Oleh Todung Mulya Lubis
KITA semua adalah saksi-saksi sejarah negeri ini yang masih sering berkiblat kepada kekuasaan. Banyak orang terutama pengusaha, elite politik, aktivis mahasiswa atau pemuka agama yang mengejar kekuasaan, bukan menciptakan nilai-nilai yang akan membebaskan masyarakat dari hegemoni kekuasaan. Ada pandangan yang sangat kuat bahwa kekuasaan adalah segala-galanya, adalah sumber dari hak yang diberikan kepada manusia. Sedangkan manusia itu adalah objek kekuasaan yang nasibnya bergantung kepada kekuasaan. Inilah paradigma terbalik yang salah kaprah. Seharusnya kekuasaan itu bertanggung jawab kepada manusia, kepada rakyat, karena itulah pejabat negara atau kerajaan itu sering disebut sebagai abdi rakyat atau “civil servant”.
Pada gilirannya paradigma berpikir di atas telah memperkuat pikiran-pikiran status quo yang antiperubahan. Reformasi dan demokrasi tidak dikenal dalam paradigma ini, bahkan bisa-bisa reformasi dan demokrasi itu dianggap sebagai musuh. Inilah yang mencuat dari mulut Pangemanann dalam roman sejarah Rumah Kaca-nya Pramudya Ananta Toer. Kurang lebih ucapan Pangemanan dapat ditilik sebagai berikut:
Bukankah sudah jelas? ……Pitung-pitung modern yang mengusik-usik kenyamanan Gubermen – semua telah dan akan kutempatkan di meja kerjaku. Segalanya menjadi jelas terlihat. Hindia tidak boleh beruba-harus dilestarikan.
Pangemanann adalah tokoh pribumi didikan Barat yang ditempatkan pemerintah kolonial untuk mengisi struktur birokrasi, beamtenstaat. Salah satu tugas terpenting Tuan Pangemanann adalah mengawasi Minke, tokoh protagonist yang menjadi pusat penceritaan Pram. Minke, seperti yang diketahui Bersama, adalah personifikasi dari Raden Mas Tirto Adhisoerjo, yang menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu. Karena perlawanan yang keras dari Raden Mas Tirto Adhisoerjo inilah, maka pemerintah kolonial Belanda merasa perlu menempatkan Pangemanann untuk menjinakkan sepang terjang Tirto. Maka tugas Pangemanann, seperti diucapkannya sendiri, adalah:
“….mendiskreditkan pimpinan Syarikat yang terlibat sebagai perusuh dan kepala huru-hara. ……..mengikuti betapa benggol-benggol Syarikat masuk perangkap seperti tikus. Dan , …..menyingkirkan Inisiator atau Sang Pemula dari suatu Kebangkitan Nasional.”
Rumah Kaca adalah potret kehidupan pada 1912, Ketika fajar nasionalisme mulai merekah dan kolonialisme tengah mencengkeram leher kaum pribumi. Tapi kontekstualisasi cerita Rumah Kaca, tampaknya, setelah 88 tahun berlalu dan Indonesia dikelola oleh kekuatan sipil, Tuan-tuan Pangemanann baru tercipta di mana-mana. Diberbagai ruang birokrasi, dari struktur terkecil, Balai Desa hingga Istana Negara, Tuan Pangemanann Baru selalu membisikkan romantisme kekuasaan yang naif; tanpa arah dan cenderung membangun paradigma kekuasaan dengan menakbirkan aura primordialisme.
Potret lain dari romantisme kekuasaan yang naif; tanpa arah dan cenderung membangun paradigma kekuasaan dengan menakbirkan aura primordialisme yang disokong keserakahan duniawi (hedonis) tercermin juga pada cerpen Satyagraha Hoerip (Oyik), “Pamanku dan Burung-burungnya”. Oyik memaparkan:
“Otakku memaki-maki, bahwa di tengah resesi ekonomi dunia ini, ternyata ada orang-orang di negeriku yang enak saja membuang-buang uang hanya untuk membeli seekor burung. Padahal berjuta-juta orang lain di sekitar mereka mati-matian mencarinya sepanjang hidup mereka, dengan banting tulang sekalipun, dan tak kunjung mendapatkan uang sebanyak itu.”
