Oleh Hildegardis Mutha Kasi, Kadis Dukcapil Nageko, Flores, NTT
Masalah gender dan anak merupakan fenomena yang masih marak kita jumpai hingga saat ini. Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak, perlindungan bagi mereka dari pelbagai tindakan eksploitatif serta kekerasan dan diskriminasi belum optimal. Perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan masih rendah. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah status hukum anak yang tercatat sebagai “anak luar kawin” atau anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, baik menurut hukum agama maupun hukum negara. Di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT, misalnya, terdapat 2.408 anak yang tercatat sebagai “anak luar kawin”. Status “anak luar kawin” seperti ini akan berdampak pada kesulitan dalam mengurus dokumen administrasi kependudukan saat memasuki dunia pendidikan dan bahkan dunia kerja. Selain itu, anak luar kawin akan menanggung beban batin dan tekanan psikis di tengah lingkungan pergaulannya karena rentan mengalami kekerasan, baik verbal maupun nonverbal dari orang-orang di sekitarnya.
Dari total jumlah penduduk Nagekeo sebanyak 165.098 jiwa, 50,51 persen adalah perempuan dan 49.49 persen adalah laki-laki (Bdk. Pusat Data Kemendagri, 10 Juli 2024). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komposisi penduduk menurut jenis kelamin berimbang. Bila dilihat dari segi umur, sebanyak 30,73 persen atau 50.734 jiwa adalah anak-anak. Penduduk berusia di bawah 19 tahun sebanyak 26.414 anak laki-laki dan 24.320 anak perempuan. Dengan demikian, jumlah anak di Nagekeo mencapai lebih dari sepertiga total jumlah penduduk Kabupaten Nagekeo. Melihat besarnya jumlah ini, maka peningkatan kualitas hidup anak harus menjadi perhatian serius.
Gambaran kondisi perempuan dan anak di atas menjadi dasar penting bagi penyusunan kebijakan yang tepat bagi pemenuhan hak-hak anak, terutama hak sipil anak serta perlindungan terhadap kekerasan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab kekerasan terhadap anak berdampak terhadap tumbuh kembang anak. Berdasarkan data dari Pusat Data Kemendagri 2024, terdapat 2.408 anak di Kabupaten Nagekeo yang tercatat sebagai “anak luar kawin.” Status ini merupakan dampak dari status hukum perkawinan orang tua mereka yang belum sah.
Masalah status anak luar kawin ini, menurut prediksi saya, akan semakin bertambah di masa-masa yang akan datang, sebab masih ada kecenderungan dari banyak calon pasangan suami istri atau calon orang tua di zaman ini yang gampang memilih tinggal bersama sebelum menikah secara resmi. Bahkan, jumlah pasangan seperti ini semakin meningkat dari tahun tahun ke tahun, meskipun praktik ini dilarang oleh agama dan bertentangan dengan aturan hukum negara. Fenomena hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah seakan dianggap masyarakat sebagai hal yang wajar.
Fenomena “anak luar kawin” atau anak hasil “kumpul kebo” atau yang juga dikenal dengan istilah cohabitation atau living together yang merujuk pada praktik pasangan yang tinggal bersama dan menjalin hubungan intim tanpa pernikahan yang sah harus juga mulai menjadi perhatian serius berbagai pihak, mengingat hal ini juga berdampak pada status hukum identitas anak.
