DALAM satu hal mungkin tidak ada tempat lain di dunia yang menyamai Indonesia, yaitu bahwa pendapat para pakar begitu didengar dalam membicarakan everyday politics, baik menyangkut ekonomi maupun politik. Di Negara-negara maju, pembagian antara kerja politisi dan para ilmuwan sudah demikian baku,sehingga para ilmuwan dan peneliti tidak begitu terlibat dalam membicarakan issue aktual,tetapi bergulat dengan masalah penelitian mereka. Yang menyangkut issue aktual mengenai ekonomi dan politik (juga bidang lainnya) ditanggapi para politikus di parlemen atau partai politik yang bertugas mengawasi pemerintah menyangkut kebijaksanaan dan keputusan politik.
Terlibatnya para pakar Indonesia dalam aktualitas politik dan ekonomi menunjukan bahwa keahlian untuk kedua bidang ini belum seluruhnya terwakili secara memadai di kalangan politisi. Untuk masalah politik, pendapat dan sikap para ahli ilmu politik (misalnya dari LIPI maupun dari lembaga penelitian lainnya) banyak diminta dan didengar. Demikan pula untuk masalah ekonomi Indonesia, pendapat para pengajar dan peneliti ekonomi dari kampus dan lembaga penelitian amat dinanti-nantikan. Keadaan ini telah berkembang sedemikian jauh, sehingga paraktis para ahli kita, terutama dalam kedua bidang itu, lebih mempersiapkan dirinya untuk melayani pertanyaan khalayak atau menjawab pertanyaan media, daripada berkutat dengan suatu penelitian yang direncanakan dengan matang dan dikerjakan secara kontinu.
Istilah pakar dalam semantik politik Indonesia bukan saja berarti seseorang yang mempunyai keahlian, tetapi lebih berarti seorang ahli yang berperan sebagai public intellectual atau cendikiawan publik dan bukan sebagai knowledge worker atau peneliti profesianal dalam bidangnya. Pada titik ini terlihat sebuah interaksi yang menarik. Makin tinggi tingkat keahlian teknis politisi (dalam ekonomi, teknik, kesehatan, pendidikan, kependudukan, dan kebudayaan) akan makin kurang dibutuhkan peran para pakar dari kampus atau lembaga penelitian untuk menanggapi situasi aktual yang berkembang. Dengan demikian, munculnya gejala pakar dalam politik Indonesia, merupakan sebuah indikasi tentang belum memadainya tingkat ekspertis politisi kita untuk mengimbangi kalangan eksekutif yang umumnya mempunyai keahlian teknis yang relatif lebih tinggi.
Keadaan ini telah menimbulkan beberapa kesulitan yang cenderung lebih merugikan daripada menguntungkan. Sering terlihat bahwa sebagian besar masalah aktual, baik politik dan ekonomi, dicoba dipecahkan berdasarkan common sense dan logika, tetapi lemah dasarnya secara empiris. Sebagai contoh, krisis ekonomi yang demikian hebat, sampai kini, sepengetahuan saya, belum mendorong lahirnya sebuah penelitian yang luas dan cukup mendalam oleh peneliti Indonesia sendiri tentang sebab-musababnya, kaitan-kaitannya, faktor-faktor internasional dan nasional dan usul apa yang diajukan untuk mengantisipasi timbulnya krisis itu di masa depan. Ada beberapa studi yang dilakukan oleh satu dua lembaga penelitian, tetapi jangkuan penelitiannya amat terbatas dan hasilnya pun sering tidak dipublikasikan. Dalam bidang politik, belum terdengar seorang peneliti kita melakukan riset tentang kejatuhan Soeharto untuk menetapkan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara sahih. Apa yang kita ketahui sampai sekarang lebih banyak berupa hasil leraning by hearsay, yaitu omongan a la warung kopi pada berbagai arasnya: bocoran informasi tingkat tinggi, gosip pinggir jalan, atau analisis yang lebih spekulatif sifanya daripada empiris.
Hampir pasti bahwa baik penelitian ilmu ekonomi tentang krisis ekonomi Indonesia maupun penelitian ilmu politik tentang kejatuhan Soeharto akan dihasilkan oleh para peneliti asing, yang kemudian dengan senang kita rujuk dan terjemahkan. Yang merisaukan disini adalah bahwa pemikiran dan pengetahuan kita tentang keadaan kita sendiri sangat ditentukan oleh produksi penegetahuan yang berlangsung di tempat lain, oleh peneliti lain, yang jelas mempunyai kepentingan tertentu dengan membawa berbagai prasangka mereka sendiri berupa country bias, cultural bias, personal bias atau discipline bias. Ketergantungan kita pada pasar luar negeri yang dipaksakan oleh jenis kapitalisme yang diterapkan di Indonesia mendapat refleksinya yang sempurna dalam produksi pengetahuan ilmiah tentang Indonesia.
Dalam pada itu, diabaikan kerja penelitian yang kontinu menyebabkan banyak keputusan politik dan juga kritik politik tidak didasarkan pada data empiris yang disodorkan padanya atau bertentangan dengan data yang diajukan, misalnya, karena dia sangat yakin dan mempunyai intuisi yang tajam bahwa keadaan akan segera berubah dan data empiris yang diajukan akan tidak lagi relevan. Namun demikain, data empiris ini tetap diperlukan dalam pertimbangan dan keputusan politik sebagai pegangan yang tangible, entah itu keputusan yang sesuai dengan data yang ada atau keputusan yang menentang data tersebut, dan bukannya suatu keputusan yang didasarkan pada kebetulan semata-mata.
