Oleh Oscar Motuloh
Aktivitas di dermaga Sydney kala itu berlangsung seperti biasa. Tapi juru kamera Marion Michelle mulai membangun kisah yang dirunut oleh salah satu perintis film dokumenter berkebangsaan Belanda, Joris Ivens. Dalam rekaan realita dicampur dengan rekonstruksi adegan di keriuhan pelabuhan, fokus diarahkan pada sejumlah pekerja saat melakukan aksi mereka. Ada yang berkebangsaan Australia, Jim Healey, dia ternyata adalah kepala serikat buruh pelabuhan. Bersama seorang pelaut berbadan tegap, berkulit gelap, Jim berlari membawa pengeras suara meloncat ke geladak kapal patroli kecil. Mereka bergerak di antara kapal-kapal yang tengah berlabuh membongkar-muat barang. Mereka menyerbu agar para buruh kapal dan pelabuhan melakukan mogok kerja. Tak melayani kebutuhan kapal perang dan kapal niaga Belanda yang berniat menyelundupkan senjata ke perairan Indonesia demi menggapai syahwat kolonialnya kembali. Merebut bekas tanah jajahan yang beberapa bulan lalu, 17 Agustus 1945, telah menyatakan kemerdekaannya.
Seruan perihal pentingnya kemerdekaan bagi sebentuk bangsa spontan beroleh dukungan nyata oleh mayoritas buruh dari macam-macam ras di areal pelabuhan. Drama penggalangan dukungan dengan usaha pemogokan beroleh rahmatnya. Dengan durasi 22 menit, melalui tajuk yang dipilih Ivens, film documenter Indonesia Calling berhasil memenangkan hati pemirsa perihal betapa kuatnya semangat solidaritas buruh berbagai bangsa yang bekerja di pelabuhan untuk melakukan pemogokan demi mendukung keberadaan janin merdeka yang bernama Republik Indonesia. Di antara keriuhan, membahana teriakan, “freedom.. freedom for Indonesia“ yang lantang bertalu-talu. Membunuh mesin-mesin kapal yang tak lagi berisik menggelegar.
Healey tersenyum menatap rekannya, pelaut berbadan gelap yang tampak terharu menyaksikan begitu besar dukungan bagi kemerdekaan bangsanya, Indonesia. Dalam semangat eforia kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, Ivens meletakkan hati dan prinsip anti kolonialismenya bersama solidaritas para buruh di sana. Di penghujung film dokumenter yang mulai beredar secara global pada tahun 1946 itu, lagu Indonesia Raya berkumandang dengan anggun, penuh martabat. Editing dalam format hitam-putih yang canggih pada masanya, menimbulkan imajinasi yang melivuk bersama sang saka merah putih dan barisan anak-anak muda yang menghormat pada simbol kebebasan yang berkibar di angkasa. Membiarkan berkas mentari menyelinap di antara koreografi bendera yang seolah menyibak cakrawala dan dunia yang merdeka nan damai. Kreditasi produksi kemudian berlalu dari layar.
Saat penerangan ruang dinyalakan, masih tampak sejumlah fotografer muda tertegun dengan mata berkaca. Ada rasa bangga terlihat di antara tepuk tangan panjang membahana di ruang kecil tempat film itu diputar, di Galeri Foto Jurnalistik Antara, pada suatu September 2008. Indonesia Calling ditayangkan kembali mengiringi pameran foto karya Mendur Bersaudara dan seorang fotografer Belanda bernama Cas Oorthuys dalam tajuk “Identitas Untuk Kebangkitan”. Kegiatan yang digelar untuk mengenang 100 tahun Kebangkitan Nasional pada peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke 63.
