Oleh Ferdinandus Butarbutar, Dosen Etika di UPH Karawaci
Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-79 adalah sebuah seremoni kebangsaan yang sangat penting.
Perayaan ini memiliki keunikan tersendiri, setidaknya karena beberapa faktor: Kemerdekaan
kita dari penjajahan kolonial, secara politik kita juga sudah melampaui orde baru hingga
reformasi 1998, persiapan transisi kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo, perpindahan Ibu
Kota dari Jakarta ke IKN, serta visi 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045 yang dikenal sebagai
Indonesia Emas.
Hal mendasar yang ingin ditegaskan dalam artikel ini adalah bahwa tahun 2024, pada bidang
pendidikan kita diperhadapkan dengan “Program Ferienjob”, yang konon merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan tinggi. Hal ini perlu dipikirkan secara reflektif, karena ferienjob
seharusnya menjadi peluang dan harapan pengembangan karier bagi mahasiswa yang belajar
dan yang merdeka, telah berubah menjadi bentuk perbudakan modern yang tersamar, di mana
sistem pendidikan tinggi Indonesia secara tidak langsung menjadi pintu masuk bagi eksploitasi
manusia melalui kebijakan kurikulum. Sebagai validasi, bahwa Dittipidum-Direktor Tindak Pidana Umum, Bareskim Mabes Polri, pada Rabu 20 Maret 2024, mengungkap ke publik tentang TPPO-Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), yang turut menyeret 33 Universitas di Indonesia dan1.047 mahasiswa dalam program magang (yang disebut sebagai ferienjob) di Jerman.
Problematika Ferienjob
“Ferienjob” sendiri sebenarnya bukan magang, melainkan sebuah program bagi mahasiswa
asing (EU atau Non-EU) yang ingin secara langsung mengalami suasana kerja di Jerman, yang
umumnya ditempuh selama 90 hari, tepatnya pada momen official semester break. Sekali lagi
bukan magang, tetapi pekerja liburan. Hal ini diatur pada Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman
(Beschäftigungsverordnung/BeschV), pasal 14:2. Mahasiswa asingpun dari berbagai negara
mengajukan dan mendaftar langsung ke perusahaan/korporasi dan ini murni sebagai kerja
industri dan mekanisme pasar kerja (job market) di Jerman. Biasanya tanpa ada pungutan biaya
sebagai kewajiban, termasuk untuk tiket, transportasi, akomodasi dll., semua hal fundamental
tersebut disediakan oleh pihak perusahaan disana.
Di sisi lain, jika hal tersebut dilakukan oleh orang-orang dari luar Jerman (tidak sedang di
Jerman), tentu mereka akan menempuh berbagai mekanisme. Untuk mahasiswa Indonesia yang
berminat, maka hal mendasar tentunya adalah visa, karena hal ini akan berkorelasi langsung
dengan pihak imigrasi dan perwakilan Indonesia disana (KBRI/KJRI). Dan jika proses ini jelas
dan terarah (aspek legal), maka mungkin sulit ditetapkan sebagai human trafficking, namun
jika ada mekanisme yang di by pass terutama oleh agensi di Jerman, juga jika ditemukan
perhitungan jam kerja yang lebih dari 8 jam, penyalahgunaan visa wisata sebagai visa kerja,
adanya tindakan manipulasi hutang/pinjaman, termasuk pemangkasan upah kerja, maka bisa
saja dikategorikan sebagai human trafficking. (Lih.https://humas.polri.go.id/2024/03/27/polisi-beberkan-peran-5-tersangka-magang-mahasiswaferienjob-jerman/,). Pola-pola yang tidak disiplin dan illegal seperti ini, tampaknya sulit ditemukan di Jerman, sebagai negara yang terkenal disiplin dan amat tertib.
Validasi lain yang perlu kita intip adalah dari Kemenristekdikti bahwa program ferienjob di
Jerman terindikasi melanggar prosedur, sehingga diperintahkan kepada universitas-universitas
untuk menghentikan program magang internasional tersebut. Demikian juga Menteri
Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR
mengafirmasi bahwa program magang internasional tidak masuk dalam ranah kementeriannya.
Lebih jauh, Dirtipidum Mabes Polri telah menetapkan 5 orang tersangka yakni ER alias EW
(39 thn) juga bos dari PT SHB; A alias AE (37 thn), petinggi CV GEN. Kedua orang tersebut
berada di Jerman. Tersangka lainnya yakni SS (65 thn), AJ (52 thn) dan MZ (60 thn), ketiganya
bekerja di perguruan tinggi, dengan peran dan tugas masing-masing seperti mensosialisasikan,
narahubung konsolidasi peminjaman dan ketua panitia rekrutmen calon dari mahasiswa.