Cerpen Oyik, dalam penafsiran lain, bisa saja ditempatkan pada konteks kekinian, Ketika jutaan rakyat setiap hari mengais keringat dengan “darah dan daging” untuk mendapatkan “sekeping” rupiah, para pemegang puncak kekuasaan, tanpa beban psikologis melakukan rekreasi dengan argumentasi diplomasi dan investasi masa depan. Mungkinkah “mereka” tergugah dengan inguan Pram, gerutuan Oyik, teriakan Rendra dan protes spiritualitasnya Tardji dan Danarto? Saya pribadi merasa optimis, bukankah karya sastra yang mengungkapkan keadaan, kata Nadine Gordimer, akan berubah menjadi tindakan di negeri yang menindas, yang banyak tekanan, banyak kerancuan istilah, desas-desus dan ribuan persoalan yang disembunyikan.
Di tengah carut-marut jagad politik, di tengah arus gelombang kekuasaan yang masih dibalut luka lama dan aura primordialisme yang semakin mengkristal, saat ini kita tengah menghadapi peralihan abad dari abad ke-20 ke-21. Peralihan abad ini mengandung makna yang sangat kompleks bagi masyarakat dunia karena dihadapkan pada berbagai persoalan yang pelik dan rumit seperti krisis ekonomi keuangan global terutama yang menimpa negara-negara Asia, runtuhnya ideologi komunis, dan menguatnya sistem ekonomi pasar, munculnya gejala disintegrasi wilayah dan politik, dominasi hegemoni Amerika yang dahsyat serta bangkitnya China yang bakal mengubah peta ekonomi global. Secara ideologis kita melihat sistem ekonomi kapitalisme yang sering diterjemahkan sebagai sistem ekonomi pasar bebas juga mulai mengatur pola hubungan ekonomi nasional maupun internasional. Tentu kita tetap menyaksikan potret “ekonomi kota” dan “ekonomi desa” yang senjang, di mana rakyat di pedesaan masih tetap menjadi “pheriphery” yang terimbas sangat minimal dari berkah ekonomi kota yang berinteraksi dengan ekonomi kota lainnya dalam konteks antar negara dan kawasan.
Peralihan abad ini ditandai pula dengan revolusi teknologi dan komunikasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, di mana dunia semakin sempit, di mana masyarakat tak lagi dihadapkan kepada batas negara (borderles), di mana jarak tak semakin bermakna. New York, Capetown, dan Jakarta, atau Pemekasan di Madura, menjadi titik-titik yang tak terlalu berharga di saluran telepon selular dan internet. Perdagangan dalam dalam bentuk e-commerce sudah mulai merambah rumah-rumah terutama di kota-kota besar. Transaksi ekonomi mulai berubah dari dari transaksi personal menjadi transaksi elektronikal. Perubahan yang tengah kita hadapi sudah dan bakal merubah perilaku dan kebiasaan masyarakt dan manusia di mana buku dan koran akan semakin dipinggirkan, di mana kantor akan semakin ditinggalkan. Kehiduapn elektronik yang ‘computerized’ dengan segala macam tombol akan mengobrak-abrik tertib dan adat kantor, sekolah, linkungan maupun keluarga. Kita tidk usah terperanjat dengan e-family. Betapa kita akan semakin didera sepi.