Akibat dukungan Ivens yang tertuang dalam Indonesia Calling, pemerintah Belanda mencekalnya untuk kembali ke tanah airnya dan membiarkan dia menjadi eksil dan tinggal di sejumlah persinggahan di Eropa Timur. Meskipun kemudian haknya dipulihkan pada tahun 1988 karena berjibun penghargaan yang diterimanya sebagai pembuat film dokumenter yang prestisius, namun Ivens memilih Paris sebagai tempatnya menutup mata, dalam usia 91. Fotografer Cas Oorthuys juga mengalami hal serupa, namun tak separah Ivens. Dalam dua tahun keberadaannya di Indonesia, Januari – Maret 1947, ketika pemerintahan Republik Indonesia terasing di Yogyakarta, Oorthuys mengabadikan keseharian rakyat negeri baru tersebut. Dia menjelajah pulau Jawa dan Kalimantan, membawa pulang kenang-kenangan himpunan foto yang memperlihatkan dukungan visual dan hatinya atas optimisme yang terlihat dari keseharian rakyat dan buruh Indonesia yang begitu yakin atas kemerdekaan yang diraih dengan darah dan airmata.
Oorthuys tercatat sebagai fotografer Belanda pertama yang menyuarakan dukungannya atas kemederkaan Indonesia melalui imaji-imaji yang diciptakannya. Di Belanda, pendiriannya atas Republik Indonesia mendapat kecaman dan hujatan luar biasa dari pemerintah dan sebagian bangsanya. Buku foto dengan tulisan yang dibuat oleh pakar pendidikan Albert de la Court diberi judul “Een Staat in Wording” (A State in the Making), akhirnya terbit pada bulan Juli 1947. Dalam pengantar buku de la Court menulis, “Foto-foto yang dikumpulkan disini, memperlihatkan berbagai aspek dari kenyataan di Indonesia selama pekan-pekan terakhir sebelum penandatanganan persetujuan Linggarjati. Foto-foto ini memberi gambaran mengenai apa yang tumbuh dan yang mati di sana: mengenai hal-hal baru yang datang, dari hal-hal yang lama yang menghilang setelah banyak perjuangan dan penderitaan… Dari berbagai gambar ini akhirnya akan timbul kesan: di sini ada sebuah negara yang sedang menjadi. Sebab begitulah kenyataannya…”
Fotografi dan realita selalu menimbulkan risiko profesi. Karena prinsip dan idealisme yang menetapkan cap prestise pada pencapaian seorang fotografer. Dalam arena dokumenter dan jurnalistik visual, para profesionalnya tak bisa eksis dan diapresiasi hanya karena garis tangan. Mereka menempuh penugasan ataupun insiatif pribadi dengan gunungan risiko. Oorthuys dan Ivens menempuh itu dengan bahagia. Mereka menerobos kendala opini dengan perkasa. Merekam optimisme yang disimbolkan pada gestur dan karakter garis-garis pada wajah para buruh dan rakyat jelata lainnya. Mengamati imaji Oorthuys pada fotografi dan Ivens atas sinematografi, mendudukkan kita pada kekuatan visual yang akan selalu mengutarakan opininya dengan elegan.
Mereka seperti menghadirkan kolobarasi fotografer eksentrik Eadweard Muybridge yang memotret secara simultan gerakan puncak manusia dan hewan dengan dua lusinan kamera sekaligus, yang dilakukannya pada tahun 1870-an. Muybridge kemudian dikenal sebagai fotografer yang dianggap sebagai perintis perfilman, alias bapak gambar bergerak. Terinspirasi dari metode eksperimentalnya, maka Lumiere bersaudara berhasil menemukan kamera film dan menayangkannya pada 1895 dan setahun kemudian Thomas Alva Edison sukses mengembangkan penayangan film ke layar perak di hadapan penonton yang membeli tiket masuk dan menyaksikan sejarah dengan sangat antusias. Maka cinematografi dan sebaliknya menjadi perpanjangan maksud dari medium visual yang memang saling membutuhkan dan melengkapi.
