• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Minggu, Mei 25, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa Lalu, dalam Pelanggaran HAM untuk Menatap Bangsa Ke Depan 

by Redaksi
September 19, 2024
in OPINI
0
Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa Lalu, dalam Pelanggaran HAM untuk Menatap Bangsa Ke Depan 

Foto Agus Widjajanto

0
SHARES
20
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Oleh Agus Widjajanto

 

Seorang Antropolog  menunjukkan permainan kepada anak-anak suku di Afrika.  Dia meletakkan satu keranjang penuh buah di dekat pohon. Dan dia memberi petunjuk kepada anak-anak, bahwa anak yang lari pertama kali mencapai pohon, dia berhak mendapatkan sekeranjang buah. 

Tapi begitu sang Antropolog memberi aba-aba :  ‘Mulai … !!!’  Dia terkejut, karena anak-anak berjalan bergandengan tangan tanpa berebut saling mendahului.  Ketika Antropolog bertanya : ‘Kenapa kalian melakukan itu? Padahal kalian punya kesempatan untuk mendapatkan sekeranjang buah seorang diri. Dan mereka menjawab : ‘Ubuntu !!! … bagaimana salah satu dari kita bisa bahagia, sedangkan teman yang lain bersedih.’   

Ubuntu dalam peradaban mereka artinya : ‘Aku adalah kita.’   Suku itu memahami rahasia kebahagiaan sesungguhnya yang justru hilang atau ‘dihilangkan’ dalam kehidupan masyarakat modern yang sangat individualistis dan sangat egosentris.  Padahal mereka mengganggap dirinya sebagai masyarakat yang paling beradab !!!. Itulah budaya Afrika Selatan yang dikumandangkan Oleh Uskup Agung Desmon Tutu, yang sangat legendaris menginspirasi pegiat Hak Asasi Manusia diseluruh Dunia, yang telah melakukan rekonsiliasi atas kejahatan dalam Politik Aphartheid di Afrika Selatan.

Dalam kontek kondisi di Indonesia khususnya sistem  Peradilan di Indonesia yang katanya merupakan negara Demokrasi ketiga terbesar di Dunia, yang sangat memprihatinkan, dimana hukum dijadikan alat politik  transaksional, putusan hakim bukan lagi jadi mahkota hukum tapi sebagai sarana untuk mendulang kepentingan, dimana hukum sudah menjadi ladang bisnis, siapa kuat maka akan jadi pemenang seperti dalam hukum rimba.

Konsep dasar dibentuknya hukum adalah untuk mengatur tatanan dalam masyarakat agar masyarakat terlindungi baik hak maupun keselamatan dan kewajibannya dalam sebuah negara, untuk mencapai kesejahteraan bersama, sekaligus membatasi kekuasaan absolut dari penyelenggara negara.

Dalam dunia modern saat ini di mana dalam dunia  teknologi, ditemukan hukum gratifikasi yang menjadi dasar dari penemuan teknologi ruang angkasa dan pesawat terbang, demikian juga ditemukan Hukum Archimedes dan Pitagoras, semuanya untuk kepentingan masyarakat agar bisa berguna sebagai alat mencapai kesejahteraan bersama.

Demikian juga sistem hukum dalam suatu peradilan sebuah bangsa , diciptakan untuk kepentingan bersama sebagai alat perlindungan masyarakat, dalam penegakan hukum, yang tujuan akhirnya juga kesejahteraan bersama.

Dalam kontek peradilan di negeri ini saat ini yang sangat memprihatinkan, yang pada tahun 1980 an, Prof Satjipto Rahardjo mengetengahkan ide terobosan hukum yang tidak hanya terpaku pada dogma aturan baku soal pasal-pasal baik dalam KUHP maupun KUH Perdata, beserta hukum acaranya, tapi memberikan kewenangan mutlak kepada hakim untuk bisa menciptakan hukum menggali hukum baik tertulis maupun yang hidup dalam masyarakat, agar bisa memutus perkara seadil adilnya , dalam kapasitas Jabatan yang obyektif, sebagai wakil Tuhan dan Negara. Yang dikenal dengan konsep aliran  hukum Progresif, Bahwa hukum dibentuk dan diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum  untuk menciptakan hukum sebagai panglima dan memperlakukan derajat yang sama dihadapan hukum ( Equality before the Law).