Perubahan abad ini dalam konteks sejarah Indonesia menjadi sangat bermakna karena kita juga tengah dihadapkan kepada banyak sekali perubahan yang terjadi pada masyarakat dan bangsa ini. Setelah 32 tahun lebih di bawah pemerintahan Orde Baru yang represif, kita sekarang tengah berada dalam arus perubahan politik dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis meskipun kita jatuh bangun dalam membangun sendi-sendi demokrasi. Perubahan politik yang membawa banyak dampak sosial ini pada satu sisi menjanjikan harapan akan masa depan yang lebih bebas dan terbuka, akan tetapi pada sisi lain menuntut ongkos sosial ekonomi yang sangat mahal. Krisis ekonomi yang memukul Asia termasuk Indonesia bukan saja telah menghancurkan nilai tukar rupiah dan roda perekonomian nasional tetapi terlebih lagi telah menghancurkan daya tahan sosial dan budaya sehingga kita menyaksikan banyak sekali gejolak sosial yang merusak pranata-pranata sosial dan ekonomi hingga pada keutuhan bangsa dan negeri. Meski politik mempunyai andil, kerusuhan di Maluku, Papua, Poso, dan Aceh adalah juga akibat daya tahan ekonomi yang semakin menipis. Kesenjangan ekonomi terutama di daerah luar Jawa adalah konsekuensi kebijksanaan sentralistis yang memiskinkan masyarakat luar Jawa. Kalau kebijaksanaan ekonomi selama ini tak membuat masyarakat luar Jawa miskin, mungkin keberatan atas sistem politik otoriter tak akan memicu menguatnya arus pemisahan diri, yang dimulai dengan perlawanan-perlawanan lokal atau kerusuhan-kerusuhan lokal.
Karakteristik pemerintah Orde Baru lainnya adalah rendahnya rasa hormat terhadap supermasi hukum atau Rule of Law. Hukum berfungsi semata-mata sebagai instrument kekuasaan meskipun banyak ahli hukum berteori tentang “law as a tool of social engineering”. Rekayasa sosial di sini sering diartikan sebagai pengarahan dan pertuntunan dari atas yang sama artinya “top down approach”. Pembangunan hukum, degan demikian menjadi bagian dari rekayasa untuk menguntungkan lapis masyarakat atas sehingga hukum pada praktiknya lebih mneguntungkan masyarakat atas khususnya penguasa dan pengusaha. Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin lama semakin rendah untuk tidak dikatakan tak ada sama sekali. Karenanya, pengadilan yang seharusnya menjadi rumah keadilan telah berubah menjadi pasar di mana keadilan diperjualbelikan. Hukum dagang yang berlaku di kalangan pedagang semakin lama semakin menjadi arena dagang hukum.
Basis budaya hukum di negeri ini memang lemah. Sejarah kita lebih mengenal keberadaan raja dan ratu yang adil, bukan hukum yang adil. Pusat perubahan dan perbaikan adalah kedermawanan sang raja dan ratu. Sedikit sekali kita menemukan literature lama yang bercerita tentang hukum yang adil. Dan amat menarik bahwa pemerintahan kolonial selama ratusan tahun tidak berminat membangun hukum yang adil, sebaliknya yang dibangun adalah rasa takut terhadap mereka yang bernama aparat hukum. Demikianlah, misalnya, kita menyaksikan pemerintah kolonial melembagakan diskriminasi sosial yang memisahkan orang Belanda, Timur Asing, dan Pribumi. Celaknya, pemerintahan Orde Baru juga melakukan hal yang sama, dalam artian bahwa hukum itu berbeda bergantung keadaan politik dan ekonominya. Pokoknya, orang-orang yang tidak punya kuasa dan sumber daya tak terperhatikan dan terlindugi oleh hukm. Hukum, pada akhirnya, memang tidak netral. Hukum itu berpihak pada kekuasaan.
Dari sinilah kemudian, kritik terhadap kehidupan masyarakat – Ketika amuk massa merebak, pembunuhan massal merajalela, dan hukum rimba tumbuh subur dijalanan serta kekerasan sebagai jalan pertama merampungkan persoalan – juga merupakan bagian kritik terhadap kesadaran. Seperti halnya himbauan Octavio Paz Ketika memberi ceramah di College de France, 14 Juni 1988, bahwa kritik terhadap kesadaran masyarakat, juga merupakan kritik terhadap kesadaran: keluarga dan dominasi pria, moral seksual, sekolah (sebagai lembaga pendidikan), gereja, agama dan nilai-nilai manusiawi. Tanpa meremehkan keberhasilan teknologi, sesungguhnya masyarakat sudah mulai menyangsikan konsep tentang kemajuan, gagasan yang dulu pernah dianut Barat dan mitos intelektual-nya. Gambaran tentang kondisi pikiran selama paruh pertama abad itu menunjukkan kebimbangan dalam menentukan pilihan, antara kepastian dan kekerasan, antara intelektualitas ekstrem dan pemujaan terhadap kekerasan.