Produksi pengetahuan belum dianggap penting dan urgen di Indonesia dan pastilah dianggap jauh kurang penting dari produksi beras atau minyak mentah. Hal ini merupakan ironi yang aneh karena pejabat-pejabat pemerintah biasanya merasa kurang gagah kalau dalam pernyataan atau pidatonya tidak menyinggung ilmu dan teknologi. Sementara itu, kita tahu bahwa baik ilmu pengetahuan maupun teknologi hanya bisa berkembang kalau didukung oleh suatu tradisi penelitian yang kuat.
Dilihat dari segi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, situasi ini amatlah merugikan. Terjebaknya para pakar kita (khususnya mereka yang berasal dari lingkungan ilmu-ilmu sosial) di dalam aktualitas politik mengharuskan mereka selalu siap dengan beberapa provisionan explanations yang tidak didasarkan pada hasil penelitian, dan sekaligus dengan itu menghabiskan banyak waktu yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian dengan rencana yang dipikirkan secara matang, dengan metode yang dapat dipertanggungjawabkan, dan dengan suatu lingkup penelitian yang cukup luas dan mendalam. Dengan itu dapat dihasilkan beberapa proposisi ilmiah yang bisa dipegang dan lebih bisa diuji.
Dalam hal ini ilmuwan sosial tidak mempunyai kemewahan yang dipunyai oleh rekan-rekannya dari kalangan ilmu-ilmu alam atau dalam lapangan teknik. Dalam kedua bidang yang disebut belakangan ini ada fase-fase kerja yang tidak mungkin diganggu oleh publik, misalnya penelitian dalam laboratorium atau dalam bengkel. Seorang desainer mobil yang sedang merencanakan jenis mobil baru tidak akan ditanya wartawan tentang kemajuan-kemajuan dalam disainnya. Orang akan menunggu hingga disainnya selesai dan diluncurkan. Demikian pula seorang peneliti AIDS, misalnya, akan dapat bekerja dengan tenang dalam laboratoriumnya tanpa diganggu oleh publisitas sampai penemuannya berhasil.
Hal yang berbeda terjadi pada seorang peneliti ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Hampir dalam tiap tahap penelitiannya dia akan ditanya tentang apa yang dilakukannya atau tentang relevansi penelitiannya terhadap suatu masalah aktual. Gangguan yang datang dari pihak publisitas sering tidak dirasakan sebagai masalah karena kontraprestasi yang diberikan kepada ilmuwan yang bersangkutan juga berupa publisitas yang dinikmatinya. Masalahnya adalah bahwa dia mendapat publisitas tidak dalam kualifikasinya sebagai peneliti berdasarkan validitas temuannya, tetapi karena efektivitas pernyataannya dalam menanggapi suatu issue aktual atau karena gaung politik sebuah jawaban yang mengalami amplifikasi karena aktualitas politik.
Adapun sikap terhadap ilmu dan pengetahuan dapat dibedakan sekurang-kurangnya dalam tiga kategori. Yang Pertama, mengkonsumsikan dan mengaplikasikan temuan ilmu pengetahuan yang sudah ada. Kedua, mendistribusikan temuan yang sudah dihasilkan. Ketiga, memproduksikan pengetahuan-pengetahuan baru (dan memproduksi pengetahuan lama) demi kelanjutan dari the progress of knowledge.
Dalam pendidikan tinggi di Indonesia, ketiga tugas itu relatif telah dirumuskan dengan baik dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Perbedaan antara perguruan tinggi dan tingkat pendidikan lainnya adalah bahwa di sekolah menengah atau sekolah dasar pendidikan dapat memakai bermacam-macam sarana seperti kesenian, olah raga, pelajaran atau kegiatan mengenai alam, dan berorganisasi. Yang khas pada perguruan tinggi adalah bahwa pendidikan dijalankan hanya dengan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sarananya. Sarjana bahasa dan tokoh pendidikan Jerman Wilhelm von Humboldt memberikan sebuah definis tentang perguruan tinggi sebagai Bildung durch Wissenchaft atau pendidikan melalui ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kedudukan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi adalah esensial. Sementara pengetahuan ilmiah ini diharap diproduksikan dalam penelitian dan distribusikan melalui pengabdian masyarakat.
Masalah kita adalah apakah ada permintaan yang efektif di Indonesia saat ini terhadap penelitian dan pengetahuan baru yang dihasilkannya? Produksi ilmu di Indonesia termasuk amat terbelakang. Sikap yang distortif terhadap ilmu pengetahuan menyebabkan ilmu pengetahuan lebih berfungsi sebagai sarana bagi tujuan yang amat menyimpang dan jauh melenceng dari the progress of knowledge. Pernah para teknokrat Indonesia amat berkuasa di negeri ini karena mereka dapat mempertukarkan keahlian mereka untuk membentuk pendapat umum dan mendapat pengaruh politik sekalipun mereka tidak didukung oleh konstituen politik mana pun. Dalam kedua hal ini ilmu tidak memproduksikan pengetahuan, tetapi memproduksi kekuasaan.
—————————————————-
Sumber Tulisan: Buku “Masyarakat dan Negara”, Ignas Kleden, Penerbit Indonesia Tera