kemudian ditulis lengkap pada tahun 1977 oleh Albert Englash.
Restorative Justice merupakan suatu model pendekatan baru dalam dunia peradilan dalam upaya menyelesaikan perkara pidana yang memusatkan pada partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat.
Menjadi pilihan para pihak dengan mengedepankan mediasi kekeluargaan, dimana para pihak bertemu untuk menyelesaikan secara damai melalui cara kekeluargaan atau adanya penyelesaian secara “win-win solution” terhadap suatu pelanggaran hukum pidana.
Indonesia sendiri baru menerapkan konsep Restorative Justice melalui Peraturan Kejaksaan Agung RI No. 15 Tahun 2020 dan Peraturan Kepolisian Negara RI nomor 8 tahun 2021 tentang Restoratif Justice. Sebelumnya melalui UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hal itu diberlakukan bagi anak pelaku tindak pidana. Padahal dalam UUD 1945 yang telah diamandemen (UUD Negara RI Tahun 1945), pada Pasal 18 ayat (2) disebutkan: “Negara mengakui dan menghormati Kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip kekeluargaan”.
Sayangnya, penggalian terhadap pasal ini kurang mendapatkan perhatian serius, bahkan dalam perilaku para negarawan yang sarat dengan pemikiran hukum positif dan patron negara modern.
Di dalam hukum adat dari suku – suku yang tersebar seluruh Indonesia, yang merupakan hukum tidak tertulis yang memiliki peran penting dalam pembentukan hukum di Indonesia, hak-hak yang diberikan kepada warga masyarakat adat menjadi bukti bahwa Indonesia mengakui adanya pluralisme hokum. Dimana hukum bersifat dinamis, dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan jaman, tanpa mengubah sistem dan lembaganya.
Pancasila sendiri yang menjadi Dasar Negara dan falsafah bangsa (philosofische grondslag) serta norma dasar, digali oleh para pendiri bangsa dari hukum adat dan menjadi salah satu sumber hukum nasional.
Perdamaian yang diupayakan dalam suatu kejahatan atau pelanggaran hukum (kini dikenal sebagai tindak pidana), sampai hingga saat ini masih dipergunakan dalam hukum adat oleh suku-suku di Nusa Tenggara Timur, misalnya di wilayah masyarakat hukum adat Lamaholot yang terletak di Kabupaten Flores Timur dan Lembata.
Sebagai contoh kalau terjadi perkosaan atau percabulan, sejak jaman dulu kala hingga saat ini, maka dilakukan sidang adat dalam hukum adat, dimana langkah perdamaian yang diambil adalah memberlakukan denda yang ditanggung si pelaku dengan membayar belis (mahar) berupa gading gajah dan sarung tenun sebagai bentuk permohonan maaf dan sebagai tanda pengembalian martabat keluarga korban.
Ada kalanya si pelaku diminta bertanggungjawab untuk menikahi gadis tersebut dengan mas kawin belis berupa gading gajah dan sarung tenun yang sangat mahal.
Selain itu, pada jaman dulu apabila terjadi kejahatan pembunuhan yang tidak termasuk delik aduan tapi delik umum dalam sistem peradilan pidana kita pada masa kini, diselesaikan secara adat Lamaholot, Flores Timur.
Keluarga korban meminta santunan sebagai bentuk hukuman dan pertanggungjawaban melalui pemberian hewan berupa babi atau kambing dalam jumlah yang telah ditentukan secara adat, atau memberikan makan seluruh orang kampung pada masyarakat adat tersebut sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan. Disamping itu, adanya ritual adat untuk membersihkan ruh, agar korban bisa tenang di alam sana. Untuk saat ini, khusus tindak pidana pembunuhan sudah tidak lagi diselesaikan secara hukum adat (sumber: Hendrikus Hali Atagoran).
Di daerah Bali, upacara bersih desa bukanlah suatu hal aneh dalam rangka melakukan upaya memulihkan keseimbangan makrokosmos yang telah dirusak oleh si pelaku kejahatan yang dilakukannya dalam ranah mikrokosmos.
Di Tanah Papua, kebiasaan untuk mencari penyelesaian secara adat seringkali dipandang sebagai pemulihan terhadap harkat dan martabat korban dan/atau keluarganya, sehingga tidak cukup jika memberikan keadilan melalui sistem hukum negara lewat lembaga peradilan resmi. Bahkan tak jarang penyelesaian secara adat justru akan dirasakan jauh lebih berat ketimbang menerima hukuman berupa pidana penjara. Sebab bukan hanya berdampak terhadap si pelaku, tetapi juga bagi keluarga besarnya.
Hal inilah yang dikenal sebagai model pertanggungjawaban fungsional, tidak lagi sebatas pertanggungjawaban individual yang sangat dijunjung tinggi dalam asas legalitas ala barat.
Contoh di atas hanya sebagian kecil dari hal-hal yang dianut dan berlaku dalam hampir semua suku yang ada di Nusantara. Melakukan hal sama dalam penyelesaian suatu tindak pidana melalui sanksi adat dan penyelesaian tersebut dipandang sudah tuntas dan paripurna, menjadi sumber hukum tidak tertulis, dalam kebiasaan adat yang dianut dan dipatuhi, termasuk di Pulau Jawa pada jaman dulu.
Hanya saja, saat ini mulai pudar seiring dengan peradaban jaman yang makin modern dengan pendekatan hukum negara. Prof. Tjip mengistilahkan, hubungan antara hukum adat tersebut dengan hukum negara sebagai kambing berhadapan dengan harimau, untuk menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kedua sistem hukum tersebut. Pada gilirannya juga berdampak pada penerimaan yang diskriminatif dan perlakuan yang tidak setimbang, yang akan menghasilkan ketidakadilan, meskipun dikemas dalam slogan, tidak mungkin memberikan kepuasan kepada semua pihak lewat pencarian keadilan yang sifatnya relatif, sebab hanya Sang Pencipta sumber keadilan absolut.