Untuk itu mengembalikan integritas bangsa, dengan menumbuhkan integritas pribadi melalui “kerja keras” sambil menata ulang berbagai persoalan yang masih tersisa sebagai pekerjaan rumah kita, adalah syarat mutlak yang harus kita bayar setelah eforia reformasi menggelinding di tengah kita. Toh kita tidak ingin seperti mitos Sisypus; melakukan pekerjaan berulang kali tanpa ada koreksi total terhadap keringat yang terus-menerus mengucur dari tubuh kita. Meskipun menurut Albert Camus, Sisyphus adalah makhluk teramat bijaksana di antara makhluk bumi fana ini, karena tidak ada siksaan yang lebih parah lagi daripada mengerjakan pekerjaan yang sia-sia. Tapi pekerjaan berulang kali tanpa koreksi adalah satu kesalahan sejarah hidup yang tidak harus diulang. Tentu itu hanyalah semacam rekreasi kehidupan tanpa kita mau menyentuh aksi kehidupan yang lebih bermakna, untuk memyongsong kehidupan masa depan.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, demokrasi yang sedang kita tegakkan bersama setelah rezim otoriter Orde Baru runtuh adalah demokrasi yang mengembangkan sikap kritis dan membuka semua peluang pemikiran untuk berbeda, sebagai usaha mencari suatu sistem politik yang dapat bertahan hidup atau yang mampu menyesuaikan dan mewujudkan Kembali perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang ada diharapkan masih efektif untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam membangun negara. Dalam konteks inilah membangun demokrasi sebagai hamparan tujuan gelombang reformasi akan menemukan bentuknya, karena dalam urat nadi demokrasi melibatkan kesediaan yang tulus untuk melakukan kompromi dan pencarian pertemuan kebaikan, yang bermuara pada upaya memperbaiki mekanisme kontrol terhapad kekuasaan.
Upaya yang tulus untuk melakukan kompromi dan pencarian pertemuan kebaikan, sebagai usaha untuk memperbaiki mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, semakin menemukan fasilitasnya ketika ruang-ruang publik semakin terbuka untung menampung berbagai ragam pemikiran, dan berbagai saluran aspirasi politik kepartaian akan lebih baik jika berkaitan langsung dengan nilai-nilai masyarakat madani, yang mengedepankan asas keadilan, persamaan manusia, keterbukaan atau transparansi, keadaban, dan partisipasi universal.
Lebih jauh Nurcholis Madjid menjelaskan, masyarakat madani atau dalam kamus umum perbincangan politik sering kali disebut sebagai masyarkat sipil; civil society, adalah suatu istilah yang juga mengalami pergeseran pemaknaan. Istilah civil society pada awalnya lahir di Inggris Ketika awal perkembangan kapitalisme modern, yang konon merupakan implikasi pertama penerapan ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealh of Nations. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yang dalam prosesnya terbentur kepada pembatasan-pembatasan oleh pemerintah karena adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan kemudian menuntut adanya “ruang” di mana mereka dapat bergerak dengan bebas dan leluasa mengembangkan usaha mereka. Ruang kebebasan itu merupakan tempat terwujudnya civil society, yang merupakan ruang penengah antara kekuasaan (pemerintah) dan rakyat umum. Jadi civil society selalu melakukan identifikasi kebebasan serta selalu lepas dari pembatasan-pembatasan kekuasaan.
