Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Kandidat Doktor STF Driyarkara, Jakarta
Foto: Ilustrasi sekolah yang mempunyai prestise tinggi, diminati banyak kalangan, sumber: Pexels
Di Indonesia, banyak orang tua murid, cenderung kurang memperhatikan kualitas sekolah yang dipilih bagi anak-anak mereka. Bagi sebagian besar dari mereka, yang terpenting adalah anak-anak dapat bersekolah, dan jika memungkinkan, mendapatkan pendidikan secara gratis. Sikap ini tentu bisa dimaklumi mengingat kondisi keuangan setiap keluarga berbeda-beda, dan banyak yang lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Dalam situasi di mana ekonomi keluarga menjadi perhatian utama, mencari sekolah yang menawarkan biaya rendah atau bebas biaya menjadi solusi wajar dan realistis. Namun, konsekuensinya, kualitas pendidikan sering kali menjadi aspek yang terabaikan.
Di sisi lain, ada juga kelompok orang tua yang sangat peduli dengan masa depan anak-anak mereka dan berupaya memastikan bahwa sekolah yang dipilih mampu memberikan pendidikan berkualitas. Bagi mereka, penting memilih sekolah yang tidak hanya menyediakan pendidikan formal, tetapi juga mendukung perkembangan potensi anak secara holistik.
Mereka memahami bahwa investasi dalam pendidikan yang baik merupakan langkah strategis untuk masa depan anak-anak mereka. Orang tua seperti ini cenderung lebih selektif dan berusaha mencari sekolah yang memiliki reputasi baik, kurikulum yang mumpuni, serta lingkungan belajar yang mendukung perkembangan karakter dan keterampilan anak.
Prestise sekolah sering kali dipandang bagi orang tua murid tertentu sebagai suatu kualitas yang melekat, seolah-olah merupakan atribut inheren dari institusi pendidikan tersebut. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa prestise ini bukanlah sesuatu yang ada secara alami dalam sekolah, melainkan sebuah atribut yang diberikan oleh masyarakat, khususnya oleh para orang tua. Melalui pandangan orang tua, kita dapat melihat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap pembentukan prestise sekolah, dan mengapa hal ini menjadi begitu penting dalam konteks pendidikan.
Foto : Ilustrasi sekolah berkualitas prima mempunyai perpustakaan memadai, sumber: Pexels
Dalam sebuah penelitian Moshe Tatar (2006) yang melibatkan 465 orang tua dari siswa kelas 9 dan 11 di 18 sekolah negeri-sekuler, ditemukan bahwa pencapaian pendidikan adalah faktor utama yang berkorelasi dengan prestise sekolah. Hal ini diikuti oleh kualitas guru, siswa, orang tua, kebijakan sekolah, iklim sekolah, manajemen, dan fasilitas fisik. Hasil ini mengungkapkan bahwa faktor-faktor intrinsik pendidikan—seperti kualitas guru dan kebijakan pendidikan—menjadi sumber utama atribusi prestise sekolah.
Namun, yang menarik dari penelitian ini adalah adanya perbedaan persepsi di antara subkelompok orang tua. Beberapa kelompok orang tua lebih memprioritaskan fitur ekstrinsik, seperti fasilitas fisik atau manajemen sekolah, dalam menilai prestise. Hal ini menyoroti bahwa prestise tidak hanya dilihat dari kualitas pendidikan yang diberikan, tetapi juga dari persepsi masyarakat yang mungkin dipengaruhi oleh stereotip atau pandangan umum yang sudah ada.
Dalam analisis Tatar (2006) efek ‘halo’ yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian prestise sering kali didasarkan pada persepsi stereotip, di mana satu aspek positif dari sekolah dapat memperbesar pandangan positif terhadap seluruh aspek sekolah tersebut, meskipun tidak semua aspek tersebut berkualitas tinggi. Misalnya, sekolah dengan gedung megah dan fasilitas lengkap mungkin dianggap lebih memiliki prestise meskipun kualitas pengajaran tidak selalu superior.
Foto : Ilustrasi sekolah dengan fasilitas lengkap dengan gedung yang megah, sumber: Pexels
Penelitian Tatar (2006) ini memberikan beberapa implikasi penting bagi pengelola sekolah dan pembuat kebijakan. Pertama, penting untuk menyadari bahwa prestise sekolah bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan sepenuhnya oleh sekolah itu sendiri, karena ini sangat dipengaruhi oleh persepsi publik. Oleh karena itu, sekolah perlu bekerja lebih keras dalam membangun kualitas intrinsik mereka sambil juga menyadari pentingnya citra dan komunikasi dengan masyarakat.
Kedua, adanya efek ‘halo’ menunjukkan pentingnya transparansi dan edukasi dalam penyampaian informasi kepada masyarakat. Orang tua perlu diberikan data akurat dan komprehensif mengenai kinerja sekolah agar penilaian mereka tidak hanya berdasarkan kesan awal atau citra umum yang mungkin tidak sesuai dengan kenyataan.
Sebagai catatan akhir, prestise sekolah merupakan hasil dari kompleksitas persepsi publik, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Meskipun pencapaian pendidikan dan kualitas pengajaran menjadi faktor utama dalam penilaian prestise, kita tidak bisa mengabaikan peran persepsi masyarakat yang sering kali dipengaruhi oleh stereotip.
Oleh karena itu, upaya untuk membangun prestise sekolah perlu mencakup peningkatan kualitas pendidikan dan juga pengelolaan citra publik yang transparan dan jujur. Prestise sekolah, pada akhirnya, lebih dari sekadar reputasi; ini adalah refleksi dari bagaimana masyarakat menilai nilai dan kualitas pendidikan yang mereka harapkan bagi anak-anak mereka.
———————————