Dari semangat itulah, peringatan Hari Buruh (May Day) kali ini ditafsir dalam realita hasil reportase sejumlah fotografer yang merekam aktivitas sebagian besar buruh perempuan dalam menyuarakan aspirasi mereka. Kemerdekaan Indonesia, kehadiran karya Oorthuys dan Ivens adalah referensi fotografi yang selalu relevan dalam prinsip-prinsip gerakan buruh di seluruh pelosok tanah air. Dari semangat itulah para fotografer muda berikut meletakkan pengamatannya. Diana Putri Tarigan, Adhi Wicaksono, Atet Dwi Pramadia, Grandyos Zafna, Fanny Octavianus, Fahrul Jayadiputra, Ismar Patrizki, Irsan Mulyadi, Joko Sulistyo, M. Agung Rajasa, M. Risyal Hidayat, Nyoman Budhiana, R. Rekotomo, Seno Soegondo, Yudhi Mahatma, Yusran Uccang dan Zabur Karuru. Mereka menyibakkan pada kita kondisi keberadaan para buruh masa kini yang detil interiornya coba ditampilkan secara detil oleh fotografer Diana Putri Tarigan.
Melengkapi keberadaan pameran foto buruh bertajuk “cerita dari balik layar: BERANDA PARA BURUH”, maka di ruang Neo Journalism Club dihadirkan potongan imaji foto-foto still photo movie yang dicuplik dari produksi film cerita berdasar inspirasi kejadian yanng sesungguhnya. Mengambil judul “KISAH 3 TITIK“, film ini mencoba merespons kisah kehidupan keseharian tiga buruh yang datang dari strata berbeda. Ada tiga karakter yang menjadi sentral cerita. Titik Sulastri kerap disebut sebagai Titik Janda berusia 28 tahun. Pendiam, mengutamakan kebahagian sang anak karena telah bercerai dengan suaminya. Mencoba peruntungan nasib dengan bekerja di Jakarta. Ada Titik Dewanti Sari yang disapa dengan Titik manajer. Anak tunggal, tinggal dengan ayah yang dibiayainya. Ibunya kabur sejak Titik Janda masih kecil. Dia adalah social climber yang ingin meraih cita dengan cara apapun. Terakhir ada karakter Kartika, allas Titik Tomboy, melewati masa kecil di daerah bergajul, hidupnya keras. Itu sebabnya dia selalu berdandan seperti pria pada umumnya.
Ke-tiga tokoh fiktif ini memandang Jakarta dan kota besar dengan cara mereka masing-masing. Kehidupan ibukota yang keras dan maskulin membuat drama film ini menjadi satu garis linear yang mungkin menjadikan masyarakat dari strata-strata lainnya berjalan menghitung hari-hari mereka dalam keacuhan. Kepenatan kota yang menyebabkan manusia mencari kesenangan semu bagi jiwa yang terpinggirkan. Di ujung film sutradara Bobby Prabowo membiarkan semua sengkarut kehidupan menjadi fragmen yang harus di jawab dan menjadi PR penonton. Diana mencoba menampilkan karakter realita dari para tokoh non-fiksinya, Dwi Slamet Rahayu, mengadu peruntungan di Jakarta karena harus menginginkan kehidupan yang lebih baik bersama suaminya. Dwi Murtini, perempuan tomboy berasal dari Wonogiri yang mencintai sastra. Dan Hartiati hijrah ke Jakarta pada 1993, usai merampungkan Sl-nya di fakultas SosPol pada salah satu universitas di Ponorogo.
Dalam perjalanan kelam dunia buruh semenjak masa kegelapan pada pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Van den Bosch (1830-1870) yang zalim karena menerapkan sistem tanam paksa. Meskipun petani di tanah Jawa tetap diperkenankan memiliki tanah, namun harus membayar pajak tanah atau menyerahkan diri sebagai budak untuk bekerja sepanjang 66 hari setiap tahun. Status kepetanian mereka secepat kilat berubah menjadi kuli semata. Di desa Badur, Banten, kondisi itu ditafsir dengan menyerahkan sapi seperti milik keluarga Saijah dalam roman berjudul Max Havelaar, of de koffiji-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar: Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda”, ditulis di Belgia pada 1859, lalu diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1860, alihbahasa Indonesia dilakukan HB Jassin pada 1972).