Untuk itu, upaya melepaskan unsur komunalisme dalam aspirasi politik kepartaian, harus berpijak pada kerangka makro pembentukan masyarakat madani, agar setiap individu yang mendiami komunitas partai politik terhindar dari kekerabatan tradisional. Kekerabatan tradisional yang sempurna sering kali bertumpu pada persoalan-persoalan suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Maka diperlukan perubahan mendasar dalam diskursus politik kepartaian yang akhir-akhir ini menyemarakan konstelasi politik Indonesia; dari cara memahami penampakan lahiria (indikator eksoterik) dari sebuah tradisi dan praktik kekerabatan tradisional ke arah yang lebih bersifat konseptual.
Tampaknya ciri mendasar dari pembentukan dan pertumbuhan partai baru yang mengedepankan unsur komunalistik serta kekerabatan tradisional adalah menegakan aura primodialisme sebagai suatu variable yang mempengaruhi loyalitas dan perlaku politik. Kondisi semacam ini dibentuk oleh praktik ketidakadilan ekonomi dan politik yang telah lama dikembangkan Orde Baru; dalam pandangan seorang ‘Indonesianis’, R. William Liddle, sebetulnya memiliki persyaratan teoritis yang cukup untuk mengalami kehancuran. Yakni hampir tiadanya sarana artikulasi kepentingan dan organisasi kepentingan; dan terlampau diandalkan koersi sebagai alat untuk memecahkan masalah. Namun dalam praktiknya, persyaratan teoritis itu hanya hanya memadai secara epistemologis, dan tidak tergambar di level praktis. Orde Baru ternyata bisa bertahan dalam rentang waktu yang panjang.
Sempitnya ruang artikulasi masyarakat membuka peluang makin besar bagi lahirnya organisasi massa yang menghendaki semangat komunalistik, kekerabatan tradisional yang dibingkai aura primodial. Maka sangat wajar jika sempitnya ruang artikulasi kepentingan publik, secara tidak langsung mempertegas suatu skema bahwa kekuasaan ekonomi, politik dan agama, telah lama tidak berada di bawah kontrol masyarakat, sehingga mempersulit pembentukan jaringan kerja sama dan koalisi yang dapat berfungsi untuk menentukan tema bersama, sebagai bagian dari hubungan kausalitas antara negara dan rakyat.
Maka ketika kekuatan ekonomi, politik, dan agama tidak berada di bawah kontrol masyarakat, yang terjadi kemudian menguatnya arus kekuasaan memusat, yang tidak mampu disentuh oleh berbagai lapisan publik. Dari sinilah kemudian konsep pertumbuhan tidak berjalan sesuai dengan rencana, dan pada akhirnya menutup peluang terjadinya trickle down effect, prosedur menetes dari atas ke bawah, dalam berbagai bentuknya menjadi tersumbat. Atas dasar inilah, teori modernisasi bertolak membangun asumsi-asumsi pembenaran, bahwa keterbelakangan dan kemunduran bangsa-bangsa Dunia Ketiga disebabkan oleh faktor budaya mentalitas. Faktor budaya mentalitas sering kali dianggap menjadi biang keladi dan ‘momok’ bagi pembangunan model pertumbuhan (growth model). Dari sinilah kemudian terbentuk satu kenyataan lain, yakni turunnya toleransi publik terhadap praktik ketidakadilan ekonomi dan politik, yang pada akhirnya membawa rasa frustasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembentukan nilai-nilai demokratis.
Untuk itu dalam kerangka mengembalikan kekuatan ekonomi, politik, dan agama di bawah kontrol masyarakat dibutuhkan kemauan untuk mengubah kondisi yang stagnan, agar dalam memasuki orde reformasi tidak terjebak pada sikap optimisme yang pesi-mistis. Anjuran Y.B. Mangunwijaya bahwa perlunya desakan-desakan publik untuk melakukan pembokaran sistem kehidupan bersama dan mengganti struktur tanah liat yang bisa dimanipulasi menjadi apa pun oleh penguasa, sehingga tidak dapat menjamin terlaksananya negara hukum yang kukuh prinsip-prinsipnya, menjadi sangat relevan untuk diajukan. Perubahan-perubahan sistem dan struktur yang mengakses kehidupan bersama, merupakan penegasan tentang pentingnya budaya politik untuk menjaga Orde Reformasi agar memperoleh aksentuasi yang tepat dalam memahami dan menyongsong Indonesia Baru.
