Stephie Kleden-Beetz
LAMBANG adalah sebuah bahasa, bahasa tertua manusia. Sampai sekarang di abad computer ini pun kita hidup dalam “lautan” lambang. Sebuah lukisan, entah itu bintang, garuda, beringin, perahu, atau apapun saja, baru menjadi lambang bila di dalamnya terkandung sesuatu yang lebih dari pada yang hanya terlihat oleh mata. C. G. Jung, psikiater (1875-1961) berkata: “Lambang memiliki aspek yang tak sadar yang mustahil dapat diterangkan atau diberi definisi setepatnya”. Pun : “Musik adalah juga Bahasa yang dipahami siapa saja”.
George Bernard Shaw, (1856-1950) dramawan Irlandia dan juga pemenang hadiah Nobel Kesusasteraan, tahun 1926, pernah berkunjung ke rumah seorang yang sangat kaya. Si tuan rumah bertanya, apa kesan tamunya tentang barang-barang antik yang mahal. Shaw menjawab: “Saya merasa seperti berada di museum, yang paling penting tidak terdapat di sini.” Orang kaya itu terkejut, lalu spontan bertanya: Apa? “Buku”, jawab Shaw.
Dulu di kota-kota besar Eropa ada gerobak penuh buku berkeliling dan orang boleh leluasa mencari. Seorang mahasiswi membeli buku karangan Beranger, : penyair Perancis, (1780-1852). Di rumah ia terkejut ketika menemukan setumpuk uang di balik sampul tebal buku itu dengan sebuah nota bertuliskan “Duit ini hadiah bagi pencinta buku”. Bahwa buku itu mencerdaskan manusia, semua kita tahu. “Katakan apa yang anda baca, dan akan kukatakan siapa anda”. Tentu ada pula buku yang tidak bermutu.
Kita tidak bisa berkomunikasi tanpa bahasa. Buah, pikiran yang lahir dalam kepala kita, hanya mendapat wujud dalam bahasa. Semakin tertata-rapi bahasa kita, semakin mudah kita membuat orang lain memahami maksud kita. Semakin “ngawur” dan panjang lebar dan tidak keruan bahasa kita, semakin bingung pihak yang mendengarnya. Kemarin seorang sahabatku berkeluh-kesah tentang aneka naskah yang masuk majalahnya, dan dia harus mengedit naskah-naskah tersebut. “Astaga, saya jadi “pusing, tujuh keliling” benar-benar minta ampun”.
Diterimanya kita dalam pergaulan dengan sesama amat tergantung bukan hanya pada peri laku kita melainkan terutama pada bagaimana kita bertutur-kata, ya berbahasa. Sepotong kalimat biasa bisa membuat hidup seseorang berubah, merasa berguna. Misalnya: “Jangan menyerah, coba sekali lagi pasti bisa!” Kalimat yang menguatkan dan memberi semangat ini dapat diucapkan oleh ayah-ibu kepada anak-anaknya, atau bapak dan ibu guru kepada murid-muridnya, atau atasan kepada bawahannya.
Kenapa tidak suka Matematika? Seorang mahasiswi ditanya. Karena guruku pernah menghardik dengan galak “Goblok amat sih!” jawab si cantik itu. Maka ia pun langsung patah-arang dengan mata pelajaran eksakta dan kini menekuni bidang bahasa. Bahasa kita mengenal ungkapan: “Kata-kata lebih tajam dari pedang”. Tetapi kata pun memiliki daya sihir yang menghanyutkan pendengar atau pembacanya. Coba dengar sanjungan berikut: Wow, rambutnya bagaikan mayang berurai, alis persis semut beriring, lengan mulus seperti gading yang tidak retak, lehernya jenjang mempesona dan masih banyak lagi.
Betapa senang saya menjelajahi ‘Ruang Siswa’ Warta Flobamora, membaca puisi dan cerita pendek dari para murid sekolah. “Rajin-rajinlah adik-adik. Sebab tak ada juara yang jatuh dari langit, semua harus dimulai langkah demi langkah,” Selamat berjuang untuk masa depan yang gemilang.
Ada ungkapan oleh Grace Hopper: “A ship in port is safe, but this is not what ships are built for” (Kapal di pelabuhan memang aman, tetapi bukan itu maksud kapal dibuat). Justru di lautan ya di samudra raya kapal baru berfungsi, ketika bertarung dengan ombak dan gelombang atau angin puting beliung.
Bersama Petronius, penyair Romawi kita pun berkata: “Perjuangan untuk mencapai sesuatu justru perlu, sebab apalah artinya kemenangan mudah yang terasa hambar dan tak memberi kepuasan di hati dan kebanggaan di jiwa”.
——————–
Sumbber Tulisan Warta Flobamora, Edisi 38 – Maret 2016