Waktu kecil kita berharap bahwa orang tua kita akan selalu bersama dengan kita. Harapan yang sangat mulia. Tetapi kenyataan hidup berbicara lain. Cepat atau lambat, orang tua kita akan pergi untuk selamanya, setelah meninggalkan jejak-jejak yang kuat dalam diri kita masing-masing. Dengan kematian kedua orang tua kita, kita menjadi sadar bahwa kita bukan lagi anak-anak yang tergantung pada orang tua. Artinya, kematian mereka mendorong kita untuk berdiri sendiri sebagai pribadi-pribadi utuh yang tetap diperkaya oleh unsur-unsur dari orang tua, dan selanjutnya kita siap berjuang dan berkontribusi bagi dunia yang lebih luas.
Kematian Mama Veronika Wilhelmina Njo Tifaona (Mama Oni) membawa kesedihan sekaligus sukacita. Mama Oni dalam sejarah panjang kehidupannya mengajarkan dan menabur benih-benih kebaikan, sikap belarasa, sikap mencintai doa, hidup sederhana dan di atas segalanya Mama Oni mengajarkan Kasih. Demikian yang dikatakan Bpk Petrus Bala Pattyona (wakil keluarga) dalam sambutannya dalam acara Tutup Peti Jenasah Mama Oni. Mama Oni seakan yakin benar dengan apa yang pernah dituliskan oleh Henry Durmond dalam bukunya yang cemerlang Greateast Thing in the World.
“Sejak zaman dulu kala manusia selalu menayakan pertanyaan yang hakiki itu: Apa sebenarnya kebaikan yang paling utama? Kita telah diberi anugerah kehidupan. Kita hanya bisa menjalaninya satu kali. Apakah obyek hasrat yang paling mulia, berkah paling utama yang patut didam-idamkan?
Selama ini kita sudah terbiasa diberitahu bahwa yang paling vital dalam kehidupan beragama adalah iman. Kata yang paling penting telah menjadi kata kunci selama berabad-abad dalam agama, dan kita dengan mudahnya menganggap iman tersebut sebagai yang paling mulia di dunia. Tetapi ada yang lebih penting lagi dari iman. Mari kita simak Kitab 1 Korintus 13, Paulus mengajak kita untuk melihat Kristianitas langsung ke sumbernya, dan di sana kita melihat bahwa, ‘Yang paling besar di antarnya adalah Kasih.
Dan Paulus berkata: “Dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Demikian tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih”, dan tanpa keraguan sedikit pun, dia mengakhirinya dengan “Yang terbesar dari semuanya adalah KASIH.”
Karena Kasih itu pula Keluarga Besar Njo ( diwakili Bpk Peter Njo) memberikan ungkapan kesedihan sekaligus sukacita dan kebanggaan mereka terhadap pribadi Mama Oni.
Tommy, Ina, Lexy, Denny, Bernard, Sandra, Sofia, Theresia, Joyce serta mantu dan cucu dari Mama Oni yang kami sayangi dan segenap keluarga yang berduka:
Mama Oni hadir ke dunia ini melalui rahim keluarga Njo. Saat mama Oni lahir Opa Petrus Njo dan Oma Suzana Ndokana menyelimuti mama Oni dengan selimut kehangatan yang berasal dari cinta kasih Opa dan Oma. Sampai suatu saat mama Oni dipinang oleh Om Anton Tifaona, Keluarga Njo memberikan salah satu putri terbaik mereka, yang kemudian memberikan keturunan 10 orang anak dan cucu-cucu.
Kini saat Mama Oni akan kita hantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir, saat kita akan mempersembahkan tubuh Mama Oni kepada Ibu Pertiwi, maka kami Keluarga Njo akan membungkusnya dengan Selimut Sabu. Selimut ini akan menutup kembali tubuhnya. Tanda kehangatan dan cinta kami keluarga besar Njo.
(Mama, Tanta) Veronika Wilhelmina Njo. Dulu Opa Oma dan orangtua kami dari keluarga Njo merestui dan menghantar mu ke Altar Tuhan, menikah dengan keluarga Tifaona. Dari pernikahan itu sudah bermakna bagi keluarga besar dengan menghadirkan 10 anak dan cucu. Melahirkan, membesarkan, mendampingi semua mrk dalam terang iman dan keteladanan hidup.
Hari ini (Jumad, 13 September 20240) pada kesempatan ini, atas nama keluarga Njo, kami harus kembali mengenakanmu kain sarung Sabu asal leluhur kita semua. Inilah kehormatan dan kebesaran sebagaimana adat, tradisi budaya yg diwariskan para leluhur kita.
Kami semua berharap, bawalah semua salah, khilaf, duka dan derita. Segenap sakit dan penyakit semasa hidup untuk dimuliakan di hadapan Tuhan. Tinggalkan semua yg baik, yang luhur, kesehatan yang baik dan nilai-nilai hidup yang berguna bagi anak, cucu serta generasi sesudah mereka.
Atas nama keluarga Njo, kami juga memohon maaf untuk segala salah yang terjadi semasa hidup di dunia ini.
Dengan keluhuran martabat adat dan budaya ini, kami menghantar mu untuk bertemu dengan Yang Empunya Segala Kehidupan, yang selama hidup selalu kita sembah dalam doa harian dan bhakti hidup.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Berkuasa atas Kehidupan dan Kematian menerima mu, masuk dalam kemuliaan surgawi.
Selamat jalan Mama Oni, selamat bertemu dengan Om Anton dan para leluhur di surga. Doakan kami semua.
Penyair Kahlil Gibran, dalam bukunya The Prophet (Sang Nabi) menulis esai puitis tentang kehidupan. Salah satunya membahas tentang peranan orang tua dalam menyiapkan masa depan anak-anak mereka.
Anakmu Bukan Milikmu
Anakmu bukanlah milikmu, Mereka putra putri kehidupan. Mereka terlahir melaluimu, tetapi bukan berasal darimu. Karena itu mereka ada bersamamu, tetapi bukan milikmu.
….
Engkau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu. Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Engkau boleh memberikan rumah untuk tubuh mereka, tetapi tidah untuk jiwanya.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa engkau datangi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Engkau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.
…
Engkau adalah busur panah, yang darinya anak-anakmu akan meluncur ke depan.
Sang pemanah menarikmu dengan keagungan-Nya agar anak panah bisa melesat jauh menuju keabadiaan.
Rangkaian kata-kata Kahlil Gibran tetntang anak ini sudah dihidupi oleh Mama Oni dalam membesarkan anak-anaknya. Bagi Mama Oni, orangtua ibarat busur yang hanya bisa mengarahkan dan mengharap. Tugas anak panahlah untuk melesat dan menemukan kehidupannya sendiri. Anak panah sendiri, tanpa busur, barangkali tak berarti apa-apa dan tak akan pernah melesat kemana-mana.
(Paskalis Liko Bataona)