Kelima tersangka adalah dari Indonesia, hal ini sekaligus menegaskan bahwa problematika etis
bahkan dugaan tindak pidana ada pada pihak kita sendiri, bukan pada pihak Jerman.
Ferienjob, Kurikulum MBKM dan Program MSIB Sebagai Problem
Sebagaimana temuan penyidik Dirtipidum Mabes Polri, bahwa ferienjob sebagai bagian dari
kurikulum MBKM yang dapat dikonversi hingga 20 SKS. Lebih jauh melalui LP3N (Lembaga
Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan Nasional) sebagai lembaga yang bertanggung
jawab atas program magang dan pendidikan di tingkat nasional. Untuk konteks “Ferienjob,”
LP3N disebut sebagai pihak yang mempromosikan program tersebut kepada mahasiswa. Pada
LP3N ada MZ sedangkan sosialisasi dilakonkan oleh tersangka SS, yang mengatakan bahwa
ferienjob adalah magang bertaraf internasional, dan dipandang relevan bagi pengembangan
pendidikan tinggi terutama demi mempersiapkan mahasiswa untuk memasuki dunia profesi.
(Lih. https://www.humas.polri.go.id/2024/03/27/polisi-beberkan-peran-5-tersangka-magangmahasiswa-ferienjob-jerman/). Gagasan ini ada baiknya dan memang hal tersebut dibutuhkan
oleh para mahasiswa, demi pengenalan diri, minat dan arah keahliannya ke depan. Prinsip link
and matc yang etis dan mutual perlu dijahit dengan baik. Lebih jauh dalam konteks ferienjob
yang perlu dimunculkan sebagai pertanyaan adalah, apakah mengonversi ferienjob ini dapat
dipertanggungjawabkan secara etis dengan core jurusan keilmuan yang diambil oleh
mahasiswa di prodi masing-masing? Karena faktanya mereka bekerja sebagai buruh kasar di
bandara, kurir pengiriman, buruh rest area, buruh pabrik dll.
Selain itu, keprihatinan kita juga tertuju kepada realisasi kurikulum MBKM khususnya
program MSIB (Magang dan Studi Independen Bersertifikat), yang rentan multitafsir. Satu sisi,
program Kemenristekdikti tersebut sebenarnya juga mengandung nilai-nilai yang positif,
terutama karena berpotensi mempersiapkan mahasiswa dalam memasuki dunia profesi atau
karier. Sehingga latihan-latihan dan penajaman keterampilan (hard/soft skill), pengenalan
kultur dan sistem dunia kerja yang paralel dengan prodi keilmuannya, tentu sangat baik bagi
mahasiswa. Di sisi lain, jika program ini ditekuk sedemikian rupa ke ranah pragmatisme, maka
kurikulum MBKM tersebut rentan terjebak kepada tuntutan-tuntutan job market yang kapitalis,
yakni sejenis perbudakan modern yang kini rute rekrutmennya tersamar melalui kebijakan
pendidikan tinggi.
Pada pihak Jerman sendiri, sebenarnya tidak pernah memaksudkan program ferienjob sebagai
bagian dari kurikulum pendidikan tinggi di sana, termasuk kepada mahasiswa asing (EU atau
Non-EU). Ini adalah murni kerja pada periode libur akhir semester, dan perlakuan terhadap
peserta ferienjob adalah perlakuan yang profesional sesuai dengan jenis pekerjaan yang
tersedia, dan konon perlakuan yang sama juga diberikan perusahaan terhadap karyawan
permanen. Ferienjob bukan program kerjasama bilateral dan itu sebabnya, tidak masuk akal
jika mengategorikannya sebagai bagian dari kurikulum MBKM. Rute yang etis dan normatif
meski dikedepankan.