Bahwa peraturan hukum hanya sarana  perangkat kitab , hidup dan matinya hukum tergantung  dari pada hakim dan penegak hukum yang lain baik polisi ditingkat penyelidikan dan penyidikan, serta jaksa pada proses penuntutan, bahkan juga kepada pengacara yang secara aturan sistem peradilan sebagai salah satu penegak hukum, yang membela terdakwa/ tersangka, disitulah sebenarnya ruh nya hukum tersebut bisa hidup dan tegak, atau mati seperti halnya pohon yang tidak berdaun dan berbuah.

Kondisi saat ini hukum telah kehilangan ruh nya, semua ditransaksikan sebagai alat bisnis , dalam fenomena tersebut maka, sebenarnya dunia pendidikan kita dalam dunia  akademis telah gagal untuk melakukan pencerahan dalam sistem pendidikan saat proses dikawah Candradimuka sebelum diangkat sebagai pejabat penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi, maupun pengacara. Perangkat aturan hanya kumpulan dogma, yang tidak lagi punya ruh keadilan karena jiwa kita, rohani kita miskin bahkan sudah mati untuk memanifestasikan alat hukum tersebut untuk sebuah keadilan. Dunia pendidikan hukum kita telah gagal dalam mencetak manusia-manusia berpendidikan yang mempunyai hati nurani dan kepekaan dalam menjunjung keadilan yang ada hanya terpaku pada hukum positif dalam aliran positivisme.

Dalam dunia politik, telah kita saksikan bersama dari sejak berdirinya negara ini, yang diproklamasikan oleh Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai momentum kemerdekaan sebuah bangsa, selalu terjadi konflik politik dengan kekerasan yang mengarah kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia, dari pemberontakan-pemberontakan karena merasa tidak diperhatikan secara adil dari pemerintah pusat saat itu melahirkan pemberontakan DITII di Jawa Barat, Permesta di Sumatera dan Sulawesi, Pemberontakan PKI 1948, Pemberontakan Gerakan 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan Gestapo PKI, saat pemerintahan Orde Lama, hingga dilanjut kepada pemerintahan Orde Baru dalam peristiwa Talang Sari di Lampung, peristiwa Tanjung Priuk, hingga peristiwa Semanggi dalam tahun 1998 saat menjelang jatuhnya Orde Baru, yang dituduh adanya berbagai penculikan aktivis, hingga menimbulkan dendam berkepanjangan antara keturunan Bung Karno dengan keturunan Pak Harto, yang sangat dirasakan sekaliber ketokohan Pak Harto yang berkuasa 32 Tahun yang telah berbuat banyak dan sangat berjasa kepada bangsa dan negaranya saja, untuk status Gelar  Pahlawan Nasional saja, hingga kini belum ada kejelasan.

Pada medio tahun 2010 telah dibentuk sebuah usaha rekonsiliasi yang dibidani oleh beberapa tokoh Pendiri Pemuda Panca Marga, saat itu dimana telah dibentuk sebuah forum gerakan  yang namanya Forum Silaturohmi  Anak Bangsa ( FSAB ) yang saat itu diketuai oleh Letjend (Pur ) Agus Widjojo, mantan Gubernur Lemhanas, untuk menemukan para keturunan anak dan cucu dari peristiwa tragis sejarah bangsa ini, baik anak dari Kartosuwiryo, anak Aidit , anak dari Jendral Ahmad Yani, dan seluruh pahlawan revolusi 1965, anak tokoh Permesta, untuk bertemu dan melakukan rekonsiliasi agar bisa menata kedepan dari generasi muda saat ini menuju Indonesia yang lebih baik, melupakan dendam, yang dalam bahasa jawa disebut Seng Wes Yo Wes namun kenyataannya hanya bisa terbatas dipertemukan dalam sebuah acara silaturohmi saja, tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dimana masing masing pihak tetap dengan ego dan sudut pandang masing-masing bahwa posisi orang orang tua mereka tidak salah.

