Oleh Sarah Nuraini Siregar
Judul Buku: Fragmen Sejarah Intelektual : Beberapa Profil Indonesia Merdeka
Penulis: Ignas Kleden
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan: Pertama, Desember 2020
Tebal: 460 hlm
ISBN: 978-602-433-687-5
Secara umum, buku ini menyuguhkan narasi singkat karya para intelektual Indonesia sejak era kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru. Para tokoh intelektual yang dibahas dalam buku ini terdiri atas dua kelompok. Pertama, tokoh intelektual (pemikir) politik Indoneisa, dan kedua, tokoh-tokoh yang cukup terkenal di garis sastra dan kebudayaan.
Buku ini menarik, penulis menjelaskan dan menganalisis karya para tokoh melalui pendekatan teori-teori ilmu sosial yang cukup komprehensif. Ini menjadi salah satu kelebihan dalam buku ini. Ulasan penulis menunjukkan pendalaman secara ilmiah mengenai pemikiran, karya, ataupun sisi intelektual para tokoh tersebut.
Pernyataan apologia mengawali pernyataan penulis yang mengakui dua sisi kelemahan karyanya. Kelemahan pertama adalah pengelompokan para intelektual berdasarkan post factum, yaitu tersusunnya pengelompokan setelah ulasan para tokoh sudah diterbitkan di tempat lain. Ini menjadi alasan mengapa buku ini tidak begitu detail membahas sisi intelektual para tokoh tersebut.
Kelemahan kedua adalah semua tokoh intelektual yang disajikan dalam buku ini adalah laki-laki, tanpa ada representasi intelektual perempuan.
Penulis mengawali paparan secara teoretis dan terulas dengan baik mengenai definisi intelektual. Penulis menguraikan konsep intelektual dari berbagai tokoh yang berasal dari daratan Eropa dan juga Amerika. Julian Benda, Gramsci, Arnold, Rousseau, Hegel, Orwell, Paine, Hedge, hingga Thomas Jefferson menjadi para tokoh yang diulas oleh penulis. Ulasan ini menekankan perdebatan makna atau hakikat intelektual.
Dalam narasi perdebatan tersebut, penulis mencoba membedakan antara intelektual dan ilmuwan, serta peran apa saja yang semestinya diemban para intelektual.
Baginya, intelektual dan ilmuwan sama-sama bekerja dengan informasi dan pengetahuan sebagai sarana dan fasilitas. Namun yang membedakannya, antara lain, ilmuwan mengubah kepercayaan dan nilai menjadi informasi dan pengetahuan, sementara intelektual mengubah pengetahuan dan informasi menjadi nilai, komitmen politik, dan keyakinan ideologis atau sikap moral. Ilmuwan membatasi kerjanya dalam disiplin ilmu berdasarkan keahliannya, sementara intelektual menerobos disiplin keilmuannya karena memikirkan atau membela kepentingan publik (hlm 12).
Dalam pandangan berbagai tokoh yang membahas makna intelektual, ada beberapa konsekuensi logis para intelektual dalam konteks sosial politik. Dalam kehidupan para intelektual, tentu akan menghadapi serangan politik, kerap menantang status quo, serta mengutamakan dan membela kebebasan (berpikir) sebagai kemerdekaan individu. Ketiga aspek ini selalu berkelindan dalam pembahasan para tokoh intelektual pada pembabakan selanjutnya dalam buku ini.
Pada kategori intelektual bagian politik, beberapa tokoh disandingkan oleh penulis. Melalui ulasan para tokoh ini, kutub pemikiran yang ingin ditampilkan oleh penulis adalah Nasionalis (Soekarno), Sosialis (Hatta dan Sjahrir), Marxis (Tan Malaka). Penulis juga menyertakan garis pemikiran yang menonjolkan prinsip penting dalam politik, yaitu moral dalam kekuasaan, kebebasan, dan persamaan (Soedjatmoko, Seda, Gus Dur, dan Sultan HB IX). Uraian pada bagian ini kental dengan narasi biografi dan sepak terjang para tokoh tersebut.
Namun, hal menarik pada bagian ini adalah ketika penulis menyertai analisisnya melalui karya-karya para tokoh tersebut. Analisis ini untuk memberikan penilaian terhadap peran dan kontribusi pemikiran mereka.
Saya mengambil contoh Hatta, yang disebut penulis sebagai intelektual yang konsisten, memiliki keberanian filosofis, keberanian moral, dan keteguhan hati saat berhadapan dengan kesulitan politik. Gus Dur, tokoh pluralis yang gigih membela hak-hak minoritas dan sanggup memberikan jalan kepada kalangan sipil untuk menjadi pemeran utama dalam politik nasional. Demikian pula Sultan HB IX, sosok yang mendobrak reduksi kepemimpinan aristokrat hanya pada seni dan budaya menjadi pada urusan ekonomi dan politik.
Lalu, pada kategori intelektual sastra dan kebudayaan, tokoh-tokoh yang diangkat adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Rendra, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Sardono W Kusumo, Jakob Oetama, dan Pramoedya Ananta Toer.
Jika dibandingkan dengan kategori bagian politik, bagian ini menampilkan cukup banyak tokoh sastra dan kebudayaan walau ulasan pemikiran beberapa tokoh di dalamnya tidak begitu mendalam. Akan tetapi, kelebihan yang cukup menonjol dan jarang ditemukan pada karya lain adalah penulis turut mengulas karya-karya sastra para tokoh tersebut. Pembaca dapat menikmati cuplikan puisi, deskripsi singkat buku dan novel, yang kemudian didiskusikan secara lugas melalui pemahaman keilmuan penulis.
Sama halnya di bagian politik, penulis juga memberikan penilaian terhadap karakter pemikiran mereka. STA, misalnya, melalui karya tiga novelnya (Layar Terkembang, Grotta Azzura, Anak Perawan di Sarang Penyamun) dianggap tidak begitu menonjol dalam menyampaikan makna-makna sosial kepada publik.
Terhadap karya-karya Rendra, penulis menilai sangat spektakuler dalam menyampaikan tema-tema alam, masyarakat, dan politik. Demikian pula sosok Pramoedya, yang sangat lugas menyampaikan pandangan materialisme historis atas pemikiran Marx. Kelugasan ini diungkap oleh penulis berdasarkan empat novelnya, tetralogi Pulau Buru. Keempat novel ini menyampaikan pesan bahwa emansipasi pribumi dan perempuan dapat lebih berhasil apabila merebut tempat yang lebih kuat dalam hubungan produksi.
Secara keseluruhan, buku ini sangat baik dalam menyampaikan intisari pemikiran intelektual bangsa, terutama di bidang sastra dan kebudayaan. Hal ini karena tidak banyak buku yang menguraikan secara lugas peta khazanah para intelektual sastra dan kebudayaan melalui karya mereka. Uraian ini turut memberikan pesan kepada pembaca, bahwa kritik dalam karya-karya para intelektual ini turut berkontribusi dalam mendorong perubahan.
Sementara pada bidang politik, kelebihan buku ini terletak pada tinjauan kritis penulis berdasarkan ulasan teoretis ilmu sosial dalam membahas pemikiran para tokoh tersebut. Namun, untuk mendapatkan pemahaman secara utuh pemikiran para intelektual ini, tentu buku ini belum cukup komprehensif. Seperti judul buku ini, ulasan pemikiran para intelektual sebatas fragmen (cuplikan) dari berbagai karya mereka. Untuk mendalaminya, tentu perlu membaca lagi karya-karya orisinal para tokoh tersebut.
__________________________
Sarah Nuraini Siregar,Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI