Oleh Fridiyanto
DANIEL DHAKIDAE, seorang begawan ilmu sosial yang mungkin menurut saya tidak terlampau banyak dikenal di kalangan akademisi perguruan tinggi islam. Setidaknya ini saya amati di beberapa grup WhatsApp perguruan tinggi islam yang tidak ada sahutan ataupun komentar terkait berita wafatnya peneliti media, sejarah dan sosiologi intelektual ini. Jika Dhakidae dikenal di kalangan akademisi perguruan tinggi Islam, tentunya terdapat ucapan bela sungkawa yang mungkin dibarengi dengan sedikit ulasan tentang kiprah Dhakidae di dalam dunia intelektualisme dan ilmu-ilmu sosial. Postingan terkait Dhakidae dari para sarjana Islam saya lihat di akun facebook Rektor UIN Banjarmasin, yaitu Prof. Mujiburrahman yang menceritakan pertemuan fisik dan pengaruh pemikiran Dhakidae.
Saya sendiri mengenal Dhakidae bukanlah dalam perjumpaan fisik di forum-forum ilmiah, tetapi hanya dalam pergumulan pemikiran melalui karya-karyanya. Pertemuan dengan Dhakidae, karena kegandrungan saya mengoleksi dan membaca majalah Prisma lawas dan terbitan terbaru, yang di dalamnya banyak tersebar tulisan-tulisan Dhakidae. Secara perlahan saya mulai membaca dan sangat terpesona dengan kedalaman dan menariknya retorika Dhakidae.
Dari tulisan Dhakidae di Prisma, kemudian saya mulai menelusuri dan membeli buku-buku karya Dhakidae, sebut saja: Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,sering dikatakan sebagai magnum opusnya Dhakidae. Dalam pengantarnya, Dhakidae terngiang dan terganggu dengan pesan Ben Anderson bahwa buku tentang cendekiawan di Indonesia yang ditulisnya harus “go beyond Prisma”. Kemudian melalui disertasinya di Cornell University, yang berjudul “the State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry”, Dhakidae mengungkap bagaimana ketika media semakin mengakumulasi kapital, maka para jurnalis akan semakin teralienasi dari kerja jurnalisnya yang politis. Semoga saja disertasi Dhakidae tentang politik ekonomi media dan industri media dapat diterjemahkan dan diterbitkan.
Bersama Vedi R. Hadiz, Dhakidae menyunting buku, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia yang mengkritik tentang macetnya ilmu sosial di Indonesia. Buku terakhir Dhakidae, Menerjang Badai Kekuasaan merupakan sebuah buku unik yang ditulis bercorak biografis mulai dari Bung Karno, seorang pemimpin bangsa sampai Kusni Kasdut, seorang kriminal tenar di masa Orde Baru. Lewat buku ini Dhakidae ingin menyampaikan tentang adanya “being and nothingness”. Soekarno sebagai narasi besar adalah tentang “being a nation”, sementara, Rohimah, seorang jelata dan Kusni Kasdut sebagai seorang bandit merupakan wajah “nothingness of a nation”, sebuah wajah kemiskinan, ketidakadilan, pembiaran, dan pengabaian terhadap rakyat jelata yang dianggap tidak memiliki makna. Dhakidae bukan sosok pemikir yang penuh nafsu untuk menulis banyak buku, ia lebih memilih kedalaman, sehingga tidak aneh jika buku-buku karyanya memiliki keabadian, dan selalu relevan dengan zaman.
Cendekiawan dan Kekuasaan
Kesan saya terhadap karya-karya Dhakidae menegaskan bahwa pemikiran-pemikirannya tidak terlepas dari diskursus seputar cendekiawan dan kekuasaan yang kemudian ditulis dengan berbagai kasus dan peristiwa. Buku Cendekiawan dan Kekuasaan, pasca wafatnya Dhakidae, kembali menjadi perbincangan tentang apa dan siapa itu cendekiawan. Buku Cendekiawan dan Kekuasaan ini adalah buku yang pernah menginspirasi saya untuk menulis buku berjudul, Kaum Intelektual dalam Catatan Kaki Kekuasaan, sebuah buku eksperimen saya yang ingin mengupas sejarah dan peran intelektual di Indonesia.
Bagi Dhakidae hanya mereka yang terlibat dalam sebuah diskursus yang dapat disebut sebagai kaum cendekiawan, karena sebuah diskursus lebih berbahaya dari senjata. Masa rezim Orde Baru Soeharto, sepucuk surat dari Cornell (Cornell Paper) yang ditulis oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey yang membongkar kedok Kudeta 1 Oktober 1965 bukan dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, melainkan manuver para jenderal senior Angkatan Darat, bagaikan sebuah bom nuklir yang dapat menghancurkan konstruksi negara Orde Baru, sehingga sangat mengkhawatirkan Soeharto. Maka bagi Orde Baru, setiap diskursus tandingan terkait peristiwa 65 “resmi” layaklah bagi cendekiawan dengan karyanya untuk dilenyapkan.
Seorang cendekiawan bukan seorang yang menulis buku dan artikel ilmiah, cendekiawan tidak ditandai hanya dengan kepemilikan ijazah sebagai tanda ke-terpelajaran. Kaum cendekiawan bukanlah intelektual fungsional yang dibayar oleh negara untuk menjalankan peran sebagai abdi negara, bekerja bagi kepentingan penguasa. Cendekiawan juga bukan seorang mistikus yang melakukan pertapaan di kesunyian puncak gunung. Cendekiawan bukan orang-orang yang tercerabut dari persoalan-persoalan sosial, sebagaimana kritik Dhakidae terhadap “La Trahison des Clercs”nya Jullien Benda yang mengatakan cendekiawan adalah sejenis manusia lain yang tidak mengejar tujuan-tujuan praktis. Kebahagiaan seorang cendekiawan adalah ketika ia dapat mengerjakan kesenian, ilmu pengetahuan, dan spekulasi-spekulasi metafisik. Sehingga dari keterasingan ini muncul ungkapan ekstase seorang cendekiawan, “Kerajaanku bukan dari dunia ini”.
Keasyikan kaum cendekiawan dengan dunianya sendiri inilah kiranya yang membuat sahabat Dhakidae, Vedi R. Hadiz pada diskusi bertajuk ”Cendekiawan dan Kekuasaan: Mengenang Kepergian Daniel Dhakidae di Chanel Historia mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada intelektual organik. Pernyataan ini karena minusnya kaum cendekiawan yang menyuarakan kepentingan rakyat, kaum cendekiawan di Indonesia hanya membela penguasa dan pemodal.
Kaum cendekiawan langitan versi Benda menurut Dhakidae bahwa cendekiawan melihat kehidupan bukan saja sebagai hal yang terpisah dari, namun harus berdiri di atas bahkan harus di luar berbagai persoalan sosial, perkembangan ekonomi dan politik. Sehingga seorang cendekiawan dapat hidup di atas angin dalam kerajaan roh,”qui vit dans le rotaume d ‘esprit”. Benda mengatakan bahwa kehidupan dalam perkembangan ekonomi, teknologi, dan modal akan dapat menekan nilai-nilai kecendekiaan. Kritik Benda terhadap pengkhianatan kaum intelektual di Eropa tersebut dikritik oleh Dhakidae karena tidak tepat untuk kondisi dunia Timur, terutama Indonesia. Jika di Indonesia kaum cendekiawan harus berbicara kesadaran kelas karena untuk agenda emansipasi, jika kaum cendekiawan bicara nasionalisme maka hal itu merupakan la fidelite des clercs yaitu sebuah gerakan menjaga prinsip dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan.
Dhakidae telah meninggalkan warisan intelektual, tinggal generasi berikutnya,“hidupkan teks tersebut dengan nada-nada musikal, apa yang tidak kau temukan di sini, gubahkan sendiri”. Tentu tulisan Dhakidae bukanlah tulisan-tulisan yang terindeks Scopus atau terindeks Sinta yang saat ini menjadi sebuah tujuan bagi para cendekiawan fungsional di Indonesia. Kesahajaan, kedalaman, dan keberpihakan pemikiran Dhakidae terekam dalam Prisma yang tidak terindeksasi apapun, bahkan agar dapat terus terbit Jurnal Sosial berbobot ini harus mengalami nasib bagai sisyphus yang berusaha melawan nasib yang selalu jatuh, bangun lagi, jatuh lagi, tapi pemikiran Dhakidae tidak mati, ia akan terus bernyanyi dengan berbagai nada dalam orkestra realitas sosial.
————————
*Penulis adalah pengajar di UIN STS Jambi dan Penulis buku Kaum Intelektual dalam Catatan Kaki Kekuasaan.
*Sumber Tulisan: Kajanglako.com, 13 April 2021