Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
Berapa waktu lalu saya mengunjungi beberapa lab komputer SD di daerah Jakarta dan sekitarnya. Ada perasaan gembira dan sekaligus khawatir. Karena kemajuan zaman berpotensi mempengaruhi cara pandang anak-anak muda belia. Kekhawatiran tersebut tentu saja dipicu oleh pertanyaan mendasar, apakah cara berpikir teknologis dapat diimbangi dengan kepekaan sosial dalam realitas keseharian?
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, pendidikan dasar dan menengah dihadapkan pada dilema konkret dalam menyeimbangkan pengajaran ilmu sosial dan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). STEM sering kali menjadi prioritas karena adanya relevansi kebutuhan di era digital dan dunia kerja masa depan.
Akan tetapi pengutamaan STEM secara berlebihan berisiko mengabaikan ilmu sosial yang berperan dalam membangun empati, nilai budaya, serta kemampuan berpikir kritis. Padahal pendidikan sejati tidak sekadar bertujuan menghasilkan tenaga kerja yang terampil secara teknis, tetapi juga individu yang memiliki pemahaman sosial dan kepekaan terhadap isu-isu kemasyarakatan.
Di Indonesia, diskursus mengenai integrasi STEM dan ilmu sosial nampak jelas semakin mengemuka, terutama dengan adanya wacana penerapan mata pelajaran kecerdasan buatan (AI) dan peng-kodean (coding) sejak tingkat sekolah dasar (SD) dan menengah.
Langkah ini merupakan respons terhadap tuntutan global yang semakin menekankan keterampilan berbasis teknologi. Kendati demikian, muncul kekhawatiran oleh banyak pihak bahwa upaya tersebut berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam pendidikan, khususnya terhadap pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan siswa.
Salah seorang pakar pendidikan Indonesia, dalam suatu kesempatan, menegaskan bahwa keseimbangan antara penguasaan STEM dan ilmu sosial sangat krusial. Individu yang mampu mengintegrasikan kedua bidang tersebut dapat menjadi generasi emas yang bermartabat. Sebaliknya, tanpa pemahaman ilmu sosial memadai, generasi muda berisiko menjadi apatis terhadap isu-isu sosial yang berdampak luas pada masyarakat.
Porsi pendidikan STEM yang dominan tanpa didampingi pendidikan ilmu sosial berkualitas dapat melahirkan individu dengan keterampilan teknis tinggi tetapi minim sensitivitas sosial. Hal demikian berpotensi memunculkan inovasi teknologi yang kurang mempertimbangkan aspek etika dan keadilan sosial.
Selain itu, penerapan mata pelajaran seperti AI dan coding sejak SD perlu dirancang dengan cermat agar tidak menjadi beban tambahan bagi siswa. Pada usia dini, anak-anak masih dalam tahap eksplorasi dasar terhadap berbagai bidang ilmu, termasuk literasi dan numerasi. Jika materi kompleks seperti coding tidak diajarkan dengan pendekatan yang sesuai, dikhawatirkan efektivitas pembelajaran menurun dan minat belajar anak melemah.
Pendekatan inter-disipliner dapat menjadi solusi dalam menjembatani kesenjangan antara STEM dan ilmu sosial. Dengan metode ini, siswa tidak hanya belajar teknologi, tetapi juga memahami implikasi sosial di baliknya.
Misalnya, pengajaran coding dapat dikaitkan dengan simulasi perencanaan kota ramah lingkungan, atau AI dapat digunakan untuk menganalisis pola sosial dan ekonomi berkelanjutan. Integrasi semacam ini sejalan dengan prinsip Merdeka Belajar yang menekankan konektivitas lintas disiplin.
Peran guru menjadi kunci dalam memastikan keberhasilan integrasi ini. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan komprehensif agar guru dapat menyampaikan materi secara interdisipliner dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kurikulum pun harus dirancang agar mencerminkan keseimbangan antara STEM dan ilmu sosial, dengan memberikan perhatian yang proporsional terhadap kedua bidang tersebut.
Untuk memastikan implementasi dapat berjalan sukses, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah dan pemangku kepentingan. Pertama, kurikulum mencakup materi STEM yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan dikaitkan dengan nilai-nilai sosial. Misalnya, proyek kelompok yang mengajak murid memecahkan masalah sosial dengan pendekatan teknologi.
Kedua, guru perlu dilatih memahami pendekatan interdisipliner dalam pengajaran STEM dan ilmu sosial. Pelatihan ini sebaiknya disertai dengan panduan praktis dan dukungan teknologi. Ketiga, pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh sekolah, termasuk di daerah terpencil, memiliki akses memadai terhadap perangkat teknologi guna menghindari kesenjangan dalam penerapan STEM.
Keempat, kebijakan pendidikan perlu dievaluasi secara berkala untuk mengukur dampaknya terhadap siswa. Umpan balik dari guru, siswa, dan orang tua dapat dijadikan dasar dalam menyempurnakan kebijakan.
Kelima, pendidikan STEM perlu dilengkapi dengan pendidikan nilai dan etika agar siswa memiliki kesadaran terhadap dampak sosial dari teknologi yang mereka pelajari. Diskusi kelas mengenai isu nyata seperti privasi data dan kesenjangan digital dapat menjadi sarana efektif dalam menanamkan kesadaran ini.
Pada akhirnya, dilema integrasi STEM dan ilmu sosial dalam pendidikan dasar perlu mendapat perhatian serius. Seperti yang diungkapkan oleh Iradat Wirid (2024), generasi emas hanya dapat terwujud jika terdapat keseimbangan antara penguasaan STEM dan ilmu sosial. Pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam merancang kebijakan yang memastikan integrasi kedua aspek ini berjalan seimbang.
Dengan pendekatan inter-disipliner, pelatihan guru yang tepat, serta pembaruan kurikulum yang berorientasi pada keseimbangan, Indonesia dapat melahirkan generasi yang tidak melulu unggul dalam bidang teknologi, tetapi juga mampu menjadi agen perubahan sosial yang berdaya guna bagi bangsa dan dunia.
———————–