Lebih jauh kita udar unsur-unsur perbudakan modern dalam kasus ferienjob antara lain:
Pertama, adanya manipulasi kontrak kerja. Kontrak kerja yang diberikan kepada para
mahasiswa dibuat dalam bahasa Jerman, yang pasti membawa jurang pengertian bagi
mahasiswa. Hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk manipulasi, karena informasi penting
tentang hak dan kewajiban rentan dikaburkan dan disalahartikan. Kontrak kerja seyogianya
mengafirmasi kesadaran, kebebasan, penegrtian dan kesetaraan relasi. Itu sebabnya diperlukan
prasyarat penerjemahan, demi memahami dokumen kontrak kerja dengan jelas. Ironisnya para
mahasiswa diminta untuk menandatangani kontrak pada saat kedatangan, tanpa adanya waktu
yang cukup untuk memahami isi kontrak apalagi mencari konsultan hukum. Mereka dipaksa
untuk menandatangani perjanjian dibawah tekanan, terutama dalam situasi dimana mereka
tidak memiliki pilihan lain, kesepakatan itu dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak etis.
Kedua, pemaksaan kerja di luar ketentuan yang jelas. Para mahasiswa dipaksa bekerja selama
12-14 jam sehari, yang jauh di luar standar kerja yang layak. Dikesani sebagai pemaksaan kerja
karena tidak diterimanya informasi yang jelas dan gamblang. Padahal jika asumsi awalnya
adalah magang, maka pengalaman kerja harus berkorelasi dengan pengalaman belajar di kelas
sebagai ruang teori, sialnya mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar. Belum lagi problem
penggajian, dimana mereka hanya menerima €700, padahal seyogianya dengan bekerja antara
12-14 jam sehari, atau 60-70 jam per minggu, dengan standard upah minimum €12.41 per jam,
mereka dipastikan menerima antara €744.60-€868.70 per minggu, atau antara €2,978.40-
€3,474.80 per bulan, tentu hal ini diluar pajak. (Lihat https://www.asianews.it/news-en/Fakeinternships:-Indonesian-university-students-exploited-in-Germany-60420.html;
https://www.destatis.de/DE/Home/_inhalt.html). Ketiga, penyalahgunaan visa. Dimana visa
mereka bukan visa student, tetapi sebagai visa wisata. Hal ini mengafirmasi unsur-unsur
manipulatifnya. (Lih. https://www.humas.polri.go.id/2024/03/27/polisi-beberkan-peran-5-
tersangka-magang-mahasiswa-ferienjob-jerman/).
Nilai-Nilai Reflektif
Nilai-nilai reflektif atas fenomena “ferienjob” menjadi perlu diudar sebagai penutup pada
artikel pendek ini, mengingat momen perayaan kemerdekaan ke-79, kurikulum Merdeka
Belajar Kampus Merdeka (MBKM dan MSIB) yang memberi bobot konversi hingga 20 SKS.
Pertama, Kita perlu kian jernih dan terbuka membuka horison hermeneutik yang politis dan
yang sosial. Bahwa munculnya penjajahan bukan semata dalam “perang kasat mata (fisik)”,
tetapi juga bermanuver dalam berbagai bentuk, seperti pada kasus ferienjob. Tindakan ini
sejenis eksploitasi manusia, demi kepentingan sesaat, yang pada akhirnya merusak pendidikan
dan masa depannya di jangka panjang.
Kedua, Konstruksi dan aplikasi kurikulum MBKM, jangan semata difokuskan kepada
kebutuhan bidang industri dan teknologi. Fokus demikian akan rentan jatuh kepada mental
“intelektual kolinialisme”, yang semata menggunakan pengetahuan dan penguasaan
keterampilan untuk menguasai yang lain bahkan yang lemah. Itulah sebabnya reformasi bidang
pendidikan rentan menemui kendala.
Ketiga, Secara moral kebijakan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan tinggi tersebut perlu
menjunjung tinggi martabat manusia Indonesia, dengan memberikan kesetaraan, kemerdekaan
dan solidaritas yang memiliki concern pada cita-cita kehidupan bersama. Kesetaraan akses bagi
semua manusia Indonesia, tanpa memandang strata dan kategori status lainnya. Kemerdekaan
yang otonom pada pendidikan tersebut, sehingga dapat berpikir bebas demi pengembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih jauh yang keempat, pendidikan tersebut berdimensi holistis (utuh). Pertimbangan dasar
disini adalah memikirkan dasar, proses dan arah pendidikan tersebut, mampu
mempertimbangkan struktur ontologis pada manusia sebagai nara didik yang bertubuh, berjiwa
dan berroh. Keutuhan kodrat konstitusional manusia tersebut perlu didekati dan dikonstruksi
melalui pendidikan.Dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pengetahuan industri,
bisnis dan teknologi, sering sekali hanya fokus pada salah satu aspek yang materil, sehingga
abai pada hal-halyang imateril, yang sebanarnya amat penting, terutama dalam merajut
pendidikan yang berbasis nilai.