Tugas kita adalah memulihkan kembali kedaulatan manusia dan kedaultan rakyat. Desakan-desakan publik hanya bisa dilakukan kalua kedaulatan manusia dan kedaulatan rakyat itu dipulihkan. Ini tidak berarti bahwa negara dan pemerintah itu tidak punya tempat, dan tampaknya Thomas Jefferson benar Ketika dia mengatakan pemerintah itu sebagai necessary evil. Dalam dua spektrum inilah kita berada, yaitu mengakui bahwa manusia dan masyarakat itu sebagian diatur oleh negara, tetapi tetap memelihara seonggok kebebasan (freedom) yang tidak bisa diambil oleh negara. Tetapi, sesungguhnya setiap manusia di muka bumi ini dalam dirinya memiliki hak dan kewenangan untuk memerintah dirinya sendiri. Di sinilah kedaulatan manusia tercipta dan pada gilirannya kedaulatan rakyat menjadi kunci sukses dari demokrasi, yang akan membuat demokrasi tidak berhenti sebagai teori, tetapi justru sebagai way of life. Dan jika kitab oleh mengutip Amartya Sen, maka “praktik demokrasi akan memberi warga manusia kesempatan untuk saling belajar, dan memberikan juga rakyat kesempatan untuk merumuskan nilai-nilai dan prioritas-prioritas.” Inilah yang oleh Amartya Sen disebut sebagai constructive importance dari demokrasi.
Sekarang sampailah saya pada bagian akhir dari ceramah ini. Kesimpulan utama yang bisa diambil adalah perlunya kita semua menyongsong masa depan dengan penuh harapan dan kita akan belajar dari semua kesalahan yang terjadi pada masa lalu. Persoalan hukum dan demokrasi bukanlah semata-mata persoalan ahli hukum dan pejuang-pejuang demokrasi. Penegakan hukum dan demokrasi adalah persoalan kita semua sebagai bangsa dan negara. Oleh karena itu, semua komponen bangsa ini harus saling bahu-membahu menciptakan dan memperkuat terciptanya apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai good governance.
Saya teringat Ketika panitia Amnesty Internasional di Oxford mengadakan berbagai kajian pada 1992, tentang pokok yang dirumuskan secara tegas oleh pembicara kuncinya, Helena Cixous: Apakah diri manusia sebagai individu seperti yang didefiniskan pada abad ke-18 dalam ideologi Hak-hak Asasi Manusia masih ada?……Bila tidak, lalu kemerdekaan siapa yang hendak kita lindungi dengan susah payah?
Apakah gejala pengebirian kaidah-kaidah hukum dan demokrasi, bisa disebut sebagai bagian dari romantisme masa lalu? Atau inikah tabiat manusia modern yang haus kekuasaan, dan selalu mengagung-agungkan modernitas sebagai ‘komoditas ekspor’ barang dagangan politiknya? Dan pada akhirnya, rakyat kecil adalah korban keserakaan kerumunan orang yang berkuasa.
Satu hal yang harus dicatat, ketika politik dan kekuasaan bekerja melangkahi pagar-pagar hukum dan pengabaian terhadap etika hidup, jangan harap demokrasi yang diagung-agungkan dengan gegap gempita bisa ditegakan di negeri ini.
Reformasi sudah berjalan setahun lebih. Sayangnya kita tak bertemu dengan hasil reformasi, bahkan kita menyaksikan kembalinya semangat antireformasi dengan segala bentuknya. Demokrasi kembali kehilangan dagingnya, dan rakyat hanya melihat tulang-tulang yang berserakan. Menakutkan memang melihat banyak pemuka dan anak bangsa lupa diri, dan lagi-lagi berkiblat diri kepada kekuasaan. Tapi kata takut inilah yang harus kita lawan, dan di sini, Aung San Suu Kyi benar Ketika ia mengatakan, “It is not power that corrupts but fear.” Marilah kita tidak takut.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~