Menghadapi momentum pergantian kepemimpinan nasional pada bulan Oktober bulan depan dimana Presiden Joko Widodo digantikan Oleh Presiden Terpilih Jendral (Pur) Prabowo Subiyanto, marilah kita merajut kebersamaan seperti halnya budaya Ubuntu di Afrika Selatan, kita saling memaafkan pada diri sendiri maupun kepada keturunan pihak lain, untuk sebuah Rekonsiliasi Nasional, bagi presiden yang telah purna tidak lagi menjabat, diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin negara ini, apapun kesalahan pada saat menjabat agar ada kebijaksanaan diputihkan, dari segala tuntutan hukum dan hujatan serta dendam secara politis, untuk menyongsong mentari dari ufuk Timur, seperti dalam lagu Di Timur Matahari. Hanya dengan keberanian, kebijaksanaan dan menjunjung tinggi harkat martabat (Mendem Jero, Mikul Duwur) maka bangsa ini bisa melakukan tinggal landas menuju Indonesia Emas.

Semoga Indonesia juga meniru dan terilhami perjuangan dari Uskup Agung (Emeritus) Desmond Mpilo Tutu, dimana hanya dengan pendekatan rekonsiliasi dan non kekerasan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan, termasuk memutus tali dendam yang berkepanjangan dari sesama anak bangsa atas politik pada pemimpin masa lalu. Statemen Desmond Tutu yang termasyur dimana beliau menyatakan: “No Future without Forgiveness” – Tidak ada masa depan tanpa saling memaafkan (di antara sesama anak bangsa).

Ubuntu aku adalah kita, jangan lagi kalian pecah belah kami dengan slogan dan cara-cara politik kotor  dan  dengan materi transaksional kepada kami karena aku adalah kita, kebersamaan dalam komunitas masyarakat berbangsa dan bernegara sebagai sesama anak bangsa.

Hanya dengan cara rekonsiliasi yang dimulai dari  memaafkan pada diri sendiri , lalu memaafkan kepada pihak yang dianggap rival dalam politik, maka bangsa ini bisa jadi bangsa yang matang dan besar. Jangan ada lagi dendam dan intrik politik dengan menggunakan kekuasaan secara hukum, mari kita rajut kembali Keindonesiaan ini, menuju damai Sejahtera,  saling asah-asih-asuh, menuju Indonesia Emas tahun 2050. Tidak mudah memimpin sebuah negara yang pluralisme dengan adat istiadat berbagai suku yang berbeda, dengan budaya daerah dan bahasa yang berbeda, dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai seorang pemimpin dari kodratnya sebagai hamba Tuhan tentu wajar jikalau ada kekurangan, tapi mari kita memandang darma baktinya yang baik kepada bangsa ini.

————————-

*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pengamat, Pemerhati Masalah-masalah Sosial,  dan Budaya

 

 

ShareTweetSend
Next Post
Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa Lalu, dalam Pelanggaran HAM untuk Menatap Bangsa Ke Depan 

Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Daniel Dhakidae dan Perihal Isi Dalam

Daniel Dhakidae dan Perihal Isi Dalam

4 tahun ago
Membangun Harmoni di Tengah Keragaman  (“Post Scriptum” Seminar Nasional FISKK IAKN Kupang)

Membangun Harmoni di Tengah Keragaman (“Post Scriptum” Seminar Nasional FISKK IAKN Kupang)

10 bulan ago

Popular News

  • “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In