Dari selipan karya Eduard Douwes Dekker bekas residen di Lebak tersebut kita dapat menyelami atmosfir keberadaan para putra pribumi yang dipekerjakan sebagai kuli kerja paksa dan tentu kisah cinta sejati antara Saijah dan Adinda yang berakhir dramatis. Aroma sastra penuh kesengsaraan nan korup, mirip dengan sanubari Douwes Dekker yang selalu merana serta menyerep penderitaan rakyat Indonesia yang sesungguhnya amat dicintainya. Dari sana, dia memilih nama berbahasa latin sebagai nama penanya, Multatuli (aku sungguh menderita). Pada tahun 1976 sutradara Belanda Fons Rademakers didampingi Mochtar Soemodimedjo mengangkat epik ini ke layar lebar dengan judul yang sama dan menjadi film terberangus oleh rezim Orde Baru.
Film ini ditarik saat siap ditayangkan di bioskop ibukota. Setelah Orde Baru tumbang, kebebasan berekspresi tetap terbelenggu syak wasangka. Saat Slamet Raharjo mengangkat kisah pejuang buruh Marsinah ke layar perak, dia juga mendapat sinyal dari Menteri Menakertrans untuk menunda produksi, pihak militer juga mengajukan keberatan atas film tersebut. Akhirnya “Marsinah: Cry Justice” tayang di bioskop-bioskop ibukota pada April 2002. Sementara Eros Djarot, adik kandung Slamet, mengalami hal yang lebih buruk ketika mencoba mengangkat kisah buruh perempuan di tahun 1965. Bertajuk “Lastri”, film drama bertema sosial tersebut malah dihentikan setelah proses shooting telah menyelesaikan 12 scene adegan. Berlarutnya ijin shooting dan juga penolakan masyarakat, membuat pihak produksi menghentikan proses pengambilan gambar film tesebut pada November 2008.
Peringatan Hari Buruh pasca-reformasi selalu mengesankan eforia, mirip seperti pawai partai politik yang bikin macet jalanan dan bikin was-was para pengusaha eceran setelah 32 tahun dikendalikan oleh satu partai saja. Maklum sejak diberangus sepanjang kekuasaan rezim Soeharto, peringatan Hari Buruh selalu ditafsir oleh penguasa Orde Baru sebagai produk komunisme, meskipun kita tahu May Day terjadi atas gerakan solidaritas global atas unjuk rasa buruh berdarah yang berlangsung sejak 1 Mei 1886 di Chicago, AS. Pada tanggal 4 Mei, konflik fisik pecah, petugas membantai penunjuk rasa tak berampun. Ratusan pendemo tewas sebagai martir, begitu pula para pemimpin mereka yang ditangkap dan dieksekusi. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Pembantaian Haymarket. Demi pengorbanan atas perjuangan mereka menuntut perbaikan jam kerja serta hak sipil lainnya, maka 1 Mei menjadi peringatan Hari Buruh secara global.
Kita tentu masih ingat betapa Marsinah harus menyerahkan jiwanya untuk pembentukan serikat buruh di pabrik tempatnya bekerja. Mahasiswa Universitas Bung Karno, Sondang Hutagalung memperingati pengelola negeri dengan membiarkan api menjemput nyawanya di depan rumah jaga Istana Merdeka. Tapi kenapa unjuk “Kamisan” masih berlangsung, sementara sang penghuni istana putih di seberang sana menolehkan kepalanyapun tidak. Atau teriakan spiritual yang menghantar mahasiswa menggulingkan rezim Soeharto, “Hanya ada satu kata, lawan!“ Slogan yang akan terus diteriakkan dengan lantang sampai angkara ditelan bumi. Tapi apakah kita hirau pada penciptanya, yang juga terhilangkan jiwanya dengan misterius. Wiji Thukul, Munir dan Marsinah adalah martir demokrasi yang jiwanya yang tercerabut karena memperjuangkan hak semesta orang banyak. Misteri yang bernama buruh kegelapan terus gentayangan menanti perintah Sang Dalang untuk membunuh korban berikutnya.
—————————-
Sumber Tulisan: Kata Pengantar pada Buku Cerita dari Balik Layar-Beranda Para Buruh, Penerbit Galeri Foto Jurnalistik Antara