Maraknya tren kumpul kebo ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, faktor ekonomi. Tantangan ekonomi seperti biaya hidup yang tinggi dan ketidakstabilan pekerjaan membuat banyak pasangan menunda pernikahan. Hidup bersama tanpa ikatan resmi dianggap sebagai solusi praktis untuk menghemat biaya hidup sambil tetap menjalin hubungan intim. Kedua, budaya mahar atau “ belis” yang sangat mahal. Praktik belis juga menjadi pemicu terjadinya kumpul kebo di kalangan pasangan muda dengan ekonomi terbatas. Pasangan-pasangan muda menunda perkawinan secara resmi atau sah sambil mengumpulkan uang mahar atau belis untuk memenuhi kewajibannya. Ketiga, hubungan cinta beda agama. Beberapa pasangan beda agama yang terlanjur jatuh cinta dan belum mau saling mengalah karena alasan tertentu atau keberatan keluarga besar untuk pindah agama adalah juga penyebab yang lain. Masalah beda agama membuat para calon suami istri memilih kumpul kebo sebagai solusi untuk mempertahankan hubungan cinta mereka. Mereka tinggal kumpul kebo sambil menunggu kesepakatan kedua belah pihak (kedua pihak keluarga) agar dapat melakukan pernikahan yang sah. Keempat, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai perkawinan menurut ajaran agama juga membuat sebagian orang melakukan praktik kumpul kebo dan melahirkan anak-anak dengan status “anak luar kawin”. Kelima, pengaruh sekularisasi dan menurunnya religiositas masyarakat juga berkontribusi bagi meningkatnya tren kumpul kebo yang berujung pada lahirnya anak-anak dengan status “anak luar kawin”. Kurangnya tindakan hukum dan sanksi sosial yang tegas. Lemahnya tindakan penegakan hukum dan sanksi sosial yang tegas membuat para pelaku kumpul kebo merasa aman-aman saja menjalani praktik hidup tak terpuji itu tanpa merasa bersalah.
Akibat dari hidup bersama pasangan di luar perkawinan yang sah, sanksi administratif terpaksa harus ditanggung oleh anak-anak yang sebenarnya tidak bersalah. Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut pada akhirnya tidak memiliki status hukum yang jelas, dan hal ini dapat berdampak lebih lanjut pada hak warisan, hak asuh, dan perlindungan hukum bagi sang anak.
Selain dampak hukum, dampak psikologis dari masalah tersebut juga sangat berpengaruh pada anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pergaulan kumpul kebo mungkin mengalami kebingungan terkait nilai-nilai keluarga dan perkawinan. Anak-anak tersebut juga berisiko mengalami stigma sosial dan masalah psikopogis akibat status hubungan orang tua mereka. Selain itu, pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Terkait pemenuhan hak “anak luar kawin” atau anak ibu dan kumpul kebo, kebijakan yang diambil pemerintah minimal difokuskan pada pencegahan dengan meminimalisasi perkawinan yang tidak sah secara hukum agama dan hukum negara, serta penanganan masalah yang dihadapi anak melalui upaya pengakuan dan pengesahan anak. Prinsip kepentingan terbaik untuk anak senantiasa diupayakan agar semua keputusan, kegiatan, dan dukungan dari para pihak yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak semata-mata untuk memenuhi hak anak, terutama dalam kaitan dengan identitas anak sebagai anak yang menyandang status hukum “anak bapak dan mama” secara utuh, serta hak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa tekanan batin. Selain itu, perlu dioptimalkan peningkatan perlindungan terhadap anak dari pelbagai tindakan kekerasan, penelantaran, eksploitasi, kehilangan hak waris di tengah budaya patriarkat dan perlakuan-perlakuan bias lainnya.
Pemerintah sendiri telah membuat kebijakan yang mendorong percepatan pemilikan akta kelahiran melalui (1) Penetapan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada 24 Desember 2013. (2) MoU Delapan Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam rangka Perlindungan Anak. (3) Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran.
Selanjutnya, untuk mengatasi tren kumpul kebo pasangan muda yang semakin semarak, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, antara lain penguatan pendidikan agama dan moral, sosialisasi dan edukasi publik, penguatan peran keluarga, penegakan hukum yang konsisten, pemberdayaan ekonomi dan peningkatan akses terhadap konseling pranikah, revisi dan harmonisasi peraturan, serta pemberian pelayanan yang tidak diskriminatif.
Semoga sinergisitas pemerintah dan semua komponen masyarakat berhasil menekan laju pertambahan jumlah “anak luar kawin” sebagai hasil dari praktik kumpul kebo dan lepas tanggung jawab yang dilakukan oleh salah satu calon pasangan orang tua sekaligus memastikan status hukum dan pemenuhan kebutuhan lainnya dari anak-anak yang selama ini sudah menjadi korban perilaku pasangan-pasangan muda yang sudah hidup bersama dan menghasilkan anak sebelum menikah secara resmi, baik nikah agama maupun menikah sesuai aturan negara.
——————————