Sementara itu, konsep Restorative Justice yang diformulasikan oleh orang luar, sebenarnya diadopsi dari khasanah budaya sebagai ‘local wisdom’nya masyarakat (hukum) saat mereka melakukan penelitian terhadap Adat Minangkabau.
Local wisdom semacam itu juga dijumpai dan sudah lama dipraktekkan pada masyarakat atau suku – suku di Papua.
konvensi ketatanegaraan Indonesia mengenal pula konsep yg sama dengan Restorative Justice yg disebut dengan “Rembug Desa” dan Kepala Desa sebagai “Hakim Perdamaian Desa”. Jadi pada Rembug Desa, dibicarakan, diperbincangkan, dan diselesaikan apapun masalah yg dihadapi oleh anggota masyarakat desa, dengan Kepala Desa bertindak selaku Hakim yang mendamaikan apapun masalah yg dihadapi oleh masyarakat di desanya. Tujuan akhirnya, memulihkan kembali keadaan sebelum terjadi ataupun timbulnya masalah sehingga terwujud adanya perdamaian yg bernuansa keadilan bagi semua pihak (justice for all).
Namun seiring dengan perkembangan pasca Indonesia merdeka, yg sejalan pula dengan sistem hukum Eropa Kontinental yg dianut Indonesia (warisan kolonial Belanda), maka negara lebih mengkedepankan Hukum Tertulis (peraturan perundang-undangan) daripada Hukum Tidak Tertulis.
Hal itu juga terpengaruh oleh kuatnya pemikiran dari mazhab Positivism, termasuk dalam penegakkan hukumnya dengan lebih menggunakan pendekatan Retributif (menghukum dengan tujuan menimbulkan efek jera) daripada pendekatan Restorative (pemulihan secara menyeluruh dan berkeadilan).
Model pendekatan retributif tersebut terbukti gagal dalam penegakan hukum, baik terhadap hpelaku tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus (terutama korupsi).
Di beberapa negara maju spt AS, Inggris, Kanada, dllnya, sudah lama pendekatan retributif itu ditinggalkan karena dinilai out of date dan gagal dan kini diganti dan diterapkan model pendekatan baru yang dikenal dgn konsep Defered Prosecution Agreement (DPA). Kesepakatan atau Perjanjian Penundaan Penuntutan, dengan tujuan utama Recovery dan Pidana menjadi pilihan yang paling akhir bila DPA tidak dilaksanakan oleh pelaku.
Hal ini sesungguhnya bisa dijadikan rujukan, pedoman oleh para penegak hukum untuk menyelesaikan perkara yang dikategorikan suatu tindak pidana yang sudah diatur melalui Restorative Justice yaitu: (1) tindak pidana anak, (2) tindak pidana perempuan yang berhadapan dengan hukum, (3) tindak pidana penyalahgunaan narkotika (4) tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan (5) tindak pidana lalu lintas.
Dengan melakukan terobosan hukum memakai hukum progresif berpedoman pada hukum adat setempat, yang merupakan aturan tidak tertulis tetapi dijamin oleh Kontitusi dapat menjadi acuan para hakim sejak dulu, tanpa harus menunggu terjadinya perkembangan hukum secara internasional di negara Barat yaitu Eropa dan Amerika, sebagai rujukan dalam membuat politik hukum.
Di negara kita sendiri sejatinya tersimpan segudang aturan dan kebiasaan adat yang bisa dijadikan acuan hukum dalam putusan di pengadilan maupun dalam tingkat penyidikan di polisi dan atau pada tingkat penuntutan pada kejaksaan.
Demikian juga untuk kasus Kasus Korupsi, bisa dilakukan Penyelesaian secara hukum adat yang dalam istilah modern disebut Restorative Justice, dengan mengembalikan Kerugian negara beserta denda yang dibuat lebih besar , yang tujuan nya agar ada pengembalian uang negara pada negara, tanpa harus dilakukan proses hukum di KPK dan ini sudah dipraktekan pada negara negara maju. Kecuali apabila para koruptor tidak mau kooperatif dan menyembunyikan hasil korupsinya melalui Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), baru dilakukan proses hokum, dan kalau perlu dipidana dengan hukuman maksimal bahkan hukuman mati serta dimiskinkan.
Hal ini juga untuk menekan cost, biaya dari negara yang telah dikeluarkan oleh negara pada Badan peradilan anti korupsi.
Masalah ini harus ada kemauan dari pemangku kepentingan, DPR, Pemerintah, masyarakat dan elemen – elemen dalam peradilan itu sendiri.
Pastinya, akan timbul perlawanan karena sudah terlanjur begitu mensistem masalah ini dan dianggap nyaman.
Setidak-tidaknya esensi tujuan pemidanaan yang dibicarakan secara global, tidak lagi sebatas pembalasan dendam yang dikenal sebagai, ius talionis pada masa lampau, melainkan lebih kepada pembinaan pelaku atau narapidana. Sehingga dapat mengurangi overload penghuni lembaga pemasyarakatan sebagaimana yang menjadi keprihatinan hingga saat ini. Selain itu, biaya peradilan juga bisa ditekan agar tidak membebani negara.
Hanya satu yang bisa penulis katakan: mari kita kembali membumi pada hukum dan aturan kita sendiri, karena hukum dan peraturan sebuah negara ditentukan sesuai karakter sebuah bangsa tersebut, menyangkut das Sein dan das Sollen dari negara tersebut, yang tidak bisa begitu saja menerapkan aturan dan karakter bangsa satu kepada bangsa lain ***
———————–